Selasa, 19 Juni 2007

Second Muhammadiyah:

Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM


Karenanya, “Refleksi 3 Tahun JIMM” merupakan peristiwa langka yang akan sangat monumental jika benar-benar menemukan bentuknya yang paling terang, yakni sebagai gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.

Second Muhammadiyah: Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM Oleh: Moh. Shofan **

Tanggal 24-26 Juli 2006 lalu, di Al-Maoun Foundation, Jakarta, kaum muda Muhammadiyah menggelar "Refleksi 3 Tahun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)". Refleksi ini dimaksudkan untuk menyegarkan kembali wacana pemikiran Islam yang dirasa mulai lesu, terutama oleh kalangan internal JIMM. Barangkali, ini merupakan peristiwa kultural yang bersejarah, mengingat kelahiran JIMM oleh sebagian kalangan warga Muhammadiyah dituduh sebagai komunitas yang tidak sesuai dengan "suara resmi" Muhammadiyah; dianggap anak haram yang harus dienyahkan. Tidak cukup dengan penyebutan anak haram, mereka menilai, secara teologis JIMM sudah keluar dari sumber otoritatif Islam, yakni Alqur’an dan hadis. Masih banyak stigma negatif lain yang disematkan kepada JIMM yang anggotanya terdiri dari kaum muda Muhammadiyah.

Sebagai komunitas baru yang tidak ada hubungan struktural dengan Muhammadiyah (sekalipun personel-personel JIMM aktivis Muhammadiyah), kiprah intelektual JIMM tidak bisa juga dianggap remeh. Terbukti, pada Muktamar Muhammadiyah Malang setahun lalu, walau tidak sedikit elit Muhammadiyah yang khawatir dengan keberadaan JIMM yang ditengarai dapat merusak citra Muhammadiyah, masih ada sejumlah intelektual Muhammadiyah yang masih melihat kiprah JIMM dengan pikiran jernih. Mereka menaruh harapan besar dan optimis masa depan Muhammadiyah ada di pundak kaum muda Muhammadiyah ini. Intelektual sekaliber Syafi’i Ma’arif, Moeslim Abdurrahman dan Amin Abdullah, tiada henti-hentinya mendorong anak-anak muda untuk terus berkarya lewat tulisan dan melakukan terobosan intelektual.

Karenanya, “Refleksi 3 Tahun JIMM” merupakan peristiwa langka yang akan sangat monumental jika benar-benar menemukan bentuknya yang paling terang, yakni sebagai gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.

Empat Alasan

Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa kaum muda Muhammadiyah bangkit. Pertama, mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan (tajdid) Islam yang sadar akan beban sejarah yang dipikulnya. Artinya, Muhammadiyah harus semakin lebih dewasa dan matang dalam merespon berbagai persoalan krusial yang berkembang di masyarakat, bukan malah membiarkan dominasi kaum konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah yang sewaktu-waktu bisa menjadi benalu dan penghambat kemajuan.

Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah telah membawa semangat pembebasan, yakni bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan mendorong penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan. Muhammadiyah tidak hanya memelihara kaum konservatif yang hanya mengurusi masalah-masalah ritual-formalisme organisasi sembari mengabaikan persoalan-persoalan sosial tanpa paradigma keilmuan yang jelas.

Kedua, Muhammadiyah harus terbuka terhadap pikiran-pikiran progresif-liberatif, sehingga tidak menjadi organisasi Islam yang eksklusif-tekstualis. Selama ini, ada sejumlah kekhawatiran dari para elit Muhammadiyah terhadap anak-anak muda yang gandrung mengkaji pemikiran-pemikiran progresif seperti Hassan Hanafi (yang dikenal dengan proyek Islam Kiri), Muhammad Abid al-Jabiri (dengan Kritik Nalar Arab), Farid Esack dengan hermeneutika, dan seterusnya. Tapi saya pikir, wajar kalau anak-anak muda memburu gagasan-gagasan yang paling baru sebagai aplikasi dari munculnya eforia intelektual.

Untuk hal semacam ini, harusnya para elit Muhammadiyah memberi ruang kebebasan untuk berwacana dan mengekpresikan ide-idenya, baik melalui forum-forum ilmiah maupun tulisan di berbagai media massa. Bukan malah mengebiri dan mengganggapnya sebagai ancaman bagi Muhammadiyah. Saya kira, karena alasan itulah kaum muda Muhammadiyah mampu mengambil "jalan lain" dari mazhab konservatif-skripturalis, dan sangat wajar jika akan terjadi benturan-benturan dengan kaum konservatif dalam tubuh Muhammadiyah. Apa yang dilakukan oleh anak-anak muda Muhammadiyah yang tergabung di JIMM, sebenarnya dapat juga disebut kehendak untuk melakukan kritik internal (autokritik) terhadap Muhammadiyah agar tidak terjebak dalam ritual formalisme organisasi.

Ketiga, perlunya pertemuan (baca: dialog) lintas generasi di Muhammadiyah. Selama ini, kondisi yang tampak adalah kurangnya intensitas pertemuan antara generasi muda dengan generasi tua. Bahkan ada kesan generasi tua merasa sudah begitu senior, bahkan lebih superior dibanding generasi mudanya. Dengan begitu, mereka enggan melakukan dialog. Kondisi itu mungkin juga diperuncing oleh munculnya JIMM yang mengusung wacana progresif-liberatif. Tak pelak lagi, telah terjadi ketegangan antara antara kaum tua yang lebih puritan dan kaum muda yang lebih dinamis. Dengan demikian, di Muhammadiyah ada dua kubu yang saling kontradiktif, yaitu—meminjam istilah Sukidi—Muhammadiyah progresif vs Muhammadiyah konservatif.

Kondisi seperti ini harusnya tak boleh terjadi, sebab masa depan Muhammadiyah tak cukup dibebankan hanya kepada kaum tua. Kaum muda Muhammadiyah harusnya mengambil bagian dan peran yang signifikan bersama-sama dengan kaum tua, dan merumuskan kembali prinsip purifikasi dan dinamisasi Islam dengan berbagai problem dan perkembangan zaman sekarang ini. Dari situlah mereka dapat melakukan kerja-kerja religius dan kebudayaan untuk masa depan yang lebih mencerahkan.

Keempat, perkembangan wacana pemikiran Islam yang demikian cepat makin menjelaskan bahwa gaya konservatif tidak lagi memadai untuk merespons masalah aktual yang terus bergulir. Lambatnya kaum konservatif Muhammadiyah merespons masalah-masalah aktual, salah satunya disebabkan oleh adanya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan sakralisasi terhadap tafsir keagamaan.

Di Muhammadiyah, masih banyak yang menganggap Himpunan Putusan Tarjih (HPT) berada di atas segala-galanya. HPT dianggap mutlak dan tidak bisa dikritik, bahkan disakralkan seperti Alur’an, sekalipun mereka tidak mengerti proses perdebatan yang terjadi dalam Manhaj Tarjih.

Penutup

Anak-anak muda Muhammadiyah harus tetap melakukan terobosan dengan mengangkat gerakan intelektual di tengah arus perubahan politik yang demikian cepat. Anak muda Muhammadiyah perlu mewarnai kembali tradisi progresif-liberatif KH Ahmad Dahlan sebagai the founding father Muhammadiyah.

Kaum muda Muhammadiyah juga perlu melanjutkan ijtihad kaum modernis pada level yang lebih populis, serta merespons masalah aktual dan kultural sehari-hari masyarakat. Dengan melakukan ”Refleksi 3 Tahun JIMM” kaum muda Muhammadiyah tampak ingin meneruskan cita-cita luhur KH. Ahmad Dahlan agar Islam senantiasa relevan dan kontekstual dengan zamannya. Muhammadiyah sudah selayaknya memelopori kembali gerakan pembaharuan keagamaan dan transformasi sosial di Indonesia.

** Moh. Shofan, Dosen FAI, Univ. Muhammadiyah Gresik




Muhammadiyah dan Islam Liberal


Jika dilihat lebih jauh, berangkat dari doktrin a faith in action, membuat gagasan-gagasan mengenai Islam liberal, demokrasi, pluralisme, dan civil society, dalam Muhammadiyah dianggap penting, namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Bagi Muhammadiyah, lebih baik langsung berperilaku liberal, demokratis, dan pluralis, daripada banyak bicara liberalisme, demokrasi dan pluralisme, tetapi sebaliknya berperilaku antiliberal, antidemokrasi dan antipluralisme.

Tulisan ini dikutip dari KCM, edisi, Sabtu, 26 Januari 2002

Oleh: Pramono U. Tanthowi

Mungkin betul kata sebagian pengamat, perkembangan wacana Islam liberal, civil society, dan demokrasi dalam Muhammadiyah relatif terlambat, terutama jika dibanding dengan Nahdlatul Ulama (NU). Padahal, pada awal abad ke-20, menurut Kurzman, Muhammadiyah merupakan representasi organisasi-organisasi Islam liberal di dunia Islam, selain Ittifaq al-Muslimin di Rusia dan Aligarh di India (2001, h.xxv). Pada masa itu, aktivisme Islam liberal mengambil bentuk reformasi pendidikan. Meski banyak pemikir liberal pada periode ini merupakan produk pendidikan keagamaan tradisional, mereka memandang institusi-institusi ini tidak lagi memadai untuk memenuhi tuntutan zaman dan berusaha memperbaruinya atau bahkan menciptakan institusi baru yang menggabungkan pendekatan modern dan pendekatan tradisional.

Pada periode ini, ciri khas gerakan Islam liberal adalah pengenalan pelajaran-pelajaran Barat dan tema-tema yang khas Barat terhadap kurikulum tradisional; sesuatu yang merefleksikan sumbangan intelektual dari kaum liberal, yakni penghargaan terhadap "modernitas". Karena itu, Islam liberal pada periode ini secara umum dikenal sebagai "modernisme Islam". Dalam konteks demikian, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah pada zaman Belanda tidak menggunakan istilah khas Islam, namun menggunakan istilah kurikulum dan metodologi pengajaran Belanda, meski tetap mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, seperti HIS, MULO, dan HIK met de Qur'an.

***

MESKI demikian, liberalisme Muhammadiyah ini ternyata-menurut beberapa pengamat-tidak mampu bertahan lama. Modernisme Muhammadiyah setidaknya, mengidap kelemahan mendasar. Pertama, modernisme Islam dituduh terlalu sekuler dan westernized, seolah mengambil begitu saja pemikiran Barat, serta terlalu mengabaikan, dan karena itu tidak menguasai tradisi; baik tradisi keilmuan Islam klasik maupun tradisi dan budaya lokal. Kedua, modernisme Islam pada akhirnya memiliki kecenderungan konservatif (dalam pemahaman keagamaan) dan fundamentalis (dalam sikap politik). Kecenderungan inilah yang dianggap menyebabkan Muhammadiyah tidak responsif terhadap perkembangan wacana Islam liberal di Indonesia dewasa ini. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya besar di lingkungan Muhammadiyah. Persoalan pertama, berangkat dari kesalahpahaman warga dan pimpinan Muhammadiyah memahami doktrin al-ruju' ila 'l-Qur'an wa 'l-Sunnah (kembali kepada Al Quran dan Sunnah). Doktrin ini sering dipahami secara verbal dan formal, dan diaktualisasi dengan menyerukan keutamaan Islam periode awal serta menegaskan ketidaksahan penafsiran dan praktik-praktik keagamaan masa kini. Dengan menekankan pentingnya ijtihad (upaya legislasi kreatif dan serius), penafsiran para juris dan teolog masa-masa kemudian yang terkodifikasi dalam kitab kuning, oleh Muhammadiyah dianggap hanya memiliki kebenaran relatif, karena itu boleh diabaikan. Sementara, dengan menegaskan otentisitas praktik Islam periode awal, praktik-praktik keagamaan periode sesudahnya seperti tercermin dalam konsep Muhammadiyah tentang TBC (takhayul, bid'ah, dan churafat), oleh Muhammadiyah sering dianggap sebagai penyimpangan terhadap "Islam murni", karena itu harus diberantas. Padahal, dengan mengabaikan dua hal ini, pemikiran Islam dalam Muhammadiyah mengalami diskontinuitas dalam proses panjang perkembangan pemikiran Islam sejak zaman klasik hingga masa modern sekarang ini. Persoalan kedua, setidaknya disebabkan karena ada dua alasan mendasar. Pertama, dalam sejarahnya di Indonesia selama abad ke-20, pembicaraan mengenai Islam sering lebih kental warna politiknya, melebihi manifestasi-manifestasi dalam bentuk lain. Hal ini, secara faktual, karena Islam di Indonesia tidak saja menghadapi dominasi politik Barat melalui kolonialisme Belanda, tetapi juga terlibat persaingan sengit ideologis dengan kekuatan-kekuatan politik lain. Tahun 1920-an, Soekarno menyatakan, ada tiga aliran ideologi yang mendasari gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Pada masa itu, polemik-polemik ideologis bukan melibatkan antara Islam dan Barat, tetapi justru dengan sesama pejuang kemerdekaan sendiri. Dalam konteks inilah kita menyaksikan polemik Agus Salim-Soekarno, Natsir-Soekarno, Tjokroaminoto-Semaun, dan lain-lain.

Persaingan ini terus berlangsung dan menguat pada dasawarsa 1950-an. Hal ini dapat dimengerti mengingat Islam menghadapi persaingan amat kuat dengan kekuatan ideologis lain yang muncul dalam format politik. Nasionalisme, Sosialisme, Komunisme, bahkan Kristen dan Katolik, saat itu juga muncul dalam wajah politik dengan partai-partai sebagai manifestasi paling konkret. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan politik Islam juga menampilkan wajah Islam yang lebih politis dan ideologis, dan karena itu bersifat eksklusif dan konfrontatif. Sementara itu, Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi, tentu saja terlibat langsung persaingan politis-ideologis itu.

Kedua, kecenderungan konservatif dan fundamentalis ini dapat dilacak dari gerakan pembaruan Muhammadiyah, yang menurut Amin Abdullah lebih bercorak a faith in action (1994). Dengan begitu, gerakan pembaruan Muhammadiyah tidak sekadar mengembangkan wacana pemikiran, tetapi menggabungkan dimensi teologis-filosofis sekaligus menekankan dimensi sosial-praksis. Maka dalam sejarah, ayat-ayat Al Quran tentang kemanusiaan yang diajarkan Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya, selalu tidak terhenti pada hafalan dan pemahaman, tetapi dituntut untuk dilaksanakan. Ketika mengajarkan beberapa ayat tentang pentingnya ilmu pengetahuan (QS. 96:1-5), penyembuhan penyakit (QS. 26:80), serta penyantunan orang miskin dan yatim piatu (QS. 107:1-7), Ahmad Dahlan menuntut muridnya melaksanakan ayat-ayat itu dalam amalan nyata. Dari landasan seperti ini, Muhammadiyah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial dalam jumlah massif. Pendekatan Ahmad Dahlan ini, dapat disejajarkan dengan tafsir liberatifnya Farid Essack (2000).

Sayang, generasi-generasi penerus tidak lagi sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu. Akibatnya, yang dapat ditangkap dari gerakan pembaruan Muhammadiyah hanya (dan semata-mata) aspek sosial-praksis. Misalnya, warga dan pimpinan Muhammadiyah sering menganggap, pembangunan sekolah atau perguruan tinggi merupakan amal usaha yang berkonotasi sosial-praksis semata. Padahal, ia memerlukan sebuah strategi intelektual dan kultural jangka panjang. Selain itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) juga terjebak untuk mengambil alih teknologi modern pada aspek ilmu dan teknologinya saja, yakni terbatas pada applied science. Padahal, di balik ilmu dan teknologi, ada bangunan filosofis yang melatarbelakangi bangunan teknologi itu. Sementara bangunan epistimologis dan filosofis yang melatarbelakangi iptek belum dijajaki Muhammadiyah secara serius. Ini terbukti belum ada kajian filsafat dan ilmu-ilmu sosial serta studi agama yang bersifat empiris dalam lingkungan PTM.

***

AKUMULASI berbagai faktor itu, menyebabkan wacana pemikiran Islam dalam Muhammadiyah seperti mengalami stagnasi, untuk tidak mengatakan melangkah mundur. Dengan demikian, persoalan ini harus segera dicarikan jalan keluar. Jika tidak, Muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai organisasi Islam modernis, dalam bidang pemikiran Islam akan berwajah sangat konservatif.

Jika menyadari berbagai kelemahan ini, Muhammadiyah harus segera mengambil langkah strategis dengan membentuk pusat-pusat studi keislaman, baik melalui jaringan PTM, maupun melalui berbagai LSM. Kelompok-kelompok seperti ini harus didorong, dimotivasi, dan diberi kesempatan mengembangkan gagasan dan pemikiran Islam secara bebas. Kesempatan dan kebebasan ini menjadi penting, karena selama ini wacana pemikiran Islam dalam Muhammadiyah, seolah-olah hanya didominasi generasi tua dan elite saja.

Agar tidak ketinggalan dalam wacana pemikiran Islam, Muhammadiyah tidak perlu meninggalkan doktrin a faith in action-nya. Yang perlu dilakukan bukan meninggalkan orientasinya pada bidang sosial-praksis, tetapi menambah tekanan pada bidang teologis-filosofis, agar mampu menangkap ide dan semangat pembaruan yang dikembangkan generasi awal Muhammadiyah. Doktrin yang diambil Muhammadiyah dengan menggabungkan aspek teologis-filosofis dan sosial-praksis merupakan eksperimen umat Islam Indonesia untuk keluar dari pusaran diskursus teologis sejak zaman klasik-yang notabene hanya bercorak rasional-intelektual an sich-ke arah wilayah yang bersifat historis-empiris-praksis.

Berbagai persoalan yang dikemukakan itu, tentu bukan dimaksudkan untuk mengungkap kelemahan-kelemahan Muhammadiyah, namun lebih sebagai kesadaran dan otokritik agar Muhammadiyah tidak terlena dengan berbagai keberhasilan yang telah dicapai. Dan, hal ini sama sekali bukan untuk mengecilkan peranan Muhammadiyah dalam proses pengembangan pemikiran Islam di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, kritik terhadap bentuk pemahaman keislaman Muhammadiyah yang sudah mapan dan baku sangatlah perlu. Agar Muhammadiyah dapat menampung dan mencari pemecahan berbagai keluhan dan ketidakpuasan yang muncul di kalangan masyarakat luas, sekaligus dapat mengantar Muhamadiyah mengantisipasi persoalan umat dan zaman yang sedang terus bergulir-berubah.

Jika dilihat lebih jauh, berangkat dari doktrin a faith in action, membuat gagasan-gagasan mengenai Islam liberal, demokrasi, pluralisme, dan civil society, dalam Muhammadiyah dianggap penting, namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Bagi Muhammadiyah, lebih baik langsung berperilaku liberal, demokratis, dan pluralis, daripada banyak bicara liberalisme, demokrasi dan pluralisme, tetapi sebaliknya berperilaku antiliberal, antidemokrasi dan antipluralisme. Dengan begitu, betul kata Robert W Hefner, suara-suara pembaruan politik dan demokratisasi dalam masyarakat Islam di Indonesia selalu mencakup sejumlah orang yang lebih luas ketimbang kalangan terbatas para teolog liberal dan neomodernis (1999). Penting untuk menekankan persoalan ini, karena beberapa pengamat Barat berpandangan, Muslim Indonesia yang secara serius memiliki komitmen terhadap pembaruan demokratis hanyalah para teolog liberal, dalam jumlah sedikit. Namun, harus dipahami juga, komitmen terhadap demokrasi sebenarnya mencakup kalangan lebih luas.

Akibatnya, (sekadar untuk tidak berkecil hati) kalangan Islam modernis sebenarnya bisa menjadi pihak pertama dalam mendukung dan mendorong perubahan demokratis di Indonesia, sebab sumber daya politik mereka akhirnya jauh melebihi yang lain.

Pramono U. Tanthowi. Ketua (bidang politik dan kebijakan) DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Zakiyyudin: "Muhammadiyah Mengalami Erosi Ideologis
(Tulisan Kedua)
18-6-2007
Oleh : ALAMSYAH M DJAFAR/SYIRAH

Anda pernah menyebut “mendadak Muhammadiyah”, apa maksudnya?

Istilah “mendadak Muhammadiyah” ini sebetulnya lelucon. Tapi cukup efektif untuk melakukan identifikasi terhadap mereka yang kita curigai sebagai PKS tadi. Karena mereka sangat bersemangat masuk ke dalam Muhammadiyah. Jika bisa sampai menduduki jabatan atau stuktur dalam Muhammadiyah. Meskipun sebetulnya secara ideologis mereka tidak Muhammadiyah. Nah, ini yang kita identifikasi sebagai “mendadak Muhammadiyah”.

Kasus lain, sebagai peneliti apa penilaian Anda mengenai perlawanan yang begitu kuat dari Muhammadiyah terhadap isu-isu sekularisme, pluralisme, dan liberalisme?

Ada dua faktor: internal dan eksternal. Secara internal muncul kecenderungan menguatnya konservartisme, terutama di kalangan tua, meskipun di kalangan muda juga muncul. Saya kira ini sebuah proses kristalisasi sejarah yang menjebak Muhammadiyah dalam satu rutinitas dan terlalu disibukkan dengan pengelolaan amal usahanya. Sehingga pengembangan-pengembangan intelektualisme dan pemikiran hampir dikatakan jumud (mandeg).

Faktor eksternal, infiltrasi dari ideologi luar. Ini seperti memancing ikan di air keruh atau membakar rumput yang sudah kering. Konservatisme itu sudah ada, lalu masuk lagi ideologi baru. Itu artinya semakin kering dan sangat mudah dibakar. Sehingga gerakan di Muhammadiyah, meskipun tak ada instruksi secara formal mengikuti fatwa MUI, beberapa ulama dan dai Muhammadiyah banyak yang menggaungkan gerakan anti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.

Lantas bagaimana masa depan perkembangan pemikiran di Muhammadiyah? Sebab bagaimanapun banyak orang berharap pada wajah moderat NU dan Muhammadiyah?

Dari sudut infrastruktur, terus terang saya agak pesimis. Muhammadiyah tak punya banyak pondok pesantren. Madrasah juga banyak, tapi seperti itu adanya. Fakultas-fakultas agama di perguruan tinggi Muhammadiyah adalah fakultas yang marginal. Sehingga infrastruktur pendukungnya kurang. Sementara yang kedua, rutinitas organisasi telah menghabiskan waktu dan ruang pikiran orang Muhammadiyah untuk mengembangkan pemikiran yang baru. Jadi ketika Muhammadiyah menamakan dirinya gerakan tajdid (pembaruan), dan kemudian muncul kesadaran di tahun 2003 mengangkatnya sebagai tema menjadi Tajdid Gerakan, sebetulnya belum ada perubahan. Maka gerakan tajdid yang sudah jumud, mau di-tajdid (diperbaharui) ternyata konservatisme menguat.

Tapi saya kira, ada usaha yang sebetulnya bisa dilakukan. Pertama, meskipun infra struktur kurang dimiliki tetapi Muhammadiyah harus bisa memberi ruang terhadap mereka yang berbeda, terutama kaum muda mereka yang punya pikiran progresif untuk terus mengembangkan diri. Jangan kemudian lalu distigmakan buruk.

Sekarang ini seperti dikembangkan stigma terhadap mereka yang ingin mengembangkan intelektualistasnya dengan tuduhan liberal-sekular. Tapi terhadap mereka yang ingin mengembangkan spiritualitasnya dituduh klenik. Sekarang fenomena itu berkembang yang sengaja diciptakan oleh sebagian orang.

Contoh yang klenik itu?

Misalnya, orang seperti Abdul Munir Mulkhan, sebagai seorang peneliti, intelektual Muhammdiyah, lalu menulis Syaikh Siti Jenar. Oleh orang-orang, ia lalu dituduh membesarkan sesuatu yang selama ditentang Muhammdiyah yang dikenal dengan TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat).

Kalau stigma radikal?

Di Muhammadiyah, itu tak terjadi. Mungkin ini sebagian dari sedikit kelebihan. Meski dari segi pemikiran konservatif, tapi diajak radikal mereka masih bisa menalar. Apalagi radikalisme yang dalam bentuk fisik. Tapi jika kekerasan struktural seperti pemecatan, ya ada. Hanya saja itu kasus.

Seberapa berpengaruh suara-suara kritis seperti Anda atau JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) di lingkungan Muhammadiyah?

Kalau berpengaruh dalam pengambilan keputusan tidak. Tetapi pengaruh itu bisa dilihat dari reaksi yang mereka keluarkan. Itu yang kita nilai. Dan itu bagi saya dan kawan-kawan tidak menjadi problem. Semakin banyak pemberontakan terhadap JIMM, itu iklan yang bisa membesarkan kita sendiri. Maka itu kita tanggapi secara rasional, tidak emosional.

Kembali pada soal Seberapa besar reaksi PKS terhadap Instruksi Muhammadiyah?

Setelah Muhammadiyah secara resmi mengeluarkan surat edaran, satu bulan setelahnya, DPW PKS Yogyakarta mengeluarkan surat bayanat (penjelasan) kepada semua kader-kader PKS, terutama yang berada di Muhammdiyah. Himbauannya jangan sampai kader-kader PKS berhadap-hadapan dengan Muhammadiyah. Dia organisasi besar dan sudah memberi kontribusi banyak terhadap bangsa ini. Mereka (DPW PKS) meminta kepada para anggota untuk kembali pada jalurnya

Maksudnya?

Kalau mereka mau tetap di Muhammadiyah, ya jangan membawa kepentingan PKS ke dalam Muhammadiyah. Saya kira ini merupakan bayanat yang responsif dan konstruktif.

Apakah surat PP Muhammadiyah itu berlaku Nasional?

Ya, bahkan Dien Syamudin pernah mengatakan kalau menggangu Muhammadiyah lebih baik mereka keluar saja. Meskipun cara mengatasinya haruslah rasional. Misalnya kalau sekarang mereka yang menjabat rektor, biarkan ditunggu hingga masa jabatannya habis. Tapi ruang geraknya mulai dibatasi.

Ke depan, apa rencana teman-teman muda yang lebih kritis dan progresif untuk berkontribusi pada Muhammadiyah?

Yang kita mau, kita tetap menganggap penting untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat struktural. Kami juga memandang Muhammadiyah harus pula mengembangkan lembaga-lembaga yang non-struktural. Kita mencoba berjuang dari luar saja. Dari sini kita akan memberikan otokritik terhadap Muhammadiyah. Dan bagi kami yang di JIMM ini lebih leluasa, sehingga kita tidak tersangkut struktur Muhammadiyah.

Biodata:

Nama : Zakiyyudin Baidhawy

TTL : Indramayu, 21 Mei 1972.

Pendidikan :

1978-1981 : SMP Muhammadiyah Jawa Barat

1987-1990 : Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) SMA Muhammadiyah, Cirebon Jawa Barat

1990-1994 : S1 Jurusan Perbandingan Antaragama UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Surakarta, Jawa Tengah

1997-1999 : S2 (Master), Jurusan Hubungan Antaragama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2000 : S3 Jurusan Kajian Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan
Oleh Dr. Yudi Latif

MENYOAL tentang Muhammadiyah berarti menghidupkan K.H. Ahmad Dahlan. Bukan berarti hari kelahiran beliau dirayakan dalam bentuk haul. Bukan pula berarti menginstitusionalisasikan peninggalan beliau, yang konsekuensinya membekukan Muhammadiyah dalam penjara spatio-temporal. Akan tetapi, menghidupkan Ahmad Dachlan bermakna merekonstruksikan hidup dan pemikirannya untuk dijadikan preskripsi aksi. Darinya kita bisa menimba pelajaran:

Pertama, beradalah di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik.

Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam politik sebagai satu organisasi, walau secara individual maupun faksional para kadernya terlibat dalam banyak kegiatan dan partai politik, dari Masyumi sampai PAN. Dalam satu masa, bahkan kekurangberpolitikan Muhammadiyah membuat begawan Islam politik Indonesia, Muhammad Natsir, memilih mendirikan basis organisasi baru sebagai topangan untuk menghidupkan kembali Masyumi di awal Orde Baru.

Bahkan bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya semata pada aktivitas sosial-budaya, dan kesibukannya pada periferi politik membuat Muhammadiyah berada dalam kondisi yang memungkinkan ia menerima subsidi bagi sekolah-sekolah modern kembangannya. Bukan berarti Muhammadiyah bersepakat dengan penjajah Belanda dan menerima imbalan kolaborasi itu. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata, cepat-hasil, dan konfrontasional.

Pada masanya, perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran kolektif tentang kekejian kolonialisme. Kesadaran ini takkan lahir tanpa kecerdasan generasi muda yang akan berjuang di masa depan. Pedagogi adalah bentuk perjuangan yang mengedepankan political wisdom. Saat berpolitik meliputi semua aktivitas, dan kepanjangan dari etika, maka Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan saham dalam perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk berpolitik dari pinggir.

Di sisi lain, dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah sudah sedari awal sadar bahwa perubahan paling bermakna adalah pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan budaya. Jauh sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada pembentukan Islam kultural, Muhammadiyah sudah memikirkan dan melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak disadari bahwa keputusan strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah tidak diapresiasai semestinya.

Visi yang dikedepankan oleh Dahlan adalah sebuah visi berorientasi substansi untuk memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah dibelokkan menuju politik praktis, bukan hanya akan mencederai catatan sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, juga akan menjadi sebuah lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan kosa kata aksi, dan aksi akan menjadi sekadar seremoni.

Kedua, sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban.

Biarpun memiliki banyak cabang hingga ke desa-desa, Muhammadiyah adalah bagian dari fenomena urban. Organisasi yang terlahir melalui tangan kaum pedagang Muslim urban ini memberikan warna Islam berbeda: bersahabat dengan modernitas, mengutamakan kemandirian belajar ketimbang figur, terbuka, egaliter, berorientasi keadilan ekonomi. Karenanya, terbentuklah sebuah pendekatan Islam perkotaan berbicara dengan kosa kata urban dan mengatasi masalah urban.

Kita tahu urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan, salah satunya, kaum mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar. Keluarganya kembang kempis memenuhi kebutuhan dapur maupun pendidikan juga kerap kita simak. Namun usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari mereka, masih sayup-sayup terdengar.

Mungkin etika protestanisme yang sering dikaitkan secara rancu dengan Muhammadiyah, berkonsekuensi juga pada kohesi dan kolektivisme etis para kadernya. Semangat komunitarianisme yang mempunyai saham besar dalam Islam seperti terpinggirkan oleh individualisme bentukan kapitalisme sebagai produk protestanisme.

Ketiga, berpikir global, dan beraksi lokal.

Dilahirkan dari rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah terimbas oleh globalisasi. Bahkan bila mau dirunut, Ahmad Dahlan sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Mekah dan pertemuannya dengan Rasyid Ridha maupun terpengaruhinya oleh pemikiran tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu seperti al-Afghani dan Abduh.

Sepulangnya ke tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan di luar, Dachlan berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari perjalanan belajarnya ke dalam konteks Indonesia. Solusi yang ia tawarkan memiliki kekhasan pengaruh globalisme seperti menerima modernisme, memahami geopolitik internasional melalui kolonialisme, dan melihat umat dari wawasan lebih luas. Namun aplikasinya benar-benar berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.

Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah secara historis, tidak lantas berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader untuk beranjak dari sekadar mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan maupun pencairan Muhammadiyah, baik itu dari Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya menunjukkan kemajuan berijtihad dan kedewasaan epistemik. Melihat permasalahan bangsa secara lebih luas masih merupakan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah.

Keempat, layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah.

Muhammadiyah ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan instrumen penting untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal, egalitarianisme sosial, dan amal ekumenikal.

Apa yang dulu dikhawatirkan di pertengahan 1980-an oleh Ahmad Syafii Maarif tentang kemandekan intelektualisme dalam Muhammadiyah karena terlalu terlibat dalam amaliah sosial, kini berbalik. Stagnasi intelektual sudah relatif berkurang karena Muhammadiyah sampai tingkat tertentu memiliki kemampuan dan sumber daya dalam memberi kontribusi gagasan alternatif bagi problematika sosial, ekonomi, dan religius. Justru kini terjadi kemandekan atau malah kemerosotan fungsi Muhammadiyah sebagai pemberdaya ekonomi dan pemberi layanan sosial.

Beberapa aset pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang memprihatinkan. Kepekaan organisasi ini terhadap masalah-masalah sosial, seperti kelangkaan pendidikan bagi warga miskin tak berpunya atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang dari semestinya atau bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.

Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed) dalam diskursus pluralisme, liberalisme, atau demokrasi (dan memang ini diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis Tauhid sosial, memaknakan diri sebagai ikatan etis terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di belakang. Abstraksi terlahir dari praksis, hikmah sebagai ekstraksi dari amaliah atau dikenal dalam khazanah Yunani kuno sebagai phronesis, seperti mendapat tempat yang termarginalkan dalam pemikiran maupun ruang publik Muhammadiyah.

Sebab itu, aktivitas amaliah sosial tidak mesti selalu didikotomisasikan dengan pengayaan intelektual. Pemahaman ini bersifat universal seperti yang dicerminkan oleh Francis Asisi, dan K.H. Ahmad Dahlan juga memberikan teladannya. Ia tidak sekadar berdiri menceramahi dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo, tapi juga mendirikan fasilitas layanan sosial seperti panti asuhan dan klinik di masanya. Problem kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu mesti disikapi dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi berbicara lebih dari sejuta suara.

Kelima, bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah.

Muhammadiyah lahir sebagai resistensi terhadap kolonialisme dalam upaya mengintegrasikan kekuatan dan persatuan Islam dengan menggunakan strategi apropriasi. Bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah bukan berbalik pada nativisme (jangan pakai produk Barat) malah pada hibdritas (lawan Barat dengan produk Barat). Proses ini bisa terjadi melalui mekanisme khas Muhammadiyah: tajdid.

Ahmad Dahlan sendiri adalah produk dari proses ini. Hidup di lingkungan kauman di Yogya, dia membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, juga belajar huruf latin dan khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Hasilnya, melalui organisasi yang didirikannya, ditelurkan publikasi rutin melalui mesin cetak modern dan didirikan sekolah persilangan antara sekolah model kolonial dan pesantren.

Ia termasuk mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan tulis (sebuah tanda modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas epistemik yang dibentuk melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan perangkat modern Barat ini merupakan pembadanan loncatan historis.

Sehingga, walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan Masjid Kesultanan, jauh di dalam diri Dahlan bersemayam kelenturan dan kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat dengan tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan adalah tokoh muslim liminal, seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi. Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan Dahlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa keseimbangan, semua akan runtuh.

Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dahlan adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.

* Penulis adalah Wakil Rektor Universitas Paramadina, dan Direktur Eksekutif Reform Institute Jakarta, Alumni Australian National University (ANU) Canberra dan Fikom Unpad.

Minggu, 17 Juni 2007

Zakiyudin: “Muhammadiyah Mengalami Erosi Ideologis”
(Tulisan Pertama)
14-6-2007

Oleh : ALAMSYAH M DJAFAR/SYIRAH

Setelah melanda ormas terbesar Nahdlatul Ulama (NU), kehebohan itu kini menghampiri Muhammadiyah, ormas terbesar lain di negeri ini. Awalnya hanya keresahan kecil yang dirasakan pengurus-pengurus daerah Muhammadiyah tentang direbutnya apa yang mereka sebut aset-aset organisasi oleh kader-kader sebuah partai dakwah yang juga menjadi anggota Muhammadiyah. Ada kasus sekolah yang lalu berganti nama tak lagi menjadi sekolah Muhammadiyah. Ada pula kasus rebutan kepemilikan rumah sakit atau masjid Muhammadiyah.

Di NU, kehebohan itu lebih banyak terjadi di soal rebutan aset Masjid. Tak sedikit masjid-masjid yang sebelumnya diklaim bertradisi NU, belakangan berubah. Pengelola yang baru bahkan mengharamkan tradisi sebelumnya seperti zikir seusai shalat atau tahlilan.

Di Muhammadiyah, keresahan itu awalnya dimulai laporan intelektual muslim Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan yang menulis di Suara Muhammadiyah, media milik ormas yang didirikan KH. Ahmad Dahlan itu. Setelah itu, keresahan yang sama ternyata diutarakan oleh para pengurus daerah Muhammadiyah. “Dari situ keresahan ini mendapat kulminasinya,” kata Zakiyuddin Baidhawy kepada Syirah awal Juni lalu.

Di lingkungan Muhammadiyah, Zaki, begitu ia akrab disapa, dikenal sebagai kaum Muhammadiyah yang cukup vokal menyuarakan pembaruan pemikiran di lingkungan ormas yang kini dipimpin Dien Syamsudin itu. Lelaki yang produktif menulis artikel di berbagai media massa ini tercatat sebagai salah seorang pendiri Jaringan Intelektual Muhammadiyah (JIMM), organisasi kaum muda yang kini banyak mendapat sorotan di kalangan generasi tua Muhammadiyyah paska dirilisnya Fatwa MUI pertengahan 2005.

Selain mengajar, hari-hari peraih Master di bidang Hubungan Antar Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta tahun 1999 ini, banyak dihabiskan dalam kegiatan dan program-program pengembangan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), tempatnya kini berkiprah.

Lembaga di bawah univeritas itu merupakan yang punya minat pada persoalan-persoalan yang terkait dengan kebudayaan, terutama keanekargaman budaya, dan perubahan sosial. Kegiatannya berupa pendidikan, kajian dan penelitian, maupun aksi.

Di sela-sela workshop Pengembangan Islam dan Pluralisme di Hotel Jaya Raya Cipayung Puncak Bogor, Kepada Alamsyah M. Dja’far dari Syirah Zaki banyak mengisahkan seputar perebutan aset-aset muhammadiyah dan kiprah kaum muda Muhammadiyah. Di pagi yang berbalut dingin wawancara itu berlangsung awal Juni lalu.

Belakang ini, dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah seperti merasakan keresahan bersama dimana aset-aset mereka direbut oleh salah satu partai dakwah. Bahkan Pengurus Pusat Muhammadiyah harus mengelurkan surat edaran untuk itu. Tanggapan Anda?

Sebetulnya keresahan (soal perebutan aset Muhammadiyah) itu sudah lama muncul. Tapi mulanya ini belum ditanggapi secara serius di kalangan Muhammadiyah. Dimulai dari sebuah laporan Abdul Munir Mulkhan (tokoh intelektual Muhammadiyah yang juga mantan Pengurus Pusat Muhammadiyah) tentang perebutan aset Muhammaiyah di sebuah daerah di Sumatera.

Kapan itu terjadi?

Sekitar pertengahan tahun 2006 . Ini yang kemudian ditulis Munir Mulkhan di Suara Muhammadiyah. Setelah itu, hal yang sama juga dilaporkan pengurus daerah. Apakah itu perebutan berupa sekolah, masjid, atau rumah sakit-rumah sakit milik Muhammadiyah.

Dari situ keresahan ini mendapat kulminasinya. Ini menuntut seluruh jajaran muhammadiyah mewaspadai upaya perebutan aset-aset tersebut. Di kalangan muhammadiyah sudah ada kesadaran itu, tapi belum bisa bertindak lebih jauh sebelum ada instruksi dari pengurus pusat. Maka rapat pleno akhirnya memutuskan mengelurkan surat edaran berisi, pertama menghimbau anggota Muhammdiyah setia pada ideologinya, dan kedua, menjaga intervensi dari orang-orang luar. Di sana jelas dikatakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kapan Surat itu keluar?

Sekitar Nopember 2006

Surat tersebut bisa dianggap titik kulminasi keresahan di lingkungan Muhammdiyah?

Saya kira iya. Secara sistematis melalui intruksi surat edaran, Pengurus Pusat Muhammadiyah menghimbau untuk mewaspadai gerakan tersebut, dari tingkat pusat sampai ranting; menjaga aset-aset berupa sumber daya manusia dan infrastuktur dari jarahan dan orang-orang yang menjadi penumpang gelap di Muhammadiyah.

Sepertinya ada hubungan dekat antara Muhammadiyah dengan PKS. Sehingga kasus ini lebih banyak terjadi di Muhammadiyah ketimbang NU?

Karena persoalannya ideologi. Bagaimanapun Muhammadiyah yang modernis dengan paham yang puritan pasti akan lebih dekat dengan ideologi seperti Hizbuttahrir, Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, atau Laskar Jihad. Mereka akan lebih save masuk ke Muhammadiyah ketimbang ke organisasi seperti NU yang paham keagamaannya agak jauh dengan corak keagamaan Muhammadiyah. Ini terbukti ketika Muktamar di Malang. Banyak sekali anggota HTI (Hizbuttahrir Indonesia) menjadi peserta Muktamar.

Mereka anggota Muhammadiyah?

Ya. Sebagian mereka ada yang menjadi anggota Muhammadiyah, kemudian tertarik dengan ideologi Hizbuttahrir atau PKS. Lalu mereka mulai bergerak dari situ. Tapi, ada juga mereka yang datang dari luar lalu masuk ke Muhammadiyah.

Bagaimana pola mereka merebut aset?

Yang pertama jelas mereka akan mengupayakan merebut posisi struktural di Muhammadiyah yang strategis dalam kepemimpinan Muhammadiyah.

Berarti mereka memang sudah menjadi anggota Muhammadiyah sebelumnya?

Yang merebut aset ini jelas tidak mungkin bagi mereka yang baru masuk ke Muhammadiyah. Mereka orang Muhammadiyah lama dan cenderung mengikuti ideologi PKS. Dari situ mereka punya kesempatan. Karena, mereka orang utama atau terpandang dalam Muhammadiyah.

Itu artinya ideologi PKS lebih kuat ketimbang Muhammadiyah?

Ya, ini yang saya sebut bahwa Muhammadiyah mengalamai erosi ideologis. Itu yang saya bisa katakan. Setelah itu mereka akan menggunakan semua sumber daya yang ada di Muhammadiyah sesuai dengan kepentingan politiknya.

Lebih banyak dilakukan oleh orang yang memiliki posisi strategis di Muhammadiyah?

Ada sebagian, tapi tidak semua. Meski tidak terlalu banyak, tapi ini menjadi problem cukup besar. Contoh kasus, ada seorang kepala sekolah SD Muhammadiyah yang kemudian memindahkan seluruh muridnya ke sekolah baru yang dia dirikan. Ada pula sekolah yang berganti nama tidak lagi SD Muhammdiyah, tetapi SD apa misalnya.

Di mana itu?

Di Payakumbuh, Sumatera Barat. Terus terang ini menjadi masalah bersama. Secara politik orang Muhammadiyah sebetulnya menerima siapapun. Dari dulu istilahnya Muhammadiyah menerima siapapun. Dari dulu Muhammadiyah menjaga jarak yang sama. Mungkin artikulasi saja yang berbeda. Kalau dulu menjaga jarak sama jauhnya, sekarang seperti dikatakan Dien Samsuddin, menjaga jarak sama dekatnya. Tapi intinya di Muhammadiyah ada semacam konvensi atau tradisi yang sudah berurat berakar bahwa orang Muhammadiyah boleh berpartai apapun. Cuma jangan merusak organisasi. Ternyata PKS itu merusak amal usaha Muhammadiyah, termasuk SDM-nya. Nah itu yang kemudian kita lawan, bukan partainya.

Kasus ini lebih banyak terjadi di kalangan tua atau generasi muda Muhammaiyah?

Sama saja sebetulnya.


Kamis, 14 Juni 2007

Perjalanan Muhibah muhammadiyah
Merindukan Kelahiran Ulama Sekaliber Hamka

Imam Prihadiyoko

Kalimat bijak dari pedalaman Sumatera menyebutkan, pahlawan tidak lahir setiap zaman, begitu juga dengan pemimpin yang diharapkan, tidak muncul dari setiap generasi. Namun, mekanisme demokrasi modern ingin memotong kalimat bijak ini dengan mengatakan, setiap akhir periode kepemimpinan, terpilih pemimpin baru.

Namun, pemimpin yang muncul itu mungkin sekadar keharusan sejarah bahwa manusia pada suatu era harus mempunyai pemimpin. Artinya, demokrasi memang mampu melahirkan pemimpin baru. Tetapi, apakah yang muncul itu pemimpin yang diharapkan rakyat? Sejarah yang akan membuktikannya.

Itu sekelumit cerita dari seorang warga Desa Agam, Sumatera Barat (Sumbar), saat rombongan Muhammadiyah yang dipimpin Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengadakan napak tilas dan muhibah dakwah di Sumbar, Mei lalu. Warga itu mempertanyakan, mengapa komunitas Islam di Indonesia atau di Sumbar tidak lagi melahirkan ulama sekaliber Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal sebagai Hamka.

Padahal, lembaga pendidikan Islam makin modern, teknologi kian maju, serta buku dan akses pada informasi semakin mudah diperoleh. Tetapi, mengapa tokoh yang paripurna tidak hadir.

Menurut Dewan Eksekutif Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan (Partnership Government Reform) Daniel Dhakidae, transformasi di masyarakat Indonesia memang tidak lagi bisa menghadirkan intelektual sekaliber Hamka, Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, atau Mangunwijaya. Penyebabnya, intelektual yang hadir sekarang terkotak-kotak dalam penguasaan keahlian yang mendalam, tetapi kecil. Maka, hadirlah cendekiawan pasar modal, ahli ekspor, cendekiawan tambak udang, cendekiawan konsultan pajak, cendekiawan jamur ekspor, konsultan bisnis, konsultan partai, dan sebagainya.

Intelektual hidup dalam komunitas yang dibombardir media elektronik. Serangan media elektronik melahirkan kaum pendengar dan penonton. Persoalannya, kaum pendengar dan penonton ini tak lagi peka terhadap argumentasi kompleks. Meski prosesnya tidak sederhana, intelektual yang hidup dalam kaum penonton dan pendengar lebih senang menjadi komentator daripada pemikir.

Bahkan, penyakit komentator ini ditularkan kepada anggota parlemen. Mereka lebih senang menjadi komentator politik ketimbang pemikir politik atau komentator ekonomi ketimbang pemikir ekonomi yang bisa menyelamatkan rakyat dari pengangguran dan keterpurukan.

Kondisi ini diperburuk dengan perguruan tinggi yang kian mahal dan hanya memberikan akses pada kaum berduit. Eksklusivitas di perguruan tinggi semakin tinggi. Mutu pendidikan yang dulu disebut sebagai the center of excellence semakin jauh meninggalkan perguruan tinggi dalam kategori rank and file, baik karena fasilitas maupun mutu sivitas akademika yang lain, seperti tenaga pengajar, peneliti, dan penulis.

Gerakan Islam

Din Syamsuddin ketika membuka Pusat Kajian di Universitas Hamka Jakarta beberapa waktu lalu mengakui pentingnya penguasaan teknologi dan pengembangan sikap tasmuh (toleransi). Apalagi dunia Islam saat ini sedang menghadapi kritik besar atas pemikiran yang dianggap kurang maju.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan dakwah dengan semangat pembaruan, juga menuai kritik karena kurang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Bahkan, Muhammadiyah juga dikritik karena mengalami kejumudan pemikiran. Meski zaman berganti, dan setiap generasi melahirkan pemimpinnya sendiri, gerakan Islam masih sering dihadapkan dengan persoalan klasik yang hampir tidak pernah usai, yakni pemikiran keagamaan itu sendiri.

Tidak heran jika tokoh Muhammadiyah, Ahmad Syafii Ma’arif, sering mengatakan, pemahaman keagamaan Islam di Indonesia sering kali menjadi sumber pertentangan dalam internal Muslim yang tak seharusnya terjadi. Akibatnya, komunitas Islam lebih senang menyerang komunitas Islam yang lain, hanya karena merasa pemahamannya sendiri yang benar. Bahkan, sampai menghalalkan darah Muslimin yang lain, hanya karena tidak bisa menerima ada komunitas Muslim lain yang pemikirannya dianggap liberal.

Dalam pemikiran keagamaan, Presidium Intelektual Muda Muhammadiyah Pradana Boy dalam terbitan Maarif Institute menyebutkan, sebagai gerakan Islam modernis, modernitas Muhammadiyah terletak pada prinsip tajdid, ijtihad, dan kembali ke Al Quran dan sunah.

Tajdid menandai modernitas Muhammadiyah karena gerakan ini sebagai respons terhadap gejala kemandekan berpikir di kalangan umat Islam. Ijtihad, di samping sebagai respons, juga ditujukan untuk membuka wawasan umat Islam bahwa pintu pemikiran masih terbuka. Prinsip kembali ke Al Quran dan sunah mengindikasikan bahwa Muhammaidyah tidak secara penuh pada pemaknaan atas Al Quran dan sunah yang dihasilkan ulama masa lampau.

Prinsip kembali ke Al Quran dan sunah lebih dimaknai dalam arti pembebasan. Sebuah sikap di mana ajaran dasar Al Quran diambil sebagai inspirasi dan etika dasar dalam menghadapi situasi tantangan zamannya. Pertanyaannya, jika makna ini dipahami gerakan Muhammadiyah, lalu mengapa ulama besar belum juga muncul?

Kritik terhadap relevansi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis pun kian nyaring. Pradana menyebutkan, keraguan terhadap modernisme Muhammadiyah kian kentara. Apalagi, saat sejumlah fakta kontemporer dihadirkan, antara lain kian resistennya Muhammadiyah dalam menerima gagasan baru yang berkembang di ranah pemikiran keagamaan, seperti pluralisme agama, multikulturalisme, metodologi pengembangan pemikiran Islam, dan kesetaraan jender. Memang sulit mengelak saat Muhammadiyah disebut sedang mengalami penguatan konservatisme keagamaan.

Padahal, sebelum konservatisme ini dituduhkan, intelektual Islam Abdul Munir Mulkhan melihat kultur Islam Indonesia pada dasarnya Muhammadiyah. Ketika orang masih menabukan sekolah, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan justru mendirikan sekolah. Bahkan, model pengelolaan masjid, manajemen institusi, dan momen keagamaan ini tak lagi menjadi ciri Muhammadiyah karena semua komunitas Islam di Indonesia banyak yang turut melakukannya.

Namun, mengapa ulama sekaliber Hamka tidak muncul?