Selasa, 14 Oktober 2008

Muhammadiyah, "Raksasa" Pendidikan yang Gamang



danu
MUHAMMAD Darwisy yang dilahirkan pada tahun 1868 dari keluarga KH Abu Bakar, ulama terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, sesungguhnya bukan seorang guru. Latar belakang kehidupannya adalah seorang pendakwah. Namun, semangat pembaharuan yang bergelora dalam jiwanya, apalagi setelah melihat kemunduran umat Islam di Tanah Air kala itu, mendorongnya terus mengembangkan agama lewat pengajaran.

Darwisy menyadari pendidikan merupakan sarana menumbuhkan ide-ide pembaharuan untuk "menyelamatkan" umat dari kemunduran. Karena itu, ketika "modal"-nya sudah cukup ia mendirikan Madrasah Muallimin (sekolah agama untuk pria) maupun Madrasah Muallimat (sekolah agama untuk wanita). Diharapkan dari kedua sekolah itu dilahirkan puluhan pendakwah yang mampu semakin menguatkan pembaharuan Islam.

Ketika tahun 1912 dia mendirikan persyarikatan yang dinamai Muhammadiyah, Darwisy yang berganti nama menjadi Ahmad Dahlan pun mengonsentrasikan bidang garapannya pada pendidikan dan pengajaran. Karena pemerintahan Hindia Belanda membatasi kegiatan Muhammadiyah, dia menyiasati dengan membuka lembaga pendidikan yang bernama lain, bukan Muhammadiyah.

Akan tetapi, apa pun namanya lembaga pendidikan yang diprakarsai KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya terus berkembang. Apalagi, masyarakat Indonesia yang masih dijajah Hindia Belanda memang sangat merindukan adanya lembaga pendidikan bumi putera yang memperhatikan dan memperjuangan nasib mereka. Lembaga pendidikan Muhammadiyah kala itu tak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi mengembangkan semangat pembaharuan dan kemerdekaan.

Bahkan, setelah Ahmad Dahlan wafat, serta digantikan KH Ibrahim dan generasi penerus kepemimpinan Muhammadiyah lainnya, lembaga pendidikan "komunitas matahari"-sebutan bagi anggota Muhammadiyah yang berdasarkan lambang organisasi yang berbentuk matahari dengan sinarnya dan lagu "kebangsaan"nya yang berjudul "Sang Surya"-terus berkembang. Pendidikan menjadi core bussiness Muhammadiyah, selain bidang kesehatan dan pelayanan sosial.

Oleh masyarakat, Muhammadiyah sangat diidentikkan dengan lembaga pendidikan dan kesehatan. Gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar-nya sangat efektif dijalankan lewat pendidikan dan kesejahteraan sosial.

***

MUHAMMADIYAH kini berusia hampir 90 tahun. Mereka sudah 44 kali menggelar muktamar-pada periode awal pergerakan, kongres/muktamar dilakukan setiap tahun, lalu dua tahun sekali, tiga tahun sekali dan akhirnya lima tahun sekali-dengan menghasilkan kepemimpinan yang berkesinambungan. Lembaga pendidikan yang didirikan Muhammadiyah pun terus berkembang.

Bahkan, kini boleh dikatakan Muhammadiyah merupakan "raksasa" pendidikan. Jumlah lembaga pendidikan yang mereka miliki barangkali hanya dapat dikalahkan oleh negara. Lembaga pendidikan Muhammadiyah pun menyebar dari Sabang sampai Merauke dengan jenjang yang sangat beragam, mulai dari taman kanak-kanak (TK) yang dikelola oleh Aisyiah-organisasi istri Muhammadiyah-sampai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program strata tiga (doktoral).

Dalam buku Muhammadiyah an Islamic Movement in Indonesia yang diterbitkan Pengurus Pusat Muhammadiyah, diungkapkan jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia dari TK sampai perguruan tinggi berjumlah tidak kurang dari 9.500 unit (lihat tabel). Selain seluruh jenjang pendidikan sudah dirambah, lembaga pendidikan Muhammadiyah pun amat beragam mulai dari sekolah umum, sekolah Al Quran, dan kejuruan yang amat spesifik.

Jumlah maupun ragam lembaga pendidikan Muhammadiyah kemungkinan besar terus akan bertambah, sebab seperti dilaporkan Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) dalam Muktamar Ke-44 Muhammadiyah yang berakhir hari Selasa lalu, hampir setiap daerah mengajukan pembentukan sekolah maupun perguruan tinggi baru. Dan, dengan aset yang sangat besar-sebagai gambaran aset Majelis Pendidikan Tinggi (Dikti) Muhammadiyah pada tahun 1996 tidak kurang dari Rp 149,61 milyar-persyarikatan tidak sulit memenuhi permintaan sejumlah daerah tersebut.

Apalagi, dari sisi sumber daya manusia (SDM) Muhammadiyah juga tidak berkekurangan. Jumlah kader dan simpatisannya sampai muktamar Ke-44 lalu tercatat tidak kurang dari 28 juta. Di antara mereka ada puluhan yang menyandang gelar guru besar bidang pendidikan, seperti Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafi'i Maarif dan Prof Dr Amin Abdullah, selain ribuan kader lain yang bergelar master dan sarjana atau diploma.

Tentu, ini potensi besar untuk mengembangkan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ketika membuka dan menutup Muktamar Ke-44 Muhammadiyah mengakui pula potensi besar persyarikatan ini yang tak "tertandingi" organisasi yang mengelola lembaga pendidikan swasta lain. Sebab itu, Presiden dan Wapres meminta Muhammadiyah tak berhenti berperan dalam pengembangan SDM di Indonesia.

Pemerhati sosial Umar Shibab yang pernah mengenyam pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mengakui peran besar persyarikatan itu dalam mengembangkan keimanan, ketakwaan, dan rasa kebangsaan. "Saya tidak pernah melupakan pelajaran kemuhammadiyahan yang selalu diajarkan di sekolah Muhammadiyah. Pelajaran itu memberikan pencerahan," paparnya dalam sebuah tablig akbar menjelang Muktamar Ke-44 Muhammadiyah di Jakarta, pekan lalu. Kemuhammadiyahan adalah mata pelajaran "muatan lokal" di lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Sedang pemerhati pendidikan Mochtar Buchori, dalam buku Muhammadiyah dalam Sorotan (1993) mengakui, memperoleh dasar untuk memahami dunia modern dari sekolah Muhammadiyah yang dienyamnya lima tahun. "Landasan untuk mencintai demokrasi saya rasakan dari sekolah Muhammadiyah. Karena di sekolah inilah saya merasa "dibebaskan" dari suasana kultural politik yang bersifat kolonial feodalistik," ungkap mantan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah, Jakarta tersebut.

Walaupun demikian, Umar Shihab dan Mochtar Buchori mengakui terdapat sejumlah kekurangan dari penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah. Hanya saja, sejumlah kekurangan itu memang tak mengurangi arti pengabdian dan pengembangan umat yang telah dilakukan Muhammadiyah selama ini.

***

DALAM bidang pendidikan, Muhammadiyah tumbuh menjadi organisasi yang besar dan rimbun. Tidak hanya banyak orang yang menggantungkan pengembangan pribadi serta pengetahuan anak-anaknya kepada institusi pendidikan Muhammadiyah, tetapi ribuan kader Muhammadiyah hidup dari pengembangan pendidikan tersebut. Jika tidak memperhatikan etika dan moralitas, Muhammadiyah memang amat mungkin tergelincir dan terjebak dalam industrialisasi pendidikan.

Akan tetapi, untunglah sampai hari ini pendidikan Muhammadiyah masih amat memperhatikan moralitas tersebut. Sekolah atau perguruan tinggi Muhammadiyah, secara nasional masih diakui sebagai institusi pendidikan yang menjunjung tinggi akhlak dan tidak mengabaikan pula kebutuhan pendidikan bagi kaum duafa (miskin). Karena itu, seperti dilaporkan Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Prof Dr HM Yunan Yusuf, majelisnya masih sering kekurangan pendanaan.

Kelemahan di bidang pendanaan ini, lanjut Yunan, mengakibatkan sulitnya pendidikan Muhammadiyah mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan. Keterbatasan ini pun membuat lemahnya kemampuan pendidikan Muhammadiyah menghadapi persaingan dalam meningkatkan mutu kualitas pendidikan.

Pada Muktamar Ke-44 Muhammadiyah lalu, selain melaporkan adanya peningkatan jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah, sejumlah PDM dan PWM juga mengungkapkan kegamangannya menghadapi tantangan pendidikan ke depan. "Sekolah Muhammadiyah memang banyak, tetapi sampai sekarang harus diakui, kualitas pendidikan Muhammadiyah masih kalah dibanding dengan sekolah nonmuslim. Padahal, sebenarnya Muhammadiyah mempunyai sumber daya yang tidak kalah dibanding mereka," tandas Burhanuddin, muktamirin dari Nusatenggara Timur (NTT).

Bukan hanya di tingkat sekolah-dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas-perguruan tinggi Muhammadiyah pun dinilai belum mampu "mengimbangi" perguruan tinggi swasta lain. "Ironis, perguruan tinggi Muhammadiyah ketinggalan. Padahal, Muhammadiyah mempunyai banyak ahli kependidikan. Ini tantangan Muhammadiyah," tegas Burhanuddin lagi.

Syafi'i Maarif mengakui pula, kualitas pendidikan Muhammadiyah secara keseluruhan memang masih relatif rendah. Itu karena jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sangat besar, sehingga memang tidak gampang untuk meratakan kualitas pendidikan seperti yang diharapkan masyarakat. Namun, sebenarnya ada sejumlah sekolah maupun perguruan tinggi Muhammadiyah yang kualitasnya patut dibanggakan.

"Dibanding rata-rata sekolah negeri di luar Jawa misalnya, kita (sekolah Muhammadiyah -Red) sebenarnya mutunya tidak rendah. Tetapi harus diakui, bila dibandingkan sekolah yang excellent di Jawa memang sekolah Muhammadiyah mutunya masih kalah. Hanya ada satu-dua sekolah Muhammadiyah yang bisa diandalkan," ujar Guru Besar Sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)-dahulu IKIP Negeri Yogyakarta -tersebut.

Syafi'i mengakui, kurangnya kualitas pendidikan Muhammadiyah- terutama di tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas-memang menimbulkan keprihatinan pada keluarga besar Muhammadiyah. Karenanya dibutuhkan komitmen yang luar biasa untuk meningkatkan kualitas itu. Dan, itu merupakan tantangan kepengurusan baru Muhammadiyah periode 2000-2005 yang dipimpinnya.

"Saya belum tahu, siapa nanti yang memegang majelis Dikdasmen. Itu hal yang penting sekali. Saya berharap yang memegang itu tidak saja betul-betul punya komitmen, tetapi ia juga mengerti pendidikan secara baik," harap Ketua PP Muhammadiyah.

Dari pernyataannya, PP Muhammadiyah memang berniat meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan persyarikatan tersebut. Sekalipun ini diakui tidak mudah, karena sering paradigma kuantitas tidak selalu berjalan seiring dengan kualitas. Jumlah besar pasti diikuti dengan sejumlah "produk" yang tercecer atau gagal yang akan membuat kualitas produk secara keseluruhan menurun.

Jika Muhammadiyah lebih menitikberatkan kualitas, mungkin saja sejumlah sekolah/perguruan tinggi yang dinilai tak berkembang harus "dirasionalisasi". Namun, misi mencerdaskan rakyat dan menyebarkan semangat pembaharuan-yang dapat dijalankan melalui pendidikan- seperti yang diamanatkan KH Ahmad Dahlan bisa terlupakan. Idealnya, memang lembaga pendidikannya banyak dan berkualitas tinggi. (Imam Prihadiyoko/Pepih Nugraha/Tri Agung Kristanto)

1 komentar:

gunsa1949 mengatakan...

Saya pernah menjabat Sekretaris Majelis ekonomi Muhammadiyah Jawa Timur sejak didirikan antara tahun 1987 - 2000. Ditahun 2010 saya menemui Majelis Ekonomi ternyata telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi nyata dan para pengusahanya masuk tingkat menengah. Demikian lembaga pendidikannya sudah berkembang jauh dan menjadi sekolah pilihan. Namun masih belum mampu mengkonsolidasikan kekuatan sosial ekonominya menjadi group setara Jaringan Organisasi Foundation yang dapat mendistribusikan kemajuannya secara merata.