Minggu, 13 Januari 2008

ISLAM AUTENTIK MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN ?



Suara Muhammadiyah

Prestasi Nabi Muhammad yang tercatat dengan tinta emas sejarah adalah; dengan melaksanakan ajaran Islam yang autentik mampu mengubah masyarakat jahiliyah yang biadab menjadi masyarakat Islam yang beradab. Proses dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam yang beradab ini memerlukan waktu 23 tahun. Tidak berlangsung secara instan. Ada tahapan-tahapan yang memungkinkan ajaran dan nilai-nilai Islam itu dicerna dan diamalkan oleh pemeluknya. Kemudian, hasilnya nyata. Hadirlah masyarakat yang ditandai oleh kemakmuran dan keadilan, ditandai oleh dijunjung tingginya nilai-nilai kemanusiaan. Tauhid dipegang teguh yang perwujudannya diperkaya dengan berbagai amal individual, amal sosial dan amal kultural yang optimal. Iman dan amal shalih menyatu, iman pun menjadi produktif bagi kehidupan.

Inilah yang mampu mengubah bangsa Arab yang semula tidak diperhitungkan,
ketika mengamalkan ajaran Islam autentik menjadi bangsa yang diperhitungkan oleh dunia global pada waktu itu.
Proses internalisasi ajaran dan nilai-nilai Islam ini berlangsung dinamis dan interaktif. Dalam tarikh Islam dan sirah Nabi tercatat bagaimana upaya mewujudkan Islam autentik itu sangat kaya dengan dialog yang juga kaya makna. Tantangan riil dan aktual pada zaman itu mampu dijawab oleh ajaran Islam autentik, Islam yang benar-benar asli, berasal dari Allah SwT dan sampai kepada umat manusia dengan perantaraan Nabi Muhammad saw. Para sahabat Nabi yang berasal dari berbagai suku dan bangsa yang memiliki karakter berbeda dapat berbaur dan menyatu dengan kehidupan yang diwarnai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam ini. Berkat pengamalan Islam yang autentik pula, masyarakat Islam pada waktu itu dapat memayungi dan mengayomi bermacam-macam komunitas dan agama lain lewat kesepakatan damai yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah. Sebuah piagam perdamaian monumental yang dibuat ratusan tahun sebelum Magna Charta dirumuskan di Inggris.
Sepeninggal Nabi Muhammad, di bawah kepemimpinan empat sahabat besar bergantian yang dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin upaya untuk mengamalkan Islam autentik terus dilakukan. Pada saat itu wilayah pemeluk Islam makin meluas dan persoalan yang dihadapi Khulafaur Rasyidin makin rumit. Empat sahabat besar yang memimpin umat secara Khalifah (dengan baiat oleh umat) itu menghadapi persoalan baru yang pada zaman kehidupan Nabi belum ditemui. Proses ijtihad pun dimulai, agar Islam autentik tetap mampu menjawab tantangan zaman yang selalu baru.
Begitulah, pasca era Khulafaur Rasyidin yang dikenal dengan munculnya era Daulah (Dinasti Kerajaan) Islamiyah, diawali dengan Dinasti Bani Umayah, Bani Abasiyah, Bani Umayah di Andalusia, dan Bani-bani lain di Persia, India, Asia Tengah, Asia Tenggara, pun umat Islam tetap berupaya mengamalkan Islam autentik. Tentu masalahnya menjadi amat rumit ketika spirit Islam autentik ini kemudian menjadi kabur di bawah pemerintahan para raja dinasti para Bani itu, sehingga ketika zaman besar terbaru muncul yang disebut sebagai era modern, umat Islam yang ratusan tahun berjaya kemudian berada di bawah penjajahan bangsa Barat yang Kristen. Para pejuang Islam yang berusaha menggali spirit Islam autentik mencoba mengubah instrumen perjuangannya dalam bentuk yang lebih tepat. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan mempergunakan instrumen budaya berupa lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, lembaga penerbitan dan lembaga pelayanan sosial. Islam autentik berakar pada tauhid dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah pun diperkaya dengan tafsir aktual dan ijtihad aktual sehingga terbukti dapat mewarnai kehidupan umat dan bangsa Indonesia dan bangsa lain sekarang ini.
Pilihan pada Islam autentik yang kaya makna, kaya amal, kaya ilmu dan kaya tanda inilah yang agaknya perlu senantiasa dilakukan sekarang ini. Ketika zaman makin bergerak cepat dan persoalan makin rumit dan mengglobal, kita tidak cukup mengandalkan pada pemahaman agama yang miskin makna, miskin ilmu, miskin amal dan miskin tanda. (Bahan dan tulisan: tof)

Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif, MA: ISLAM PURITAN DAN MODERAT MASIH BERADA DI BURITAN PERADABAN


Suara Muhammadiyah

Salah satu gagasan umat Islam untuk membangun perabadan Islam pasca jajahan kolonial adalah kembali pada autentisitas Islam. Namun bentuk dari Islam autentik muncul dalam wajah yang beragam, satu sisi ada yang menganjurkan kepada Al-qur’an dan Sunnah secara tekstual dan menolak segala bentuk peradaban Barat, yang kemudian memunculkan sikap keberislaman yang ekstrem dan fundamental. Pada sisi lain autentisitas Islam direspon dengan upaya penyatuan tradisi Islam dengan modernitas Barat secara kritis, yang kemudian melahirkan kelompok Islam yang moderat-progresif. Masing-masing kelompok sama-sama mengklaim sebagai Islam autentik. Lantas bagaimanakah bentuk Islam Autentik itu sebenarnya? Dan mungkinkah untuk konteks keindonesiaan ditumbuhkembangkan? Apa Peran Muhammadiyah? Bagaimana langkah-langkahnya? Berikut kita ikuti wawancara Deni al Asy’ari dari SM dengan Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif,MA, Penasehat PP Muhammadiyah, Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Apakah betul bahwa jejak penjajahan kolonial terhadap negara Muslim merupakan faktor pendorong umat Islam untuk menumbuhkan Islam Autentik?
Jadi yang pertama harus kita lihat begini, bahwa cara kita menyalahkan penjajahan terhadap kemunduran Islam itu boleh saja, akan tetapi kita harus jujur mengatakan, mengapa umat Islam itu dijajah? Sesungguhnya umat Islam itu memang pantas untuk dijajah, karena di dalam Islam itu sendiri sudah terjadi pembusukan-pembusukan sebelumnya. Misalnya kita sudah tidak lagi responsif terhadap perubahan zaman. Bahkan secara kultural, saya lihat sampai hari ini umat Islam itu masih berada dalam jajahan. Walaupun sesudah Perang Dunia Kedua beberapa negara Muslim mendapatkan pendidikan politik. Tapi sebagian besar umat Islam itu masih belum menemukan jati dirinya sampai hari ini, yaitu bagaimana Islam yang autentik itu dihadirkan, tapi usaha ke arah itu memang kini terus berjalan.

Masing-masing kelompok Islam cenderung mengklaim kelompoknya sebagai Islam autentik, bagaimanakah bentuk atau visi dari Islam autentik ini sebenarnya?

Jadi Islam autentik itu adalah Islam yang mampu menawarkan peradaban alternatif kepada dunia modern yang sekuleristik dan ateistik. Dalam Al-Qur’an banyak sekali terdapat ayat yang mengatakan Rahmatan Lil’alamin yang salah satu bunyinya “Kami tidak mengutus engkau Muhammad kecuali sebagai Rahmat bagi sekalian Alam”. Rahmat bagi sekalian alam ini yang menjadi visi dan misi Islam Autentik itu. Jadi Islam harus mampu memberi rahmat bagi sekalian alam, kepada seluruh makhluk, kepada seluruh manusia, termasuk kepada mereka yang tidak percaya kepada Tuhan sekalipun. Namun Islam autentik yang seperti definisi dan memiliki visi rahmatan lil’alamin di atas itu bisa dikatakan sulit ditemui saat sekarang.

Mengapa Islam autentik itu sulit ditemui di dunia Islam saat sekarang ?
Karena ulah sebagian umat Islam itu sendiri, jadi kalau anda baca bukunya “Islam dan Demokrasi” karya Fatimah Mernissi misalnya, walaupun tidak sepenuhnya teoritik, karena ada pengalaman perjalanannya di beberapa negara Muslim, dia melihat bahwa Islam yang autentik itu sudah dibungkus oleh budaya politik despotik. Peristiwa ini terjadi setelah munculnya Daulah Umayyah, kemudian diteruskan oleh Daulah Abbasiyah. Jadi pesan egalitarian yang sebenarnya menyatu dengan tauhid sudah dimusnahkan oleh sikap despotik tersebut. Memang kita akui pada masa itu ada sedikit yang positif atau kemajuannya, seperti kebudayaan maju, ilmu pengetahuan maju, filsafat maju, tapi pada sesungguhnya Islam tidak mungkin utuh sebagai Islam autentik. Oleh karenanya saya pernah menulis, bahwa peradaban termasuk peradaban Islam itu sendiri dibangun di atas tengkorak saudaranya sendiri. Misalnya Abbasiyah dibangun di atas tengkorak Umayyah, dan Umayyah dibangun di atas tengkorak keluarga Ali. Inilah sejarah dalam dunia Islam. Walaupun demikian yang terjadi, kita tidak boleh tenggelam disini. Sebab membaca masa lampau harus dilakukan dengan sikap kritis, yaitu dengan mengambil pelajaran yang sebaik-baiknya, dan kita tolak mana yang sudah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Jadi, singkatnya Islam autentik itu adalah Islam yang dibenarkan oleh Al-Qur’an dan oleh nilai-nilai kenabian (propethic value). Setidaknya menurut saya ini sebagai bentuk parameter Islam autentik tersebut.

Lantas bagaimana dengan kehadiran dua kutub Islam (Islam ekstrem dan moderat) yang sama-sama mengklaim sebagai Islam Autentik. Apakah mereka sudah berhasil?

Munculnya dua kutub Islam sebagaimana yang pernah disinggung oleh Khalid Abu El Fadl yaitu Islam puritan (ekstrem) dan Islam moderat yang masing-masing kelompok berada di pihak yang benar itu betul adanya demikian. Sebab bagi yang puritan, kembali pada Islam autentik itu adalah kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual. Kemudian mereka melihat Islam itu sebagai perangkat hukum secara total, dan bagi mereka kemerdekaan itu tidak penting, demokrasi, hak asasi ditolak, karena itu berasal dari Barat. Sementara Islam yang moderat, itu tidak ambil pusing dari mana sumbernya, selama prinsip-prinsip demokrasi itu bisa menegakkan keadilan, menegakkan persamaan, menegakkan persaudaraan dan tidak bertentangan dengan Islam yang autentik, maka akan diterima. Sebab bagi mereka Islam itu adalah yang bisa menghargai individu, dan memandang manusia itu sebagai anak Adam yang dimuliakan di sisi Allah.
Tapi satu kenyataan yang tidak dapat dikatakan baik adalah, bahwa baik kelompok Islam puritan maupun kelompok moderat, harus mengakui secara obyektif dan jujur, bahwa mereka jika ditinjau dari perspektif rahmatan lil’alamin masih berada di buritan peradaban. Kedua-duanya sama-sama tidak menentukan jalannya peradaban hingga sampai saat ini. Oleh karena itu, ke depan mari kita baca diri kita dengan benar, berkaca baik-baik dan berhenti saling menyalahkan. Berdiskusi boleh, berdebat boleh tapi jangan saling memusuhi. Menurut saya itu langkah yang terbaik saat sekarang dilakukan.

Bagaimana menghindari pengutuban Islam yang sama-sama mengklaim sebagai Islam autentik?
Saya rasa tergantung pendidikan juga, tapi yang penting adalah komunikasi harus dijaga, dan dilakukan secara jujur. Dengan niat yang tulus tanpa berprasangka buruk, kemudian kita buang jauh-jauh sikap subyektivisme sejarah dan kita buang pula kepentingan pribadi. Jadi, kita duduk dan berdiskusi bersama dengan menekankan aspek kejujuran dan niat yang tulus. Kemudian sama-sama bergerak ke arah rahmatan lil’alamin.

Untuk konteks Indonesia Islam ekstrem ini secara kuantitas relatif kecil, tapi secara kenyataan gaungnya melebihi Islam moderat, bagaimana ini bisa terjadi?
Ini sebabnya karena gerakan keagamaan yang arus besar seperti Muhammadiyah dan NU itu sudah keberatan “sungu”. NU dan Muhammadiyah itu sudah terlalu keberatan beban, sehingga tidak sempat lagi menyantuni orang-orang yang sedang “gelisah”. Walaupun orang-orang yang kelompok ekstrem ini tidak punya dasar yang kokoh sebenarnya. Dan ini menurut saya bukan gejala baru, tapi bagaimanapun juga, untuk menyikapi fenomena yang demikian harus dengan kearifan, dan kita tetap berprinsip bahwa jangan sampai mereka diadili dengan kekerasan fisik, kecuali mereka melanggar hukum.

Bagaimana peran Islam moderat (NU dan Muhammadiyah) untuk menciptakan ruang agar perannya lebih tampak daripada kelompok Islam ekstrem?
Baik Muhammadiyah ataupun NU, jangan memikirkan umatnya sendiri, dua organisasi besar ini harus bisa keluar dari “kandang”. Akan tetapi memang kadang-kadang ini sangat sulit sekali dilakukan, karena keberatan “sungu” tadi. Muhammadiyah sibuk dengan lembaga pendidikan dan rumah sakitnya, sedangkan NU sibuk dengan pesantrennya. Sehingga tidak sempat lagi melihat keluar. Memang dua organisasi besar ini ibarat gajah setengah lumpuh. Sehingga mereka ini tidak sempat lagi menyantuni kegelisahan orang-orang terhadap pemikiran keagamaan.

Jikalau demikian, maka bisa disimpulkan bahwa kemunculan kelompok Islam ekstrem di Indonesia merupakan kegagalan dari ormas Muhammadiyah dan NU?
Saya tidak mau menyebutkan bahwa munculnya kelompok Islam ekstrem itu sebagai bentuk kegagalan Muhammadiyah dan NU, tapi saya melihat ini sebagai akibat dari keterbatasan peran yang dilakukan oleh dua ormas tersebut.

Apa peran strategis yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah sendiri untuk menumbuhkan Islam yang Autentik itu di Indonesia?
Saya kira yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah adalah dengan belajar secara sungguh-sungguh, pahamilah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi itu secara mendalam, dengan mengambil pesan moral atau benang merah dari Al-Qur’an. Sehingga semua cita-cita, semua gerak harus diarahkan pada pesan-pesan moral tersebut, dan saya rasa itu bisa dilakukan. Kemudian kita betul-betul harus ikhlas, sebab tanpa keikhlasan agama itu tidak ada. Ini kadangkala kita sulit melakukannya, dalam kenyataannya tampak kalau kita itu tidak ikhlas, tapi kita pakai ayat-ayat lain yang bisa dimanipulasi sehingga menunjukkan bahwa kita itu ikhlas.l Dn

Al-Amin


Oleh : Haedar Nashir

Kenapa para Nabiyullah ternama bergelar Al-Amin? Sosok yang sangat tepercaya. Nabi Muhammad diberi predikat al-amin jauh sebelum diangkat sebagai Rasul, ketika berhasil mempersatukan elite dan kabilah Quraisy yang berselisih tatkala membangun Ka'bah. Putra Abdullah bin Abdul Muthalib itu telah menjadi figur baru yang memberikan harapan cerah bagi masyarakat Arab, kendati di belakang hari harus berhadapan dengannya karena membawa agama baru, Islam.

Sejarah akhirnya mencatat, dengan sifat al-amin dan risalah kenabiannya, Muhammad berhasil membebaskan dan mencerahkan seluruh masyarakat di jazirah Arabia, sekaligus menjadi sosok panutan seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Nabi kekasih Tuhan ini benar-benar menjadi pribadi dan pemimpin dunia yang memancarkan uswah hasanah. Lebih dari itu, Muhammad SAW bahkan telah menorehkan Islam sebagai agama rahmatan lil-'alamin. Pembawa agama rahmat bagi semesta alam.

Musa alaihissalam disebut pula qawwiy al-amin. Sosok Nabi yang kuat sekaligus tepercaya. Dengan sikap tegas dan kokoh pendirian, Musa juga menjadi sosok yang amanah. Nabi putra Imran bin Qahits bin Lawi bin Ya'qub ini berhasil meruntuhkan rezim super-otoritarian Fir'aun dan membangun peradaban baru Bani Israil yang beriman kepada Allah.

Melalui Musa yang qawwiy al-amin itu, Islam hadir sebagai agama pembebasan. Pembongkar segala bentuk penindasan dan pembelengguan hidup umat manusia dalam kungkungan rezim kafir dan paganisme. Menjadi Nabi pembawa misi perjuangan kaum dhu'afa dan mustadh'afin melawan kedigdayaan rezim diktatorial Firaun yang borjuis dan penindas.

Yusuf alaihissalam pun bergelar "al-makin al-amin", begitu julukan raja Mesir Rayyan Bin Walid kepadanya. Yakni sosok manusia yang memperoleh jabatan tinggi tetapi tepercaya. Tuhan bahkan memberi Yusuf predikat "al-hafid" dan "al-'alim". Nabi kelahiran kota Fadan Aram itu adalah Nabi pemegang jabatan publik yang cakap atau mampu memelihara jabatan yang diembannya sekaligus tepercaya. Nabi Muhammad bahkan menyebut Nabi Yusuf sebagai "al-karim ibn al-karim", sosok mulia dari anak keturunan yang mulia.

Dengan sifat cakap dan amanah itulah Nabiyullah nan tampan dan murah hati itu berhasil membawa rakyat dan negeri Mesir menjadi makmur, aman, dan damai. Nabi putra kinasih Ya'qub alaihissalam itu adalah sosok negarawan teladan yang mampu mengubah sebuah bangsa dan negara dari bencana kelaparan dan kekeringan menjadi gemah ripah lohjinawi. Dari Nabiyullah yang satu ini risalah Tuhan ditransformasikan menjadi agama yang menebar etos kemakmuran di muka bumi ini.

Kita sedikit berandai-andai. Bagaimana jika negeri Indonesia tercinta ini dipimpin oleh sosok-sosok elite pemangku jabatan publik yang memiliki sifat al-amin? Para pemimpin pemerintahan dan tokoh-tokoh wibawa yang amanah. Sosok-sosok yang tepercaya secara lahir dan batin. Tepercaya pikiran dan tindakannya. Amanah dalam segala kebijakannya ketika mengurus negara dan hajat hidup publik. Termasuk amanah dalam memelihara dan melaksanakan janji yang diikrarkan ketika kampanye.

Jika para pemimpin dan elite negeri tercinta yang terhormat itu mampu menghiasi dirinya dengan sifat-sfat al-amin, sungguh beruntung bangsa Indonesia yang sudah merdeka 62 tahun ini. Namun jika menyaksikan gelagat umum, tampaknya masih jauh panggang dari api. Sifat amanah atau al-amin itulah yang kini terasa hilang dari para elite publik di negeri ini, kendati tentu saja selalu ada yang tersisa dan masih amanah.

Tengoklah betapa banyak urusan serba tertunda dan kian ruwet. Bila menyangkut keluhan dan pengaduan rakyat kecil seing lambat bahkan terabaikan untuk diselesaikan, sebaliknya jika menyangkut kepentingan kelas papan atas seringkali ringan penyelesaiannya. Malah muncul ironi, para elite politik lebih responsif atas urusan dirinya seperti menaikkan gaji dan fasilitas, ketika urusan rakyat yang diwakilinya banyak yang tak terjamah. Para koruptor, perusak kekayaan negara, dan penghancur negeri masih banyak yang berkeliaran dan sebagian malah secara menyolok mata dibebaskan. Semua itu terjadi karena para pemegang kunci jabatan publik tidak amanah, bagaikan pagar makan tanaman.

Eloknya, di negeri yang kian penuh beban ini bahkan para pemimpinnya seolah kelebihan syahwat-kuasa. Mengalami inflasi ambisi yang tumpah-ruah di sejumlah tempat, dari pusat hingga ke daerah-daerah. Dari hari ke hari kita menyaksikan kian bermunculan orang yang mendeklarasikan diri siap menjadi presiden atau wakil presiden. Siap menjadi gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

Alhamdulillah, rupanya negeri ini memang tak akan kehabisan stok para calon pemimpin yang siap untuk memimpin bangsa. Soal apakah nanti benar-benar menjadi pemimpin yang al-amin, tinggal menunggu pembuktian saja. Tinggal menanti dan menagih bukti saja, sambil berdoa semoga pada selamat sampai ke tujuan.

Aroma hasrat kuasa itu bahkan kian menular ke ranah-ranah organisasi-organisasi kemasyarakatan. Termasuk di sebagian para elite dan organisasi kaum muda. Bagaimana saling berlomba merebut dan meretas jalan ke kursi-kursi jabatan publik di pemerintahan. Politik kini jadi panglima sekaligus pesona baru yang menggairahkan para elite ormas kepemudaan. Argumentasinya sangat logis dan indah, bahwa politik itu sangatlah penting dan strategis untuk memecahkan urusan-urusan rakyat, yang tak akan mampu dipecahkan oleh lembaga-lembaga dan alite-elite partikelir.

Hasrat kuasa itu tentu wajar adanya sejauh rasional. Namun selalu ada masalah dengan energi manusia yang satu ini. Potensi ambisi seringkali tumbuh menjadi energi ambisius, lalu mekar menjadi love of power atau gila kuasa. Lantas berlaku hukum israf, keberlebihan. Berkuasa secukupnya berubah menjadi kekuasaan sepanjang hayat. Hasrat kuasa akhirnya tak setara dengan tanggung jawab. Padahal segala sesuatu yang melebihi takaran biasanya tidak baik. Malah bisa menjurus ke penyakit ta'bid 'an siyasiyah, jenis penghambaan diri pada nafsu kuasa. Sebelum berkuasa serba siap dan seolah amanah, namun setelah berkuasa malah lupa janji semula.

Negeri ini terlalu banyak inflasi para elite yang siap berkuasa tetapi nihil spiritualisasi kekuasaan. Sebutlah spiritualisasi al-amin. Kini yang diperlukan dari lubuk hati para elite di negeri ini ialah, bagaimana memberi porsi sekadarnya terhadap hasrat kuasa. Sekaligus memperbesar jiwa pengkhidmatan yang lahir dari panggilan nurani yang jernih untuk sebesar-besarnya meringankan beban rakyat yang dipimpin. Hasrat kuasa tak boleh melebihi takaran, apalagi meluap-luap hingga ke gila kuasa. Kekuasaan bukan untuk mengambil, tetapi untuk memberi.

Ada kisah teladan yang dilukiskan Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani. Tersebutlah seorang raja nan arif bijaksana dan cinta rakyat di sekitar jazirah Mesir. Suatu saat sang raja merasa sudah cukup berkuasa dan ingin menjadi orang biasa, serta menumpahkan diri untuk bertaqarrub kepada Allah. Sang raja meninggalkan istana dan tiba di sebuah wilayah kerajaan tetangganya, yang juga dipimpin oleh raja yang bijaksana.

Dalam pakaian orang biasa, sang raja menjadi tukang batu bata dan hasil pekerjaannya dibagi-bagikan sebagai sedekah bagi orang-orang miskin di daerah itu. Perbuatan terpuji itu diketahui raja setempat, sehingga diutuslah pengawal kerajaan untuk menemui sang tukang bata itu. Tapi tukang batu bata yang berhati mulia itu tak mau diajak ke istana, hingga raja sendiri menemuinya.

Nyaris mantan raja yang menjadi rakyat biasa itu melarikan diri dan tidak mau menemui sang raja setempat, hingga akhirnya sang raja yang mengejarnya berhenti dan kemudian turun dari kuda serta meninggalkan pasukannya. "Aku akan berhenti mengejar tuan, tapi ceritakanlah siapa tuan itu sebenarnya?"

Berceritalah tukang batu bata itu kalau dirinya raja yang melengserkan diri dari istana untuk menjadi ahli ibadah dan berkhidmat bagi orang miskin dalam posisi sebagai orang biasa. Setelah mendengar kisah yang seolah tak masuk akal itu, akhirnya raja yang satunya pun memutuskan diri untuk meninggalkan istana dan hidup menjadi rakyat biasa sebagaimana raja pertama yang menjadi tukang batu bata.

Kisah yang dilukiskan Rasulullah itu sungguh kaya makna. Itulah kisah tentang dekonstruksi hasrat kuasa dan kemegahan kekuasaan, yang seringkali lupa akan makna dan fungsinya. Bagaimana para pemegang kuasa melucuti nafsu dan kemegahan kuasanya untuk kemudian berkhidmat sepenuh hati untuk Tuhan dan kemanusiaan. Itulah bentuk spiritualisasi tentang kekuasaan.

Makna lainnya? Rasulullah mengingatkan secara tak langsung. Tak perlu terjerumus pada love of power apalagi ta'bid 'an siyasiyah: cinta kuasa dan menghambakan diri pada hasrat kuasa melebihi takaran. Bila perlu minimalisasi dan nihilkan hasrat kuasa itu hingga ke titik zero. Kata orang Muhammadiyah yang berpikiran moderat: janganlah mengejar jabatan, namun manakala diberi amanah tunaikanlah dengan sebaik-baiknya.

Kalaupun diberi amanah, janganlah menghargai diri berlebihan hingga abai terhadap makna dan fungsi dari jabatan yang diamanahkan. Bahkan harus berani berpikir sebaliknya. Manakala tak akan membuahkan masalahat dan rahmat bagi semesta kehidupan untuk apa menanam benih hasrat kuasa dan menanggung amanah orang banyak.