Minggu, 30 November 2008

Pimpinan MUH Harus Pegang Amanah

Syafii Maarif


Salah satu kunci utama yang mendorong besarnya eksistensi persyarikatan Muhammadiyah hingga kurun waktu sekarang ini adalah, adanya keuletan, kerja keras, keikhlasan serta kemampuan para tokoh dan pimpinan Muhammadiyah dalam membangun dan memelihara trust atau kepercayaan dalam Muhammadiyah. Sehingga apa yang tidak mungkin digapai oleh Muhammadiyah tanpa kita sadari menjadi sebuah kenyataan. Sebab dengan modal kepercayaan yang dibangun oleh para pimpinan dan tokoh Muhammadiyah, pemerintah maupun masyarakat secara luas dengan begitu terbuka dan ringan tangan memberikan berbagai bantuan dalam berbagai aspek demi menunjang peran kemasyarakatan, keagamaan dan kebangsaan Muhammadiyah.
Tentu saja modal kepercayaan yang sudah dimiliki Muhammadiyah ini merupakan harga yang sangat mahal. Lalu bagaimanakah ini bisa terbentuk dalam Muhammadiyah, dan bagaimanakah kita bisa memelihara dan mempertahakannya, serta langkah apa yang bisa kita lakukan untuk menyosialisasikan nilai-nilai trust tersebut kepada generasi Muhammadiyah ke depan? Berikut petikan wawancara Deni al Asy’ari dari SM dengan Prof. Dr. H Ahmad Syafii Maarif, MA, Penasehat PP Muhammadiyah, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, dan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005.

Kebesaran Muhammadiyah sangat terkait dengan keuletan, kerja keras, keikhlasan dan kemampuan para tokoh dan pimpinan Muhammadiyah dalam membangun kepercayaan kepada masyarakat secara luas. Menurut Buya bagaimana kepercayaan ini bisa dibangun?
Menurut saya masalah keuletan, kerja keras, keikhlasan dan membangun kepercayaan yang Anda sebutkan tadi itu sudah menjadi tradisi dalam Muhammadiyah dalam waktu yang sudah cukup lama. Hanya saja sekarang ini perlu adanya peningkatan peran dan kualitasnya. Terutama sekali bagi Pimpinan Muhammadiyah. Mereka ini harus betul-betul pandai memegang amanah dari siapa saja datangnya amanah itu, baik itu dari kalangan Muslim maupun dari kalangan non Muslim. Karena Muhammadiyah itu belum sepenuhnya bisa berdiri sendiri, sebab dalam perkembangannya masih memerlukan bantuan dari berbagai pihak yang kita anggap layak dan termasuk kepada pemerintah sendiri.
Bantuan dari pemerintah ini saya anggap sudah semestinya, sebab Muhammadiyah itu dari segi amal usahanya sangat banyak menolong pemerintah, karena pemerintah sendiri tidak mampu untuk menjalankan UUD 1945 dengan sendirian. Dalam aspek pendidikan dan kesehatan misalnya, pemerintah masih dibantu oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu, semestinya Muhammadiyah itu harus menjadi partner bagi pemerintah dalam menjalankan UUD 1945. Maka, saya pernah katakan bahwa Muhammadiyah tidak perlu hina minta bantuan dengan pemerintah, karena kita juga ikut membantu peran pemerintah dalam negara ini. Jadi, di sini ada hubungan yang bersifat saling tergantung antara pemerintah dengan Muhammadiyah.
Hanya saja Muhammadiyah tentu perlu peningkatan kapasitasnya, bagaimana ke depannya Muhammadiyah bisa menciptakan sistem alternatif dalam bangsa ini, baik melalui pendidikannya maupun kesehatannya. Sebab selama ini kita akui, bahwa Muhammadiyah belum mampu menciptakan sistem alternatif dari pendidikan, kesehatan dan bangsa secara luas. Oleh karenanya, sering saya katakan, bahwa Muhammadiyah dalam sisi itu baru sebatas disebut sebagai gerakan pembantu pemerintah. Walaupun dibandingkan dengan yang lain kita sudah cukup maju, namun dengan itu saja belum cukup. Sebab kalau pemerintah gagal, seharusnya Muhammadiyah tidak gagal, nyatanya kalau pemerintah gagal, maka bangsa ini menjadi gagal, kenapa? Karena Muhammadiyah belum bisa menciptakan sistem alternatif tadi. Itu yang harus dipikirkan oleh Muhammadiyah ke depan. Jadi, harus ada pusat-pusat keunggulan dalam Muhammadiyah yang belum tentu ada bagi pihak lain maupun oleh pemerintah sendiri, sehingga dengan sendirinya tingkat kepercayaaan masyarakat akan bisa tumbuh lebih besar terhadap Muhammadiyah.

Apa yang harus dilakukan oleh pimpinan Muhammadiyah, baik pusat hingga cabang untuk mempraktikkan serta memelihara konsep kepercayaan ini pada Muhammadiyah ?

Untuk mempraktikkan dan memelihara sikap trust ini pimpinan Muhammadiyah harus kembali kepada pokok dasar dari ajaran agama Islam. Islam mengajarkan setiap Muslim untuk memiliki sikap yang bisa dipercaya ketika memegang amanah. Misalnya, dalam mengelola keuangan harus terbuka, transparan dan jelas serta tidak ada agenda tersembunyi di balik itu. Keterbukaan ini penting kita bangun dalam mewujudkan sikap trust tadi, sebab Al-Qur’an sendiri merupakan kitab suci yang terbuka, sedangkan Islam juga dikenal sebagai agama yang juga terbuka. Maka, dalam pengelolaan amal usaha Muhammadiyah yang merupakan amanah dari masyarakat juga harus dilakukan secara terbuka. Misalnya, jika pimpinan Muhammadiyah mendapat bonus dari pelanggan atau bonus yang datang dari hasil usaha dan sebagainya, itu harus terbuka dan kita musyawarahkan secara bersama. Jadi, jangan kita main sendiri dan bersifat tertutup dalam menjalankan amanah dalam Muhammadiyah. Karena sifat ketertutupan inilah biasanya yang akan banyak menimbulkan fitnah, prasangka yang pada akhirnya dapat merusak citra Muhammadiyah.

Kemudian apa bentuk tantangan maupun godaan yang bisa merusak trust dalam Muhammadiyah?
Saya rasa keterbatasan ekonomi bagi pimpinan Muhammadiyah merupakan faktor yang bisa menjadi gangguan dalam memelihara trust dalam Muhammadiyah. Sebab keterbatasan itu kadang-kadang bisa membuat orang lupa, khilaf dan lalai dalam menjaga amanah itu. Jadi menurut saya bagi orang yang dipercaya untuk memegang amanah dalam Muhammadiyah, setidaknya dia sudah bisa untuk survive dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarga mereka walaupun mereka tidak harus kaya, tapi jangan terlalu miskin. Karena kalau kita lihat filosofi zakat dalam Islam itu mendorong umat Islam untuk kaya, sebab dalam ayat Al-Qur’an tidak kita temui satu pun ayat yang memerintahkan untuk menerima zakat, melainkan yang ada adalah perintah untuk mengeluarkan atau membayar zakat. Ini artinya, bahwa kita umat Islam harus kaya, karena dengan kaya kita bisa membantu orang lain.
Makanya, waktu tempo dulu yang memegang kendali dalam Muhammadiyah itu kebanyakan adalah mereka yang berprofesi sebagai pedagang. Kenapa? Karena pedagang itu adalah orang-orang yang merdeka, terbuka dan tidak tergantung dengan belas kasihan orang lain. Tapi, sekarang ini kalau kita cermati memang sedikit berubah, relatif banyak pegawai negeri yang memegang kendali Muhammadiyah. Tapi, yang itu sudahlah, sebab sekarang ini yang terpenting bagi kita adalah bisa memberikan nilai lebih bagi Muhammadiyah ke depan.


Iklim politik kebangsaan kita ke depan semakin menguat, menurut Buya apakah ini akan menjadi tantangan bagi warga Muhammadiyah dalam menjaga dan memelihara trust dalam Muhammadiyah?

Menurut saya memang betul, sebab politik itu memiliki godaan dan tantangan yang sangat menggiurkan bagi banyak orang. Waktu halal bil halal Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 1 Oktober 2008 kemarin saya ingatkan juga kepada pimpinan Muhammadiyah bahwa pemilu 2009 besok jangan ada lagi terjadi persoalan-persoalan seperti pemilu 2004 yang lalu, di mana pimpinan-pimpinan Muhammadiyah karena sebagian mereka yang terlibat dalam kampanye politik, sehingga terjadi perang ayat sesama warga Muhammadiyah yang berbeda haluan. Kalau itu masih terjadi lagi, maka saya katakan, perilaku yang demikian akan sama saja dengan melakukan pengkhianatan terhadap Islam dan terhadap Muhammadiyah.
Jadi, kita harus betul-betul menjaga rumah tangga Muhammadiyah ini dengan baik. Karena rumah tangga kita yang asli itu adalah Muhammadiyah, maka ini harus kita jaga, dan partai politik serta yang lain-lain itu hanya sebagai perluasan lahan kegiatan Muhammadiyah saja. Oleh karena itu, rapat-rapat Muhammadiyah jangan bicara “politik”, bicaralah apa yang menjadi pusat perhatian Muhammadiyah, karena trade mark Muhammadiyah itu sudah sangat jelas, yaitu ke-Islaman, kebangsaan dan ke-manusiaan.
Di samping itu kita juga perlu meningkatkan wawasan dan kemampuan intelektualitas kita. Sebab saya lihat orang Muhammadiyah baik dari pusat hingga daerah sangat kurang yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai, jikalaupun ada, hanya terdapat beberapa saja, dan menurut saya itu masih kurang.

Apakah dengan melihat kondisi Muhammadiyah saat sekarang, Buya optimis akan terpeliharanya sikap trust tadi?
Ya itu jelas, saya masih optimis dan percaya. Hanya saja harus kita akui dalam menjaga amanah ini, harus kita tingkatkan out put-nya kepada publik. Sementara sekarang ini, kalau kita lihat lembaga pendidikan kita masih kalah dengan kelompok-kelompok swasta. Faktanya kelompok-kelompok swasta dalam pendidikannya jauh lebih maju dibanding Muhammadiyah, seperti pendidikan yang digagas oleh Ciputra, menurut saya itu sangat luar biasa. Kemudian kita juga perlu lebih jauh mengembangkan wawasan orang Muhammadiyah. Sebab kita sangat menyadari bahwa dalam konteks wawasan, orang-orang Muhammadiyah itu masih lemah terutama dalam menghadapi berbagai tantangan global sekarang ini. Jadi, ini yang perlu kita tingkatkan dalam upaya membangun trust publik terhadap Muhammadiyah.

Apa upaya dan langkah yang dapat dilakukan untuk menyosialisasikan nilai-nilai trust atau kepercayaan kepada generasi muda Muhammadiyah ke depan ?
Menyosialisasikan nilai-nilai trust itu harus kita berikan dengan contoh, dialog yang terus-menerus antara kelompok orang tua dengan anak-anak muda, kemudian juga perlu diikuti dengan sikap tauladan. Karena sikap tauladan ini menurut saya sangat mahal sekali harganya. Sebab kalau kita memberikan contoh atau tauladan kepada generasi muda itu, maka ia akan bertahan lama, sebab mereka melihat dengan mata kepalanya secara langsung dan secara ‘ainul yakin. Maka, sikap teladan dan contoh harus diutamakan dalam mentransformasikan nilai-nilai trust itu.

Apa yang perlu dibenahi dalam menguatkan dan mentradisikan nilai-nilai trust tersebut dalam Muhammadiyah ?
Saya rasa kita perbaharui niat, untuk apa kita ber-Muhammadiyah. Kita harus betul-betul ber-Muhammadiyah dengan niat ibadah. Tapi, jangan pula niat ibadah ini menjadi klise saja, karena ibadah itu muncul dari hati. Dalam beberapa kesempatan pernah saya ingatkan, bahwa bekerja dalam Muhammadiyah itu memang sangat melelahkan, tapi kalau niat itu tulus dan ikhlas maka ia akan membahagiakan.l Den

Rabu, 19 November 2008

Kepemimpinan Profetik Muhammadiyah


  • Oleh Benni Setiawan

MUNCULNYA nama Dien Syamsuddin dalam bursa Calon Presiden (Capres) 2009-2014 mendapat tanggapan beragam dari warga Muhammadiyah. Ada yang menyatakan bahwa biarkan Bang Dien (begitu dia disapa) maju sebagai capres, itu hak politiknya. Ada juga yang menyayangkan pencalonan itu.

Mereka berpandangan bahwa amanat muktamar di Malang pada 2005 akan tercederai jika ada pimpinan Muhammadiyah maju sebagai presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Dien yang kini resmi diusung oleh Partai Matahari Bangsa (PMB), sebuah partai yang konon lahir dari rahim Muhammadiyah, akan semakin meramaikan perebutan suara warga Muhammadiyah di Pemilu 2009.

Cita-cita warga Muhammadiyah, bahwa kepemimpinan era Dien dapat menjaga jarak dengan partai politik (parpol) atau politik praktis berkesan tinggal gaungnya saja. Hal itu dikarenakan oleh karena —selaian PMB— sudah ada partai yang lebih dulu ada di hati warga Muhammadiyah, sebut saja PAN dan PKS.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kepemimpian Muhammadiyah ke depan cukup mampu menjaga jarak dengan parpol atau politik praktis? Memasuki usia yang semakin senja (96 tahun, 18 November 1912-18 November 2008) Muhammadiyah tampaknya tidak cukup memiliki pemimpinan yang mampu menjaga jarak dengan politik praktis. Pemimpin Muhammadiyah ke depan setidaknya mempunyai jiwa profetis.

Kepemimpinan profetik Muhammadiyah tersebut sebagaimana telah disampaikan oleh Kuntowijoyo (2001) dalam memahami Surat al- Imron: 110. Misi profetik pertama adalah ta’muruna bil ma’ruf, yang diartikan sebagai proses humanisasi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia, mengangkat harkat hidup manusia, dan menjadikan manusia bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya.

Dalam konteks kepemimpinan sekarang, seorang pemimpin dituntut untuk mampu mendayagunakan atau mengoptimalkan potensi yang telah dimiliki oleh kader dengan baik. Potensi kader yang berbeda-beda seharusnya dapat dijadikan modal utama dalam setiap pengambilan program kerja selama lima tahun ke depan.

Humanisasi juga dapat diartikan sebagai proses peremajaan dalam tubuh Muhammadiyah. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) sebagai pengayom pimpian daerah (PD), pimpinan cabang (PC), dan pimpinan ranting (PR), selayaknya memperhatikan (menempatkan) kader-kader muda dalam jajarannya.

Peremajaan itu diperlukan sebagai proses aktualisasi dan regenerasi dalam setiap kepemimpinan. Ketika kader-kader muda sudah tidak lagi mendapatkan penghargaan diri guna mengembangkan potensinya di PWM, maka akan terjadi stagnasi gerakan yang berakibat menghambat laju gerak persyarikatan.

Kedua, tanhauna ’anil munkar. Misi liberasi, yaitu membebaskan manusia dari belenggu keterpurukan dan ketertindasan tersistem. Artinya, kepemimpinan Muhammadiyah ke depan harus mampu menjadi garda depan pencerahan kehidupan bangsa dan bernegara.

Kembangkan Dakwah

Persoalan bangsa dan negara yang semakin rumit menjadi tantangan berarti bagi Muhammadiyah. Ambil contoh, persoalan korupsi yang semakin menggurita. Pemimpin Muhammadiyah mempunyai kewajiban turut serta mengembangkan dakwah nahi munkar dengan mengatakan tidak untuk korupsi.

Korupsi adalah perbuatan yang dapat merugikan orang banyak. Perilaku korupsi hanya akan membawa kepada kesengsaraan dan ketidakadilan yang pada ujungnya membuka kembali strata sosial yang telah ditutup rapat.

Ketiga adalah tu’minuna billah. Misi transendensi, yaitu manifestasi dari misi humanisasi dan liberasi. Artinya, transendensi adalah kegiatan sadar bahwa manusia adalah hamba Tuhan yang harus beribadah secara vertikal maupun horizontal. Transendensi juga berarti sebagai kesadaran ilahiyah yang mampu menggerakkan hati bersikap ikhlas terhadap segala yang telah dilakukan. Semua hal yang kita lakukan adalah sebagai penghambaan diri kepada Tuhan, dan manusia hanya mengharap rido-Nya terhadap apa yang telah dilakukan.

Tiga misi profetik tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam menjalankan amanah. Pada akhirnya, kepemimpinan Muhammadiyah ke depan —meminjam bahasa Abdul Munir Mulkhan— bukan hanya inklusif atau ekslusif, liberal atau konserfatif, berpolitik atau kukuh kepada khitah sosial, melainkan juga yang berfungsi profetik.

Sosok pemimpin profetis itu memiliki kekayaan spiritual di dalam kesediaanya mendengar dan menghargai sesama, memiliki pergaulan luas sesama golongan, berempati kemanusiaan disertai kesadaran kritis kepada tradisinya sendiri, selalu bersifat terbuka, dan dinamis serta mampu membangkitkan partisipasi publik.

Semoga, dengan kemunculan banyak partai yang mengklaim lahir dari Muhammadiyah dan pencalonan Dien Syamsuddin sebagai Capres 2009-2014, Muhammadiyah tidak terjebak dalam politik praktis yang menyesatkan. Organisasi itu sudah saatnya memikirkan bagaimana dapat lepas dari belenggu parpol. Hal itu dikarenakan, sangat disayangkan jika organisasi besar tersebut hanya dijadikan batu loncatan untuk kepentingan politik praktis.

Meminjam istilah Mohammad Sobary, memisahkan Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis tidak akan menjadikan Muhammadiyah kudisan. Artinya, Muhammadiyah akan tetap besar dan menjadi organisasi sosial kemasyarakat yang diperhitungkan oleh masyarakat dalam negeri maupun internasional.

Pada akhirnya, semoga dengan milad kali ini, Muhammadiyah benar-benar mendapatkan pemimpin yang memiliki jiwa profetis. Yaitu, seseorang yang tidak haus kekuasaan. Hal itu sangat diperlukan karena tantangan Muhammadiyah ke depan tidak hanya berkutat kepada tahayul, bidah dan churofat (TBC), demokratisasi bangsa, moralitas, dan pentingnya dialog antaragama, melainkan bagaimana dapat bertahan dan mempunyai spirit al-maun dalam usianya yang semakin senja. Wallahu aĆ­lam. (68)

–– Benni Setiawan, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Kamis, 13 November 2008

Muhammadiyah dan Godaan Politik Partisan


Ahmad-Norma Permata
Pendiri Muhammadiyah Cabang Istimewa Jerman, Meraih Doktor Ilmu Politik dari Universitas Muenster


Mudah diramalkan jika setiap menjelang pemilihan umum (pemilu) Muhammadiyah selalu menjadi sasaran kampanye politik. Hal ini wajar karena Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, yang tidak hanya memiliki puluhan juta anggota dan simpatisan, melainkan juga sumber daya organisasi yang kaya.

Menariknya, eksploitasi potensi politik Muhammadiyah tidak hanya dilakukan oleh agen-agen dari luar, melainkan juga dari dalam organisasi ini sendiri. Langkah yang paling spektakuler sekaligus kontroversial barangkali keputusan Amien Rais yang kala itu adalah ketua umum PP Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998. Meski PAN secara oganisatoris adalah partai terbuka dan tidak memiliki hubungan formal dengan Muhammadiyah, realitasnya partai ini banyak bersandar pada Muhammadiyah dalam rekrutmen kader (leadership recruitment) maupun pemilih (electoral constituents).

Keputusan menarik Muhammadiyah ke lintasan politik telah menimbulkan pro dan kontra berkepanjangan. Sebagian aktivis menolak karena politisasi akan sekadar menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik serta memasukkan benih-benih partisanisme ke dalam organisasi yang akan menghasilkan perpecahan.

Namun, tidak kurang juga yang mendukung langkah itu karena meyakini bahwa misi Muhammadiyah adalah dakwah dan politik merupakan salah satu medan dakwah. Karena itu Muhammadiyah tidak perlu alergi dengan politik.Lima tahun kemudian menjelang pemilu 2009 dorongan politisasi dari dalam organisasi kembali menguat. Tahun 2007 yang lalu sejumlah kader muda mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang tampaknya juga akan menjadikan Muhammadiyah sebagai ladang politik.

Lebih seru lagi, beberapa hari belakangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berkali-kali muncul di media massa mengindikasikan keinginannya untuk dicalonkan di kancah pemilihan presiden. Tidak terhindarkan lagi, perkembangan ini akan memicu kembali pro-kontra lama yang belum sepenuhnya reda.

Kembali ke barak
Dalam perspektif yang lebih luas, pro-kontra terhadap politisasi Muhammadiyah bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut masa depan demokratisasi di negeri ini. Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil (ormas) yang fungsinya adalah menyediakan ruang publik yang melindungi masyarakat dari intervensi politik negara. Malahan Muhammadiyah juga berjasa menyediakan berbagai layanan publik, seperti sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit yang tidak terjangkau negara.

Memang bukan berarti ormas tidak memiliki peran politik. Terutama dalam masyarakat yang sedang menjalani proses demokratisasi, ormas memiliki peran politik strategis. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, ormas selalu memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari authoritarian menuju demokrasi. Mereka menjadi agen utama dalam upaya meruntuhkan tembok otoritarian dan membangun fondasi demokrasi.

Namun, sejatinya politik praktis bukanlah habitat ormas. Secara teori, fungsi ormas menyuarakan (representing) kepentingan masyarakat. Ormas cenderung konsisten dengan visi dan misinya, tanpa banyak terpengaruh oleh aktivitas ormas lain maupun perubahan iklim politik. Muhammadiyah, misalnya, senantiasa fokus pada kegiatan mendakwahkan Islam modernis tanpa banyak terpengaruh oleh perubahan rezim politik.

Ini kontras dengan perilaku organisasi politik (orpol) yang selalu berubah orientasi seiring dengan perubahan tren dan situasi. Fungsi orpol adalah mengolah (aggregating) kepentingan. Orpol bertugas menyediakan pilihan kebijakan (policy packages) yang mampu merangkum berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Wajar apabila orpol meskipun memiliki bendera ideologi dan platform politik selalu mengusung diskursus yang silih berganti. Ini karena memang tuntutan kepentingan yang berubah. Seperti kata pepatah, bagi orpol tidak ada kawan atau lawan sejati karena yang sejati adalah kepentingan.

Dalam konteks perkembangan lebih lanjut dari proses demokratisasi inilah menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah untuk menjauhkan diri dari politik partisan, kembali ke barak memainkan fungsi ormas sebagai penjaga ruang publik yang kalis dari partisan politik. Konsolidasi demokrasi tidak hanya memerlukan orpol yang efektif mengagregasi dinamika kepentingan, melainkan juga ormas yang teguh menjaga nilai-nilai ideal agar tidak larut dalam pusaran kepentingan.

Institusionalisasi aturan main
Dengan banyaknya jajaran kader dan pimpinan yang berlompatan ke perahu politik yang lebih megah dan mewah, tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk berteguh diri memainkan fungsi ormas. Pertama, secara doktriner banyak warga Muhammadiyah yang meyakini bahwa dakwah adalah aktivitas multidimensi, termasuk mencakup politik. Mereka ini masih percaya bahwa politik adalah medan dakwah meski kenyataan selama ini menunjukkan agama sering dimainkan sebagai komoditas politik.

Kedua, secara sosial ekonomi di mana patronase politik merupakan jalan paling cepat meski mungkin tidak yang termudah untuk mendapatkan penghasilan finansial. Karena itu banyak yang tetap berpaling ke politik, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan organisasi.Sudah ada suara di kalangan Muhammadiyah untuk mencari figur pimpinan yang tahan godaan jabatan politik. Namun, dalam telaah yang lebih cermat fenomena lintas pagar dari ormas ke orpol ini bukan hanya karena faktor individual, melainkan juga karena ada insentif institusional.

Di Indonesia, orang masih sangat mudah membuat partai politik. Jika cadangan dana besar, para bandar politik dengan mudah membuat parpol baru dan merekrut kader-kader politik mereka dari berbagai ormas yang ada.Galibnya hal ini bukan semata problem internal organisasi Muhammadiyah, melainkan terkait dengan sistem politik yang lebih besar, yaitu upaya institusionalisasi system politik. Dalam sistem demokrasi yang stabil, parpol adalah aktor utama permainan politik, sedangkan ormas bertugas mengawasi perilaku politik dan kebijakan pemerintah yang tidak menyuarakan kepentingan rakyat.

Parpol yang mapan memiliki sistem rekrutmen dan pengaderan yang terstruktur dan berjenjang, dan bukan dengan main comot individu dari luar organisasi. Upaya untuk meningkatkan syarat pembentukan parpol, seperti menaikkan jumlah minimal cabang atau menambah electoral threshold menjadi sangat penting untuk menjadikan parpol organisasi yang stabil dengan orientasi jangka panjang. Sekaligus mencegah aktor politik dengan mudah membentuk parpol dan main comot dari ormas.


Ikhtisar:
- Politik praktis bukanlah habitat ormas.
- Ormas memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari otoriter menuju demokrasi.