Selasa, 28 Oktober 2008

Pelayanan Sosial Muhammadiyah


  • Oleh Abu Su’ud

PADA masa Orde Lama, ada semacam kecenderungan dalam susunan pemerintahan pusat, di mana kursi kementerian tertentu dipercayakan pada segmen tertentu dalam masyarakat. Kaum nasionalis, misalnya, hampir selalu menduduki kursi Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementerian Kesehatan dipercayakan kepada para dokter beragama Kristen, Kementerian Sosial dipercayakan kepada orang Muhammadiyah, dan Kementerian Agama nyaris selalu dipercayakan kepada para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Kecenderungan itu lantas membentuk semacam pencitraan sosial.

Untuk selanjutnya, nampaknya Muhammadiyah hampir selalu mendapat kepercayaan menduduki pos-pos di Departemen Sosial, Departemen Pndidikan, atau Departemen Agama ketika kebetulan tidak diduduk NU.

Citra NU sebagai ormas yang mengelola pendidikan agama memang sesuai namanya: Nahdlatul (Kebangkitan) Ulama. Sementara Muhammadiyah selalu dicitrakan sebagai ormas yang dekat sekali dengan kegiatan pelayanan sosial, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, maupun dakwah Islam.

Citra seperti itu pernah menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam terhadap Muhammadiyah, sampai-sampai Muhammadiyah disebutkan sebagai Islam Kristen.

Di mana-mana, Muhammadiyah membuka PKO yang dahulu merupakan singkatan dari Penyelamat Kesengsaraan Oemat. PKO sepertinya menjadi ”merek dagang” Muhammadiyah, yang meliputi balai kesehatan, poliklinik, rumah bersalin (RB), rumah sakit, panti asuhan yatim piatu (PAY), maupun sekolah-sekolah.

Anggapan seperti itu sebenarnya tidak terlalu keliru. Sebab sejak masa penjajahan Belanda, pelayanan sosial semacam itu senantiasa ditangani misionaris Katolik maupun zending Protestan di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia.

Apalagi ketika belum memiliki tenaga medis sendiri, PKO Muhammadiyah meminjam tenaga medis dari pusat pelayanan kesehatan dari lembaga misionaris atau zending.

KH Ahmad Dahlan memang sangat berani menentang arus dalam mengembangkan persyarikatan. Ketika hampir semua umat Islam terkesima dengan fatwa ”man tasyabaha bi kaumin, fahuwa minhum”, KH Ahmad Dahlan justru berani melakukannya.

Fatwa itu berarti ”barang siapa mirip-mirip dengan sesuatu kaum, maka dia termasuk kaum itu”. Ya, itulah risiko yang ditanggung persyarikatan, sehingga kemudian dijuluki sebagai Islam Kristen.

Penyediaan SDM

Agaknya PKO sebagai merek dagang makin dikembangkan. Tak hanya dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat maupun panyediaan fasilitas serta program, tetapi juga mencakup amal-amal usaha sebagai badan dalam persyarikatan. Tidak terkecuali dilakukan pembenahan dalam penyediaan SDM maupun tenaga penunjang pelaksanaan program.

Karena itu, dibukalah berbagai program pendidikan pendukung berupa lembaga pendidikan terkait sebagai penyediaan SDM. Almarhum Nurcholish Madjid pernah menyebut Muhammadiyah bagai konglomerat pendidikan, karena banyaknya lembaga pendidikan dari berbagai jenjang dan berbagai program pendidikan yang diselenggarakan di seantero Indonesia.

Berkaitan dengan merek dagang yang mencakup kegiatan di bidang kesehatan, Muhammadiyah mengutamakan program-program pendidikan keguruan, agama, dan umum.

Sekolah Keperawatan, Akademi Keperawatan, Akademi Kebidanan, Akademi Analis Kesehatan, Akademi Statistika, dan sebagainya menjadi progran unggulan, dan nyaris menjadi program wajib bagi setiap pimpinan persyarikatan di daerah-daerah, di samping menyelenggarakan kegiatan dakwah dan pengajian.

Peranserta Muhammadiyah dalam ikut mencerdaskan bangsa makin banyak untuk memenuhi kebutuhan amal usaha persyarikatan, baik untuk kepentingan umum, maupun untuk penyediaan kebutuhan bagi amal usaha itu sendiri.

Gelora atau syahwat politik di kalangan warga Muhammadiyah nampaknya tidak mematikan semangat dakwah dan pelayanan sosial, sebagai dikobarkan KHA Dahlan sebagai pendiri persyarikatan ini.

Secara pribadi, masing-masing warga Muhammadiyah memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan aspirasi politiknya melalui berbagai parpol yang ada, termasuk yang difasilitasi mantan personil persyarikatan, seperti PPP, PAN, dan PMB (Partai Matahari Bangsa).

Namun secara resmi persyarikatan tetap istikomah, meneruskan semangat Surat Al-Ma’un, yaitu pengabdian kepada kaum sengsara atau dhuafa.

Pengabdian Strategis

Barangkali bukan sekadar kebetulan kalau dalam kabinet SBY-JK, Muhammadiyah mendapat kepercayaan memimpin pos Departemen Pendidikan Nasional serta Departemen Kesehatan. Kepercayaan ini harus diterima sebagai amanat dan kepercayaan profesional kepada persyarikatan sebagai ormas yang memiliki komitmen di kedua bidang itu.

Tetapi hanya sebagai kebetulan saja jika Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) pada tahun akademik 2008/2009 menerima SK peresmian untuk mengelola Fakultas Kedokteran.

Artinya tidak terkait dengan kenyataan bahwa Mendiknad dan Menteri Kesehatan dipegang orang Muhammadiyah. Sebab ini merupakan Fakultas Kedokteran kesekian yang dimiliki Universitas Muhammadiyah di Indonesia.

Tekat membuka Fakultas Kedokteran dalam rangka memaksimalkan pelayanan sosial persyarikatan telah lama menjadi kesepakatan dua orang ibu yang penuh dedikasi.

Pertama, Prof Dr Istiati Sutomo yang menjadi rektor pertama Unimus. Kedua, Dr Hj Mutmainah Prihadi SpOG yang kini menjabat direktur RS PKO Rumani Muhammadiyah.

Tekad keduanya itu kemudian ditindaklanjuti pimpinan Unimus periode kedua, dengan berbagai langkah strtategis dan pengajuan proposal. Kemudian persyarikatan mendapat kepercayaan mengelola Fakultas Kedokteran di tahun pertama periode kepemimpinan ketiga Unimus, pada usianya yang kesembilan.

Kepercayaan pemerintah itu merupakan pemantapan terhadap kepercayaan profesional yang diemban oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa tahun sebelumnya.

Pada kesempatan seperti ini, mau tak mau seluruh civitas akademika Unimus tidak bisa melupakan dedikasi almarhum Prof Dr Dr H Satoto SpAG, yang telah merintis mendirikan Perguruan Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Semarang (PTKMS), yang kemudian beralih fungsi menjadi Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keperawatan Semarang, untuk mempersiapkan tenaga paramedis di Unimus. Semoga Allah merahmati almarhum dan mengampuni semua amal baiknya. Dirgahayu Unimus! (32)

—Prof Dr Abu Su’ud, guru besar emiritus Unnes dan mantan rektor Unimus kedua.

Tidak ada komentar: