Kamis, 13 November 2008

Muhammadiyah dan Godaan Politik Partisan


Ahmad-Norma Permata
Pendiri Muhammadiyah Cabang Istimewa Jerman, Meraih Doktor Ilmu Politik dari Universitas Muenster


Mudah diramalkan jika setiap menjelang pemilihan umum (pemilu) Muhammadiyah selalu menjadi sasaran kampanye politik. Hal ini wajar karena Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, yang tidak hanya memiliki puluhan juta anggota dan simpatisan, melainkan juga sumber daya organisasi yang kaya.

Menariknya, eksploitasi potensi politik Muhammadiyah tidak hanya dilakukan oleh agen-agen dari luar, melainkan juga dari dalam organisasi ini sendiri. Langkah yang paling spektakuler sekaligus kontroversial barangkali keputusan Amien Rais yang kala itu adalah ketua umum PP Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998. Meski PAN secara oganisatoris adalah partai terbuka dan tidak memiliki hubungan formal dengan Muhammadiyah, realitasnya partai ini banyak bersandar pada Muhammadiyah dalam rekrutmen kader (leadership recruitment) maupun pemilih (electoral constituents).

Keputusan menarik Muhammadiyah ke lintasan politik telah menimbulkan pro dan kontra berkepanjangan. Sebagian aktivis menolak karena politisasi akan sekadar menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik serta memasukkan benih-benih partisanisme ke dalam organisasi yang akan menghasilkan perpecahan.

Namun, tidak kurang juga yang mendukung langkah itu karena meyakini bahwa misi Muhammadiyah adalah dakwah dan politik merupakan salah satu medan dakwah. Karena itu Muhammadiyah tidak perlu alergi dengan politik.Lima tahun kemudian menjelang pemilu 2009 dorongan politisasi dari dalam organisasi kembali menguat. Tahun 2007 yang lalu sejumlah kader muda mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang tampaknya juga akan menjadikan Muhammadiyah sebagai ladang politik.

Lebih seru lagi, beberapa hari belakangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berkali-kali muncul di media massa mengindikasikan keinginannya untuk dicalonkan di kancah pemilihan presiden. Tidak terhindarkan lagi, perkembangan ini akan memicu kembali pro-kontra lama yang belum sepenuhnya reda.

Kembali ke barak
Dalam perspektif yang lebih luas, pro-kontra terhadap politisasi Muhammadiyah bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut masa depan demokratisasi di negeri ini. Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil (ormas) yang fungsinya adalah menyediakan ruang publik yang melindungi masyarakat dari intervensi politik negara. Malahan Muhammadiyah juga berjasa menyediakan berbagai layanan publik, seperti sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit yang tidak terjangkau negara.

Memang bukan berarti ormas tidak memiliki peran politik. Terutama dalam masyarakat yang sedang menjalani proses demokratisasi, ormas memiliki peran politik strategis. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, ormas selalu memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari authoritarian menuju demokrasi. Mereka menjadi agen utama dalam upaya meruntuhkan tembok otoritarian dan membangun fondasi demokrasi.

Namun, sejatinya politik praktis bukanlah habitat ormas. Secara teori, fungsi ormas menyuarakan (representing) kepentingan masyarakat. Ormas cenderung konsisten dengan visi dan misinya, tanpa banyak terpengaruh oleh aktivitas ormas lain maupun perubahan iklim politik. Muhammadiyah, misalnya, senantiasa fokus pada kegiatan mendakwahkan Islam modernis tanpa banyak terpengaruh oleh perubahan rezim politik.

Ini kontras dengan perilaku organisasi politik (orpol) yang selalu berubah orientasi seiring dengan perubahan tren dan situasi. Fungsi orpol adalah mengolah (aggregating) kepentingan. Orpol bertugas menyediakan pilihan kebijakan (policy packages) yang mampu merangkum berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Wajar apabila orpol meskipun memiliki bendera ideologi dan platform politik selalu mengusung diskursus yang silih berganti. Ini karena memang tuntutan kepentingan yang berubah. Seperti kata pepatah, bagi orpol tidak ada kawan atau lawan sejati karena yang sejati adalah kepentingan.

Dalam konteks perkembangan lebih lanjut dari proses demokratisasi inilah menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah untuk menjauhkan diri dari politik partisan, kembali ke barak memainkan fungsi ormas sebagai penjaga ruang publik yang kalis dari partisan politik. Konsolidasi demokrasi tidak hanya memerlukan orpol yang efektif mengagregasi dinamika kepentingan, melainkan juga ormas yang teguh menjaga nilai-nilai ideal agar tidak larut dalam pusaran kepentingan.

Institusionalisasi aturan main
Dengan banyaknya jajaran kader dan pimpinan yang berlompatan ke perahu politik yang lebih megah dan mewah, tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk berteguh diri memainkan fungsi ormas. Pertama, secara doktriner banyak warga Muhammadiyah yang meyakini bahwa dakwah adalah aktivitas multidimensi, termasuk mencakup politik. Mereka ini masih percaya bahwa politik adalah medan dakwah meski kenyataan selama ini menunjukkan agama sering dimainkan sebagai komoditas politik.

Kedua, secara sosial ekonomi di mana patronase politik merupakan jalan paling cepat meski mungkin tidak yang termudah untuk mendapatkan penghasilan finansial. Karena itu banyak yang tetap berpaling ke politik, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan organisasi.Sudah ada suara di kalangan Muhammadiyah untuk mencari figur pimpinan yang tahan godaan jabatan politik. Namun, dalam telaah yang lebih cermat fenomena lintas pagar dari ormas ke orpol ini bukan hanya karena faktor individual, melainkan juga karena ada insentif institusional.

Di Indonesia, orang masih sangat mudah membuat partai politik. Jika cadangan dana besar, para bandar politik dengan mudah membuat parpol baru dan merekrut kader-kader politik mereka dari berbagai ormas yang ada.Galibnya hal ini bukan semata problem internal organisasi Muhammadiyah, melainkan terkait dengan sistem politik yang lebih besar, yaitu upaya institusionalisasi system politik. Dalam sistem demokrasi yang stabil, parpol adalah aktor utama permainan politik, sedangkan ormas bertugas mengawasi perilaku politik dan kebijakan pemerintah yang tidak menyuarakan kepentingan rakyat.

Parpol yang mapan memiliki sistem rekrutmen dan pengaderan yang terstruktur dan berjenjang, dan bukan dengan main comot individu dari luar organisasi. Upaya untuk meningkatkan syarat pembentukan parpol, seperti menaikkan jumlah minimal cabang atau menambah electoral threshold menjadi sangat penting untuk menjadikan parpol organisasi yang stabil dengan orientasi jangka panjang. Sekaligus mencegah aktor politik dengan mudah membentuk parpol dan main comot dari ormas.


Ikhtisar:
- Politik praktis bukanlah habitat ormas.
- Ormas memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari otoriter menuju demokrasi.

Tidak ada komentar: