Kamis, 14 Juni 2007

Perjalanan Muhibah muhammadiyah
Merindukan Kelahiran Ulama Sekaliber Hamka

Imam Prihadiyoko

Kalimat bijak dari pedalaman Sumatera menyebutkan, pahlawan tidak lahir setiap zaman, begitu juga dengan pemimpin yang diharapkan, tidak muncul dari setiap generasi. Namun, mekanisme demokrasi modern ingin memotong kalimat bijak ini dengan mengatakan, setiap akhir periode kepemimpinan, terpilih pemimpin baru.

Namun, pemimpin yang muncul itu mungkin sekadar keharusan sejarah bahwa manusia pada suatu era harus mempunyai pemimpin. Artinya, demokrasi memang mampu melahirkan pemimpin baru. Tetapi, apakah yang muncul itu pemimpin yang diharapkan rakyat? Sejarah yang akan membuktikannya.

Itu sekelumit cerita dari seorang warga Desa Agam, Sumatera Barat (Sumbar), saat rombongan Muhammadiyah yang dipimpin Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengadakan napak tilas dan muhibah dakwah di Sumbar, Mei lalu. Warga itu mempertanyakan, mengapa komunitas Islam di Indonesia atau di Sumbar tidak lagi melahirkan ulama sekaliber Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal sebagai Hamka.

Padahal, lembaga pendidikan Islam makin modern, teknologi kian maju, serta buku dan akses pada informasi semakin mudah diperoleh. Tetapi, mengapa tokoh yang paripurna tidak hadir.

Menurut Dewan Eksekutif Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan (Partnership Government Reform) Daniel Dhakidae, transformasi di masyarakat Indonesia memang tidak lagi bisa menghadirkan intelektual sekaliber Hamka, Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, atau Mangunwijaya. Penyebabnya, intelektual yang hadir sekarang terkotak-kotak dalam penguasaan keahlian yang mendalam, tetapi kecil. Maka, hadirlah cendekiawan pasar modal, ahli ekspor, cendekiawan tambak udang, cendekiawan konsultan pajak, cendekiawan jamur ekspor, konsultan bisnis, konsultan partai, dan sebagainya.

Intelektual hidup dalam komunitas yang dibombardir media elektronik. Serangan media elektronik melahirkan kaum pendengar dan penonton. Persoalannya, kaum pendengar dan penonton ini tak lagi peka terhadap argumentasi kompleks. Meski prosesnya tidak sederhana, intelektual yang hidup dalam kaum penonton dan pendengar lebih senang menjadi komentator daripada pemikir.

Bahkan, penyakit komentator ini ditularkan kepada anggota parlemen. Mereka lebih senang menjadi komentator politik ketimbang pemikir politik atau komentator ekonomi ketimbang pemikir ekonomi yang bisa menyelamatkan rakyat dari pengangguran dan keterpurukan.

Kondisi ini diperburuk dengan perguruan tinggi yang kian mahal dan hanya memberikan akses pada kaum berduit. Eksklusivitas di perguruan tinggi semakin tinggi. Mutu pendidikan yang dulu disebut sebagai the center of excellence semakin jauh meninggalkan perguruan tinggi dalam kategori rank and file, baik karena fasilitas maupun mutu sivitas akademika yang lain, seperti tenaga pengajar, peneliti, dan penulis.

Gerakan Islam

Din Syamsuddin ketika membuka Pusat Kajian di Universitas Hamka Jakarta beberapa waktu lalu mengakui pentingnya penguasaan teknologi dan pengembangan sikap tasmuh (toleransi). Apalagi dunia Islam saat ini sedang menghadapi kritik besar atas pemikiran yang dianggap kurang maju.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan dakwah dengan semangat pembaruan, juga menuai kritik karena kurang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Bahkan, Muhammadiyah juga dikritik karena mengalami kejumudan pemikiran. Meski zaman berganti, dan setiap generasi melahirkan pemimpinnya sendiri, gerakan Islam masih sering dihadapkan dengan persoalan klasik yang hampir tidak pernah usai, yakni pemikiran keagamaan itu sendiri.

Tidak heran jika tokoh Muhammadiyah, Ahmad Syafii Ma’arif, sering mengatakan, pemahaman keagamaan Islam di Indonesia sering kali menjadi sumber pertentangan dalam internal Muslim yang tak seharusnya terjadi. Akibatnya, komunitas Islam lebih senang menyerang komunitas Islam yang lain, hanya karena merasa pemahamannya sendiri yang benar. Bahkan, sampai menghalalkan darah Muslimin yang lain, hanya karena tidak bisa menerima ada komunitas Muslim lain yang pemikirannya dianggap liberal.

Dalam pemikiran keagamaan, Presidium Intelektual Muda Muhammadiyah Pradana Boy dalam terbitan Maarif Institute menyebutkan, sebagai gerakan Islam modernis, modernitas Muhammadiyah terletak pada prinsip tajdid, ijtihad, dan kembali ke Al Quran dan sunah.

Tajdid menandai modernitas Muhammadiyah karena gerakan ini sebagai respons terhadap gejala kemandekan berpikir di kalangan umat Islam. Ijtihad, di samping sebagai respons, juga ditujukan untuk membuka wawasan umat Islam bahwa pintu pemikiran masih terbuka. Prinsip kembali ke Al Quran dan sunah mengindikasikan bahwa Muhammaidyah tidak secara penuh pada pemaknaan atas Al Quran dan sunah yang dihasilkan ulama masa lampau.

Prinsip kembali ke Al Quran dan sunah lebih dimaknai dalam arti pembebasan. Sebuah sikap di mana ajaran dasar Al Quran diambil sebagai inspirasi dan etika dasar dalam menghadapi situasi tantangan zamannya. Pertanyaannya, jika makna ini dipahami gerakan Muhammadiyah, lalu mengapa ulama besar belum juga muncul?

Kritik terhadap relevansi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis pun kian nyaring. Pradana menyebutkan, keraguan terhadap modernisme Muhammadiyah kian kentara. Apalagi, saat sejumlah fakta kontemporer dihadirkan, antara lain kian resistennya Muhammadiyah dalam menerima gagasan baru yang berkembang di ranah pemikiran keagamaan, seperti pluralisme agama, multikulturalisme, metodologi pengembangan pemikiran Islam, dan kesetaraan jender. Memang sulit mengelak saat Muhammadiyah disebut sedang mengalami penguatan konservatisme keagamaan.

Padahal, sebelum konservatisme ini dituduhkan, intelektual Islam Abdul Munir Mulkhan melihat kultur Islam Indonesia pada dasarnya Muhammadiyah. Ketika orang masih menabukan sekolah, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan justru mendirikan sekolah. Bahkan, model pengelolaan masjid, manajemen institusi, dan momen keagamaan ini tak lagi menjadi ciri Muhammadiyah karena semua komunitas Islam di Indonesia banyak yang turut melakukannya.

Namun, mengapa ulama sekaliber Hamka tidak muncul?

Tidak ada komentar: