Selasa, 26 Februari 2008

Muhammadiyah, PMB dan Klaim Politik



Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerima audiensi Pimpinan Pusat Partai Matahari Bangsa (PMB) pada Rabu,20 Februari 2008.

Dalam kesempatan menerima audiensi PMB, setidaknya ada dua poin menarik dari pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin (Bang Din). Pertama,soal dukungan moral Bang Din bagi keberlangsungan masa depan PMB.Dalam konteks pemberian dukungan ini, Bang Din bahkan mengingatkan agar PMB berhati-hati karena ada partai politik lain yang akan mencoba menjegal agar PMB tidak lolos verifikasi.

Kedua, Bang Din meminta agar PMB tidak perlu mengklaim dukungan Muhammadiyah. PMB lebih baik menunjukkan citra dirinya sebagai partai yang konsisten menjalankan nilainilai moral yang dipegang Muhammadiyah. Dengan begitu justru simpati dari warga Muhammadiyah akan dapat diraih.

Bentuk Sikap Bijak

Poin dukungan moral Bang Din terhadap PMB adalah sebuah realitas yang semestinya.Pendiri dan pengurus PMB umumnya anak biologis dan ideologis Muhammadiyah. Secara organisatoris, pendirian PMB sama sekali tidak difasilitasi Muhammadiyah. Kalaupun ada keputusan Tanwir Mataram 2004 yang sering dijadikan sebagai klaim pembenar atas dukungan Muhammadiyah bagi pendirian PMB,sifatnya hanya sebatas "tafsir".

Mendukung dan tidak mendukung pendirian PMB sangat bergantung pada siapa yang menafsirkan keputusan tanwir tersebut. Bagi temanteman PMB, rekomendasi Tanwir tersebut tentu bisa dipandang sebagai bentuk dukungan Muhammadiyah terhadap pendirian PMB. Hal ini tentu berbeda dengan misalnya pendirian Partai Amanat Nasional (PAN) yang pendiriannya nyata-nyata ditopang rekomendasi Tanwir Semarang 1998.

Dengan dukungan rekomendasi inilah PAN bisa tumbuh menjadi partai yang relatif diperhitungkan, meskipun tingkat keberfungsiannya sebagai partai politik, terlebih terkait dengan kontribusi politiknya terhadap Muhammadiyah, patut dipertanyakan. Dukungan moral sudah selayaknya diberikan kepada PMB.Kenapa?

Posisi politik PMB yang sekarang ini telah berhasil membentuk kepengurusan di 32 Provinsi. Berdasarkan ketentuan Departemen Hukum dan HAM juga sudah sangat memenuhi syarat sebagai partai politik.Ini tentu capaian prestasi politik yang luar biasa dari anak-anak muda Muhammadiyah.

Di tengah masyarakat yang apatis, bahkan mengalami penurunan kepercayaan terhadap partai politik- lantaran perilaku politik partai yang kerap tidak sesuai dengan kehendak masyarakat banyak-dan tanpa didukung keputusan atau rekomendasi resmi Muhammadiyah,serta dengan modal pendanaan yang paspasan, anak-anak muda Muhammadiyah yang kebanyakan berusia di bawah 35 tahun justru berhasil mendirikan PMB.

Ada ungkapan Jawa,tego lorone ora tego patine (tega sakitnya, tidak tega matinya). Dukungan moral Bang Din ini sepantasnya dilihat dalam bingkai ungkapan Jawa ini. Kalau Bang Din tidak memberikan dukungan moral terhadap PMB justru akan dinilai sebagai bentuk "keterlaluan politik" dan "ketegaan politik".

Secara organisatoris,Muhammadiyah tentu tidak sepantasnya memberikan dukungan politik kepada partai politik manapun.Tapi sebagai pribadi, apalagi yang bersangkutan adalah mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, dukungan moral Bang Din tentu sangat manusiawi dan cukup bisa dipahami dalam konteks bermuhammadiyah.

Karenanya,tidak perlu ada yang di(mem)permasalahkan perihal dukungan moral Bang Din terhadap PMB. Inilah bentuk sikap bijak dari Bang Din dan juga pimpinan Muhammadiyah yang lain.

Tantangan bagi PMB

Poin kedua pernyataan Bang Din tentang tidak perlunya melakukan klaim-klaim politik bahwa PMB mendapat dukungan Muhammadiyah dan imbauan agar PMB lebih baik menunjukkan diri sebagai partai yang konsisten menjalankan nilainilai moral yang dipegang Muhammadiyah, harus disikapi oleh temanteman PMB sebagai bentuk emandari Bang Din akan jerih payah yang telah dilakukan teman-teman dalam mendirikan PMB.

Artinya, suksesnya mendirikan PMB yang tanpa topangan keputusan organisasi Muhammadiyah jangan lantas dibumbui dengan klaim-klaim politik murahan yang justru akan menjerumuskan PMB andai tidak mampu mewujudkan klaim-klaim politiknya. Meski berat,namun PMB ke depan harus secara serius mempunyai komitmen terhadap dua hal berikut.

Pertama, meski berasaskan Islam, namun dalam geraknya PMB sebisa mungkin membuang jauh-jauh kecenderungan menggunakan simbolsimbol Islam yang bersifat formal.Sebagian masyarakat kita sudah alergi terhadap penggunaan simbol-simbol agama lantaran kecenderungan kuat dari perilaku penggunanya yang bertabrakan dengan simbol-simbol tersebut. PMB juga harus mempunyai komitmen dengan berusaha menghadirkan wajah Islam dalam dimensi yang lebih substantif.

PMB jangan sampai terjebak untuk menghadirkan wajah Islam yang serbaformal sebagaimana kerap ditampilkan oleh partai yang berlabelkan Islam lain, yang terkadang justru membuat sebal sebagian umat Islam.

Kedua, pentingnya uswah hasanah (keteladanan) politik. Inilah yang langka dalam dunia politik kita saat ini. Para pelaku politik kita belum atau bahkan tidak mampu memberikan keteladanan politik kepada masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, tontonan politik murahan lebih sering ditampilkan oleh eliteelite politik kita.

Yakinlah, kalau PMB secara serius berkomitmen menjalankan dua hal di atas, PMB akan memperoleh dua keuntungan politik sekaligus.Selain akan diperhatikan-bahkan bisa jadi akan menjadi partai Islam alternatif bagi pemilih muslim lantaran berasaskan Islam dan mampu menghadirkan Islam substantif ketimbang formalistik pada ranah publik-PMB juga akan diperhitungkan banyak pihak lantaran keteladanan politik yang ditampilkan kaderkader muda politiknya.Semoga.(*)

Ma'mun Murod Al-Barbasy
Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah


Jumat, 22 Februari 2008

Muhammadiyah, Politik, Kaum Duafa



Jumat, 22 Februari 2008 | 02:22 WIB

David Krisna Alka

Muktamar Pemikiran Islam di Muhammadiyah ”Kritik Oto-Kritik Muhammadiyah” pertengahan Februari 2008 menuai kritik konstruktif bagi perjalanan gerakan Muhammadiyah di Indonesia.

Gerakan Muhammadiyah seharusnya lebih peduli terhadap persoalan realitas sosial kini dan nanti, bukan cuma persoalan politik. Menjelang Pemilu 2009, politisi di negeri ini mulai bersahut dan tampak kasak-kusuk ingin merebut posisi empuk. Sementara itu, krisis moral dan kepemimpinan bangsa ini sudah memasuki tahap kritis. Dalam konteks ini, umat Muhammadiyah tak bisa mengabaikan pendidikan karakter bangsa yang kian pudar.

Namun, di tengah hiruk-pikuk politik menjelang Pemilu 2009 adalah suatu hal yang sulit bagi kaum cerdik pandai Muhammadiyah untuk tidak larut dalam intrik politik praktis. Ulama, sebagai penjaga moral bangsa, harus menjadi panutan umatnya. Akan tetapi, kecemasan yang timbul adalah posisi tak etis peran ulama dan intelektual Muhammadiyah dalam perpolitikan nasional, yaitu menghendaki jabatan politik.

Bertrand Russel (1984) pernah menjelaskan, di kalangan politisi orang baik punya kegunaan. Orang baik tak pernah dicurigai bahwa ia akan menggunakan kebaikannya untuk melindungi bajingan. Sifat ini membuat orang baik-baik amat disenangi dan akhirnya orang baik-baik itu ikut pula menjadi politisi.

Namun, suatu sistem ekonomi politik di mana the rulling elite mengalami konservatisasi karena ingin mempertahankan monopolinya pada akses-akses ekonomi dan kekuasaan selalu muncul polarisasi yang merusak solidaritas sosial. Kecenderungan untuk tidak melibatkan agama dalam aneka masalah sosial-politik akan mempercepat timbulnya masyarakat berkelas. Karena itu, sepatutnya dipikirkan adanya sistem politik lain yang mampu mewakili rakyat jelata demi mengimbangi kecenderungan konservatisme dan egosentrisme kelas elite melalui sarana demokrasi.

Panutan

Menurut Kuntowijoyo (1993:42), Muhammadiyah sebagai kelompok yang selalu mendefinisikan dirinya sebagai entitas non-kelas mempunyai peluang untuk kembali mendefinisikan ideologi sosial dan politiknya berdasar kepentingan rakyat jelata—sebagaimana dicontohkan Sarikat Islam (SI) di masa lalu—dan dirumuskan secara jernih berdasar analisis yang tepat tentang formasi sosial dan sistem ekonomi politik yang ada.

Ini berarti politik agama harus dibumikan pada tingkat obyektif menjadi politik kelas dalam rangka mengakomodasi kepentingan empiris umat dan bangsa. Hanya dengan gerakan agama yang memihak, gerakan sosial Muhammadiyah akan memiliki makna sejati sebagai gerakan untuk pembebasan struktural, seperti dirumuskan Kuntowijoyo terkait tiga misi agama: humanisasi, emansipasi, dan transendensi.

Sebagai panutan moral, kalangan cerdik pandai Muhammadiyah saat terlibat dalam kancah perpolitikan nasional dicemaskan akan lupa kepada rakyat yang masih banyak didera kemiskinan. Ketika hasrat ingin berkuasa dan ingin cepat kaya kian menggoda, politisi cenderung lupa, tetangga yang miskin di kampungnya bingung besok mau makan apa.

Sejatinya, gerakan Muhammadiyah adalah wadah perjuangan umat Islam dalam melaksanakan gerakan dakwah sosial yang memiliki cukup banyak lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga zakat (lazis). Sayang, institusi sosial Muhammadiyah lebih tampak sekadar tempat untuk meraup keuntungan. Di mana letak kaum duafa di mata Muhammadiyah?

Muktamar pemikiran Islam itu diharapkan mengembalikan spirit awal Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berpihak terhadap realitas sosial yang timpang, kemiskinan, dan ketertindasan. Seperti agama, gerakan dakwah Muhammadiyah harus berpihak kepada kaum papa.

Kaum intelektual muda Muhammadiyah diharapkan tak terjebak dalam rasa sudah tahu segala sesuatu, atau kebencian paranoid. Artinya, elite Muhammadiyah dan anggotanya telah mencapai titik di mana mereka tahu perbedaan antara baik-buruk, mampu menjatuhkan pilihan sendiri, memiliki kemampuan sendiri, keyakinan sendiri, yang bukan sekadar pendapat. Sudah saatnya intelektual muda Muhammadiyah bergerak turun ke bawah. Jangan hanya wacana yang melulu mendunia sehingga mengabaikan kaum duafa.

David Krisna Alka Deputi Direktur Center for Moderate Muslim; Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Jakarta

Kamis, 21 Februari 2008

Sikap Muhammadiyah dalam Politik Praktis


Kamis, 21 Februari 2008 | 02:39 WIB

Jakarta, Kompas - Sikap Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial yang tidak berpolitik praktis harus dijaga. Karena itu, kader Muhammadiyah maupun partai politik yang berbasis massa Muhammadiyah tak perlu menarik-narik organisasi kemasyarakatan atau ormas itu agar terlibat politik praktis.

Hal itu diungkapkan pimpinan Muhammadiyah saat menerima kunjungan pengurus Partai Matahari Bangsa (PMB) di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Jakarta, Rabu (20/2).

PMB adalah partai politik baru yang pertama diterima dan mendapat dukungan moral dari PP Muhammadiyah. PMB adalah partai yang sebagian besar pengurusnya adalah kader muda Muhammadiyah.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, dalam sistem demokrasi saat ini, setiap orang, termasuk warga Muhammadiyah, bebas mendirikan parpol dan bergabung dengan parpol apa pun. Hadirnya PMB akan semakin memperkaya parpol yang didirikan warga Muhammadiyah.

Bagi Muhammadiyah, lanjut Din, banyaknya parpol yang berbasis massa Muhammadiyah atau bukan adalah tantangan berat. Tarikan parpol yang kuat dapat menyeret Muhammadiyah sehingga lupa akan tugas dan misi utamanya. Karena itu, Muhammadiyah harus mempertahankan posisi dan sikapnya sebagai gerakan dakwah dan kultural.

”Muhammadiyah harus menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik,” katanya.

Untuk itu, Muhammadiyah berusaha menjalin hubungan baik dengan semua parpol. Jika ada kedekatan Muhammadiyah dengan partai tertentu, itu adalah kedekatan personal antara tokoh parpol itu dan tokoh Muhammadiyah.

Din juga berharap kader PMB mampu menunjukkan dan memperjuangkan nilai Muhammadiyah serta menunjukkan uswah (contoh) politik yang sesuai dengan nilai Islam. Mereka juga tak boleh terjebak dengan membawa tradisi gerakan kultural Muhammadiyah dalam dunia politik.

Ketua Umum PMB Imam Addaruqutni berterima kasih atas dukungan moral PP Muhammadiyah maupun tokoh Muhammadiyah di daerah. Diharapkan, hal itu akan memberikan kekuatan bagi PMB untuk memperoleh dukungan publik. (mzw)

Rabu, 20 Februari 2008

Residu Problema Hukum Masih Dirasakan


Rabu, 20 Februari 2008 | 02:04 WIB

Jakarta, Kompas - Residu atau sisa-sisa dari problema hukum masa lalu akibatnya masih dirasakan rakyat hingga saat ini. Tidak heran kalau tunggakan penyelesaian kasus hukum semakin menumpuk. Di sisi lain, yang lebih memprihatinkan lagi, masyarakat marjinal hingga saat ini masih belum mendapat perlindungan hukum yang memadai.

Hal ini dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, Selasa (19/2), dalam penandatanganan kerja sama antara PP Muhammadiyah dan Komisi Yudisial (KY) di Jakarta.

”Kasus semacam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masih menjadi masalah hukum kita, begitu juga dengan problem hukum lainnya, seperti pemberantasan korupsi dan menciptakan aparat penegak hukum yang bersih. Semua masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini,” ujarnya lagi.

Menurut Din, tugas suatu bangsa tidak hanya menjaga keteraturan sosial, tetapi juga menggerakkan bangsanya ke arah kemajuan. Untuk mendorong kemajuan itu, memang dibutuhkan hukum yang berpihak kepada masyarakat kecil.

”Itu sebabnya Muhammadiyah, sebagai gerakan moral, kultural, dan keagamaan, turut menyumbang pada gerakan penyadaran dalam proses penegakan hukum untuk kaum marjinal,” ujarnya.

Kaum miskin yang terpinggirkan, menurut Din, masih belum mendapatkan perlindungan hukum meski mereka sering mengalami multilevel penindasan. Apalagi, ketika masyarakat marjinal ini harus berhadapan dengan negara, mereka semakin tak berdaya.

”Hari-hari belakangan ini, kita menyaksikan bagaimana penggusuran terjadi di Jakarta terhadap pedagang keramik dan pedagang bunga. Kasus yang sama juga terjadi di sejumlah kota lain,” ujar Din.

Muhammadiyah, lanjutnya, yang didirikan dengan misi pembelaan terhadap kaum miskin dan terpinggirkan, sudah sepantasnya terlibat dalam upaya advokasi dan perlindungan hukum bagi masyarakat marjinal.

Ketua KY M Busyro Muqoddas mengatakan, ilmu hukum ke depan bukan saja dituntut untuk melahirkan putusan hakim yang benar dan adil, tetapi juga berpihak kepada kaum tertindas dan marjinal. ”Agar reformasi melahirkan putusan hakim yang bermanfaat bagi bangsa, dengan spektrum benar, adil, dan berpihak kepada mustad’afin (kaum tertindas), KY membuat program riset putusan hakim,” ujarnya.

Apalagi, menurut Busyro, saat ini masih banyak putusan hakim yang dirasakan belum menyentuh keadilan, apalagi membela kaum miskin. (mam)

Kamis, 14 Februari 2008

Din: ”Agama Harus jadi Problem Solver”


Ney York- Agama harus menjadi problem solver bagi permasalahan kemiskinan di dunia, demikian disampaikan Din Syamsuddin dalam forum konsultasi pemuka agama mengenai perlindungan dan akses hukum bagi masyarakat miskin dunia yang diadakan Commission on Legal Empowerment of the Poor, di New York, Amerika Serikat, Selasa (05/02/1008).

Din yang telah berangkat ke Amerika sejak hari Ahad kemarin, memberikan padangan tentang pemberdayaan kaum miskin perspektif Islam dan juga pengalaman Ormas Indonesia dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Dengan jumlah penduduk miskin dunia yang mencapai ratusan juta, aspek hukum juga perlu mendapat perhatian utama dalam memberdayakan orang miskin. Lebih lanjut menurut Din, yang tidak kalah pentingnya dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah peran agama, “Agama harus berperan sebagai problem solver, karena sejatinya agama khususnya Islam, sangat anti kemiskinan,” ungkapnya. Lebih lanjut menurut Din, Agama selama ini gagal difungsikan oleh pemeluknya untuk mengatasi masalah kemiskinan, bahkan sebaliknya menciptakan kemiskinan karena etos kerja yang rendah.

Dalam permasalahan kemiskinan di Indonesia sambung Din, kemiskinan yang masih melilit sebagain rakyat selain karena factor kultural yaitu lemahnya etos kerja dan daya saing, juga disebabkan oleh faktor struktural yaitu ekonomi yang diadopsi negara terlalu berorientasi pertumbuhan, kurang pada pemerataan. Sebagai akibatnya , yang kaya seakin kaya dan yang miskin semakin miskin, ditambah dengan lemahnya perlindungan hukum menjadikan kaum miskin baik di desa maupun di kota menjadi semakin sengsara, seperti pada beberapa kasus penggusuran.(mac)

Live USA-Menteng, Dari Pendidikan, Krisis Ulama hingga Peran Politik


Arif Nur Kholis/ Joko Sumiyanto

Jakarta-Acara Silaturahim antara PCIM USA dan PP Muhammadiyah, Sabtu (9/02/2008) pukul 19.55 WIB itu berlangsung hangat. Pada awal acara, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin memperkenalkan kepada anggota PP Muhammadiyah yang hadir pada acara malam tersebut bahwa PCIM Amerika banyak terdiri dari expert di berbagai bidang. Setelah perkenalan anggota PP Muhammadiyah, perbincangan kemudian mengalir berkisar pada masalah peran Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan dinamika dakwah Islam di Indonesia.

Dalam bincang-bincang tersebut, Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi masalah pendidikan, Prof. Malik Fajar, sempat memaparkan secara singkat program-program pendidikan Muhammadiyah. “Program-program tersebut sekarang sudah bisa diakses melalui website-website yang dimiliki Muhammadiyah” kata tokoh yang identik dengan kebangkitan UM Malang tersebut. Malik Fajar yang pernah menjabat sebagai menteri agama, menteri pendidikan dan menko kesra atinterim tersebut sempat ditanya tentang tentang peran muhammdiyah pada masalah pengentaskan kemiskinan.

Zainal Mutaqqien, mahasiswa S2/S3 pada Temple University, Philadelphia dalam kesempatan tersebut menanyakan tentang peran isu krisis ulama di Muhammadiyah. “Sekarang banyak orang bertanya-tanya bahwa muhammadiyah tidak memiliki ulama” kata Zen. Dengan spontan Ketua Umum, Din Syamsuddin, menjelaskan bahwa sebenarnya banyak ulama-ulama yang dihasilkan Muhammadiyah sampai saat ini. Diskusi yang sebelumnya direncanakan mulai pukul 19.30 WIB tersebut, kemudian berkembang dalam masalah politik. Dari New York, Dr. Yusmin Alim, alumni Cornell Univeristy, menanyakan peran Muhammadiyah di pemerintahan. Din menjawab bahwa Muhammadiyah memiliki banyak kader diberbagai partai politik dan kader non partisan di pemerintah. “ Disini mereka memiliki peran srtategis, walaupun muhammadiyah tidak berpolitik” terang Din kemudian.

Kontribusi PCIM USA Ditunggu
Dalam penutupan dialog, Din menyatakan bahwa warga Muhammadiyah harusnya merasa bangga dengan acara silaturahim seperti ini. Din berharap agar acara-acara seperti ini terus bisa berlangsung dan berkembang dengan melibatkan PCIM yang lain. Selain itu, Din juga menyampaikan harapannya akan partisipasi para expert di Amerika dan negara lainnya di dunia untuk berkontribusi positif pada perkembangan Dakwah Muhammadiyah. Selanjutnya Din berpesan, “Pemikiran-pemikiran para ahli Indonesia di Amerika dan negara lain di seluruh dunia sangat dibutuhkan dan senantiasa ditunggu”. (Arif

Rabu, 06 Februari 2008

PBB Undang Ketua PP Muhammadiyah untuk Pemberdayaan Kaum Miskin



Jakarta-RoL--Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sejak Senin (4/2) berada di New York atas undangan Komisi PBB tentang "Legal Empowerment for the Poor" (pemberdayaan secara hukum kaum miskin).

Siaran pers PP Muhammadiyah yang diterima di Jakarta, Selasa, mengatakan lembaga itu mengundang beberapa pemuka agama dunia, termasuk Din, untuk berkonsultasi tentang perlindungan dan akses hukum bagi kaum miskin yang jumlahnya kini mencapai ratusan juta jiwa.

Komisi yang dipimpin mantan Menlu AS Madeline Albright meminta pandangan Din Syamsuddin tentang perspektif Islam dan pengalaman Ormas Islam Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan secara hukum kaum miskin.

Din merasa mendapat kehormatan diundang pada konsultasi ini yang dianggapnya penting karena angka kemiskinan yang tinggi masih merupakan masalah di dunia termasuk Indonesia.

Dalam kaitan itu, kata Din, agama harus berperan sebagai pemberi jalan keluar (problem solver) karena sejatinya agama khususnya Islam sangat antikemiskinan.

"Tapi sayang agama sering gagal difungsikan pemeluknya untuk mengatasi masalah ini, bahkan sebaliknya sering menciptakan kemiskinan karena lemahnya etos kerja," kata Din.

Kondisi Indonesia sendiri, kata Din, saat ini kemiskinan masih melilit sebagian rakyat. Penyebabnya, selain karena faktor kultural yaitu lemahnya etos kerja dan daya saing, juga disebabkan oleh faktor struktural yaitu sistem ekonomi yang diadopsi negara terlalu berorientasi pertumbuhan, kurang pada pemerataan.

Dampaknya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

"Lemahnya perlindungan hukum juga menjadikan kaum miskin baik di desa maupun di kota menjadi makin sengsara, seperti pada kasus penggusuran yang menjadikan mereka tidak berdaya," kata Din. antara/pur

Jumat, 01 Februari 2008

Din Masih Mengemban Amanat Muhammadiyah

Kamis, 31 Januari 2008 | 19:17 WIB

JAKARTA, KAMIS - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin menegaskan bahwa dirinya masih mengemban amanah dari Persyarikatan Muhammadiyah. Itu sebabnya, belum memikirkan tawaran ataupun menawarkan diri untuk terjun sebagai pasangan presiden ataupun wakil presiden pada pemilu 2009.

Demikian siaran pers PP Muhammadiyah yang diterima Kompas di Jakarta, Kamis (31/1). Din menjelaskan tentang kehadiran dirinya peringatan HUT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dilaksanakan di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Din, kehadirannya merupakan silaturrahim sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang selalu menjaga kedekatan yang sama dengan ormas dan parpol manapun juga. Apalagi, menurut Din, dirinya mempunyai banyak kawan di PDIP dan merasa punya hubungan baik dengan para fungsionaris DPP PDIP.

Din mengaku, ada dua alasan yang membuat dirinya tertarik dengan PDIP. Pertama, orientasi PDIP terhadap wong cilik atau kaum dhu'afa. Kedua, sikap PDIP untuk membangun kemandirian bangsa dengan tidak mudah terjebak pada kekuatan asing.

Kedua sikap politik PDIP ini, menurut Din, relevan dengan kondisi rakyat Indonesia yang masih banyak hidup miskin, sementara tekanan globalisasi begitu kuat.