Selasa, 28 Oktober 2008

Pelayanan Sosial Muhammadiyah


  • Oleh Abu Su’ud

PADA masa Orde Lama, ada semacam kecenderungan dalam susunan pemerintahan pusat, di mana kursi kementerian tertentu dipercayakan pada segmen tertentu dalam masyarakat. Kaum nasionalis, misalnya, hampir selalu menduduki kursi Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementerian Kesehatan dipercayakan kepada para dokter beragama Kristen, Kementerian Sosial dipercayakan kepada orang Muhammadiyah, dan Kementerian Agama nyaris selalu dipercayakan kepada para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Kecenderungan itu lantas membentuk semacam pencitraan sosial.

Untuk selanjutnya, nampaknya Muhammadiyah hampir selalu mendapat kepercayaan menduduki pos-pos di Departemen Sosial, Departemen Pndidikan, atau Departemen Agama ketika kebetulan tidak diduduk NU.

Citra NU sebagai ormas yang mengelola pendidikan agama memang sesuai namanya: Nahdlatul (Kebangkitan) Ulama. Sementara Muhammadiyah selalu dicitrakan sebagai ormas yang dekat sekali dengan kegiatan pelayanan sosial, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, maupun dakwah Islam.

Citra seperti itu pernah menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam terhadap Muhammadiyah, sampai-sampai Muhammadiyah disebutkan sebagai Islam Kristen.

Di mana-mana, Muhammadiyah membuka PKO yang dahulu merupakan singkatan dari Penyelamat Kesengsaraan Oemat. PKO sepertinya menjadi ”merek dagang” Muhammadiyah, yang meliputi balai kesehatan, poliklinik, rumah bersalin (RB), rumah sakit, panti asuhan yatim piatu (PAY), maupun sekolah-sekolah.

Anggapan seperti itu sebenarnya tidak terlalu keliru. Sebab sejak masa penjajahan Belanda, pelayanan sosial semacam itu senantiasa ditangani misionaris Katolik maupun zending Protestan di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia.

Apalagi ketika belum memiliki tenaga medis sendiri, PKO Muhammadiyah meminjam tenaga medis dari pusat pelayanan kesehatan dari lembaga misionaris atau zending.

KH Ahmad Dahlan memang sangat berani menentang arus dalam mengembangkan persyarikatan. Ketika hampir semua umat Islam terkesima dengan fatwa ”man tasyabaha bi kaumin, fahuwa minhum”, KH Ahmad Dahlan justru berani melakukannya.

Fatwa itu berarti ”barang siapa mirip-mirip dengan sesuatu kaum, maka dia termasuk kaum itu”. Ya, itulah risiko yang ditanggung persyarikatan, sehingga kemudian dijuluki sebagai Islam Kristen.

Penyediaan SDM

Agaknya PKO sebagai merek dagang makin dikembangkan. Tak hanya dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat maupun panyediaan fasilitas serta program, tetapi juga mencakup amal-amal usaha sebagai badan dalam persyarikatan. Tidak terkecuali dilakukan pembenahan dalam penyediaan SDM maupun tenaga penunjang pelaksanaan program.

Karena itu, dibukalah berbagai program pendidikan pendukung berupa lembaga pendidikan terkait sebagai penyediaan SDM. Almarhum Nurcholish Madjid pernah menyebut Muhammadiyah bagai konglomerat pendidikan, karena banyaknya lembaga pendidikan dari berbagai jenjang dan berbagai program pendidikan yang diselenggarakan di seantero Indonesia.

Berkaitan dengan merek dagang yang mencakup kegiatan di bidang kesehatan, Muhammadiyah mengutamakan program-program pendidikan keguruan, agama, dan umum.

Sekolah Keperawatan, Akademi Keperawatan, Akademi Kebidanan, Akademi Analis Kesehatan, Akademi Statistika, dan sebagainya menjadi progran unggulan, dan nyaris menjadi program wajib bagi setiap pimpinan persyarikatan di daerah-daerah, di samping menyelenggarakan kegiatan dakwah dan pengajian.

Peranserta Muhammadiyah dalam ikut mencerdaskan bangsa makin banyak untuk memenuhi kebutuhan amal usaha persyarikatan, baik untuk kepentingan umum, maupun untuk penyediaan kebutuhan bagi amal usaha itu sendiri.

Gelora atau syahwat politik di kalangan warga Muhammadiyah nampaknya tidak mematikan semangat dakwah dan pelayanan sosial, sebagai dikobarkan KHA Dahlan sebagai pendiri persyarikatan ini.

Secara pribadi, masing-masing warga Muhammadiyah memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan aspirasi politiknya melalui berbagai parpol yang ada, termasuk yang difasilitasi mantan personil persyarikatan, seperti PPP, PAN, dan PMB (Partai Matahari Bangsa).

Namun secara resmi persyarikatan tetap istikomah, meneruskan semangat Surat Al-Ma’un, yaitu pengabdian kepada kaum sengsara atau dhuafa.

Pengabdian Strategis

Barangkali bukan sekadar kebetulan kalau dalam kabinet SBY-JK, Muhammadiyah mendapat kepercayaan memimpin pos Departemen Pendidikan Nasional serta Departemen Kesehatan. Kepercayaan ini harus diterima sebagai amanat dan kepercayaan profesional kepada persyarikatan sebagai ormas yang memiliki komitmen di kedua bidang itu.

Tetapi hanya sebagai kebetulan saja jika Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) pada tahun akademik 2008/2009 menerima SK peresmian untuk mengelola Fakultas Kedokteran.

Artinya tidak terkait dengan kenyataan bahwa Mendiknad dan Menteri Kesehatan dipegang orang Muhammadiyah. Sebab ini merupakan Fakultas Kedokteran kesekian yang dimiliki Universitas Muhammadiyah di Indonesia.

Tekat membuka Fakultas Kedokteran dalam rangka memaksimalkan pelayanan sosial persyarikatan telah lama menjadi kesepakatan dua orang ibu yang penuh dedikasi.

Pertama, Prof Dr Istiati Sutomo yang menjadi rektor pertama Unimus. Kedua, Dr Hj Mutmainah Prihadi SpOG yang kini menjabat direktur RS PKO Rumani Muhammadiyah.

Tekad keduanya itu kemudian ditindaklanjuti pimpinan Unimus periode kedua, dengan berbagai langkah strtategis dan pengajuan proposal. Kemudian persyarikatan mendapat kepercayaan mengelola Fakultas Kedokteran di tahun pertama periode kepemimpinan ketiga Unimus, pada usianya yang kesembilan.

Kepercayaan pemerintah itu merupakan pemantapan terhadap kepercayaan profesional yang diemban oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa tahun sebelumnya.

Pada kesempatan seperti ini, mau tak mau seluruh civitas akademika Unimus tidak bisa melupakan dedikasi almarhum Prof Dr Dr H Satoto SpAG, yang telah merintis mendirikan Perguruan Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Semarang (PTKMS), yang kemudian beralih fungsi menjadi Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keperawatan Semarang, untuk mempersiapkan tenaga paramedis di Unimus. Semoga Allah merahmati almarhum dan mengampuni semua amal baiknya. Dirgahayu Unimus! (32)

—Prof Dr Abu Su’ud, guru besar emiritus Unnes dan mantan rektor Unimus kedua.

Minggu, 26 Oktober 2008

Tanah Wakaf untuk Lahan Pertanian Abadi

Abdullah Ubaid Mathraji
Asisten Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia.


Pertanian merupakan salah satu sektor penopang kehidupan yang strategis. Sayangnya bidang ini belakangan tampaknya sepi peminat. Apalagi, kini harga gabah cenderung tak bersahabat dengan petani.

Selain itu, profesi ini juga dianggap ketinggalan zaman dan tak menjanjikan. Hal ini berdampak pada banyaknya lahan pertanian di desa-desa yang kian tak terurus, bahkan dikonversi menjadi lahan nonpertanian.

Kondisi ini tentu saja tak boleh dibiarkan mengingat peran pertanian yang begitu sentral dalam pengembangan ekonomi bangsa. Di antaranya ang mencakup aspek produksi atau ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani atau pengentasan kemiskinan. Yang tak kalah pentingnya adalah peran pertanian dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Itulah yang sering kali disebut sebagai multifungsi pertanian.

Untuk melestarikan multifungsi tersebut, salah satu strateginya adalah membuka lahan pertanian abadi yang berasal dari tanah wakaf. Langkah ini merupakan jalan keluar yang sinergi dengan masalah di lapangan.

Pembukaan lahan baru adalah solusi sempitnya lahan pertanian. Lahan pertanian abadi dimaksudkan mencegah konversi lahan untuk kepentingan nonpertanian.

Mengapa tanah wakaf dijadikan sebagai salah satu jalan alternatif? Pertama, karena sifatnya yang abadi berguna untuk menghindari konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Kedua, potensi tanah wakaf yang besar akan sangat bermanfaat jika diproduktifkan menjadi lahan pertanian.

Berdasarkan data Departemen Agama RI, hingga Oktober 2007 tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68 meter persegi atau 268.653,67 ha yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Namun, selama ini potensi tersebut belum digali dan dimanfaatkan secara optimal.

Tanah-tanah wakaf itu sebagian besar dimanfaatkan untuk sarana ibadah, kuburan, panti asuhan, dan sarana pendidikan, yang jumlahnya mencapai 23 persen. Sisa tanah wakaf yang 77 persen belum diapa-apakan atau masih diam. (Penelitian PBB UIN Jakarta, 2006). Apa pasal?

Terbengkalainya tanah wakaf ini tak lepas dari pemahaman pengelola wakaf (nazhir) dan masyarakat umum tentang pengelolaan harta benda wakaf. Selama ini mereka masih banyak yang beranggapan bahwa tanah wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah. Misalnya, pembangunan masjid, kompleks kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Akibatnya, tanah wakaf masih dikelola secara konsumtif.

Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja di atas lahan wakaf dibangun pusat bisnis, ruko, hotel, atau dijadikan lahan pertanian. Kemudian, hasil pengelolaan tersebut digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti beasiswa, pelayanan kesehatan, bantuan modal usaha, dan lain-lain.

Itulah yang disebut sebagai pengelolaan tanah wakaf ke arah produktif. Adapun berbagai model pengelolaan tanah wakaf secara produktif ini masih belum banyak dikenal oleh khalayak. Salah satunya dengan mengelola tanah wakaf menjadi lahan pertanian.

Saat ini pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian bisa dibilang jarang. Padahal, kalau menilik sejarah, Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan tentang pentingnya wakaf adalah untuk tujuan produktif. Salah satunya berupa lahan pertanian.

Pekerjaan seperti itu dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap sebidang tanah yang terletak di Khaibar. Kemudian, hasil pengelolaannya untuk kesejahteraan masyarakat, disedekahkan kepada fakir miskin, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan kepada para tamu. (Fiqh al-Sunnah, jilid III: 381; Subul al-salam: 87).

Memproduktifkan untuk kesejahteraan
Kesejahteraan sosial yang menjadi pesan perenial ajaran wakaf sesungguhnya berjalan linear dengan multifungsi pertanian seperti dituturkan di atas. Karena itu, tak hanya memperluas lahan pertanian dan mencegah konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, tanah pertanian abadi yang berasal dari tanah wakaf juga mampu menjebol gap untuk menyinergikan produktivitas pertanaman dengan potensinya, serta memperkuat kelembagaan pertanian. Bagaimana bisa?

Tentu saja bisa. Optimisme ini setidaknya didukung oleh dua pilar. Pertama, dukungan pemerintah dalam pengelolaan tanah wakaf ke arah produktif. Salah satunya adalah sektor pertanian.

Dukungan ini diwujudkan dengan lahirnya UU No 41 tentang Wakaf dan PP No 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Dalam hal ini, pemerintah yang berwenang adalah Departemen Agama RI dan Badan Wakaf Indonesia (lembaga independen yang bertugas untuk memajukan perwakafan di Indonesia, yang berdiri berdasarkan amanat UU No 41/2004).

Kedua, adanya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang siap membantu dan bekerja sama dalam mengelola tanah wakaf ke arah produktif, salah satunya adalah sektor pertanian. Peran LKS ini sudah paten sebab sudah diamanahkan dalam UU No 21/2004, bahwa Menteri Agama berdasarkan saran dan pertimbangan BWI menunjuk nama-nama LKS untuk bekerja sama dalam mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia.

Kini ada lima LKS yang sudah ditunjuk Menag dan siap bekerja sama, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah. (Keputusan Menteri Agama RI, No. 92-26 Tahun 2008). Dengan adanya dua pilar penopang ini, jurang pemisah antara sinergi produktivitas dan potensi serta lemahnya kelembagaan pertanian di pedesaan, tak lagi jadi masalah. Ini karena Depag RI dan BWI punya kewajiban mendampingi pengelola lahan pertanian abadi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya pengelola dengan berbagai macam pelatihan dan keahlian untuk menunjang profesionalitas kerja. Juga menyediakan bantuan berbagai fasilitas untuk peningkatan produktivitas pertanian.

Jika pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian abadi tersebut telah dikelola secara produktif, maka hasilnya harus dibagi, 10 persen untuk pengelola, sedangkan sisanya 90 persen digunakan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Ketentuan ini sudah baku seperti tecermin dalam Pasal 12, UU No 21 tahun 2004.

Bentuk kesejahteraan masyarakat yang dananya dialokasikan dari hasil pengelolaan aset wakaf ini meliputi tiga ruang lingkup: sarana dan prasarana ibadah, bantuan kegiatan sosial-kemasyarakatan dan pendidikan, serta peningkatan peradaban bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah nilai plus dari pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian abadi. Selain melestarikan multifungsi pertanian, hasil pengelolaannya pun tidak mutlak milik pengelola, tapi ada porsi besar untuk kesejahteraan masyarakat.

(-)

Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah


Deni al Asy'ari
Mantan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)


Bayang-bayang keterlibatan Muhammadiyah secara praktis ke dalam ruang politik belakangan ini semakin kentara. Walaupun beberapa pimpinan di organisasi modernis ini menyangkal keterlibatan maupun keberpihakan Muhammadiyah dalam politik praktis, faktanya dengan berdirinya Partai Matahari Bangsa (PMB) yang didirikan oleh sebagian besar Angkatan Muda Muhammadiyah dan didukung penuh oleh Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah Prof Dr H Din Syamsudidin menunjukkan fakta sebaliknya.

Apalagi, Ketua Umum Pusat Muhammadiyah yang merupakan simbol dan kunci bagi tegaknya gerakan kultural Muhammadiyah secara terang-terangan dan terus-menerus melibatkan dirinya dengan berbagai pernyataan yang menunjukkan kesiapannya untuk menjadi petinggi republik ini (presiden atau wakil presiden), sekaligus dengan memberikan dukungan penuh terhadap kehadiran PMB. Memang fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah, tetapi warga Muhammadiyah nyatanya tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.

Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya bisa kita cermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan memberikan dukungan terhadap partai tersebut.

Langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi, berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip High Politic, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap parpol tertentu.

Muhammadiyah sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh HM Junus Anis, salah satu pimpinan Muhammadiyah, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah tidak akan pernah digadaikan atau terjual oleh kepentingan politik atau menjadi parpol.

Ungkapan ini muncul akibat kejengkelan HM Junus Anis yang begitu mudahnya pimpinan Muhammadiyah tergoda dengan kepentingan politik. Melalui khotbah iftitah pada muktamar ke-35 dan milad setengah abad Muhammadiyah, beliau menjawab dengan ketus: ''Silakan makan, kalau memang doyan, tapi awas kalau nanti keleleden: ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar. Ingat, Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah: selalu kukuh untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar untuk kebaikan semua masyarakat sebagai bagian dari gerakan kultural.''

Begitu kokoh dan kuatnya pendirian HM Junus Anis untuk menjaga eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan kultural. Bahkan, ketika Ahmad Syafii Maarif melanjutkan kepemimpinan Muhammadiyah sangat tampak komitmen beliau untuk meneruskan semangat dan cita-cita para pendahulu pimpinan Muhammadiyah yang ingin meletakkan Muhammadiyah untuk kepentingan bangsa.

Dengan demikian, dengan kokoh beliau masuk ke dalam semua parpol tanpa menunjukkan sikap keberpihakannya terhadap salah satu parpol. Dengan adanya sikap yang demikian, Muhammadiyah akan selalu dipandang dan dilihat sebagai organisasi besar tempat banyak orang mengadu dan meminta petunjuk.

Akan tetapi, tentunya akan berbeda jika Muhammadiyah sudah menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu parpol atau masuk dalam ruang politik praktis. Hal ini tanpa kita sadari akan memperkecil keberadaan dan peran organisasi Muhammadiyah itu sendiri.

Muhammadiyah bagi masyarakat tidak lagi menjadi bagian atau kepemilikan dari masyarakat secara luas, melainkan sebagai bagian atau kepemilikan dari sebagian atau sekelompok orang atau partai politik tertentu. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak bisa menjadi tenda bangsa yang seharusnya mengayomi semua kepentingan demi menjalankan misi dakwah amar makruf nahi munkir.

Apalagi, kita menyadari dunia politik (praktis) bukanlah dunia yang sesederhana sebagaimana kita memandangnya. Meminjam pendapatnya Sukardi Rinakit, misalnya, bahwa dunia politik adalah dunia yang becek dan licin.

Jika tidak hati-hati dan teliti akan bisa menjemuruskan keberadaan kita sendiri. Oleh karenanya, Ahmad Syafii Maarif pernah berujar bahwa politik itu pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah itu merangkul. Artinya, dunia politik akan bisa menjadikan orang yang satu barisan dengan kita untuk bermusuhan jika terjadi perbedaan kepentingan. Berbeda dengan jalur dakwah yang tidak akan melihat siapa kawan dan siapa lawan, semuanya bisa dirangkul demi tegaknya amar makruf nahi munkar.

Menyangkut hal ini, catatan sejarah akan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis rasanya cukup memberikan pelajaran yang penting bagi kita, bagaimana tergelincirnya Muhammadiyah dalam ruang politik yang akhirnya tidak membawa manfaat bagi Muhammadiyah dan bangsa ini secara luas. Mulai dari keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi, Perti, dan Sekber Golkar.

Untuk itu, dalam menghadapi iklim politik 2009, sebagai warga Muhammadiyah kita tentunya tetap memiliki harapan agar Muhammadiyah tetap berada di garda terdepan dalam menuntun moralitas dan perilaku politik publik agar terwujud masyarakat baldatun tayyibatun warabbun ghafur sebagaimana tujuan dari Muhammadiyah.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setidaknya warga Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009 tidak mudah tergelincir dengan tampilan-tampilan kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang nyata-nyatanya bisa menjemuruskan cita-cita Muhammadiyah. Ada pelajaran penting yang bisa kita petik dari pemilu tahun 2004 sebagai pelajaran bagi kita dalam menghadapi pemilu 2009.

Pertama, tetap istiqamah dengan perjuangan dakwah atau gerakan kultural Muhammadiyah tanpa menunjukkan keterlibatan atau keberpihakan Muhammadiyah, terutama sekali pucuk pimpinan Muhammadiyah terhadap salah satu parpol sebagaimana arahan PP Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009. Kedua, menjauhkan warga Muhammadiyah dari berbagai rayuan politik uang maupun kepentingan politik berjangka pendek demi kepentingan satu kelompok atau parpol tertentu.

Ketiga, memilih kepemimpinan nasional baik untuk legislatif maupun eksekutif yang jujur, amanah, memiliki integritas moral dan intelektual yang tinggi, adil dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional secara luas. Keempat, menjaga aset dan segala bentuk amal usaha Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis perseorangan maupun kelompok. Kelima, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, kesopanan dan keadaban yang dapat menciptakan kondisi tenang, aman, dan tenteram bagi kehidupan kita berbangsa secara luas.

Ikhtisar:
- Manuver dan pernyataan petinggi Muhammadiyah dapat mencederai cita-cita dan idealisme organisasi tersebut.
- Politik pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah merangkul.
- Muhammadiyah harus tetap berada di garda terdepan menuntun moralitas dan perilaku politik publik.

Rabu, 22 Oktober 2008

Zubair Watua PP Muhammadiyah Dukung Mega Hidayat


JAKARTA, RABU - Keinginan untuk menduetkan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Ketua MPR Hidayat Nurwahid, kini mulai dihembuskan. Wacana ini digagas oleh Direktur Pro Mega Center Mochtar Muhammad, Selasa (21/10) kemarin.

Rencana menduetkan dua tokoh karismatik dari kalangan nasionalis--religius ini, mendapat dukungan dari salah seorang ulama Muhammadiyah, yang tak lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Goodwil Zubair.

Zubair menyatakan bila Megawati dan Hidayat Nurwahid bisa disandingkan pada Pilpres 2009 nanti, diyakini bisa meraup suara signifikan. Keduanya sama-sama memiliki Partai Politik yang kuat.

"Sangat luar biasa bila mereka bersatu. Saya acungkan jempol wacana yang digagas ini Pak Mochtar. Saya yakin, Koalisi kebangsaan ini bisa pilih tanding di Pemilu 2009. Kita perlu sosok Ibu Mega dan Pak Hidayat. Keduanya sudah dikenal luas di akar rumput," kata Zubair kepada para wartawan kemarin.

Zubair juga meyakini, duet Mega-Hidayat bisa menyelesaikan persoalan bangsa dan krisis berkepanjangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Zubair kemudian menyarankan agar PDIP dan PKS segera menjalin komitmen, membicarakan untuk melakukan koalisi sejak dini.

"Masyarakat di akar rumput respect terhadap keduanya. Apalagi, pak Hidayat itu orang Muhammadiyah juga. Jadi, kenapa kita tak memberikan restu," katanya.

Direkter Pro Mega Center, Mochtar Mohammad menjelaskan wacana Mega-Hidayat menguat di PDIP. Bisa saja, dikemudian hari duet ini bisa menjadi kenyataan.

"Siapa bilang kita tak bisa bersatu dengan PKS? Kami, di PDIP akan menggarap kalangan menengah bawah sementara PKS yang garap kalangan menengah ke atas. Bila duet ini menjadi kenyataan, koalisi PDIP--PKS saya yakin akan menang dalam Pemilu," kata Mochtar.

Berbagai survey yang dilakukan, jelasnya, Megawati-Hidayat Nurwahid menjadi kandidat capres dan cawapres layak jual. Kini, kata Mochtar, hanya tinggal menunggu keputusan DPP PDIP, dengan siapa Megawati akan disandingkan.

"Bagi saya, keduanya (Mega-Hidayat) juga sama-sama punya modal sosial serta politik yang besar. Dan saya yakin Mega- Hidayat bisa mengalahkan duet SBY-JK seandainya mereka kembali berduer," ujarnya.

Pro Mega Center, kini sedang mematangkan duet Mega-Hidayat. Termasuk, lobi-lobi dengan para petinggi DPP PDIP untuk bersama melakukan lobi politik agar duet itu biasa terealisasi dalam Pilpres 2009 mendatang.

Menurut sumber yang berhasil dihimpun, baik kalangan PDIP dan PKS sudah saling melakukan lobi politik. Kedua kubu itu intensif untuk melakukan pertemuan, terutama untuk menggolkan duet Mega Hidayat.

Ketua DPP PKS Zulkifliemansyah saat dikonfirmasi wartawan tidak membantah kemungkinan Mega berduet dengan Hidayat Nurwahid.

"Meski keputusan majelis syuro partai yang menyatakan PKS baru bicara soal capres usai legislatif, namun duet Mega-Hidayat sudah menjadi gagasan. Yang jelas, dalam membangun sebuah koalisi itu, dalam dunia politik itu bisa saja terjadi dan dengan siapapun. Apalagi PKS juga mengusung sebuah koalisi kebangsaan,” katanya.

Akankah rencana B, seperti yang diungkap Ketua Dewan Pertimbangan Partai Taufik Kiemas, melakukan koalisi merah-putih ini akan terwujud?

Kamis, 16 Oktober 2008

Pelayanan Sosial Muhammadiyah

  • Oleh Abu Su’ud

PADA masa Orde Lama, ada semacam kecenderungan dalam susunan pemerintahan pusat, di mana kursi kementerian tertentu dipercayakan pada segmen tertentu dalam masyarakat. Kaum nasionalis, misalnya, hampir selalu menduduki kursi Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementerian Kesehatan dipercayakan kepada para dokter beragama Kristen, Kementerian Sosial dipercayakan kepada orang Muhammadiyah, dan Kementerian Agama nyaris selalu dipercayakan kepada para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Kecenderungan itu lantas membentuk semacam pencitraan sosial.

Untuk selanjutnya, nampaknya Muhammadiyah hampir selalu mendapat kepercayaan menduduki pos-pos di Departemen Sosial, Departemen Pndidikan, atau Departemen Agama ketika kebetulan tidak diduduk NU.

Citra NU sebagai ormas yang mengelola pendidikan agama memang sesuai namanya: Nahdlatul (Kebangkitan) Ulama. Sementara Muhammadiyah selalu dicitrakan sebagai ormas yang dekat sekali dengan kegiatan pelayanan sosial, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, maupun dakwah Islam.

Citra seperti itu pernah menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam terhadap Muhammadiyah, sampai-sampai Muhammadiyah disebutkan sebagai Islam Kristen.

Di mana-mana, Muhammadiyah membuka PKO yang dahulu merupakan singkatan dari Penyelamat Kesengsaraan Oemat. PKO sepertinya menjadi ”merek dagang” Muhammadiyah, yang meliputi balai kesehatan, poliklinik, rumah bersalin (RB), rumah sakit, panti asuhan yatim piatu (PAY), maupun sekolah-sekolah.

Anggapan seperti itu sebenarnya tidak terlalu keliru. Sebab sejak masa penjajahan Belanda, pelayanan sosial semacam itu senantiasa ditangani misionaris Katolik maupun zending Protestan di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia.

Apalagi ketika belum memiliki tenaga medis sendiri, PKO Muhammadiyah meminjam tenaga medis dari pusat pelayanan kesehatan dari lembaga misionaris atau zending.

KH Ahmad Dahlan memang sangat berani menentang arus dalam mengembangkan persyarikatan. Ketika hampir semua umat Islam terkesima dengan fatwa ”man tasyabaha bi kaumin, fahuwa minhum”, KH Ahmad Dahlan justru berani melakukannya.

Fatwa itu berarti ”barang siapa mirip-mirip dengan sesuatu kaum, maka dia termasuk kaum itu”. Ya, itulah risiko yang ditanggung persyarikatan, sehingga kemudian dijuluki sebagai Islam Kristen.

Penyediaan SDM

Agaknya PKO sebagai merek dagang makin dikembangkan. Tak hanya dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat maupun panyediaan fasilitas serta program, tetapi juga mencakup amal-amal usaha sebagai badan dalam persyarikatan. Tidak terkecuali dilakukan pembenahan dalam penyediaan SDM maupun tenaga penunjang pelaksanaan program.

Karena itu, dibukalah berbagai program pendidikan pendukung berupa lembaga pendidikan terkait sebagai penyediaan SDM. Almarhum Nurcholish Madjid pernah menyebut Muhammadiyah bagai konglomerat pendidikan, karena banyaknya lembaga pendidikan dari berbagai jenjang dan berbagai program pendidikan yang diselenggarakan di seantero Indonesia.

Berkaitan dengan merek dagang yang mencakup kegiatan di bidang kesehatan, Muhammadiyah mengutamakan program-program pendidikan keguruan, agama, dan umum.

Sekolah Keperawatan, Akademi Keperawatan, Akademi Kebidanan, Akademi Analis Kesehatan, Akademi Statistika, dan sebagainya menjadi progran unggulan, dan nyaris menjadi program wajib bagi setiap pimpinan persyarikatan di daerah-daerah, di samping menyelenggarakan kegiatan dakwah dan pengajian.

Peranserta Muhammadiyah dalam ikut mencerdaskan bangsa makin banyak untuk memenuhi kebutuhan amal usaha persyarikatan, baik untuk kepentingan umum, maupun untuk penyediaan kebutuhan bagi amal usaha itu sendiri.

Gelora atau syahwat politik di kalangan warga Muhammadiyah nampaknya tidak mematikan semangat dakwah dan pelayanan sosial, sebagai dikobarkan KHA Dahlan sebagai pendiri persyarikatan ini.

Secara pribadi, masing-masing warga Muhammadiyah memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan aspirasi politiknya melalui berbagai parpol yang ada, termasuk yang difasilitasi mantan personil persyarikatan, seperti PPP, PAN, dan PMB (Partai Matahari Bangsa).

Namun secara resmi persyarikatan tetap istikomah, meneruskan semangat Surat Al-Ma’un, yaitu pengabdian kepada kaum sengsara atau dhuafa.

Pengabdian Strategis

Barangkali bukan sekadar kebetulan kalau dalam kabinet SBY-JK, Muhammadiyah mendapat kepercayaan memimpin pos Departemen Pendidikan Nasional serta Departemen Kesehatan. Kepercayaan ini harus diterima sebagai amanat dan kepercayaan profesional kepada persyarikatan sebagai ormas yang memiliki komitmen di kedua bidang itu.

Tetapi hanya sebagai kebetulan saja jika Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) pada tahun akademik 2008/2009 menerima SK peresmian untuk mengelola Fakultas Kedokteran.

Artinya tidak terkait dengan kenyataan bahwa Mendiknad dan Menteri Kesehatan dipegang orang Muhammadiyah. Sebab ini merupakan Fakultas Kedokteran kesekian yang dimiliki Universitas Muhammadiyah di Indonesia.

Tekat membuka Fakultas Kedokteran dalam rangka memaksimalkan pelayanan sosial persyarikatan telah lama menjadi kesepakatan dua orang ibu yang penuh dedikasi.

Pertama, Prof Dr Istiati Sutomo yang menjadi rektor pertama Unimus. Kedua, Dr Hj Mutmainah Prihadi SpOG yang kini menjabat direktur RS PKO Rumani Muhammadiyah.

Tekad keduanya itu kemudian ditindaklanjuti pimpinan Unimus periode kedua, dengan berbagai langkah strtategis dan pengajuan proposal. Kemudian persyarikatan mendapat kepercayaan mengelola Fakultas Kedokteran di tahun pertama periode kepemimpinan ketiga Unimus, pada usianya yang kesembilan.

Kepercayaan pemerintah itu merupakan pemantapan terhadap kepercayaan profesional yang diemban oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa tahun sebelumnya.

Pada kesempatan seperti ini, mau tak mau seluruh civitas akademika Unimus tidak bisa melupakan dedikasi almarhum Prof Dr Dr H Satoto SpAG, yang telah merintis mendirikan Perguruan Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Semarang (PTKMS), yang kemudian beralih fungsi menjadi Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keperawatan Semarang, untuk mempersiapkan tenaga paramedis di Unimus. Semoga Allah merahmati almarhum dan mengampuni semua amal baiknya. Dirgahayu Unimus! (32)

—Prof Dr Abu Su’ud, guru besar emiritus Unnes dan mantan rektor Unimus kedua.

Selasa, 14 Oktober 2008

Muhammadiyah, "Raksasa" Pendidikan yang Gamang



danu
MUHAMMAD Darwisy yang dilahirkan pada tahun 1868 dari keluarga KH Abu Bakar, ulama terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, sesungguhnya bukan seorang guru. Latar belakang kehidupannya adalah seorang pendakwah. Namun, semangat pembaharuan yang bergelora dalam jiwanya, apalagi setelah melihat kemunduran umat Islam di Tanah Air kala itu, mendorongnya terus mengembangkan agama lewat pengajaran.

Darwisy menyadari pendidikan merupakan sarana menumbuhkan ide-ide pembaharuan untuk "menyelamatkan" umat dari kemunduran. Karena itu, ketika "modal"-nya sudah cukup ia mendirikan Madrasah Muallimin (sekolah agama untuk pria) maupun Madrasah Muallimat (sekolah agama untuk wanita). Diharapkan dari kedua sekolah itu dilahirkan puluhan pendakwah yang mampu semakin menguatkan pembaharuan Islam.

Ketika tahun 1912 dia mendirikan persyarikatan yang dinamai Muhammadiyah, Darwisy yang berganti nama menjadi Ahmad Dahlan pun mengonsentrasikan bidang garapannya pada pendidikan dan pengajaran. Karena pemerintahan Hindia Belanda membatasi kegiatan Muhammadiyah, dia menyiasati dengan membuka lembaga pendidikan yang bernama lain, bukan Muhammadiyah.

Akan tetapi, apa pun namanya lembaga pendidikan yang diprakarsai KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya terus berkembang. Apalagi, masyarakat Indonesia yang masih dijajah Hindia Belanda memang sangat merindukan adanya lembaga pendidikan bumi putera yang memperhatikan dan memperjuangan nasib mereka. Lembaga pendidikan Muhammadiyah kala itu tak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi mengembangkan semangat pembaharuan dan kemerdekaan.

Bahkan, setelah Ahmad Dahlan wafat, serta digantikan KH Ibrahim dan generasi penerus kepemimpinan Muhammadiyah lainnya, lembaga pendidikan "komunitas matahari"-sebutan bagi anggota Muhammadiyah yang berdasarkan lambang organisasi yang berbentuk matahari dengan sinarnya dan lagu "kebangsaan"nya yang berjudul "Sang Surya"-terus berkembang. Pendidikan menjadi core bussiness Muhammadiyah, selain bidang kesehatan dan pelayanan sosial.

Oleh masyarakat, Muhammadiyah sangat diidentikkan dengan lembaga pendidikan dan kesehatan. Gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar-nya sangat efektif dijalankan lewat pendidikan dan kesejahteraan sosial.

***

MUHAMMADIYAH kini berusia hampir 90 tahun. Mereka sudah 44 kali menggelar muktamar-pada periode awal pergerakan, kongres/muktamar dilakukan setiap tahun, lalu dua tahun sekali, tiga tahun sekali dan akhirnya lima tahun sekali-dengan menghasilkan kepemimpinan yang berkesinambungan. Lembaga pendidikan yang didirikan Muhammadiyah pun terus berkembang.

Bahkan, kini boleh dikatakan Muhammadiyah merupakan "raksasa" pendidikan. Jumlah lembaga pendidikan yang mereka miliki barangkali hanya dapat dikalahkan oleh negara. Lembaga pendidikan Muhammadiyah pun menyebar dari Sabang sampai Merauke dengan jenjang yang sangat beragam, mulai dari taman kanak-kanak (TK) yang dikelola oleh Aisyiah-organisasi istri Muhammadiyah-sampai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program strata tiga (doktoral).

Dalam buku Muhammadiyah an Islamic Movement in Indonesia yang diterbitkan Pengurus Pusat Muhammadiyah, diungkapkan jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia dari TK sampai perguruan tinggi berjumlah tidak kurang dari 9.500 unit (lihat tabel). Selain seluruh jenjang pendidikan sudah dirambah, lembaga pendidikan Muhammadiyah pun amat beragam mulai dari sekolah umum, sekolah Al Quran, dan kejuruan yang amat spesifik.

Jumlah maupun ragam lembaga pendidikan Muhammadiyah kemungkinan besar terus akan bertambah, sebab seperti dilaporkan Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) dalam Muktamar Ke-44 Muhammadiyah yang berakhir hari Selasa lalu, hampir setiap daerah mengajukan pembentukan sekolah maupun perguruan tinggi baru. Dan, dengan aset yang sangat besar-sebagai gambaran aset Majelis Pendidikan Tinggi (Dikti) Muhammadiyah pada tahun 1996 tidak kurang dari Rp 149,61 milyar-persyarikatan tidak sulit memenuhi permintaan sejumlah daerah tersebut.

Apalagi, dari sisi sumber daya manusia (SDM) Muhammadiyah juga tidak berkekurangan. Jumlah kader dan simpatisannya sampai muktamar Ke-44 lalu tercatat tidak kurang dari 28 juta. Di antara mereka ada puluhan yang menyandang gelar guru besar bidang pendidikan, seperti Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafi'i Maarif dan Prof Dr Amin Abdullah, selain ribuan kader lain yang bergelar master dan sarjana atau diploma.

Tentu, ini potensi besar untuk mengembangkan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ketika membuka dan menutup Muktamar Ke-44 Muhammadiyah mengakui pula potensi besar persyarikatan ini yang tak "tertandingi" organisasi yang mengelola lembaga pendidikan swasta lain. Sebab itu, Presiden dan Wapres meminta Muhammadiyah tak berhenti berperan dalam pengembangan SDM di Indonesia.

Pemerhati sosial Umar Shibab yang pernah mengenyam pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mengakui peran besar persyarikatan itu dalam mengembangkan keimanan, ketakwaan, dan rasa kebangsaan. "Saya tidak pernah melupakan pelajaran kemuhammadiyahan yang selalu diajarkan di sekolah Muhammadiyah. Pelajaran itu memberikan pencerahan," paparnya dalam sebuah tablig akbar menjelang Muktamar Ke-44 Muhammadiyah di Jakarta, pekan lalu. Kemuhammadiyahan adalah mata pelajaran "muatan lokal" di lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Sedang pemerhati pendidikan Mochtar Buchori, dalam buku Muhammadiyah dalam Sorotan (1993) mengakui, memperoleh dasar untuk memahami dunia modern dari sekolah Muhammadiyah yang dienyamnya lima tahun. "Landasan untuk mencintai demokrasi saya rasakan dari sekolah Muhammadiyah. Karena di sekolah inilah saya merasa "dibebaskan" dari suasana kultural politik yang bersifat kolonial feodalistik," ungkap mantan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah, Jakarta tersebut.

Walaupun demikian, Umar Shihab dan Mochtar Buchori mengakui terdapat sejumlah kekurangan dari penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah. Hanya saja, sejumlah kekurangan itu memang tak mengurangi arti pengabdian dan pengembangan umat yang telah dilakukan Muhammadiyah selama ini.

***

DALAM bidang pendidikan, Muhammadiyah tumbuh menjadi organisasi yang besar dan rimbun. Tidak hanya banyak orang yang menggantungkan pengembangan pribadi serta pengetahuan anak-anaknya kepada institusi pendidikan Muhammadiyah, tetapi ribuan kader Muhammadiyah hidup dari pengembangan pendidikan tersebut. Jika tidak memperhatikan etika dan moralitas, Muhammadiyah memang amat mungkin tergelincir dan terjebak dalam industrialisasi pendidikan.

Akan tetapi, untunglah sampai hari ini pendidikan Muhammadiyah masih amat memperhatikan moralitas tersebut. Sekolah atau perguruan tinggi Muhammadiyah, secara nasional masih diakui sebagai institusi pendidikan yang menjunjung tinggi akhlak dan tidak mengabaikan pula kebutuhan pendidikan bagi kaum duafa (miskin). Karena itu, seperti dilaporkan Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Prof Dr HM Yunan Yusuf, majelisnya masih sering kekurangan pendanaan.

Kelemahan di bidang pendanaan ini, lanjut Yunan, mengakibatkan sulitnya pendidikan Muhammadiyah mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan. Keterbatasan ini pun membuat lemahnya kemampuan pendidikan Muhammadiyah menghadapi persaingan dalam meningkatkan mutu kualitas pendidikan.

Pada Muktamar Ke-44 Muhammadiyah lalu, selain melaporkan adanya peningkatan jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah, sejumlah PDM dan PWM juga mengungkapkan kegamangannya menghadapi tantangan pendidikan ke depan. "Sekolah Muhammadiyah memang banyak, tetapi sampai sekarang harus diakui, kualitas pendidikan Muhammadiyah masih kalah dibanding dengan sekolah nonmuslim. Padahal, sebenarnya Muhammadiyah mempunyai sumber daya yang tidak kalah dibanding mereka," tandas Burhanuddin, muktamirin dari Nusatenggara Timur (NTT).

Bukan hanya di tingkat sekolah-dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas-perguruan tinggi Muhammadiyah pun dinilai belum mampu "mengimbangi" perguruan tinggi swasta lain. "Ironis, perguruan tinggi Muhammadiyah ketinggalan. Padahal, Muhammadiyah mempunyai banyak ahli kependidikan. Ini tantangan Muhammadiyah," tegas Burhanuddin lagi.

Syafi'i Maarif mengakui pula, kualitas pendidikan Muhammadiyah secara keseluruhan memang masih relatif rendah. Itu karena jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sangat besar, sehingga memang tidak gampang untuk meratakan kualitas pendidikan seperti yang diharapkan masyarakat. Namun, sebenarnya ada sejumlah sekolah maupun perguruan tinggi Muhammadiyah yang kualitasnya patut dibanggakan.

"Dibanding rata-rata sekolah negeri di luar Jawa misalnya, kita (sekolah Muhammadiyah -Red) sebenarnya mutunya tidak rendah. Tetapi harus diakui, bila dibandingkan sekolah yang excellent di Jawa memang sekolah Muhammadiyah mutunya masih kalah. Hanya ada satu-dua sekolah Muhammadiyah yang bisa diandalkan," ujar Guru Besar Sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)-dahulu IKIP Negeri Yogyakarta -tersebut.

Syafi'i mengakui, kurangnya kualitas pendidikan Muhammadiyah- terutama di tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas-memang menimbulkan keprihatinan pada keluarga besar Muhammadiyah. Karenanya dibutuhkan komitmen yang luar biasa untuk meningkatkan kualitas itu. Dan, itu merupakan tantangan kepengurusan baru Muhammadiyah periode 2000-2005 yang dipimpinnya.

"Saya belum tahu, siapa nanti yang memegang majelis Dikdasmen. Itu hal yang penting sekali. Saya berharap yang memegang itu tidak saja betul-betul punya komitmen, tetapi ia juga mengerti pendidikan secara baik," harap Ketua PP Muhammadiyah.

Dari pernyataannya, PP Muhammadiyah memang berniat meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan persyarikatan tersebut. Sekalipun ini diakui tidak mudah, karena sering paradigma kuantitas tidak selalu berjalan seiring dengan kualitas. Jumlah besar pasti diikuti dengan sejumlah "produk" yang tercecer atau gagal yang akan membuat kualitas produk secara keseluruhan menurun.

Jika Muhammadiyah lebih menitikberatkan kualitas, mungkin saja sejumlah sekolah/perguruan tinggi yang dinilai tak berkembang harus "dirasionalisasi". Namun, misi mencerdaskan rakyat dan menyebarkan semangat pembaharuan-yang dapat dijalankan melalui pendidikan- seperti yang diamanatkan KH Ahmad Dahlan bisa terlupakan. Idealnya, memang lembaga pendidikannya banyak dan berkualitas tinggi. (Imam Prihadiyoko/Pepih Nugraha/Tri Agung Kristanto)

Komitmen-Komitmen Nilai Muhammadiyah

Tema ini (Komitmen dan Etika Gerakan Muhammadiyah) bukan hal baru bagi kita, sifatnya lebih kepada pemahaman dan penghayatan kembali tentang nilai-nilai ideologis. Dalam sa.mbutan MPK tadi dikatakan betapa pentingnya nilai-nilai/values yang mengkristal menjadi budaya bagi sebuah organisasi. Nilai dan budaya ini menjadi faktor determinan, penentu bagi perjalanan sebuah organisasi.
Di awal periode kepemimpinan pasca Muktamar ke-45 Malang (2005), ada pertanyaan, tema apa yang harus kita pilih. Ada tiga opsi: pertama redireksi, mengarahkan kembali Gerakan yang berusia hampir satu abad ini. Apakah sudah mengalami kesalahan arah, sehingga perlu diarahkan/ditarik kembali ke jalur yang benar. Pilihan kedua revitalisasi, menguatkan kembali, menemukan elan vital, apa yang menjadi kekuatan dari Persyarikatan ini untuk diungkapkan kembali dalam konteks jaman baru. Pilihan ketiga, retooling, yaitu mengganti spare part, tool, alat-alat, perangkat-perangkat yang mungkin sudah rusak, sudah aus, seperti sebuah mobil yang harus di-tune up, turun mesin tetapi bodinya tidak diubah.

Para pimpinan waktu itu memandang bahwa, alhamdulillah, Muhammadiyah tidak mengalami kesalahan arah sehingga tidak perlu redirection. Tetapi kalau sekedar mengganti spare part yang sudah usang sepertinya tidak cukup juga. Memarig ada yang sudah usang, ada yang harus diganti, tetapi ada keperluan untuk menemukan kembali elan vital kekuatan Muhammadiyah. Maka yang kita pilih adalah revitalisasi ..

Dalam konteks revitalisasi inilah maka tidak hanya program, kepemimpinan, dan organ-organ yang menjadi bagian dari Persyarikatan ini, tetapi juga nilai-nilai, organizational values/organizational culture yang perlu direvitalisasi, karena menjadi salah satu penentu dari proses perjalanan Persyarikatan.

Dalam konteks dinamika zaman yang baru, dinamika di luar kita baik dalam lingkaran umat Islam maupun dalam lingkaran negara, bangsa, apalagi lingkaran dunia, dimana yang terakhir ini bergerak sangat cepat karena proses globalisasi, modernisasi, termasuk dukungan teknolbgi informatika, sehingga peradaban manusia bergerak cepat sekali. Dalam konteks ini kita perlu mengukur diri dimana kita dan bagaimana kita. Mungkin terasa cukup aktif, dinamis, banyak kegiatan, banyak kemajuan yang kita rasakan, tetapi mungkin itu hanya perasaan kita. Kalau kita bandingkan dengan dinamika eksternal mungkin kita tertinggal. Maka muhasabah, introspeksi perlu kita lakukan. Inilah yang tidak bosan-bosannya dalam kesempatan beberapa tahun terakhir, melalui pengajian Ramadhan, juga pada Sidang Tanwir terakhir di Yogyakarta kita mengangkat tema ini sebagai upaya kita untuk bangkit kembali, apalagi menjelang abad kedua bagi Muhammadiyah.

Dalam kaitan tema ini, ada banyak kata kunci yaitu komitmen, etika, optimlisasi, peran keummatan kebangsaan. Yang boleh dibedakan, peran keummatan dan kebangsaan boleh dirangkaikan. Berbicara mengenai masalah bangsa saja sebenarnya kita sudah bicara tentang masalah umat Islam karena ummat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa ini. Visi kita tentang bangsa sesungguhnya adalah visi kita tentang ummat Islam.

Salah satu kekuatan. Muhammadiyah saat ini mungkin adalah satu-satunya atau salah satu organisasi yang paling siap dalam semua hal yang bersifat konsepsional. Muhammadiyah terkenal memiliki banyak jago konsep. Dalam bidang dakwah kita punya konsep dakwah jamaah, dakwah kultural.

Beberapa waktu lalu ·saya mengundang PDM-PWM DKI Jakarta untuk berbicara tentang dakwah metropolitan, bagaimana berdakwah di ibukota metropoli.tan bahkan mungkin kosmopolitan. Di Muktamar Malang kita tambah satu konsep: Pernyataan Pikiran Muhammadiyah (Dzawahir al-Afkar Muhammadiyah) Menjelang s

Mungkin, persoalan kita adalah kurangnya pemahaman warga Muhammadiyah tentang dokumen­dokumen dasar itu. Apakah karena konsep-konsep dasar itu terlalu canggih bahkan nyaris susah dipahami, atau mungkin karena sosialisasinya yang kurang.

Saya pernah mengusulkan agar dalan setiap pengajian tabligh selalu membahas masalah konsep-konsep dasar ini.

Mungkin, konsep-konsep semacam ini sering terbengkalai begitu spja, nyaris seperti mahar mushaf Al-Qur’an yang tidak pernah disentuh-sentuh bahkan disimpan sebagai monumen historis. Padahal idenya itu bagus, yaitu agar sang suami membina rumah tangganya itu atas dasar-dasar Islam.

.Dalam soal komitmen keummatan dan kebangsaan, mungkin pertama kali bisa kita temukan bahwa Muhammadiyah menekankan pembentukan masyarakat. Dari dulu kalau kita lihat perubahan anggaran dasar tidak pernah bergeser dari konteks masyarakat, tidak berbau negara dan tidak berbau politik.

Pernah ada perdebatan di kalangan pemikir politik Islam tentang konsep ummat (religious community) yang diikat oleh kesamaan keyakinan keagamaan. Pertanyaannya, apakah ummah itu sebagai sistem sosial ataukah sistem politik. Ini perdebatan yang sampai sekarang tidak selesai. Al-Ummah AHslamiyah wether it as a social religious community or political religious community. Komunitas keagamaan yang bersifat politis, berarti dalam satu sistem politik yang disebut negara, sehingga Nabi Muhammad disebut sebagai pemimpin politik/kepala negara. Tidak sedikit yang menganut paham ini. Tetapi ada juga yang memandangnya sebagai social religious community, yaitu masyarakat civil society yang tidak ada urusannya dengan negara. Kedua pandangan ini berpengaruh kepada pemahaman kita. Kalau saya boleh menyimpulkan, saya kira Muhammadiyah tetap konsisten dengan pembangunan masyarakat. Kebetulan sewaktu Muhammadiyah lahir belum ada negara yang disebut NKRI. Yang ada baru “negara I” Muhammadiyah.

Ketika ada yang namanya negara, lalu dimana kita meletakkan posisi masyarakat ini, apakah di luar negara, di dalam negara atau vis a vis berhadapan dengan negara. Atau kemudian malah kita alihkan menjadi negara. Di kalangan Muhammadiyah ada perbedaan dalam memandang masalah ini. .

Saya melihat langkah Ki Bagus Hadikusumo sangat cerdas, arif, bijaksana, menampilkan sikap kenegarawan ketika mengganti tujuh kata pada Piagam Jakarta dengan segala pertimbangannya. Saya memandang tokoh-tokoh Muhammadiyah masa itu seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Jendral Sudirman yang menjadi pendiri Tentara Nasional Indonesia adalah orang-orang yang sangat memiliki jiwa nasionalisme, memiliki wawasan kebangsaan yang sangat tinggi.

Kalau hal ini bisa kita simpulkan sebagai komitmen kebangsaan kita yang begitu kental, maka orang­orang lain tidak perlu ragu-ragu terhadap komitmen kebangsaan Muhammadiyah yang sudah ditunjukkan oleh para pendiri Muhammadiyah.

Saya melihat ada juga sebagian tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berhimpit sebagai tokoh-tokoh Masyumi yang mengemukakan bahwa Indonesia sebagai baldatun thowibatun wa rabbun ghafur, yang ini menjadi visi Masyumi di tahun 45-50an disamping memang kalimat ini adalah bagian dari ayatAl-Quran.

Komitmen kebangsaan Muhammadiyah saya pahami sesuai dengan cita-cita pengembangan masyarakat itu ada orientasi perbaikan, al-islah. Wamaa uridu illal-islah. Dalam bahasa Inggris al-Islah bisa bermakna koreksi (correction), reformasi (reformation). Sebuah perbaikan ke arah kebaikan. Ada dimensi korektif memperbaiki, ada dimensi bagaimana memperbaiki menuj u bagaimana munculnya as-sulhu al-maslahah. Istilah al-islah sekarang juga ngetop dipakai untuk mendamaikan pihak yang bertikai seperti dalam kasus-kasus pertikaian dipartai politik, dan seterusnya.

Muhammadiyah lahir sebagai gerakan Islam memiliki dimensi al-islah, gerakan islah. Memang banyak difahami gerakan al-islah ini sebagai gerakan memperbaiki aqidah Islam yang sudah banyak yang rusak dengan tahayul, bid’ah dan khurofat. Tetapi pada Muhammadiyah gerakan islah ini pemaknaannya pada gerakan tajdid dan islah. Tajdid dan islah yang dirangkaikan.

Ada sebuah visi dan obsesi dalam Muhammadiyah untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan pada masa setelah kemerdekaan.

Konsep islah ini mungkin bisa kita kembangkan lagi dalam berbagai pilihan. Dalam perencanaan strategis ada istilah restorasi sebagaimana di Jepang ada Restorasi Meiji. Indonesia mengalami reformasi sekalipun dianggap kebablasan sehingga reformasi diplesetkan menjadi repot nasi (krisis, sulit pangan). Al-Islah bisa juga dimaknai sebagai transformasi bahkan ada juga yang mengkaitkan dengan revolusi, sebuah perubahan yang mendasar, memotong akar, perubahan secara radikal.

Ada komitmen Muhammadiyah untuk melakukan Islah, sehingga muncul sebuah orientasi ideologis yang sangat kuat sebagaimana dalam pertemuan­pertemuan Muhammadiyah sering dibacakan surat Ali Imran ayat 104. Saya memahami bahwa ayat ini menarik sekali. Sebuah proses islah, apapun istilahnya dalam bahasa Indonesia maupun Inggrisnya,

reformasi, restorasi bahkan juga tranformasi, ini dilakukan dalam tahapan ad-dakwah ilal-khair, mengajak kepada keterbaikan. AI-khair sebagqi ism tafdhit, superlatif, bukan sekedar perbaikan tetapi keterbaikan. Tahap kemudian baru kepada amar ma’ruf nahi munkar. Menariknya ini adalah amar ma’ruf nahi munkar-kemudian dikaitkan dengan khairu ummah. Ada paralelisme amar makruf nahi munkar sebagai sebuah agenda penting yang dikaitkan dengan dakwah ital-khair. Kalau diotak-atik sedikit maka dakwah ital-khair itu harus mampu mernbawa ummat Islam, masyarakat yang kita cita-citakan itu ke arah khairu ummah, ummat yang terbaik.

Prosesnya adalah ad-dakwah ital khair untuk mewujudkan masyarakat terbaik, baru kemudian amar makruf nahi munkar. D2lam hal ini sering ada yang langsung melompat kepada amar makruf nahi mungkar tanpa melakukan ad-dakwah ital khair. Waltakun minkum (ayat 103) harus dikaitkan dengan ayat ke­110, yad’una ital khair Ii ja’ii khaira ummah, untuk rnembentuk khairu ummat, ummat yang terbaik. Berhenti sampai di sini saja Muhammadiyah sudah sangat luar biasa dan jangan-jangan kita belum bisa setesai, karena memang tidak ada yang selesai.

Ada juga yang lain, tanpa ad-dakwah ital khair, tanpa amar makruf, tetapi langsung kepada nahi munkar bahkan nahi munkarnya dengan cara yang tidak makruf. Padahal saya baca dibeberapa kitab termasuk Imam Al Ghazali, al-amru bit ma’ruf wa naha anit munkar harus bi thoriqotil ma’ruf, dengan cara-cara yang makruf.

Komitmen kebangsaan untuk perbaikan dan kemaslahatan kemudian dimasukkan sebuah komitmen yang bersifat strategis instrumental, yaitu sebuah proses mengajakkepada keterbaikan dan khairu ummah.

Di sinilah kemudian Muhammadiyah tampil dengan komitmen yang kedua yaitu Islam yang berkemajuan. Ada istilah itu dalam Muhammadiyah y,mg dimunculkan oleh Kyai Ahmad Dahlan. Tidak hanya oleh Kyai Dahlan saja, Kyai Mas Mansur juga banyak mengangkat istilah ini. Sungguh menarik di tahun 1920an sudah ada istilah Islam yang berkemajuan. Sebuah tawaran yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada pembangunan sebuah masyarakat baru itu adalah dengan Islam yang berkemajuan. Saya menyimpulkan ini karena ada pemahaman bahwa al-Islam sebagaidinul khadharah, agama kemajuan.

Inilah antara lain komitmen-komitmen nilai Muhammadiyah. Saya tidak menyampaikan sesuatu yang baru. Kita yang datang belakangan biasanya hanya menyimpul-nyimpulkan saja. Tugas kita dalam pengajian ini adalah disamping mengaji Al-Qur’an juga rnengkaji kembali dokumen-dokumen dasar Muhammadiyah untuk kita pahami kembali sesuai keinginan kita untuk revitalisasi.

Selasa, 07 Oktober 2008

Warga Muhammadiyah Cukup Cerdas Dalam Memilih Partai


11 Juli 2008 | 17:21 WIB

Jakarta ( Berita ) : Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, warga Muhammadiyah tidak akan mendukung partai politik yang hanya mengandalkan uang dalam berpolitik untuk meraih kekuasaan.

Din yang ditemui saat bersama delegasi parlemen Jepang menemui Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR Jakarta, Jumat [11/07] , mengatakan warga Muhammadiyah juga tidak akan mendukung partai-partai politik yang mengabaikan nilai-nilai etika dan moralitas.

Meski begitu Din menambahkan tidak akan memberikan perintah resmi untuk melarang warga Muhammadiyah memilih parpol yang mengandalkan uang. “Saya tidak akan memberi instruksi khusus pada warga Muhammadiyah untuk tidak memilih partai yang menggunakan uang sebagai alat politik dan kekuasaan,” ujarnya.

Menurut Din, warga Muhammadiyah sudah cukup cerdas dalam menilai partai-partai politik yang akan mereka dukung. Saat ini, katanya, banyak parpol yang mengaku mempunyai afiliasi dengan Muhammadiyah tetapi tidak berani tampil sebagai parpol yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama, seperti yang dianut Muhammadiyah.

Saling klaim sebagai partainya Muhammadiyah tersebut, belakangan semakin gencar menjelang masa kampanye yang dimulai Sabtu (12/7) besok.

Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam dengan jumlah massa terbesar di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan telah berkiprah di berbagai kegiatan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. “Saya yakin warga Muhammadiyah tidak akan tertarik memilih parpol tanpa adanya bukti nyata dari parpol bersangkutan,” katanya.

Netral

Pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memiliki prinsip netral terhadap semua parpol dan membuka kesempatan kepada semua parpol untuk bersilaturahmi.

Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Ijjul Muslimin kepada pers seusai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres di Jakarta, Jumat mengatakan, pihaknya memiliki hubungan dengan semua parpol dan menjaga hubungan itu.

“Kami akan membuka kesempatan dengan semua parpol, PAN (Partai Amanat Nasional), PMB (Partai Matahari Bangsa) termasuk Golkar, silakan bersilaturahmi dengan keluarga besar Muhammadiyah,” katanya. Menurut dia, siapa yang bersilaturahmi dengan baik itulah yang menarik perhatian para anggota dan kader PP Muhammadiyah. ” Silaturahmi memunculkan simpati. Kita merasa dekatlah,” katanya sambil mengklaim massa Pemuda Muhammadiyah mencapai 15 juta.

Soal kampanye partai politik yang bakal melibatkan para menteri di kabinet, Ijjul mengatakan, menurut Wapres, pemerintah telah menyampaikan harapan bahwa meskipun mewakili parpol ,pada prinsipnya para menteri harus tetap mengutamakan kepentingan pemerintahan. “Dalam hal ini, pemerintah tidak terlalu terganggu dengan hal itu. Yang diutamakan dalam kampanye yang panjang sebenarnya adalah kampanye melalui media, baik media massa maupun media terbuka, dalam arti tak mengganggu kinerja kabinet,” katanya.

Ditanya pendapat Wapres kalla soal rencana angket yang dilakukan DPR dan bisa memanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wapres, ia mengatakan, Wapres tidak menyampaikan secara eksplisit tapi kalau melihat sikapnya Wapres melihatnya dari sisi positif.

“Beliau menyampaikan dengan angket ini pemerintah bisa secara terbuka menyampaikan persoalannya. Artinya justru akan lebih baik jika bangsa ini mengetahui bagaimana sesungguhnya masalah ini,” katanya. ( ant )