Rabu, 17 Desember 2008

PIDATO MILAD MUHAMMADIYAH KE-93


Assalamu'alaikum wr. wb.

Alhamdulillah Muhammadiyah telah memasuki usia 92 tahun dalam hitungan tahun hijriyah atau 90 tahun dalam hitungan tahun miladiyah. Usia yang mendekati satu abad itu merupakan anugerah Allah SWT., sekaligus sebagai bukti dari amanah dan kepercayaan masyarakat kepada Muhammadiyah dalam menjalankan misi dakwah amar ma'ruf nahi munkar di persada negeri ini.

Banyak hal telah dirintis dan dikhidmadkan Muhammadiyah untuk umat dan bangsa melalui amal usaha dan amalan-amalan dakwahnya untuk kemajuan. Ada pula hal-hal yang belum tergarap dengan baik dan masih menjadi tantangan Muhammadiyah untuk dilaksanakan melalui misi dakwahnya. Berbagai rintanganpun telah banyak dilalui oleh Muhammadiyah dalam rentang usia yang panjang itu. Namun harapan yang paling besar untuk tahun-tahun ke depan ialah bagaimana gar Muhammadiyah yang sama-sama kita cintai ini dapat terus tumbuh dan berkembang menjadi lebih maju sehingga dapat membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dicita-citakan.

Dalam usia yang cukup panjang itu, Muhammadiyah memiliki tekad yang tinggi untuk menjadi ramatan lil alamin di muka bumi ini. Misi Muhammadiyah tersebut ditorehkan sebagai panggilan mulia untuk senantiasa mengikuti jejak Nabi Muhammadi saw. yang menjadi rujukan gerakan Muhammadiyah, sebagaimana firman Allah SWT. :

"Dan tiadalah Kami mengutus engkau (muhammad) kecuali untuk (menjadi) rahmat bagi sekalian alam" (QS. Al-Anbiya' : 107).

Di tengah memperingati Milad ke-92 ini, Muhammadiyah sungguh prihatin dengan kondisi bangsa saat ini. Selain krisis ekonomi dan politik yang belum kunjung reda, kita juga dihadapkan pada berbagai musibah seperti tabrakan kereta api yang beruntun dan banjir yang yang meluas di Jakarta serta sejumlah daerah. Musibah demi musibah tersebut tentu tidaklah berdiri sendiri dan terjadi secara tiba-tiba. Sebagai kaum beriman, setiap musibah tentu harus kita sikapi dengan sabar dan ikhtiar, seraya tawakal kepada Allah sesuai pesan agama kita "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (QS. Al-Baqarah 155-156).

Tetapi, musibah-musibah nasional tersebut tentu perlu manjadi bahan muhasabah atau perenungan dan intropeksi diri. siapa tahu telah banyak melalukan kelalaian, kekeliruan, dan kesalahan dalam mengolah kehidupan yang diamanatkan. Siapa tahu bahwa banyak kesalahan-kesalahan pemikiran, pendekatan, dan cara-cara dalam mengurus kepentingan-kepentingan bangsa dan tanah air tercinta ini, sehingga menimbulkan kerusakan demi kerusakan di berbagai lini kehidupan.

Kita sebagai bangsa berkaca pada diri sendiri, banyak kemungkinan bahwa krisis dan musibah ini terkait dengan kesalahan-kesalahan fatal dalam mengurus kehidupan ini. Dalam hal ini selakuk bangsa yang beriman, perlu menghayati pesan allah dalam Al-Qur'an yang berbunyi :

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar-Rum : 41).

Dalam ayat lain Allah berfirman : "Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya" (QS. Al-Isra 16). Namun sayang, banyak orang-orang yang melakukan kerusakan, seringkali tidak menyadarinya, bahkan mereka merasa sedang membangun sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya : "Dan bila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab : sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan" (QS. Al-Baqarah 11).

Kita juga petut prihatin, bahwa di tengah krisis yang melanda bangsa kita yang sudah berlangsung sekitar lima tahun ini, masih tampak lemahnya "sense of crisis", rasa prihatin berada dalam suasana krisis. Pola hidup mewah, tidak bersungguh-sungguh, kebiasaan bermain-main narkotika, ribut dalam urusan-urusan yang tidak perlu, sikap mementingkan diri dan kelompok sendiri, dan kesan tidak prihatin masih tampak dalam pemandangan sehari-hari baik dimasyarakat maupun para elit dan pengambilan kebijakan. Padahal, negeri ini laksana kapal yang tengah oleng, yang memerlukan i'tikad dan kesungguhan luar biasa dari seluruh komponen bangsa untuk menyelamatkannya.

Kita juga prihatin dengan makin melemahnya kepercayaan dan keteladanan dari institusi-institusi dan tokoh-tokoh wibawa, sehingga umat dan masyarakat luas seakan kehilangan induk dan penunjuk jalan ke arah yang lebih mencerahkan. Krisis kepercayaan dan keteladanan itu bukanlah masalah sepele, karena akar dari runtuhnya bangunan masyarakat biasanya dimulai dari krisis akhlaq atau moral. Krisis akhlaq akan melahirkan prilaku-prilaku tidak amanah, dusta, batil, dan menyimpang atau menyeleweng. Tidak mekar lagi sikap sidiq, amanah, tabligh, dan fathonahyang menjadi bingkai dan corak perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, krisis demi krisis terus datang silih berganti, sehingga yang sudah terbangun dengan baikpun akan rusak kembali. Sebaik apapun tatanan yang dibangun, tetapi jika moral manusianya rusak atau lemah, maka akan runtuh pulalah sistem yang baik itu.

Karena itu, bersamaan dengan milad Muhammadiyah ke-92 ini, Muhammadiyah melakukan panggilan moral untuk semua pihak termasuk warga dan pimpinan Muhammadiayh sendiri.

  1. Marilah kita bangun tekad dan ikatan persaudaraan yang kokoh disertai upaya-upaya menyatukan kekuatan untuk menyelesaikan masalah-masalah bangs asecara istiqamah, obyektif, dan tersistem sehingga ada jalan terang keluar dari krisis.

  2. Mari kita praktikkan pesan amar ma'ruf nahi munkar dalam seluruh lini kehidupan, termasuk dalam memberantas segala bentuk KKN dan hal-hal lain yang fasad (rusak) di tubuh bangsa inisebagai itikad dan usaha bersama dari seluruh komponen bangsa.

  3. Mari kita melakukan usaha-usaha ishlah (perbaikan) secara bersungguh-sungguh, termasuk untuk tidak lagi mengulangi kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang membuat runtuhnya kehidupan di tubuh bangsa dan negara tercinta ini.

  4. Mari kita memasyarakatkan secara luas pola dan sikap hidup sederhana, jujur, terpercaya, bertanggung jawab, istiqamah, kata sejalan dengan tindakan, dan perilaku-perilaku uswah hasanah sebagai basis kesalihan bermu'amalah dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

  5. Mari kita kembangkan usaha-usaha bersama untuk pendidikan pencerahan di tubuh bangsa ini, sehingga setiap anak bangsa memiliki bekal keyakinan, kepribadian, kemampuan-kemampuan yang kokoh untuk membangun kehidupan yang berkeadaban sebagaimana cita-cita masyarakat muslim yang sebenar-benarnya.

  6. Mari kita tingkatkan kualitas kegiatan dan amal usaha majukan persyarikatan di setiap tingkatan dan lingkungan sehingga Muhammadiyah yang sama-sama kita cintai ini tumbuh mekar sebagai Gerakan Islam yang benar-benar memancarkan rahmatan lil 'alamin.

Marilah kita berdo'a kepada Allah, agar kita senantiasa diberikan anugerah keselamatan hidup di dunia dan akhirat, dimasukkan ke dalam syurga jannatun na'im dan dijauhkan dari siksa api neraka. Semoga Allah senantiasa melimpahkan ridha dan karunia-Nya kepada kita. Amin ya rabbal 'alamin.

Nasrun minallah wa fathun qarib.

Selasa, 02 Desember 2008

Laskar Pelangi dan “Mukjizat” Kebenaran Sang Kyai, Ahmad Dahlan


Posted on November 1st, 2008 in 20 Kapita Selekta by redaksi

Mukhlis Rahmanto

Jika ditanya seseorang, Anda pernah sekolah di mana? Saya tentu akan menjawab dengan bangga, saya pernah sekolah di Muhammadiyah. Begitulah pengaruh hawa positif yang saya dapatkan ketika sekeluarga sehabis menonton film, rilis terbaru dari Miles Film Production, Laskar Pelangi. Sutradara Riri Riza berhasil mengadaptasi novel laris karya Andrea Hirata, atau dengan kata lain, nyaris sempurna dengan pertanda sedikitnya penonton yang protes tentang adaptasi tersebut. Padahal, sebagian besar penonton sudah membaca novel itu.
Lalu apa sih, yang istimewa dari film ini? Saya bukanlah kritikus film, namun saya punya pengalaman membuat sebuah film. Hemat saya, Laskar Pelangi adalah ikon arus kekalahan yang terpinggirkan di negara ini dan hampir di banyak negara, terutama negara-negara dunia ketiga-berkembang. Sama seperti Denias, Senandung di Atas Awan (2006), film ini menceritakan tentang pentingnya pendidikan sebagai sebuah syarat mutlak bagi masa depan yang berperadaban. Dan orang-orang miskin yang tidak mampu itu, hanya berbekal “mimpi” untuk mendapat, mengenyam, dan merasakan manisnya dunia pendidikan. Ya, intinya penegasan akan mimpi dan usaha seorang anak manusia. Pesan itulah yang ingin disampaikan Laskar Pelangi.
Pesan itu bermula dari sebuah sekolah dasar Muhammadiyah Gantong, Kepulauan Bangka-Belitong. Pesan itu direkam dan dirangkum untuk kita semua oleh Andrea Hirata yang menceritakan tentang kesepuluh laskar pelangi yang berupaya menggapai mimpi. Mereka percaya dan yakin bersekolah di SD Islam Muhammadiyah, di mana kata pak Harfan, sang kepala sekolah tersebut yang lulusan SPG Muhammadiyah Yogyakarta, “SD yang menekankan akhlak budi perkerti sebagai tolak ukur. Bukan kecerdasan bermain angka-angka, namun hati mati suri seperti singa.”
Bagaimana Bu Muslimah mampu menimang dan mengajarkan kesepuluh muridnya itu untuk yakin, dengan sekolah perubahan akan diperoleh. Meski sebagaimana kata-kata hikmah tasawuf dari Syekh Athailah al-Sakandariy dalam al-Hikam-nya, “Sawaabiqul himam la takhriqu aswaara al-aqdaar”, kerasnya semangat perjuangan tidak akan dapat menembus tirai takdir. Dan itu terjadi pada Lintang, seorang dari sepuluh Laskar Pelangi yang super jenius, namun ia sudah ditakdirkan untuk membesarkan adik-adiknya. Maklum ia anak tertua dari empat bersaudara yang ketika ayahnya meninggal, ia mengirim kurir untuk mengantar surat pada Bu Muslimah yang isinya, “Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah (untuk perpisahan), salamku, Lintang.” Adegan inilah yang meneteskan airmata seluruh penonton bioskop malam itu. Akhirnya Lintang hanya menjadi pekerja kasar sebagaimana para buruh timah lain di pulau tersebut. Ikal dan Maharlah yang akhirnya ditakdirkan berhasil mewakili kesepuluh Laskar itu menggapai mimpi hingga sekolah ke Sorbone-Perancis.
Hal menarik lain adalah ramainya film ini dengan bergabungnya bermacam corak tokoh-manusia dan pernak-pernik arus hidupnya. Ada Harun anak cacat mental, Mahar yang seniman dan penyuka mistik, A Kiong anak Cina-Hokian yang jenaka, Samson yang pengidam tubuh kuat, juga Flo anak parlente tapi punya “hati” dan terkesima dengan perangai anak-anak Laskar Pelangi lalu pindah ke SD Muhammadiyah. Sutradara Riri Riza mengkayakan film ini dengan menambahkan suasana sosial politik Belitong tahun tujuh puluhan. Jurang pemisah antara kelas borjuis diwakili para petinggi perusahaan timah dan kelas proletar, yaitu mereka buruh timah kecil, tampak dengan bukti sebuah papan yang bertuliskan, “Verboden toegang voor onbevoegden-Dilarang masuk buat orang yang tidak punya hak.” Kekayaan SDA sebuah pulau tidak bisa menjamin terpenuhinya hak pendidikan manusia pulau tersebut.
Pertanyaannya, apa hubungan film ini dengan Kiai Ahmad Dahlan? Jika ditarik benang tafsirnya tentu akan muncul multitafsir, tergantung jiwa penikmat film ini dan latar belakang penafsir tersebut. Hemat saya, Laskar Pelangi dengan banyak karakter di dalamnya itulah bunga-bunga kebenaran dari sebuah keyakinan seorang Haji Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah pada 1912. Kiai ingin dengan Muhammadiyah ini, orang Islam menjadi maju, modern, tinggalkan budaya taklid yang memangkas kreativitas berpikir dan demokrasi, yang menjadi ciri Islam. Maka, pendidikan diharuskan baik agama maupun umum, didirikan rumah sakit untuk menjaga kelangsungan jiwa-badan kita sebagai khalifah-Nya, “hasas” atau kepekaan sosial lewat teologi Al-Maun dibangun dengan munculnya panti asuhan. Teologi rumusan Kiai demikian berhasil menghasilkan alumni-alumni yang tampak di film ini. Orang-orang yang ikhlas berjuang tanpa pamrih. Lahir-batin. Karena Allah menilai “hati”, seperti ditegaskan pak Harfan. Dan inilah yang mulai hilang dari kita, warga Muhammadiyah, sebab angin politik mulai memasuki dan membius.
Terkait dengan judul, secara teologi sebenarnya saya salah menggunakan terma “mukjizat” untuk sosok Kiai Ahmad Dahlan, karena beliau bukan Nabi. Yang lebih cocok untuk manusia biasa adalah karamah. Namun, serma itu sudah lazim melekat untuk sebuah kebenaran-keajaiban yang muncul dan menuntut untuk tampak. Sehingga orang tahu, percaya, lalu terpengaruh untuk mengikuti jejak kebenaran keajaiban itu.
Maka sekali lagi, manusia-manusia dalam Laskar Pelangi seperti Pak Harfan, Bu Muslimah, Ikal, Lintang, dan Mahar adalah mereka yang masuk dalam kategori sebuah sablon kaos bertuliskan, “Orang Muhammadiyah itu terbuka, cerdas, dan ora mutungan (tidak mudah putus asa)”. Kaos ini diproduksi Majalah Suara Muhammadiyah dan dipajang di kantor majalah itu di Kauman Yogyakarta. At least but not least, selamat atas dirilisnya film Laskar Pelangi. Tonton, kritisi, kontemplasikan, dan ambil hikmah di dalamnya. Apalagi, guru-guru di sekolah Muhammadiyah, sepertinya “fardhu ain” untuk menonton film ini.l
Penulis adalah pengajar di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Peran Muhammadiyah dalam Politik Kebangsaan




Posted on October 3rd, 2007 in 15 Wawasan Muhammadiyah by redaksi

Muhammadiyah sejak lahirnya tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M, telah dikenal sebagai gerakan tajdid yang dinamis, kreatif dan inovatif. Ketika awal berdirinya pada dirinya telah menyatu kata-kata reformis dan modernis sebagai simbol jati dirinya yang modern dan berwawasan masa depan. Dari kata-kata reformis dan modernis itu dapat dipahami bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi pertama sebagai pelopor dalam mengaktualisasikan ajaran Islam secara murni, ikhlas dan mutaba’ah yang kemudian secara bertahap menyebar dengan pesatnya di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri.

Muhammadiyah di samping menyebutkan dirinya sebagai persyarikatan
juga menamakannya sebagai gerakan. Kedua nama itu dimaksudkan
untuk mengingatkan bahwa, Muhammadiyah adalah suatu kumpulan dari orang-orang Islam yang mau bersyarikat atau bersatu untuk memperjuangkan tegak dan bangunnya agama Islam melalui pergerakan dan perjuangan yang penuh dengan tantangan dan pengurbanan.
Perjuangan dan pengorbanan tersebut secara aplikatif telah dirintis oleh Muhammadiyah secara bersungguh-sungguh melalui berbagai gerakan dan terobosan dalam medan jihad yang penuh rintangan dan cabaran, seperti:
1. Membersihkan sikap dan perilaku kehidupan umat yang berbau syirik, khurafat dan tahayul, kemudian mengembalikan akidahnya kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Menjernihkan praktek ibadah umat Islam dengan menggunakan kecerdasan berpikir dan penalaran kritis agar terhindar dari pengaruh taklid, fanatik dan bid’ah.
3. Menggembirakan suasana kehidupan yang Islami dengan menumbuh-suburkan semangat ukhuwah Islamiah, saling membantu dan menolong terutama terhadap kaum dhu’afa dan fuqara dilapisan masyarakat paling bawah.
4. Menggerakkan dan menggembirakan perbaikan potensi ekonomi umat, sehingga hartawan muslim (shaahibul maal) gairah mengeluarkan zakat. infak dan shadaqah untuk membangun tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, panti asuhan, rumah sakit, pusat-pusat pendidikan dan fasilitas umum lainnya.
5. Mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai tingkat dan disiplin ilmu untuk menciptakan kader-kader ulama, kader umat, kader bangsa dan kader Persyarikatan yang cerdas, jujur dan berkualitas.
6. Menumbuhkan perkumpulan-perkumpulan kaum wanita, remaja, pemuda dan pandu sebagai wadah pembinaan sikap mental dan keterampilan yang kreatif, produktif dan mandiri serta untuk memperdalam dan memperluas penghayatan hakekat ajaran Islam yang komprehensif dan universal.
7. Menggelorakan semangat jihad dalam merebut kemerdekaan dengan mensponsori berdirinya wadah persatuan dan kesatuan umat Islam sebagai mayoritas penduduk bangsa.
8. Konsisten dan istiqamah dalam pendirian untuk memperjuangkan tegaknya ajaran Islam melalui dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Meskipun untuk terlaksananya semua yang disebutkan di atas Muhammadiyah telah mengorbankan berbagai kepentingan duniawi. Tidak sedikit tokoh-tokoh Muhammadiyah yang mengalami penderitaan baik fisik maupun mental disebabkan banyaknya intimidasi baik yang datang dari penjajah Belanda dan Jepang maupun dari umat Islam sendiri yang belum mengerti faham dan hakekat perjuangan Muhammadiyah. Banyak pemimpin Muhammadiyah yang masuk penjara, disiksa dan dikucilkan dalam pergaulan, hanya karena mengajak shalat Id di lapangan terbuka, tidak mentalqinkan mayat di kubur, doa agar tidak pakai perantara, arah kiblat agar dibetulkan, zakat agar tidak menumpuk pada orang tertentu saja, khutbah Jum’at agar diterjemahkan dan melarang makan-makan di rumah kematian.
Tapi semuanya itu hanya sementara karena akhirnya apa yang diperjuangkan oleh Muhammadiyah dapat diterima oleh masyarakat termasuk orang-orang yang tadinya menolak habis-habisan. Sekarang alhamdulillah, pengamalan ibadah terutama ibadah mahdhah dan berbagai bidang muamalah lainnya telah sulit membedakan antar jamaah Muhammadiyah dan yang bukan Muhamamdiyah, karena jumlah besar masyarakat telah mengamalkan hal yang sama dengan faham Muhammadiyah. Lama kelamaan tanpa disadari fenomena tersebut telah mengantarkan Muhammadiyah secara sosiologis empiris dan kultural kritis semakin berakar dan menjadi milik masyarakat
Hasil terobosan dan gerak dinamis pemikiran Muhammadiyah itu selama hampir satu abad telah dinikmati manfaatnya oleh masyarakat banyak, terutama dalam bidang amal usaha yang menyentuh kebutuhan primer masyarakat lapisan bawah seperti pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, Panti Asuhan, masjid dan mushalla, termasuk tenaga-tenaga ulama dan muballigh yang semakin banyak jumlahnya yang diminati oleh masyarakat baik di kota maupun di pedesaan.
Alhamdulillah dari periode ke periode Muhammadiyah berhasil meraih dan mempertahankan reputasinya, karena semakin terbukti banyak kegiatan yang dilakukan mendapat kepercayaan karena memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama kaum dhu’afa. Masyarakat pun semakin tahu bahwa, untuk melaksanakan berbagai amal usaha itu Muhammadiyah harus bergerak lebih dinamis dengan mobilitas yang tinggi dalam radius yang semakin luas, karena semua amal usahanya tidak sedikit mengeluarkan biaya, tenaga, fikiran dan waktu yang harus digali dan diberdayakan dari berbagai sumber, baik dari warga Persyarikatan sendiri maupun dari masyarakat dan pemerintah. Memang Muhammadiyah berusaha agar setiap amal yang dilaksanakannya senantiasa dilandasi dengan niat yang ikhlas, semangat yang tinggi dan dengan sistem manajemen yang pro aktif, sehingga amal usaha itu semakin bermanfaat bagi masyarakat dan dapat membantu atau meringankan beban pemerintah.
Alhamdulillah Muhammadiyah masih tetap segar dan tetap bertekad akan terus mendayung bahtera perjuangannya dalam suasana kompetisi yang sehat dan dinamis.
Kini ketika Muhammadiyah telah berusia 97 tahun, Muhammadiyah semakin terasa menghadapi kompetisi yang luar biasa lebih-lebih di era reformasi dan globalisasi ini, meskipun tetap tegar dan kuat namun Muhammadiyah tidak luput dari tantangan dan ancaman dampak negatif arus globalisasi, informasi dan teknologi yang semakin menguat. Secara perlahan mulai dirasakan ketangguhan dan kehandalan kualitas Sumber Daya Insani yang tersedia tidak seimbang lagi dengan dinamika kehidupan yang begitu dinamis, baik dilihat dari sudut profesionalitas penanganan organisasi maupun dari sudut mutu kepemimpinan dan manajemen. Gesekan intervensi kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat tajam telah memutus jaringan komunikasi spritual baik vertikal maupun horizontal, sehingga melumpuhkan daya tahan SDI dalam persyarikatan yang selama ini terkenal dengan solid, kental dan handal.
Konsekuensi logis dari kondisi tersebut disadari atau tidak di samping banyak kemajuan dan keberhasilan yang dapat diraih, namun secara bervariasi Muhammadiyah dibeberapa tempat mengalami stagnasi atau set back, bahkan menyerah, sehingga banyak anggota dan simpatisan yang kehilangan arah dan pegangan, sedangkan amal usaha mulai ada yang tidak terurus secara baik dan bahkan ada yang sudah berpindah tangan, hancur dan dikuasai pihak lain.
Oleh sebab itu, peran kebangsaan Muhammadiyah sudah waktunya kembali diaktualisasikan dengan menerapkan dan memasyarakatkan secara luas pesan spiritual dan kultural dari dua keputusan penting yang telah menjadi ketetapan Muhammadiyah dalam menjernihkan pola pikir dan sikap mental warga dan pimpinan persyarikatan dalam menggerakan amal usaha Muhammadiyah. Kedua ketetapan tersebut adalah:
1. Khittah Muhamamdiyah Ujung Pandang, sebagai produk hasil Muktamar Muhammadiyah ke 38 pada tahun 1971, yang berisi tentang:
a. Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apa pun.
b. Setiap Anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak azasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
2. Khittah Muhammadiyah Denpasar Bali, sebagai hasil produk Sidang Tanwir tahun 2002, yang berisi tentang penegasan Muhamamdiyah, antara lain:
a. Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidup. serta khittah perjuangan sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggung jawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghafuur’.
b. Bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua stratcgi dan lapangan perjuangan. Pertama; melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua: melalui kegiatan-kegiatan kamasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat memengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest group).
c. Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis dari pada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang berkedaulatan rakyat.
Agaknya pemahaman kedua khittah tersebut perlu dipertegas kembali sebagai landasan tempat berpijak dan bertolak dalam menghadapi berbagai situasi agar kapal Muhammadiyah yang telah teruji kemampuannya dalam melintasi sejarah masa lampau walau dalam kondisi yang sangat sulit dan kritis sekali pun dapat terus dipertahankan.

Etika Ber-Muhammadiyah


Posted on October 3rd, 2007 in 05 Pedoman by redaksi

Muhammadiyah kini telah berusia hampir satu abad. Dalam perjalanannya yang cukup panjang serta dalam pergaulan dan interaksi antara anggota dan warganya itu, tentu ada sistem nilai dan norma yang hidup dan berkembang dalam Muhammadiyah, yang menciptakan pemahaman yang sama mengenai hakikat Muhammadiyah dan bagaimana seharusnya anggota dan warga Muhammadiyah harus berprilaku. Nilai dan norma yang hidup dan berkembang dalam Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dakwah amar makruf dan nahi munkar, tentunya bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam, yang memang sejak awal menjadi komitmen K.H.A. Dahlan sebagai pendiri organisasi ini. Sistem nilai dan norma yang memberikan acuan dan pedoman bagi prilaku anggota dan warga Muhammadiyah mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan, mana yang baik dan patut dilakukan dan mana yang tidak baik dan tidak patut dilakukan dalam kehidupan berorganisasi, inilah yang dinamakan ETIKA BERMUHAMMADIYAH.
Dalam kehidupan setiap organisasi, termasuk Muhammadiyah, etika itu sangat penting. Dengan adanya etika, membuat anggota dan warga Muhammadiyah memiliki kestabilan sikap dan tingkah laku. Sebab dengan adanya etika, anggota dan warga Muhammadiyah mengetahui apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, di samping mana yang boleh dilakukan. Etika juga membuat perilaku anggota dan warga Muhammadiyah lebih konsisten dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi. Ini disebabkan karena etika ber-Muhammadiyah memberikan semacam pedoman dan alat pengendali prilaku. Di samping itu, etika juga membantu meningkatkan produktivitas dan efektivitas organisasi. Sebab dengan terciptanya stabilitas dan harmonisasi hubungan antara anggota dan warga Muhammadiyah, menjadikan kinerja organiasi lebih meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Selain itu etika juga dapat meningkatkan integritas, harkat dan martabat anggota dan warga Muhammadiyah serta menjaga, mempertahankan dan mengembangkan citra, martabat dan keluhuran Muhammadiyah.
Etika ber-Muhammadiyah itu lebih diperlukan lagi, kalau kita memperhatikan kondisi Muhammadiyah akhir-akhir ini, dilihat dari sudut pandang etika. Kita tidak perlu menutupi, bahwa dikalangan sebagian anggota, bahkan di kalangan sebagian pimpinan Persyarikatan dan amal usaha, semangat ikhlas beramal, bekerja dan berjuang itu sudah mulai melemah dan pudar. Di mana-mana, sekarang ini, kita melihat merebaknya gejala konflik sesama kita. Kalau ditelusuri, di antara akar masalahnya, yang utama adalah kepentingan. Karena masing-masing kita punya kepentingan, yang acapkali bersifat duniawi, maka kita tidak perlu lagi merasa malu untuk berebut posisi dan jabatan, yang dengan posisi dan jabatan itu memungkinkan kita dapat melindungi kepentingan kita.
Di samping itu yang sangat memprihatinkan sebagai ekor dari semakin redupnya keikhlasan adalah semakin melemahnya sikap jujur dan amanah di kalangan sebagian kita. Sebagian kita sekarang ini, tidak merasa malu dan risih lagi untuk memanfaatkan dana, fasilitas, bahkan kekuasaan dan wewenang yang diamanatkan kepada kita, bukan semata-mata untuk kepentingan Persyarikatan, tetapi juga terikat di situ untuk kepentingan pribadi kita sendiri yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kalau kita cermati, ikatan solidaritas kolektif di antara kita juga mengalami pelemahan, yang ditandai oleh kurang berkembangnya ukhuwah, silaturrahim dan sinergi antar anggota juga antar institusi di kalangan Muhammadiyah. Hubungan yang kita kembangkan sekarang ini lebih banyak hubungan formal daripada hubungan informal. Kita lebih banyak ketemu sesama kita hanya di forum-forum formal, sangat jarang sesama kita bersilaturrahim ke tempat tinggal masing-masing. Satu lagi yang sangat memprihatinkan adalah kenyataan bahwa, sebagian kita sekarang ini sudah mulai menurun ketaatan dan komitmennya pada misi, kebijakan dan peraturan Persyarikatan. Dengan berbagai dalih dan alasan, sebagian kita sekarang ini sudah tidak sungkan-sungkan lagi menentang kebijakan Pimpinan Persyarikatan, padahal kebijakan itu didasarkan pada Keputusan Muktamar dan Tanwir. Bahkan yang lebih parah, sebagian kita pun tidak ragu-ragu untuk menyimpangi ketentuan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.
Etika ber-Muhammadiyah semakin dirasakan kepentingannya dalam kehidupan di era globalisasi sekarang ini. Hal ini mengingat adanya berbagai faktor, baik internal maupun eksternal yang memengaruhi kehidupan Muhammadiyah, seperti terjadinya perubahan alam pikiran sebagian kita yang cenderung pragmatis, materialistis dan hedonistis yang dapat menumbuhkan budaya dan gaya hidup sekuler. Juga terjadinya perubahan orientasi nilai dan sikap dalam ber-Muhammadiyah, karena berbagai faktor, yang memerlukan adanya standar nilai dan norma yang dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku. Di samping itu yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan sosial politik dalam kehidupan nasional yang menimbulkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa, yang ini tentunya akan memengaruhi kehidupan ber-Muhammadiyah.
Melihat demikian pentingnya etika dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, pertanyaannya sekarang, “Apakah sudah ada rumusan formal tentang etika ber-Muhammadiyah?”. Secara eksplisit rumusan formal dengan judul Etika Ber-Muhammadiyah memang belum ada, tetapi secara substansial dalam berbagai pokok pikiran, baik yang bersifat ideologis maupun strategis, sebenarnya sangat sarat dengan butir-butir tentang etika ber-Muhammadiyah. Apalagi dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, bisa dikatakan semua butir rumusan adalah merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam lingkup kehidupan ber-Muhammadiyah.
Etika ber-Muhammadiyah pada dasarnya memuat tiga hal, perintah/suruhan (keharusan melakukan sesuatu), larangan (keharusan tidak melakukan sesuatu) dan perkenan (kebolehan melakukan sesuatu). Agar rumusan tentang etika ber-Muhammadiyah yang saat ini bertebaran dalam berbagai pokok pikiran formal tersebut punya daya ikat yang tinggi, barangkali ke depan perlu disatukan dalam sebuah rumusan dengan topik “Etika Ber-Muhammadiyah” atau “Kode Etik Muhammadiyah” atau apa pun istilahnya.l

JANGAN BINGUNG MENGHADAPI PEMILU


Posted on October 1st, 2008 in 19 Telaah Pustaka by redaksi

Judul buku : Khittah Muhammadiyah tentang Politik
Penulis : Dr. Haedar Nashir
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal buku : I-VIII + 116 halaman.

Menghadapi datangnya Pemilu, apalagi dengan rentang waktu
kampanye yang demikian panjang dapat membuat orang
bingung. Sebaiknya warga atau anggota Muhammadiyah, pimpinan Muhammadiyah dan simpatisan organisasi massa terbesar di Indonesia ini tidak usah bingung.
Dalam buku ini tergambar jelas bagaimana seharusnya seorang anggota, pimpinan atau simpatisan Muhammadiyah bersikap menghadapi Pemilu. Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah telah berhasil merumuskan khittahnya tentang politik. Ini tertuang pada Khittah Palembang 1956-1959, Khittah Ponorogo 1969, Khittah Ujungpandang 1971 dan Khittah Denpasar 2002.
Khittah Palembang yang dihasilkan pada Muktamar ke-33 di Palembang merupakan awal pertama Muhammdiyah memergunakan konsep Khittah atau Garis Perjuangan atau Garis Kebijakan Organisasi. Khittah ini mengandung tujuh langkah pokok. Yaitu (1) Menjiwai pribadi para anggota terutama para pimpinan Muhammadiyah, (2) Melaksanakan uswatun hasanah, (3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi, (4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu amal, (5) Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader, (6) Mempererat ukhuwah dan (7) Menuntun penghidupan anggota (hal 19-20).
Khittah Ponorogo yang merupakan Keputusan Tanwir Ponorogo 1989, lahir dari situasi perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru. Isinya tentang Pola Dasar Perjuangan dan Program Dasar Perjuangan. Muhammadiyah memutuskan untuk memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang masyarakat. Sedang alat perjuangan dalam bidang politik kenegaraan (politik praktis), membentuk partai politik di luar organisasi Muhammadiyah. Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis. Dan pada prinspnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan, terutama jabatan pimpinan antara keduanya demi tertibnya pembagian pekerjaan (Hal 25-27)
Tentang bagaimana melaksanakan dan menyikapi khittah itu pun dijelaskan sebagaimana termuat pada halaman 43-72. Khittah-khittah itu perlu diposisikan sebagai koridor, bingkai, pagar yang sangat diperlukan oleh Muhammadyah dan terbukti mampu menjaga keseimbangan-keseimbangan gerakan sekaligus memosisikan dan memerankan Muhammadiyah sebagaimana sejatinya selaku gerakan Islam yang berkipah di ranah dakwah dan tidak bergerak di lapangan politik praktis (hal 55).
Dalam buku ini, juga ditampilkan Pedoman dan Etika Politik dalam Muhammadiyah. Rumusan organisasi tentang ini terdapat pada Pedoman Berbangsa dan Bernegara, Etika Politik, Kebijakan Larangan Rangkap Jabatan dan Kebijakan Menghadapi Pilkada dan Pemilu. Semua ditampilkan apa adanya, ringkas dan tuntas.l Mustofa W Hasyim

Saatnya Muhammadiyah ‘Merebut’ Politik Kenegaraan


PDF Cetak E-mail

Ditulis oleh Nurcahyo Ibnu Yahya
Monday, 25 August 2008

Oleh: Muhammad Izzul Muslimin

(Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah)

Catatan Tanwir II 2008 Pemuda Muhammadiyah di Makassar

Bertempat di Hotel Singgasana Makassar, 24-26 Agustus 2008 Pemuda Muhammadiyah menyelenggarakan Tanwir, yang kali ini mengambil tema, “Memimpin dan Berkhidmat untuk Rakyat”. Diangkatnya tema ini bukan tanpa alasan. Ada banyak persoalan yang perlu mendapatkan perhatian semua elemen bangsa, tak terkecuali Pemuda Muhammadiyah. Salah satunya terkait masalah kepemimpinan nasional.

Secara politik diakui, jatuhnya rezim orde baru (Orba) telah membawa perubahan sistem poltik dari otoritarianisme ke arah sistem politik yang lebih demokratis, meski masih bergerak pada tataran yang bersifat prosedural, yang ditandai misalnya dengan berbondong-bondongnya masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Sementara substansi demokrasi yang memberikan ruang politik kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminatif tercampakan secara nadhir.

Nah, untuk memperkuat bangunan sistem politik yang tengah kita bangun, dibutuhkan resourses politik yang kapabel dan mempunyai integritas moral. Salah satunya tentu diharapkan lahir dari lingkup Muhammadiyah melalui elemen-elemen mudanya seperti Pemuda Muhammadiyah.

Kenapa Muhammadiyah?

Untuk tidak menafikan elemen masyarakat lainnya, Muhammadiyah (dan Nahdlatul Ulama) merupakan dua elemen terbesar bangsa ini yang mempunyai andil cukup besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Semua proses politik yang terjadi di Indonesia, Muhammadiyah selalu terlibat di dalamnya, baik sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Muhammadiyah misalnya ikut andil dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII), terlibat pendirian Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Masyumi, termasuk ketika berubah menjadi partai politik pun Muhammadiyah terlibat di dalamnya.

Ketika sidang-sidang PPKI maupun BPUPKI yang merumuskan dasar negara, Muhammadiyah juga ikut terlibat aktif di dalamnya. Bahkan, ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Muhammadiyah pun terlibat di dalamnya.

Pasca kemerdekaan Muhammadiyah juga mendudukan wakil-wakilnya di parlemen maupun jabatan publik lainnya. Ketika meletus Peristiwa G 30 S/PKI, Muhammadiyah juga terlibat aktif menumpas PKI, termasuk duduk di dalam Front Pancasila. Ketika rezim Orba berkuasa, Muhammadiyah ikut andil dalam pendirian Parmusi. Selepas menyatakan diri sebagai ormas keagamaan yang netral politik, Muhammadiyah pun juga masih ikut cawe-cawe dalam persoalan politik, termasuk memberikan rekomendasi pendirian PAN. Begitu juga melalui Tanwir Mataram Muhammadiyah mengamanatkan warganya untuk mengkaji secara sungguh-sungguh upaya pendirian partai baru, yang kemudian direspon eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah dengan mendirikan PMB.


Kenapa Muhammadiyah melakukan itu semua? Jawabnya, karena kesadaran dan menjadi salah satu prinsip dasar pendirian Muhammadiyah, yaitu mengembangkan dakwah amar makruf nahi munkar di semua ranah kehidupan, termasuk bidang politik. Dengan prinsip dasar ini, tidak heran kalau Muhammadiyah selalu berusaha melibatkan diri, termasuk di bidang politik. Apalagi, Muhammadiyah termasuk komponen bangsa yang mempunyai saham besar bagi kemerdekaan Indonesia, sehingga beralasan bila Muhammadiyah terjun di ranah politik. Justru akan dipandang aneh kalau Muhammadiyah mengambil posisi emoh pada politik, baik dalam pengertian high politics maupun low politics.

Merebut Politik Kenegaraan

Tanwir II kali ini bertema “Memimpin dan Berkhidmat untuk Rakyat”. Tema ini diangkat karena saat ini Bangsa Indonesia sedang menghadapi Pemilu 2009 yang akan memilih para wakil rakyat baik di DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten, dan DPD, kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden. Sebagai bagian dari warga bangsa, Pemuda Muhammadiyah mau tidak mau akan terlibat dalam pesta demokrasi tersebut baik sebagai pemilih, yang dipilih, ataupun juga terlibat sebagai penyelenggara Pemilu.

Sebagai organisasi kader yang berorientasi pada tiga fungsi yaitu kader persyarikatan, kader ummat dan kader bangsa, Pemuda Muhammadiyah perlu mendorong para anggotanya untuk turut berperan aktif dalam mensukseskan Pemilu 2009 sesuai dengan posisinya masing-masing. Tidak ada alasan jika Pemuda Muhammadiyah justru menarik diri dan tidak berkontribusi dalam pesta demokrasi tersebut. Dengan semboyan Fastabiqul khairat, Pemuda Muhammadiyah siap mendarmabaktikan kader-kader terbaiknya untuk peran-peran kebangsaan yang lebih luas.

Saat ini Bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, apakah dengan demokrasi bangsa ini akan menuju kepada kemajuan dan kejayaan, ataukah sebaliknya, demokrasi justru menjerumuskan kita kepada pertikaian dan keterpurukan. Demokrasi sebenarnya hanyalah sebuah cara yang saat ini dianggap paling fair untuk melahirkan kepemimpinan. Tetapi kita sering dihadapkan dengan realitas ketika proses demokrasi ternyata tidak selalu melahirkan kepemimpinan yang baik dan memuaskan rakyat. Demokrasi di Indonesia memang masih hanya sekedar sebuah prosedur, sementara dari segi kualitas masih belum terlalu menjanjikan.

Kepemimpinan yang dilahirkan dalam proses demokrasi yang tidak berkualitas memang tidak memberikan jaminan akan sebuah kepemimpinan yang ideal. Akan tetapi kita tidak boleh berputus asa untuk mencobanya dengan penuh kesabaran. Sebab, kualitas demokrasi akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kedewasaan masyarakat yang terlibat. Oleh karena itu Pemuda Muhammadiyah berkewajiban untuk mengawal demokrasi di Indonesia agar semakin dewasa dan lebih berkualitas.

Dalam Islam, kepemimpinan adalah sebuah fardlu khifayah yang harus diupayakan. Bahkan, jika ada dua orang muslim bepergian, diwajibkan untuk menentukan salah satunya menjadi pemimpin. Jadi, tidak salah jika kader Pemuda Muhammadiyah menyiapkan dirinya untuk tampil dalam kepemimpinan. Justru salah jika ada kader Pemuda Muhammadiyah tidak peduli atau lari dari tanggung jawab kepemimpinan. Akan tetapi, kita juga jangan terjebak kepada motifasi kepemimpinan yang salah. Ada dua referensi yang selalu kita jadikan rujukan dalam melihat motifasi kepemimpinan. Yang pertama, model Abu Dzar Al Ghifari yang oleh Rasulullah ditolak saat meminta jabatan, karena Rasulullah tahu Abu Dzar tidak mampu dengan amanah kepemimpinan tersebut. Yang kedua, model Nabi Yusuf yang menawarkan diri untuk menjadi bendaharawan Mesir karena menyadari kemampuannya untuk bisa menyelamatkan Mesir dari paceklik dan kebangkrutan. Dari dua contoh ini, dalam motifasi kepemimpinan harusnya selalu dikembangkan sikap bisa merasa, dan bukan sekedar merasa bisa. Oleh karena itu, dalam Tanwir kali ini kita juga ingin memberikan pesan, baik bagi kader-kader Pemuda Muhammadiyah maupun bagi siapa saja anak bangsa yang ingin tampil dalam kepemimpinan kebangsaan dimanapun dan apapun levelnya, agar menyadari bahwa memimpin adalah berkhidmat untuk rakyat, bukan untuk yang lain.

Sejarah panjang Muhammadiyah telah memberikan banyak contoh figur-figur kepemimpinan yang bisa menjadi teladan kita semua. Selain KHA Dahlan, kita juga bisa melihat figur seperti KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadi Kusuma, Jenderal Sudirman, Ir. Djuanda, Buya HAMKA, dan masih banyak sederetan nama lainnya yang telah menunjukkan darmabaktinya tidak hanya bagi Muhammadiyah, tetapi juga bagi ummat dan bangsa. Oleh karena itu Pemuda Muhammadiyah tidak ragu untuk menawarkan kader-kader terbaiknya agar berkhidmat untuk rakyat, bahkan jika perlu untuk tingkat yang tertinggi di Republik ini. Karena Pemuda Muhammadiyah bukan Partai Politik, yang secara prosedural memiliki otoritas untuk mencalonkan pemimpin bangsa, maka Pemuda Muhammadiyah akan mencoba melakukan penjajagan dan berkomunikasi kepada semua pihak yang berkompeten dalam hal ini.

Menghadapi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Tingkat 1 dan Tingkat 2, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, generasi muda Muhammadiyah, dalam hal ini Pemuda Muhammadiyah harus berani untuk merebutnya. Pemuda Muhammadiyah tidak harus menunggu ’duriah runtuh’ dari partai-partai yang menawarinya untuk menduduki jabatan strategis, namun harus berusaha sekuat tenaga ’merebut’ dengan cara-cara demokratis. Bagi yang aktif di partai politik, silakan untuk berkompetisi secara fair play. Begitu juga bagi yang maju untuk menjadi anggota DPD silakan maju dengan menggunakan potensi Pemuda Muhammadiyah guna meraihnya. Begitu juga bagi kader Pemuda Muhammadiyah yang maju di pilkada atau bahkan nantinya ada yang berani maju di Pilpres 2009, maka Pemuda Muhammadiyah dengan sekuat tenaga juga akan mendukung dan mensukseskannya. Itu semua dilakukan Pemuda Muhammadiyah karena untuk ikut memimpin bangsa ini dan semuanya akan didarmabhaktikan untuk rakyat, sebagaimana tema tanwir kali ini “Memimpin dan Berkhidmat untuk Rakyat” Semoga (*)

Politik Isolatif Muhammadiyah



Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy*

Catatan Tanwir I Pemuda Muhammadiyah

Bertempat di Asrama Haji Kota Batam, 6-8 September 2007 Pemuda Muhammadiyah menyelenggarakan Tanwir, yang kali ini mengambil tema, ”Memimpin untuk Keutuhan dan Kemakmuran Bangsa”. Diangkatnya tema ini bukan tanpa alasan. Ada banyak persoalan yang perlu mendapatkan perhatian semua elemen bangsa, tak terkecuali Pemuda Muhammadiyah. Salah satunya terkait masalah kepemimpinan nasional.

Secara politik diakui, jatuhnya rezim orde baru (Orba) telah membawa perubahan sistem poltik dari otoritarianisme ke arah sistem politik yang lebih demokratis, meski masih bergerak pada tataran yang bersifat prosedural, yang ditandai misalnya dengan berbondong-bondongnya masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Sementara substansi demokrasi yang memberikan ruang politik kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminatif tercampakan secara nadhir.


Nah, untuk memperkuat bangunan sistem politik yang tengah kita bangun, dibutuhkan resourses politik yang kapabel dan mempunyai integritas moral. Salah satunya tentu diharapkan lahir dari lingkup Muhammadiyah melalui elemen-elemen mudanya seperti Pemuda Muhammadiyah.

Kenapa Muhammadiyah?

Untuk tidak menafikan elemen masyarakat lainnya, Muhammadiyah (dan Nahdlatul Ulama) merupakan dua elemen terbesar bangsa ini yang mempunyai andil cukup besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Semua proses politik yang terjadi di Indonesia, Muhammadiyah selalu terlibat di dalamnya, baik sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Muhammadiyah misalnya ikut andil dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII), terlibat pendirian Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Masyumi, termasuk ketika berubah menjadi partai politik pun Muhammadiyah terlibat di dalamnya.


Ketika sidang-sidang PPKI maupun BPUPKI yang merumuskan dasar negara, Muhammadiyah juga ikut terlibat aktif di dalamnya. Bahkan, ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Muhammadiyah pun terlibat di dalamnya.


Pasca kemerdekaan Muhammadiyah juga mendudukan wakil-wakilnya di parlemen maupun jabatan publik lainnya. Ketika meletus Peristiwa G 30 S/PKI, Muhammadiyah juga terlibat aktif menumpas PKI, termasuk duduk di dalam Front Pancasila. Ketika rezim Orba berkuasa, Muhammadiyah ikut andil dalam pendirian Parmusi. Selepas menyatakan diri sebagai ormas keagamaan yang netral politik, Muhammadiyah pun juga masih ikut cawe-cawe dalam persoalan politik, termasuk memberikan rekomendasi pendirian PAN. Begitu juga melalui Tanwir Mataram Muhammadiyah mengamanatkan warganya untuk mengkaji secara sungguh-sungguh upaya pendirian partai baru, yang kemudian direspon eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah dengan mendirikan PMB.


Kenapa Muhammadiyah melakukan itu semua? Jawabnya, karena kesadaran dan menjadi salah satu prinsip dasar pendirian Muhammadiyah, yaitu mengembangkan dakwah amar makruf nahi munkar di semua ranah kehidupan, termasuk bidang politik. Dengan prinsip dasar ini, tidak heran kalau Muhammadiyah selalu berusaha melibatkan diri, termasuk di bidang politik. Apalagi, Muhammadiyah termasuk komponen bangsa yang mempunyai saham besar bagi kemerdekaan Indonesia, sehingga beralasan bila Muhammadiyah terjun di ranah politik. Justru akan dipandang aneh kalau Muhammadiyah mengambil posisi emoh pada politik, baik dalam pengertian high politics maupun low politics.

SK 101: Politik Isolatif?

Dengan kenyataan sejarah yang demikian, menjadi heran dan sepertinya sulit dipahami ketika PP Muhammadiyah mengeluarkan SK 101 tentang tidak boleh rangkap jabatan di partai politik. Lebih sulit dipahami lagi ketika tidak boleh rangkap jabatan tersebut tidak saja berlaku bagi 13 pimpinan di Muhammadiyah, tapi juga bagi ketua, wakil ketua dan sekretaris majelis maupun lembaga di semua tingkatan, ketua umum, ketua, sekretaris jenderal/ sekretaris umum, sekretaris organisasi otonom (Ortom), pimpinan amal usaha, rektor, kepala, direktur, dekan, dosen dan guru seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah.


Ditinjau dari aspek historis terkait relasi Muhammadiyah dan politik, tentu SK tersebut ahistoris, karena menafikan sejarah bahwa Muhammadiyah pernah mewarnai panggung politik di Indonesia. Begitu juga ditilik dari aspek kekinian, di kala bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan dan membutuhkan keteladanan resourses politik, keluarnya SK tersebut menjadi sesuatu yang naïf dan terkesan masa bodoh dengan carut marut kondisi kepolitikan Indonesia saat ini. Inilah karakter yang dulu ditunjukan oleh Murji’ah pasca Perang Jamal dan Shiffin. Mereka mengambil sikap emoh pada politik dan lebih suka melakukan kajian-kajian ke-Islam-an di masjid-masjid.


Bila keluarnya SK tersebut dimaksudkan untuk menghindari agar tidak terjadi gesekan politik di tubuh Muhammadiyah, sepertinya berlebihan. Berpolitik bukan hal baru bagi Muhammadiyah, sehingga kalaupun terjadi gesekan politik itu hal yang wajar selama tidak mengganggu tatanan di Muhammadiyah, dan dalam konteks ini Muhammadiyah sangat sarat pengalaman, sehingga kekhawatiran tersebut menjadi berlebihan.


Kalau alasannya agar Muhammadiyah lebih terurus, sepertinya juga tidak cukup beralasan. Sebab andai seluruh ”elite Muhammadiyah” tidak berpolitik praktis, apakah menjamin bahwa Muhammadiyah akan lebih terurus. Bisa jadi malah sebaliknya, sebab keberhasilan Muhammadiyah selama ini juga di antaranya akibat dari peran dan kerja-kerja politik yang dilakukan oleh ”elite Muhammadiyah” yang terjun di politik praktis.


Keluarnya SK tersebut justru akan dinilai sebagai bentuk politik isolatif Muhammadiyah terhadap politik praktis, dengan cara mengkrangkeng kader-kader politiknya untuk terjun di politik praktis. Memang dalam SK tersebut tetap membolehkan warga Muhammadiyah berpolitik selama yang bersangkutan tidak menduduki jabatan-jabatan sebagaimana disebut di atas. Hanya persoalannya, apakah akan laku ”dijual” warga Muhamamdiyah yang tidak menduduki jabatan strategis di Muhammadiyah? Sebab daya tarik warga Muhammadiyah justru melekat dalam jabatannya.


Dalam SK tersebut juga memang memungkinkan warga Muhammadiyah berpolitik praktis selama hal itu dilakukan untuk kemaslahatan dan memperoleh izin dari PP Muhammadiyah. Namun, apakah tidak akan dinilai sebagai bentuk ambiguitas politik Muhammadiyah. Satu sisi melarang elitenya berpolitik, tapi di sisi lain membolehkannya selama yang bersangkutan telah mendapat izin. Jelasnya, kalau SK tersebut tetap dipaksakan untuk diterapkan secara kaku, akan menjadi kemunduran bagi Muhammadiyah dalam relasinya dengan politik. Semoga tidak! ***

*) Ma’mun Murod Al-Barbasy, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Moral Politik Muhammadiyah

Pada 26–29 April 2007, Muhammadiyah menyelenggarakan tanwir di Yogyakarta. Tanwir yang mengusung tema,”Peneguhan dan Pencerahan Gerakan untuk Kemajuan Bangsa” di antaranya akan membahas materi peran kebangsaan dengan penekanan pada Aktualisasi Khitah Ujung Pandang 1971 dan Khitah Denpasar 2002.



Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) dari diusungnya materi di atas dengan penekanan pada dua khitah–– meskipun sebenarnya masih ada Khitah Surabaya 1978 yang juga perlu diusung––seakan ingin mengamini bahwa selama ini Muhammadiyah memang belum atau tidak secara serius berjalan di atas rel khitahnya, yaitu sebagai ormas keagamaan. Selama ini, Muhammadiyah kerap membuat putusan yang secara sadar atau tidak telah menyeret Muhammadiyah pada kubangan politik praktis. Karena itu, tidak heran bila selama perjalanan sejarahnya Muhammadiyah lebih banyak bersinggungan dengan politik praktis.

Dua Khitah

Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar sama-sama menegaskan netralitas Muhammadiyah terhadap kekuatan politik mana pun. Hanya yang membedakan, sebagai ”khitah transisi”, Khitah Ujung Pandang masih belum bisa membebaskan diri dari kungkungan Khitah Ponorogo 1969 yang nuansa politiknya begitu kuat,sehingga masih menyebut kata Parmusi:

”Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam setelah Pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan amar makruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Parmusi seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya” (poin 3). Bila dikaji dalam konteks zamannya, keluarnya rumusan khitah tersebut menarik untuk dikritik. Khitah Ujung Pandang misalnya, dikeluarkan selepas munculnya ”kebijakan politik” berupa Khitah Ponorogo yang begitu partisan.

Setelah menyadari bahwa selain Khitah Ponorogo tidak membawa maslahahdan bertentangan dengan jati diri Muhammadiyah, juga realitas politik saat itu yang mulai tidak kondusif lantaran negara (militer) mulai tampil serbadominan melalui Golkar dan juga pelaksanaan Pemilu 1971 yang sarat dengan kecurangan, keluarlah Khitah Ujung Pandang yang menegaskan netralitas politik Muhammadiyah.

Begitu juga Khitah Denpasar diputuskan selepas Muhammadiyah melalui Tanwir Semarang 1998, memberikan rekomendasi dukungan atas berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Ketika PAN dinilai juga tidak membawa maslahah––bahkan cenderung membebani, karena Muhammadiyah selalu saja diidentikkan dan dikaitkan dengan PAN––Muhammadiyah pun mengeluarkan rumusan Khitah Denpasar.

Varian Politik

Keluarnya rumusan Khitah Ponorogo, Khitah Ujung Pandang,Khitah Surabaya, Tanwir Semarang, Khitah Denpasar, dan Tanwir Mataram 2004, selain menunjukkan sikap politik Muhammadiyah yang ambigu, juga menegaskan adanya tarik menarik dan terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah. Dan bila berkaca pada doktrin mainstreamdi kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama dan negara (Islam al-dien wa al-dawlah), terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah cukup bisa dipahami.Apalagi, sejarah Muhammadiyah juga menunjukkan dominasi dalam relasinya dengan politik.

Dominasi relasi ini setidaknya tergambar dari kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Budi Utomo dan PSII. Relasi ini boleh dikatakan sebagai titik awal Muhammadiyah bersinggungan dengan politik. Ketika dikomandoi KH Mas Mansyur,wajah politik Muhammadiyah bahkan begitu dominan. KH Mas Mansyur misalnya, menjadi penggagas berdirinya Partai Islam Indonesia (PII), penggagas lahirnya MIAI dan Masyumi. Pasca-Orde Lama, ketika upaya rehabilitasi Masyumi gagal, Muhammadiyah juga menjadi penggagas lahirnya Parmusi.

Sewaktu rezim Orde Baru menerapkan kebijakan depolitisasi partai politik, Muhammadiyah yang terepresentasikan lewat Parmusi (MI) memfusi ke dalam PPP.Melalui rekomendasi Tanwir Semarang 1998, Muhammadiyah juga ikut membidani lahirnya PAN. Tahun 2004 melalui Tanwir Mataram, Muhammadiyah mengeluarkan rumusan politik yang cenderung vis a vis Khitah Denpasar yang memberikan ”lampu hijau” kepada AMM untuk mengkaji kemungkinan berdirinya partai baru. Keputusan Tanwir ini kemudian disikapi dan ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB).

Peneguhan Moral Politik

Paparan di atas menggambarkan bahwa kebijakan politik Muhammadiyah tampak sangat dipengaruhi situasi praksis-politik (low politics) yang melingkupinya ketimbang idealitas politik Muhammadiyah (high politics). Dengan begitu, mengesankan tidak konsistennya sikap dan posisi politik Muhammadiyah. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah tidak seharusnya terlibat pada wilayah politik praktis.

Meski begitu, sebagai organisasi dakwah amar makruf nahi munkar, Muhammadiyah juga tidak semestinya emoh pada politik. Hanya, politik yang dimaksud adalah sebagaimana diamanatkan Khitah Denpasar poin 5 yang berwajah high politics. Atau bila berangkat dari keempat varian di atas, semestinya Muhammadiyah memosisikan diri pada varian politis-organisatoris. Dengan mengambil posisi politisorganisatoris, ke depan sudah semestinya Muhammadiyah tidak lagi membuat putusan sejenis Khitah Ponorogo, Tanwir Semarang, dan Tanwir Makasar 2003 yang begitu partisan, termasuk Sidang Pleno 2004 yang mendukung ”kader terbaik” (Amien Rais) sebagai calon presiden atau juga surat keputusan seperti SK 149 tentang Kebijakan Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang beberapa poinnya cenderung tidak proporsional.

Dalam SK tersebut misalnya, sampai menyebut nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski penulis cukup bisa memahami konteks keluarnya SK tersebut, penyebutan nama PKS cenderung bertentangan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Dalam SK tersebut juga ditegaskan kembali Keputusan Muktamar Muhammadiyah Malang 2005 yang ”menolak upaya-upaya untuk mendirikan partai yang memakai atau menggunakan nama atau simbolsimbol Persyarikatan Muhammadiyah”, yang juga tidak semestinya dikeluarkan menjadi ketetapan forum seperti Muktamar.

Andaikan SK tersebut dibuat sebelum berdirinya PAN pada 1998 atau tidak di saat teman-teman PMB sedang menyosialisasikan partai barunya––dua partai ini sama-sama menggunakan simbol matahari––tentu tidak terlalu menjadi persoalan.Alih-alih mencoba mengambil posisi netral politik, dengan keluarnya SK tersebut, justru menunjukkan sikap keberpihakan Muhammadiyah dan cenderung tidak proporsional. Bila Muhammadiyah secara serius ingin melakukan ”pertaubatan politik” dengan tidak lagi menyeret Muhammadiyah pada wilayah politik praktis, segala sikap dan posisi politik Muhammadiyah harus sejalan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar.

Muhammadiyah tidak boleh berafiliasi atau mendukung kekuatan politik tertentu.Sebaliknya,Muhammadiyah harus menjaga kedekatan yang sama kekuatan politik yang ada. Dua tahun ke depan merupakan tantangan tersendiri bagi upaya aktualisasi Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Andaikan menjelang Pilpres 2009 Muhammadiyah kembali mengeluarkan rumusan politik yang berbau ”praktis-politis”, tidaklah salah untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak secara serius untuk berjalan di atas rel Khitah 1912. Atau hal itu memang telah menjadi karakter asli Muhammadiyah yang merupakan bagian dari mainstream Islam di dunia yang berwajah politis? Wallahu A’lam. (*)
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Direktur Laboratorium Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta Ketua PP Pemuda Muhammadiyah

Bandit Politik dan Politik Aanggaran


By Nurcahyo Ibnu Yahya, on 08-08-2008 16:04

Views : 1251

Favoured : 26

Published in : Artikel, Artikel


Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak

(Dosen FE. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten dan Wakil Ketua PW. Pemuda Muhammadiyah Banten)

Istilah bandit politik saya pinjam dari Mancur Olson melalui bukunya ”Power and Prosperity ”(2000) yang dikutib oleh Didik J. Rachbini dalam bukunya, ”Teori Bandit”. Rachbini mencoba mendeskripsikan tersumbatnya saluran aspirasi publik (rakyat) yang dipercayakan kepada legislatif baik pusat maupun daerah, dan mandulnya kinerja eksekutif melakukan maksimalisasi pelayanan publik.

Politik Anggaran

Tersumbat dan mandulnya aspirasi maupun kepentingan publik disebabkan oleh politik anggaran yang cenderung self and group oriented atau narrow self interest oleh para ”bandit politik”. Proses politik dalam kebijakan anggaran dapat dianalisis melalui sebuah teori yang disebut teori pilihan publik (public choice). Teori pilihan publik menggambarkan adanya kelembagaan dasar di dalam politik, yakni suatu pertukaran atau kontrak politik antara kedua belah pihak di dalam pasar politik (poltical market). Di dalam pasar politik tersebut, terdapat aktor-aktor politik yang terlibat dalam pertukaran yang terbuka, sah dan transparan sesuai aturan main kelembagaan politik yang ada. Pertukaran yang sah dan transparan ini dilakukan melalui pemilihan umum, dimana aktor-aktor politik menawarkan diri dan program melalui janji-janji agar dipilih oleh konsumen, dalam hal ini pemilih. Jadi, terdapat kontraktual antara politisi sebagai penjual dan pemilih sebagai konsumen. Konsumen atau pemilih bebas menentukan pilihan, dengan konsekuensinya, masing-masing. Salah pilih, rugi.

Pasar Politik

Pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market) berkarakter simetris, akan melahirkan politisi yang berkualitas dan kecenderungan afiliasi terhadap publik yang tinggi. Namun, pasar politik yang oligopoli (political oligopoly market) yang asimetris seperti saat ini, hanya akan melahirkan para ”bandit politik”. Pasar politik yang kompetitif memiliki ciri transparan, setiap calon eksekutif yang akan berkuasa atau yang akan duduk di legislatif, akan bertarung di pasar politik dengan adil, mereka yang masuk dalam pasar politik ini adalah para politisi yang rekam jejaknya dapat dipertanggungjawabkan dalam ranah sosial politik, politisi-politisi ini adalah manusia-manusia unggul yang dikenal masyarakat sebagai abdi publik (voluntary) yang mendedikasikan dirinya untuk melayani publik untuk kesejahteraan (prosperity). Sedangkan, pasar politik yang oligopoli hanya akan melahirkan politisi-politisi pemburu rente ekonomi (economic rent seeking) mereka masuk dalam pasar politik, karena kepentingan pribadi dan kelompok atau kartelnya serta akan membangun sindikasi yang terorganisir di dalam pemerintahan dan legislatif. Terjadilah distorsi , publik dipimpin oleh para ”bandit politik” sehingga ekonomi publik terabaikan.

Pemburu Rente

Sulit berharap anggaran dalam bentuk APBN atau APBD dijadikan alat untuk memaksimalkan pembangunan sosial dan ekonomi dan mampu menstimulan investasi swasta, apabila pasar politik kita, tidak menuju pada pasar politik kompetitif, bahkan cenderung makin terjerumus pada pasar politik yang oligopoli. Pasar politik makin terjerumus pada pasar politik oligopoli karena ”bandit politik” yang tidak memiliki komitmen yang kuat untuk perubahan, dan cenderung rakus. Sehingga praktek pemburu rente ekonomi (economic rent seeking) masih menjadi habit bagi para politisi yang masuk pada kategori ”bandit politik”. Para bandit politik selalu berusaha melakukan maksimalisasi anggaran (maximizing budget) dengan image untuk kepentingan pembangunan publik. namun, fakta menunjukkan berbeda, pembangunan publik nyaris tanpa maksimalisasi. Anggaran habis untuk kegiatan-kegiatan rutin dan terdistribusi diantara para bandit politik. Jadi, permasalahan politik anggaran bukan pada besar atau kecil anggaran publik dalam bentuk APBN atau APBD namun sejauh mana anggaran tersebut mampu memberikan dampak sosial ekonomi bagi publik.

Reduksir Bandit Politik

Eksitensi para bandit politik ini dapat dieliminir, dan politik anggaran dapat berpihak kepada publik, apabila masyarakat atau pemilih teredukasi secara politik, sehingga mampu menentukan pilihan politik yang terukur dan kualitatif. Pilihan politik bukan lagi didasari oleh argumentasi-argumentasi irasional seperti alasan primordialisme, rasisme, tampilan fisik dan materialisme, tetapi lebih karena argumentasi rasional seperti rekam jejak di ranah sosial dan politik, program pembangunan yang ditawarkan dan komitmen kuat terhadap nilai-nilai moral seperti kejujuran dan pengabdian kepada publik. konstelasi masyarakat pemilih yang rasional ini secara alamiah akan membentuk pasar politik yang kompetitif. Pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market), akan minim bandit politik. Selain karena proses seleksi yang ketat (thigh selection), juga dibarengi dengan proses partisipasi dan pengawasan yang tinggi dari civil society atau masyarakat sipil yang juga menjunjung nilai-nilai moral. Sehingga, politik anggaran menjadi proses kebijakan alokasi dana publik yang sepenuhnya dimaksimalkan untuk kepentingan pembangunan sosial ekonomi dan pelayanan publik (encompassing self interest). Namun kapan pasar politik kompetitif (political competitiveness market) ini terwujud?.

Politik Sabar

Saya sama sekali tidak menganjurkan menggunakan ”politik sabar” yang sering disarankan para pengamat, dimana secara alamiah melalui beberapa kali hajat demokrasi berupa pemilihan umum, publik dengan sendirinya akan teredukasi dan mulai sadar akan konsekuensi dari pilihan politiknya.

Saya tak mau sabar menunggu publik sadar akan kekeliruannya, dan para bandit politik terus merampok sumber daya ekonomi melalui politik anggarannya (APBN dan APBD). Sehingga nyaris tak tersisa untuk generasi yang akan datang, seperti yang dilakukan para bandit politik dimasa Orde Baru, dengan tumpukan hutang dan sisa-sisa eksploitasi sumber daya alam yang harus kita tanggung saat ini. Saya tidak mau ”bersabar”.

Demokrasi menuju kesejahteraan melalui politik anggaran yang pro-publik harus diakselerasikan. Seluruh komponen civil society yang sadar akan regenerasi pembangunan sosial ekonomi dan peradaban Indonesia dan daerah derivasinya, harus segera menyatukan persepsi dan gerak menuju masyarakat yang teredukasi sehingga terwujud pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market). Tanpa gerakan kolektif, rasanya musykil pasar politik kompetitif (political competitiveness market) dan politik anggaran transparan, akuntabel serta partisipatif yang anti bandit politik dapat terwujud.

Data Pribadi

Nama Lengkap : Dahnil Anzar ,SE,ME

Tempat Tanggal Lahir : Aceh Timur, 10 April 1982

Alamat Lengkap/Telp/HP : Perum Pondok Lestari C3 NO.2, Tangerang, Banten.

Telp. 021-70299266, 0816782153

No. Rek : Bank Syariah Mandiri, Cab. Ciputat. 00447003257

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah, 2 putra.

Pekerjaan : Dosen Tetap FE. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Latar Belakang Akademik & Karier

Pendidikan : 1. FE. Ahmad Dahlan Jakarta, Jurusan Akuntansi.

2. FE. Universitas Indonesia, Magister Ekonomi Perencanaan dan Kebijakan Publik, Kekhususan Keuangan Negara dan Daerah.

Kegiatan Ilmiah : 1. Fellowship, International Economic Conference For

Local Governance, World Bank, Indonesia. (2006)

2. Membership, Training IndonesiaYoung Researcher in, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.(2006)

3. Anggota, Tim Peneliti Analisis Ekonomi Masyarakat Squater Kota Tangerang, Kerjasama Dinas Pemukiman Kota Tangerang. (2006)

4. Anggota, Tim Peneliti Sebaran Usaha Kecil di DKI Jakarta, Kerjasama Dinas Koperasi dan UKM DKI.Jakarta. (2005)

5. Fellowship, Input Output and Social Accountability Matrix (SAM). In Universitas Indonesia. (2005)

6. Anggota, Tim Peneliti Formulasi Pencatatan Laporan Keuangan Sederhana Bagi Pedagang Informal, Kerjasama Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI), DEPDIKNAS. (2005).

7. Anggota, Kajian dan Gerakan Perempuan Senjata Kartini (SEKAR), Jakarta. 2004.

8. Anggota Feminis Pria, Tim Advokasi Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Kalyanamitra Jakarta. 2003.

Karya Ilmiah dan

Publikasi Artikel : 1. Pemimpin dan Perempuan, Jurnal Lensa, Vol.1. 2002

2. Indonesia dan Pilpres Langsung, Jurnal Lensa, Vol. 2. 2002.

3. Mengenal Akuntansi Islam, Jurnal Warta STIEAD Jakarta. Vol.23, 2002

4. Potensi Ekonomi Muhammadiyah, Jurnal Lensa, Vol. 4, 2002

5. Perut dan Kelamin, Majalah Mingguan, Musala Sumatra Utara. 2003

6. Perempuan dan Sang Pemimpian, Majalah Mingguan, Musala Sumatra Utara. 2003

7. Metode Pencatatan Akuntansi Zakat, Jurnal Warta, Vol. 34, 2004

8. Kajian Standar Akuntansi Keuangan Pada Lembaga ZIS Terhadap PSAK. 45, Skripsi, 2005.

9. Pengaruh Inflasi Terhadap Struktur Perekonomian Desa, Kajian Kebijakan Revitalisasi Pedesaan. Penelitian di FE.UI. 2005

10. Perumusan Pencatatan Laporan Keuangan Sederhana Bagi Pedagang Informal. Penelitian yang dibiayai, DIKTI, DEPDINAS. 2006

11. Potensi Ekonomi Masyarakat Squater KotaTangerang Penelitian dibiayai, Dinas Pemukiman Kota Tangerang. 2006

12. Entreprenuership Solusi Pembangunan Bangsa, Jurnal Equilibrium, Vol 5. 2006.

13. Tajdid Ekonomi Muhammadiyah, Jurnal Equilibrium, Vol. 7. 2006

14. Islamic Accounting Versus Convensional Accounting, Jurnal Competitive. Vol 1, 2006

15. Meretas Potensi Ekonomi Danau Cipondoh, SatelitNews, 2006

16. Kanibalisme Retail Bermodal Besar, SatelitNews, 2006.

17. Investasi Versus Harmonisasi Ekonomi Rakyat Banten, Kolom, WWW. Bantenlink.com. dan Jurnal Immah, Vol.1, 2006.

18. Islam Transformatif-Kontekstual, M:Shoot, 2006

19. Antagonisme Versus Kearifan Politikus, Radar Banten, 2006.

20. Penulis Buku, ” Untaian Hikmah Kepemimpinan”, Musala Press, Sumatra Utara, 2005

21. Penulis Buku Biografi, ” Buety Nasir : Guru Kampung Berjuang Untuk Kesejahteraan ”, M:Shoot Press, 2006

22. Pembicara di Banyak Seminar Ekonomi dan Keagamaan.

Pengalaman Pekerjaan : 1. Direktur Lembaga Bimbingan Belajar Garis English Center Club (GECC). 2000-2005

2. Peneliti Tetap, Pusat Pengembangan dan Penelitian Sosial Ekonomi (P3SE) Jakarta.2003-2006

3. Dosen, di STIE Muhammadiyah Tangerang-Banten. 2005-2006

4. Analis Ekonomi, PT. Yudati Putra, Rekanan PTPN II Sumatra Utara. 2005-2006.

5. Peneliti Tetap, LP3M- STIE Muhammadiyah Tangerang. 2004-2006

6. Pemimpin Redaksi, Jurnal Competitive. 2005-2006.

7. Ketua Tim Audit Keuangan, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. 2006.

Pengalaman Organisasi : 1. Ketua Umum PB.Gabungan Pelajar Islam (GARIS) 1999-2001.

2. Ketua Umum Komite Pelajar Muslim Untuk Ambon (KPMA). 1999.

3. Ketua PW. Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Banten. 2001-2003.

4. Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Ahmad Dahlan Jakarta. 2003-2004.

5. Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Ahmad Dahlan, Ciputat.

6. Wakil Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah, Tangerang. 2002-2006

7. Anggota Bidang Pengkaderan dan Sumber daya Insani. Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. 2006-2010.

8. Direktur Eksekutif, Muhammadiyah: School Of Thought (M:SHOOT). 2005-2006.

9. Direktur Eksekutif, LSM Rakyat Indonesia Membangun (RIMBUN). 2006-Sekarang.

10. Bendahara Umum, Forum Komunikasi Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Perguruan Tinggi Se-Banten. 2006-2010.

Keahlian Khusus : 1. Dapat berbahasa Inggris aktif, tulisan dan lisan.

2. Memahami dengan baik, konsepsi dan teknis akuntansi publik/pemerintah dan komersil.

3. Memahami dengan baik, konsepsi dan teknis pengelolaan keuangan negara dan daerah.

4. Memahami dengan baik, konsepsi ekonomi pembangunan dan perencanaan ekonomi.

5. Memahami dengan baik, metode penelitian sosial ekonomi.

6. Memahami dengan baik, konsepsi ekonomi dan akuntansi Islam.

7. Memiliki kemampuan menulis baik artikel populer maupun artikel Ilmiah.

Hormat Saya;

Dahnil Anzar, SE,ME