Selasa, 02 Desember 2008

Laskar Pelangi dan “Mukjizat” Kebenaran Sang Kyai, Ahmad Dahlan


Posted on November 1st, 2008 in 20 Kapita Selekta by redaksi

Mukhlis Rahmanto

Jika ditanya seseorang, Anda pernah sekolah di mana? Saya tentu akan menjawab dengan bangga, saya pernah sekolah di Muhammadiyah. Begitulah pengaruh hawa positif yang saya dapatkan ketika sekeluarga sehabis menonton film, rilis terbaru dari Miles Film Production, Laskar Pelangi. Sutradara Riri Riza berhasil mengadaptasi novel laris karya Andrea Hirata, atau dengan kata lain, nyaris sempurna dengan pertanda sedikitnya penonton yang protes tentang adaptasi tersebut. Padahal, sebagian besar penonton sudah membaca novel itu.
Lalu apa sih, yang istimewa dari film ini? Saya bukanlah kritikus film, namun saya punya pengalaman membuat sebuah film. Hemat saya, Laskar Pelangi adalah ikon arus kekalahan yang terpinggirkan di negara ini dan hampir di banyak negara, terutama negara-negara dunia ketiga-berkembang. Sama seperti Denias, Senandung di Atas Awan (2006), film ini menceritakan tentang pentingnya pendidikan sebagai sebuah syarat mutlak bagi masa depan yang berperadaban. Dan orang-orang miskin yang tidak mampu itu, hanya berbekal “mimpi” untuk mendapat, mengenyam, dan merasakan manisnya dunia pendidikan. Ya, intinya penegasan akan mimpi dan usaha seorang anak manusia. Pesan itulah yang ingin disampaikan Laskar Pelangi.
Pesan itu bermula dari sebuah sekolah dasar Muhammadiyah Gantong, Kepulauan Bangka-Belitong. Pesan itu direkam dan dirangkum untuk kita semua oleh Andrea Hirata yang menceritakan tentang kesepuluh laskar pelangi yang berupaya menggapai mimpi. Mereka percaya dan yakin bersekolah di SD Islam Muhammadiyah, di mana kata pak Harfan, sang kepala sekolah tersebut yang lulusan SPG Muhammadiyah Yogyakarta, “SD yang menekankan akhlak budi perkerti sebagai tolak ukur. Bukan kecerdasan bermain angka-angka, namun hati mati suri seperti singa.”
Bagaimana Bu Muslimah mampu menimang dan mengajarkan kesepuluh muridnya itu untuk yakin, dengan sekolah perubahan akan diperoleh. Meski sebagaimana kata-kata hikmah tasawuf dari Syekh Athailah al-Sakandariy dalam al-Hikam-nya, “Sawaabiqul himam la takhriqu aswaara al-aqdaar”, kerasnya semangat perjuangan tidak akan dapat menembus tirai takdir. Dan itu terjadi pada Lintang, seorang dari sepuluh Laskar Pelangi yang super jenius, namun ia sudah ditakdirkan untuk membesarkan adik-adiknya. Maklum ia anak tertua dari empat bersaudara yang ketika ayahnya meninggal, ia mengirim kurir untuk mengantar surat pada Bu Muslimah yang isinya, “Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah (untuk perpisahan), salamku, Lintang.” Adegan inilah yang meneteskan airmata seluruh penonton bioskop malam itu. Akhirnya Lintang hanya menjadi pekerja kasar sebagaimana para buruh timah lain di pulau tersebut. Ikal dan Maharlah yang akhirnya ditakdirkan berhasil mewakili kesepuluh Laskar itu menggapai mimpi hingga sekolah ke Sorbone-Perancis.
Hal menarik lain adalah ramainya film ini dengan bergabungnya bermacam corak tokoh-manusia dan pernak-pernik arus hidupnya. Ada Harun anak cacat mental, Mahar yang seniman dan penyuka mistik, A Kiong anak Cina-Hokian yang jenaka, Samson yang pengidam tubuh kuat, juga Flo anak parlente tapi punya “hati” dan terkesima dengan perangai anak-anak Laskar Pelangi lalu pindah ke SD Muhammadiyah. Sutradara Riri Riza mengkayakan film ini dengan menambahkan suasana sosial politik Belitong tahun tujuh puluhan. Jurang pemisah antara kelas borjuis diwakili para petinggi perusahaan timah dan kelas proletar, yaitu mereka buruh timah kecil, tampak dengan bukti sebuah papan yang bertuliskan, “Verboden toegang voor onbevoegden-Dilarang masuk buat orang yang tidak punya hak.” Kekayaan SDA sebuah pulau tidak bisa menjamin terpenuhinya hak pendidikan manusia pulau tersebut.
Pertanyaannya, apa hubungan film ini dengan Kiai Ahmad Dahlan? Jika ditarik benang tafsirnya tentu akan muncul multitafsir, tergantung jiwa penikmat film ini dan latar belakang penafsir tersebut. Hemat saya, Laskar Pelangi dengan banyak karakter di dalamnya itulah bunga-bunga kebenaran dari sebuah keyakinan seorang Haji Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah pada 1912. Kiai ingin dengan Muhammadiyah ini, orang Islam menjadi maju, modern, tinggalkan budaya taklid yang memangkas kreativitas berpikir dan demokrasi, yang menjadi ciri Islam. Maka, pendidikan diharuskan baik agama maupun umum, didirikan rumah sakit untuk menjaga kelangsungan jiwa-badan kita sebagai khalifah-Nya, “hasas” atau kepekaan sosial lewat teologi Al-Maun dibangun dengan munculnya panti asuhan. Teologi rumusan Kiai demikian berhasil menghasilkan alumni-alumni yang tampak di film ini. Orang-orang yang ikhlas berjuang tanpa pamrih. Lahir-batin. Karena Allah menilai “hati”, seperti ditegaskan pak Harfan. Dan inilah yang mulai hilang dari kita, warga Muhammadiyah, sebab angin politik mulai memasuki dan membius.
Terkait dengan judul, secara teologi sebenarnya saya salah menggunakan terma “mukjizat” untuk sosok Kiai Ahmad Dahlan, karena beliau bukan Nabi. Yang lebih cocok untuk manusia biasa adalah karamah. Namun, serma itu sudah lazim melekat untuk sebuah kebenaran-keajaiban yang muncul dan menuntut untuk tampak. Sehingga orang tahu, percaya, lalu terpengaruh untuk mengikuti jejak kebenaran keajaiban itu.
Maka sekali lagi, manusia-manusia dalam Laskar Pelangi seperti Pak Harfan, Bu Muslimah, Ikal, Lintang, dan Mahar adalah mereka yang masuk dalam kategori sebuah sablon kaos bertuliskan, “Orang Muhammadiyah itu terbuka, cerdas, dan ora mutungan (tidak mudah putus asa)”. Kaos ini diproduksi Majalah Suara Muhammadiyah dan dipajang di kantor majalah itu di Kauman Yogyakarta. At least but not least, selamat atas dirilisnya film Laskar Pelangi. Tonton, kritisi, kontemplasikan, dan ambil hikmah di dalamnya. Apalagi, guru-guru di sekolah Muhammadiyah, sepertinya “fardhu ain” untuk menonton film ini.l
Penulis adalah pengajar di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Tidak ada komentar: