Selasa, 02 Desember 2008

Moral Politik Muhammadiyah

Pada 26–29 April 2007, Muhammadiyah menyelenggarakan tanwir di Yogyakarta. Tanwir yang mengusung tema,”Peneguhan dan Pencerahan Gerakan untuk Kemajuan Bangsa” di antaranya akan membahas materi peran kebangsaan dengan penekanan pada Aktualisasi Khitah Ujung Pandang 1971 dan Khitah Denpasar 2002.



Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) dari diusungnya materi di atas dengan penekanan pada dua khitah–– meskipun sebenarnya masih ada Khitah Surabaya 1978 yang juga perlu diusung––seakan ingin mengamini bahwa selama ini Muhammadiyah memang belum atau tidak secara serius berjalan di atas rel khitahnya, yaitu sebagai ormas keagamaan. Selama ini, Muhammadiyah kerap membuat putusan yang secara sadar atau tidak telah menyeret Muhammadiyah pada kubangan politik praktis. Karena itu, tidak heran bila selama perjalanan sejarahnya Muhammadiyah lebih banyak bersinggungan dengan politik praktis.

Dua Khitah

Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar sama-sama menegaskan netralitas Muhammadiyah terhadap kekuatan politik mana pun. Hanya yang membedakan, sebagai ”khitah transisi”, Khitah Ujung Pandang masih belum bisa membebaskan diri dari kungkungan Khitah Ponorogo 1969 yang nuansa politiknya begitu kuat,sehingga masih menyebut kata Parmusi:

”Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam setelah Pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan amar makruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Parmusi seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya” (poin 3). Bila dikaji dalam konteks zamannya, keluarnya rumusan khitah tersebut menarik untuk dikritik. Khitah Ujung Pandang misalnya, dikeluarkan selepas munculnya ”kebijakan politik” berupa Khitah Ponorogo yang begitu partisan.

Setelah menyadari bahwa selain Khitah Ponorogo tidak membawa maslahahdan bertentangan dengan jati diri Muhammadiyah, juga realitas politik saat itu yang mulai tidak kondusif lantaran negara (militer) mulai tampil serbadominan melalui Golkar dan juga pelaksanaan Pemilu 1971 yang sarat dengan kecurangan, keluarlah Khitah Ujung Pandang yang menegaskan netralitas politik Muhammadiyah.

Begitu juga Khitah Denpasar diputuskan selepas Muhammadiyah melalui Tanwir Semarang 1998, memberikan rekomendasi dukungan atas berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Ketika PAN dinilai juga tidak membawa maslahah––bahkan cenderung membebani, karena Muhammadiyah selalu saja diidentikkan dan dikaitkan dengan PAN––Muhammadiyah pun mengeluarkan rumusan Khitah Denpasar.

Varian Politik

Keluarnya rumusan Khitah Ponorogo, Khitah Ujung Pandang,Khitah Surabaya, Tanwir Semarang, Khitah Denpasar, dan Tanwir Mataram 2004, selain menunjukkan sikap politik Muhammadiyah yang ambigu, juga menegaskan adanya tarik menarik dan terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah. Dan bila berkaca pada doktrin mainstreamdi kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama dan negara (Islam al-dien wa al-dawlah), terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah cukup bisa dipahami.Apalagi, sejarah Muhammadiyah juga menunjukkan dominasi dalam relasinya dengan politik.

Dominasi relasi ini setidaknya tergambar dari kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Budi Utomo dan PSII. Relasi ini boleh dikatakan sebagai titik awal Muhammadiyah bersinggungan dengan politik. Ketika dikomandoi KH Mas Mansyur,wajah politik Muhammadiyah bahkan begitu dominan. KH Mas Mansyur misalnya, menjadi penggagas berdirinya Partai Islam Indonesia (PII), penggagas lahirnya MIAI dan Masyumi. Pasca-Orde Lama, ketika upaya rehabilitasi Masyumi gagal, Muhammadiyah juga menjadi penggagas lahirnya Parmusi.

Sewaktu rezim Orde Baru menerapkan kebijakan depolitisasi partai politik, Muhammadiyah yang terepresentasikan lewat Parmusi (MI) memfusi ke dalam PPP.Melalui rekomendasi Tanwir Semarang 1998, Muhammadiyah juga ikut membidani lahirnya PAN. Tahun 2004 melalui Tanwir Mataram, Muhammadiyah mengeluarkan rumusan politik yang cenderung vis a vis Khitah Denpasar yang memberikan ”lampu hijau” kepada AMM untuk mengkaji kemungkinan berdirinya partai baru. Keputusan Tanwir ini kemudian disikapi dan ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB).

Peneguhan Moral Politik

Paparan di atas menggambarkan bahwa kebijakan politik Muhammadiyah tampak sangat dipengaruhi situasi praksis-politik (low politics) yang melingkupinya ketimbang idealitas politik Muhammadiyah (high politics). Dengan begitu, mengesankan tidak konsistennya sikap dan posisi politik Muhammadiyah. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah tidak seharusnya terlibat pada wilayah politik praktis.

Meski begitu, sebagai organisasi dakwah amar makruf nahi munkar, Muhammadiyah juga tidak semestinya emoh pada politik. Hanya, politik yang dimaksud adalah sebagaimana diamanatkan Khitah Denpasar poin 5 yang berwajah high politics. Atau bila berangkat dari keempat varian di atas, semestinya Muhammadiyah memosisikan diri pada varian politis-organisatoris. Dengan mengambil posisi politisorganisatoris, ke depan sudah semestinya Muhammadiyah tidak lagi membuat putusan sejenis Khitah Ponorogo, Tanwir Semarang, dan Tanwir Makasar 2003 yang begitu partisan, termasuk Sidang Pleno 2004 yang mendukung ”kader terbaik” (Amien Rais) sebagai calon presiden atau juga surat keputusan seperti SK 149 tentang Kebijakan Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang beberapa poinnya cenderung tidak proporsional.

Dalam SK tersebut misalnya, sampai menyebut nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski penulis cukup bisa memahami konteks keluarnya SK tersebut, penyebutan nama PKS cenderung bertentangan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Dalam SK tersebut juga ditegaskan kembali Keputusan Muktamar Muhammadiyah Malang 2005 yang ”menolak upaya-upaya untuk mendirikan partai yang memakai atau menggunakan nama atau simbolsimbol Persyarikatan Muhammadiyah”, yang juga tidak semestinya dikeluarkan menjadi ketetapan forum seperti Muktamar.

Andaikan SK tersebut dibuat sebelum berdirinya PAN pada 1998 atau tidak di saat teman-teman PMB sedang menyosialisasikan partai barunya––dua partai ini sama-sama menggunakan simbol matahari––tentu tidak terlalu menjadi persoalan.Alih-alih mencoba mengambil posisi netral politik, dengan keluarnya SK tersebut, justru menunjukkan sikap keberpihakan Muhammadiyah dan cenderung tidak proporsional. Bila Muhammadiyah secara serius ingin melakukan ”pertaubatan politik” dengan tidak lagi menyeret Muhammadiyah pada wilayah politik praktis, segala sikap dan posisi politik Muhammadiyah harus sejalan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar.

Muhammadiyah tidak boleh berafiliasi atau mendukung kekuatan politik tertentu.Sebaliknya,Muhammadiyah harus menjaga kedekatan yang sama kekuatan politik yang ada. Dua tahun ke depan merupakan tantangan tersendiri bagi upaya aktualisasi Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Andaikan menjelang Pilpres 2009 Muhammadiyah kembali mengeluarkan rumusan politik yang berbau ”praktis-politis”, tidaklah salah untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak secara serius untuk berjalan di atas rel Khitah 1912. Atau hal itu memang telah menjadi karakter asli Muhammadiyah yang merupakan bagian dari mainstream Islam di dunia yang berwajah politis? Wallahu A’lam. (*)
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Direktur Laboratorium Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta Ketua PP Pemuda Muhammadiyah

Tidak ada komentar: