Sabtu, 14 Juni 2008

Ijtihad, Upaya Menembus Kawasan Tak Terpikirkan

Oleh Abd Moqsith Ghazali

05/07/2005

Ijtihad adalah kerja untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan. Karena itu tak heran bila banyak intelektual yang gamang dan tidak berani ambil resiko dengan ijtihad. Seseorang yang punya kecakapan teknis dan kepiawaian metodologis pun tetap memerlukan nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat jumhur.

Artikel ini hadir untuk menegaskan bahwa aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh yang menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad, seperti telah diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lain, Islam sudah semenjak lama menjadi petai hampa dan artefak kuno yang hanya layak menjadi tontonan, bukan tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal-budi dan berijtihad untuk mengatasi problem-problem zamannya. Kanjeng Nabi Muhammad sendiri sesungguhnya adalah seorang mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi tegar dan lincah memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab suci yang menggelayut di awang-awang tanpa persambungan dengan bumi. Alquran bukan hanya sekumpulan kidung wahyu yang terlepas dari konteks, melainkan sebuah kerja ijtihad itu sendiri. Hanya para pendukung status quo saja yang menolak keniscayaan ini, demikian pemahaman yang bisa diambil dari Jalaluddin al-Suyuthi melalui bukunya Al-Ijtihâd: al-Radd `alâ man Akhlada wa Jahila `Anna al-Ijtihâd fî Kulli `Ashrin Fardhun.

Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang terbaca dalam tarikh. Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik yang kerap diidealisasi sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif. Tantangan kehidupan masa kini tidak akan persis sama dengan kehidupan abad pertengahan. Siapapun tahu, kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang kesilaman. Ada ngarai sosial-politik yang tak mudah ditimbun antara masa lalu dan masa kini.

Apa hendak dikata, tafsir-tafsir keagamaan terdahulu tidak jarang menjadi problem. Menimbulkan musykil. Gerak demokratisasi, penanaman kesetaraan dan keadilan gender, penegakan HAM, pribumisasi pluralisme, kadang tersendat oleh model-model tafsir masa lalu itu. Karena itu, ijtihad bisa saja diarahkan justru untuk mereformasi sejumlah pandangan keagamaaan yang hegemonik, totaliter, monopolistik, dan diskriminatif itu. Ingatan kolektif masa lalu yang hendak menempatkan perempuan di level kedua, memandang umat agama lain sebagai ancaman bahkan musuh, upaya menghidupkan kembali jasad khilafah islamiyah dan lain-lain, adalah pandangan primitif yang mesti ditolak. Tafsir keagamaan yang kian menenggelamkan umat ke dalam nista tak bisa diterima.

Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi oleh elite sehingga tampak balau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk mengembangkan rasionalisme dalam Islam. Berbeda dengan sikap agamawan konservatif yang meletakkan rasionalisme justru untuk membentengi dogma, maka dalam paradigma Islam liberal, rasionalisme digunakan untuk reinterpretasi dan mengapkir tafsir keagamaan yang tidak relevan dengan semangat zaman. Jika dalam skripturalisme, akal ditaklukkan dalam kehendak-kehendak harfiah teks agama, maka dalam paradigma progresivisme akal bisa berstatus sebagai nasikh atas hukum-hukum atau fikih Alquran yang tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Inilah yang saya maksud misalnya dengan kaidah jawâzu naskhi al-nushûsh al-juz’iyyah bi al-mashlahat (bolehnya mengamandemen teks-teks partikular dengan maslahat).

Dalam buku Fashlu al-Maqâl fî Mâ Baynal Hikmah wa al-Syarî`ah min al-Ittishâl, Ibnu Rusyd sendiri mengatakan, “Sekiranya suatu ajaran nyata-nyata bertentangan dengan rasio atau akal budi (al-burhan), maka ia tidak bisa lain kecuali mesti direformasi melalui medium takwil. Ia memberikan jalan, wa in kânat al-syarî`ah nathaqat bihi, fala yakhlû dhâhir al-nuthq an yakûna muwâfiqan limâ addâ ilaihi al-burhân fîh aw mukhâlifan. Fa’in kâna muwâfiqan falâ qawla hunâlik. Wa’in kâna mukhâlifan, thuliba hunâlika ta`wîluhu (hlm. 32). Ibnu Rusyd juga berkeyakinan bahwa “wa nahnu naqtha`u qath`an anna kulla mâ adda ilaihi al-burhân wa khâlafahu dhâhir al-syar`iy, anna dzâlika al-dhâhir yaqbalu al-ta’wîl (hlm. 3).

Terinspirasi oleh pernyataan Ibnu Rusyd ini, saya berani merumuskan kaidah “in khâlafa al-`aql wa al-naql, quddima al-`aqlu bitharîqi al-takhshîsh wa al-bayân”. Artinya, ketika terjadi ketegangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang dimenangkan adalah pertimbangan akal dengan jalan takhshîsh (spesifikasi ajaran) dan bayân (penjelasan rasional).

Ini berarti, kesempurnaan syariat tidak terletak dalam tubuhnya sendiri, tapi mesti disangga oleh manusia sebagai subyek sekaligus obyek dari syariat. Sebagai makhluk yang berakal, posisi manusia dalam proses pemaknaan ajaran sangatlah penting. Al-nâs `âqil wa al-nashsh ghairu al-`âqil (manusia adalah yang berakal, sementara teks itu sendiri tidak mempunya akal). Manusia memiliki kewenangan untuk menyortir partikular-partikular ajaran di dalam Islam (tanqîhu al-nushûshi al-juz’iyyah). Hanya di tangan manusia yang mampu mengoptimalkan akal budinya saja syariat atau ajaran agama akan mengalami penyempurnaan demi penyempurnaan. Dalam buku Ikhwânus Shafâ: Dars, `Irdh, Tahlîl (1991: 32), Umar Farrukh mengungkap pandangan kelompok Ikhwanus Shafa tentang syariat. Bagi Ikhwanus Shafa, syariat Kanjeng Nabi Muhammad itu nâqish. Anna al-syarâ`ah al-muhammadiyah nâqishatun. Dengan itu, Ikhwanus Shafa hendak mengatakan bahwa kesempurnaan syariat selalu berada dalam proses menjadi yang terus menerus (on-going process), dan tidak berhenti pada satu titik yang beku. Setuju dengan hujah ini, maka saya meresepsi pendapat jumhur yang membolehkan abrogasi (naskh) beberapa ajaran di dalam Islam.

Namun, tetap perlu disadari bahwa, mengkriya sebuah pemikiran baru (berijtihad) adalah sebuah kesepian, terlebih di tengah arus konservatisme dan fundamentalisme agama yang membuncah. Sepi, karena setiap ijtihad yang baik hampir selalu mewujud menjadi pembangkangan dan penyangkalan atas klise pemikiran. Ijtihad adalah kerja untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan. Karena itu tak heran bila banyak intelektual yang gamang dan tidak berani ambil resiko dengan ijtihad. Seseorang yang punya kecakapan teknis dan kepiawaian metodologis pun tetap memerlukan nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat jumhur.

Seorang mujtahid ternyata tidak cukup bermodal intelektualisme yang hebat, tapi juga mesti dibekali nyali yang tinggi. Karena itu, bagi yang tidak punya nyali atau setengah hati untuk berijtihad, statemen bijak ini layak direnungkan: “Idza ijtahada in ashâba falahu ajrâni, wa in akhtha`a fa lahu ajrun wahid.” Selamat berijtihad!

Tidak ada komentar: