Sabtu, 14 Juni 2008

Muhammadiyah dalam Bayang-bayang Politik Praktis

Oleh Mutohharun Jinan
30/04/2004

Dinamika dan fragmentasi politik nasional yang berkembang cepat mempengaruhi sikap politik Muhammadiyah. Arus besar politik praktis terasa sangat deras pada Sidang Tanwir 2003 di Makasar, puncaknya adalah dukungan bagi Amien Rais menuju kursi presiden. Persoalannya, apakah langkah politik Muhammadiyah ini akan efektif? Atau malah akan membawa petaka bagi kinerja organisasi? Inilah dua persoalan –di antara persoalan lain- yang terus membayangi warga Muhammadiyah saat ini.

Tulisan ini juga dimuat harian Media Indonesia, Jumat, 30 April 2004

Muhammadiyah kembali menegaskan dukungannya pada Amien Rais pada pemilu presiden 5 Juli nanti. Hal sama telah dimaklumatkan pada Sidang Pleno PP Muhammadiyah dua bulan sebelum pemilu legislatif. Mudah diterka, penegasan dukungan ini terkait dengan “permohonan” Amien Rais lantaran Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya gagal mendulang suara yang signifikan pada pemilu legislatif. Muhammadiyah tampil “habis-habisan” agar kader terbaiknya menjadi presiden RI.

Persoalannya, apakah langkah politik Muhammadiyah ini akan efektif? Atau malah akan membawa petaka bagi kinerja organisasi? Inilah dua persoalan –di antara persoalan lain- yang terus membayangi warga Muhammadiyah saat ini.

Sikap politik warga Muhammadiyah saat ini terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menghendaki agar Muhammadiyah lebih berani memasuki ranah politik praktis, dengan mengajak warganya untuk menunjuk dan memilih kader-kader terbaiknya menjadi pemimpin di negeri ini. Alasannya Muhammadiyah memiliki potensi yang lebih dari cukup untuk terlibat dalam politik. Amal usaha di bidang sosial dan pendidikan yang dimilikinya cukup untuk melakukan gerakan massa. Sebagai organisasi Islam tertua, sudah sewajarnya Muhammadiyah ikut campur dan bertanggung jawab atas persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, baik politik praktis maupun kultural, sosial, dan kemasyarakatan. Karena itu, sejatinya tidak ada wilayah yang dinyatakan sebagai “no fly zone” bagi Muhammadiyah, termasuk wilayah politik praktis.

Kedua, kelompok yang menghendaki agar Muhammadiyah secara organisasi tetap melakukan political engagement terhadap politik praktis dan tidak terlalu tergoda oleh perebutan jabatan kekuasaan (kepemimpinan nasional). Memelihara pluralitas pemikiran anggota, menjaga independensi kultural dan konsistensi Muhammadiyah sebagai basis civil society merupakan jalan paling menyelamatkan untuk ditempuh dalam kondisi politik apa pun.

Mesin politik

Agaknya sikap politik Muhammadiyah mengerucut pada sikap pertama, yakni mengarahkan Muhammadiyah sebagai “mesin politik” yang bermuara pada pragmatisme politik. Hal ini bisa dilihat dari kebaradaan PAN yang terus menyedot energi dan konsentrasi warga Muhammadiyah mulai dari tingkat pusat hingga ranting meski ada jarak antara PAN dan Muhammadiyah. Menjelang pemilu 1999, PP Muhammadiyah mengeluarkan edaran untuk tetap menjaga jarak yang sama terhadap partai politik dan larangan jabatan rangkap dengan partai politik, serta larangan penggunaan fasilitas Muhammadiyah oleh partai politik mana pun.

Dinamika dan fragmentasi politik nasional yang berkembang cepat mempengaruhi sikap politik Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Bali (2001) menghasilkan butir rekomendasi, Muhammadiyah akan menempatkan kader terbaiknya untuk memimpin bangsa ini, tanpa menyebut nama. Arus besar menuju politik praktis terasa sangat deras pada Sidang Tanwir 2003 di Makasar. Puncaknya pada Sidang Pleno 10/2/2004 dengan tegas menyebut nama dan mendukung langkah Amien Rais menuju kursi presiden.

Sidang Pleno digelar menjelang pemilu legislatif dengan tujuan untuk meyakinkan warga Muhammadiyah menjatuhkan pilihannya pada PAN. Tetapi statemen politik hasil sidang Pleno itu malah menuai kritik internal dan tidak cukup efektif untuk meyakinkan warga Muhammadiyah memilih PAN.

Sedikitnya ada dua alasan mengapa warga Muhammadiyah tidak memilih PAN. Pertama, kampanye PAN dilakukan dengan cara-cara yang tidak lazim menurut paham keagamaan Muhammadiyah. Misalnya PAN (Amien Rais selalu ikut) nanggap wayang dengan disiarkan televisi. Kampanye lewat jalur budaya ini maksudnya untuk menarik simpati wong cilik. Kampanye budaya ini, selain tidak efektif juga membuat warga Muhammadiyah kurang sreg.

Kedua, kuatnya isu sentimen agama di kalangan grassroot Muhammadiyah. Dalam daftar nama-nama caleg PAN terdapat caleg yang nomor jadi yang non-muslim. Banyak simpatisan PAN yang eksodus ke partai lain karena isu sentimen agama ini. Ditambah lagi, akhir-akhir ini gagasan pluralisme agama sedang menjadi wacana yang sangat sensitif oleh sebagian besar warga Muhammadiyah.

Rupanya, menjadikan Muhammadiyah sebagai mesin politik dengan pernyataan-pernyataan yang mengarahkan warganya kepada partai politik tertentu bukan pilihan yang tepat. Segala upaya yang membawa-bawa Muhammadiyah ke panggung politik praktis akan berakhir sia-sia. Yang terjadi justru liarnya avonturir politik yang menggerus komitmen moral Muhammadiyah sebagai tenda bangsa.

Meski demikian, mesin politik itu kini akan dicoba lagi. Apakah akan bernasib sama dengan sebelumnya? Kita masih sama-sama menunggu pada pemilu presiden nanti. Optimisme akan keberhasilan dukungan politik Muhammadiyah didasarkan pada asumsi bahwa warga Muhammadiyah berbeda dalam melihat PAN dan Amien Rais.

Bagi Muhammadiyah, PAN memang partainya Amien Rais. Tapi Amien Rais lebih besar dari PAN. Ia kader Muhammadiyah dan milik bangsa. Karena itu, tidak memilih PAN pada pemilu lalu bukan berarti tidak memberikan dukungan kepada Amien. Ikatan moral dan nafas kemuhammadiyahan lebih kuat dari pada ikatan kepada partainya masing-masing. Amien Rais tetap salah satu kader terbaik dan layak untuk memimpin bangsa ini. Keterlibatannya dalam reformasi tidak diragukan lagi. Ia memiliki kualitas, kapasitas, maupun moralitas yang tinggi untuk memimpin bangsa ini. Amien adalah kader yang pantas dihibahkan pada bangsa untuk kepentingan yang lebih besar.

Tenda kultural

Lepas dari efektif atau tidaknya dukungan politik tersebut, kini muncul gejala bahwa independensi kultural Muhammadiyah tergoyah oleh rayuan, syahwat, dan kepentingan politik praktis. Muhammadiyah yang juga menjadi elemen terbesar dari civil society terasa kurang konsisten pada pemberdayaan masyarakat sipil. Dampak lebih jauh adalah rentannya konflik kepentingan di kalangan aktivis. Akibatnya, tidak saja menjadikan warga Muhammadiyah sebagai tumbal kepentingan politik, melainkan juga proyek penguatan civil Islam yang selama ini dilakukan menjadi terbengkalai.

Untuk itulah, penting sekali bagi Muhammadiyah sebagai salah satu elemen masyarakat sipil menjaga independensinya terhadap segala intervensi kepentingan politik. Kalaupun berpolitik, karena dipaksa sejarah, hendaklah kekuasaan tidak menjadi wacana sentral dalam kesadaran warganya sehingga mengabaikan “kewajiban” asasinya sebagai kekuatan Islam kultural. Bayang-bayang politik dan kekuasaan yang menjanjikan keuntungan tidak seharusnya menjerumuskan Muhammadiyah kedalam pragmatisme politik.

Muhammadiyah ditakdirkan untuk menjadi gerakan kultural, sosial-ekonomi dan dakwah yang menaungi seluruh kelompok masyarakat, dan menjadi tenda kultural bagi bangsa ini. Muhammadiyah selama ini telah dikenal sebagai “rumah rakyat”, yang setiap saat dapat dijadikan sebagai tempat pengaduan bagi segenap anggota masyarakat yang kini tengah menghadapi berbagai problema sosial politik.

Kembalikan Muhammadiyah pada orientasi awalnya sebagai gerakan kultural, sosial-ekonomi dan dakwah. Dengan begitu, ia akan mempunyai dampak politik yang besar. Muhammadiyah bisa menjadi kekuatan yang dapat menekan kekuatan politik dan pemerintahan yang korup, tanpa harus melibatkan diri pada politik praktis. Melibatkan Muhammadiyah pada poltik praktis di samping berlawanan dengan spirit dasarnya, juga tidak akan menguntungkan politisi Muhammadiyah sendiri. Karena pada hakIkatnya Muhammadiyah telah menjadi milik masyarakat luas milik bangsa, bukan milik para politisi mantan pengurusnya. []

Mutohharun Jinan, peserta program doktor IAIN Yogyakarta dan aktivis Muda Muhammadiyah

Tidak ada komentar: