Sabtu, 14 Juni 2008

Muhammadiyah Pasca Pemilu:

Sebuah Evaluasi Kultural

Oleh Eko Priyono

02/08/2004

Yang perlu dikhawatirkan adalah, bagaimana masa depan Muhammadiyah jika impian politiknya gagal tercapai. Fenomena dan fakta dewasa ini, paling tidak dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa mendatang. Dalam kamus sosiologi, fenomena yang terjadi saat ini dapat dijadikan landasan prediksi masa mendatang. Karena dengan memahami fenomena tersebut secara mendalam, kita telah menjadi orang bijak yang selalu melakukan evaluasi perilaku kita.

Orientasi genuin gerakan Muhammadiyah sebenarnya tertuju pada gerakan moral, dakwah, dan selalu konsisten dengan upaya purifikasinya untuk mempertahankan ortodoksi ajaran Islam. Hal ini ditunjukkan dengan misi “amar ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar” yang mendasarkan aktivitasnya pada ar-ruju’u ila al-Qur’an wa as-Sunnah. Dengan misi sentralnya tersebut, Muhammadiyah dapat membendung proses akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang ‘terselip’ begitu rapi, menyebabkan kaum awam sulit membedakan antara ajaran Islam dan budaya.

Seiring dinamika dan fragmentasi politik nasional yang berkembang cepat, ternyata turut memberikan pengaruh terhadap sikap dan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan moral yang berperan sebagai tool of social enginering, dan tertarik untuk meluaskan sayapnya melalui jalur politik praktis. Melalui perdebatan dan pembahasan panjang, seperti dalam Sidang Tanwir di Bali, 24-27 Januari 2002, dihasikan butir rekomendasi: Muhammadiyah akan menampatkan kader terbaiknya untuk memimpin bangsa ini tanpa menyebut nama. Arus besar menuju politik praktis sangat deras pada Sidang Tanwir Makasar 2003, dan berpuncak pada Sidang Pleno pada 10 Pebruari 2004 yang tegas mendukung langkah Amien Rais menuju kursi presiden. Fatwa politik itu diarahkan untuk menstimulus warga Muhammadiyah yang tersimpan dalam kantong-kantong massa dalam amal usahanya baik bidang pendidikan atau kesehatan, agar menyalurkan aspirasi politiknya pada kader pilihannya.

Yang perlu dikhawatirkan adalah, bagaimana masa depan Muhammadiyah jika impian politiknya gagal tercapai. Fenomena dan fakta dewasa ini, paling tidak dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa mendatang. Dalam kamus sosiologi, fenomena yang terjadi saat ini dapat dijadikan landasan prediksi masa mendatang. Karena dengan memahami fenomena tersebut secara mendalam, kita telah menjadi orang bijak yang selalu melakukan evaluasi perilaku kita.

Atas dasar itu, saya melihat, dukungan secara resmi Muhammadiyah kepada Amien Rais pada pilpres putaran yang lalu justru memberi efek negatif, meskipun misalnya Amien yang dianggap sebagai putra terbaik Muhammadiyah itu memenangkan pertarungan dalam pemilu. Pertama, Muhammadiyah akan mengalami pergeseran misi, dari misi sosialnya yang berbasis transformasi sosial-agama, menjadi pragmastisme politik yang dominan. Dengan begitu konsentrasi gerakannya tersentral pada aktivitas politik daripada melakukan gerakan dakwah kultural.

Sebagaimana terjadi pada organisasi dakwah lainnya, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang lebih dulu terjun ke kancah perpolitikan nasional. Saat ini NU terlalu disibukkan dengan aktivitas politiknya ketimbang berperan sebagai legitimator sosial yang memayungi masyarakat dengan nilai-nilai murni agama.

Kedua, Muhammadiyah akan terjangkit virus power syndrome yang menginginkan kelanggengan dalam menduduki kursi kekuasaan. Hal ini dilakukan dengan membangun hubungan struktural dengan organisasi politik tertentu untuk memperkuat jaringan politiknya. Hal ini teridentifikasi dari mimik Muhammadiyah yang begitu terobsesi dan berambisi kuat untuk ‘berkuasa’ dan memegang kendali politik. Selain itu, juga dari langkah yang diambil Muhammadiyah melalui kebijakan lembaga dengan birokratisasi aspirasi politik massanya agar keinginan berkuasa terealisasikan.

Ketiga, independensi kultural Muhammadiyah dapat tergoyahkan oleh rayuan, syahwat dan kepentingan politik praktis, yang menyebabkan Muhammadiyah kurang konsisten pada pemberdayaan masyarakat sipil melalui peranannya sebagai elemen terbesar civil society. Dampak lebih jauh adalah rentannya konflik kepentingan di kalangan aktivis. Akibatnya tidak saja menjadikan warga Muhammadiyah sebagai tumbal politik, melainkan juga proyek penguatan civil Islam yang selama ini dilakukan terbengkalai.

Keempat, dengan terjunnya ke kancah politik, Muhammadiyah akan lebih menekankan perjuangannya melalui upaya-upaya politik yang teraplikasikan dalam aktivitas politik praktis ketimbang membangun pondasi peradaban humanis melalui gerakan sosial. Sehingga konsentrasi gerakan dakwahnya akan terkurangi karena disibukkan dengan berbagai agenda-agenda politik yang banyak menguras porsi waktu.

Hasil penetapan tabulasi suara KPU secara manual yang menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi, dengan demikian mengeksplisitkan kegagalan Amien Rais melaju ke putaran kedua. Sebenarnya kekalahan ini sudah bisa ditebak. Justru masa depan Muhammadiyah yang akan sulit ditebak pasca kekalahan Amien. Karena dengan sedikit pengalamannya berpolitik praktis, setidaknya ada keinginan untuk memperjuangkan lebih keras lagi agar dapat berhasil menyalurkan animo pilitiknya, atau kembali sebagai gerakan moral yang memotivasi massa untuk melakukan aksi-aksi sosial.

Selain itu, Muhammadiyah akan gamang menentukan langkah selanjutnya dalam prioritas gerakannya, apakah akan tetap sebagai gerakan dakwah yang menjadi tenda kultural bangsa, menaungi seluruh kelompok masyarakat yang berbasis multikultural, atau sebagai ‘mesin politik’ yang melakukan mobilisasi massa melalui birokratisasi aspirasi politik warganya. Untuk itu, harus ditegaskan dukungan Muhammadiyah kepada Amien itu menjadi yang pertama dan terakhir dilakukan untuk menjaga konsistensi Muhammadiyah sebagai organisasi non-politis. Sudah seharusnya pilpres putaran pertama memberi pelajaran berarti untuk tidak terlibat dalam parsialitas politik. Pernyataan Syafi’i Ma’arif bahwa organisasi ini akan mengembalikan pilihan kepada hati nurani anggota menunjukkan adanya komitmen dari jajaran PP Muhammadiyah untuk “emoh” tergelincir pada lubang yang sama untuk kedua kali.

Di balik “daftar pesimisme” yang sempat tersembul di muka, dengan “kekayaan” Muhammadiyah akan generasi muda yang mempunyai daya kritis tinggi sebagai subaltern intelektual yang menempatkan diri sebagai lapisan critical opositional --meminjam istilahnya Moeslim Abdurrahman-- setidaknya Muhammadiyah akan kembali menjadi wadah gerakan dakwah yang mengembangkan misi sosialnya dengan menghadirkan Islam transformatif yang berwajah emansipatoris dan humanis, sebagaimana dikembangkan kaum muda yang terhimpun dalam subkultur Muhammadiyah seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Dengan tiga pilarnya, the new sosial movement, hermeneutic as tool of analisys dan ilmu sosial kritis, setidaknya menjadi pioner dalam pengembalian identitas Muhammadiyah yang belakangan tereduksi oleh pragmatisme-materialistik politik praktis.

Dengan kepekaan yang mereka miliki akan realitas keagamaan khususnya dalam frame Muhammadiyah, diharapkan Muhammadiyah kembali pada khittah-nya sebagai organisasi dakwah yang mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer dalam rangka upaya untuk membumikan nilai dan norma Islam yang ‘melangit’ oleh perkembangan zaman. []

Eko Priyono, wartawan BESTARI dan peneliti di Center for Religion and Social Studies (RĂ«SIST) Malang dan kontributor JPPR

Tidak ada komentar: