Sabtu, 14 Juni 2008

Membendung “Syahwat” Politik Muhammadiyah

Oleh Ahmad Fuad Fanani
24/05/2004

Polemik fatwa resmi Muhammadiyah untuk mendukung Amien, tentu harus diingat kembali. Dukungan itu terbukti banyak menimbulkan riak-riak konflik di internal Muhammadiyah. Selain itu, asumsi awal bahwa dengan keluarnya dukungan resmi menjadikan suara PAN naik dan Amien confidence maju dalam pilpres, akhirnya hanya menjadi impian yang jauh dari kenyataan.

Meskipun PAN hanya menduduki peringkat ke-7 dalam pemilu legislatif, Muhammadiyah secara resmi mempertegas kembali dukungannya pada Amien Rais untuk terus maju sebagai calon presiden. Sebelumnya, pada sidang pleno di Yogyakarta pada 9-10 Februari lalu, Muhammadiyah juga sudah mengeluarkan pernyataan yang senada. Menurut mereka, dalam hal ini suara PAN adalah modal pertama, sedangkan Muhammadiyah adalah modal utama. Maka, dengan modal utama itu warga Muhammadiyah yang aktif di parpol lain beserta para elemen reformis lainnya, diharapkan memberikan suara pada Amien Rais pada pilpres (pemilihan presiden) Juli nanti.

Di alam demokrasi, dukungan resmi Muhammadiyah itu sah-sah saja, apalagi yang mengeluarkan adalah para “pemilik tertinggi” organisasi itu. Kehendak Amien untuk terus maju dalam pilpres, meski realitas obyektif PAN mengalami penurunan drastis, sah juga dilakukan. Apalagi, Amien Rais merasa bahwa yang akan memilih dirinya lebih besar dari pemilih PAN. Beberapa survei yang ada juga menunjukkan pemilih pada umumnya banyak yang membedakan antara partai dan calon presiden yang akan dipilih.

Namun, dukungan resmi Muhammadiyah terhadap Amien, haruslah diberi catatan. Adalah fakta bahwa warga Muhammadiyah sangat rasional, modern, dan plural. Polemik fatwa resmi Muhammadiyah untuk mendukung Amien, tentu harus diingat kembali. Dukungan itu terbukti banyak menimbulkan riak-riak konflik di internal Muhammadiyah. Hal itu misalnya pada terlihat protes dari warga Muhammadiyah yang juga aktif di PKS, PPP, Golkar, atau PBR yang merasa dianaktirikan secara politik setelah lahirnya keputusan resmi tersebut. Gugatan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang menganggap bahwa dukungan resmi itu sebagai bentuk pelanggaran khittah dan runtuhnya peran Muhammadiyah sebagai tenda bangsa, juga patut diperhatikan.

Selain itu, asumsi awal bahwa dengan keluarnya dukungan resmi menjadikan suara PAN naik dan Amien confidence maju dalam pilpres, akhirnya hanya menjadi impian yang jauh dari kenyataan. Suara PAN malah terbukti ambrol dan kalah dengan pendatang baru seperti Partai Demokrat, bahkan posisinya di bawah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan beberapa contoh itu, dapat diambil pelajaran bahwa meski pengurus Muhammadiyah mengajak secara resmi warganya untuk memilih partai tertentu, mereka tetap memiliki pilihan sendiri yang diyakininya. Kenapa PP. Muhammadiyah kini malah lebih mempertegas dukungannya dan bertindak seolah menjadi “tim sukses” pencapresan Amien Rais?

Keteledoran Pembacaan

Dalam menganalisis persoalan sosial dan politik, banyak orang terjatuh pada kesalahan berpikir. Yakni kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Kesalahan berpikir ini (fallacy of dramatic instance) bermula dari penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum atau general. Menurut Jalaluluddin Rakhmat (1999), argumen yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan, karena rujukannya seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual’s personal exsperince).

Dukungan resmi Muhammadiyah, sangat mungkin akibat keteledoran semacam ini. Pengurus Muhammadiyah meyakini, bahwa karena Amien Rais adalah salah seorang politisi yang masih terbukti bersih, maka ketika mencalonkan diri sebagai presiden pasti akan didukung oleh semua kader Muhammadiyah dan banyak elemen masyarakat yang menginginkan perubahan. Soalnya, dengan sistem organisasi Muhammadiyah yang –menurut Hajriyanto Y. Thohari- sangat sentralistik dan miskin paradigma federasi, keputusan yang dikeluarkan oleh pimpinan pusatnya selama ini biasanya pasti akan diikuti oleh segenap warganya. Hal itu bisa tampak mulai dari keputusan tentang penetapan jatuhnya hari raya, keputusan tarjih, pedoman organisasi, atau pendirian badan-badan otonom yang menunjang aktivitas organisasi.

Bila Muhammadiyah tetap berasumsi itu, tentu saja kritikan Mohamad Abid al-Jabiri tentang homogenitas metode bepikir umat tentu sangat relevan. Pada umumnya, umat Islam banyak yang masih menyukai model berpikir secara bayani (tekstual). Dalam model berpikir ini, semua hal dipandang secara tekstual, material, dan konkret. Semua akan dilihat sebagai hitam-putih dan otomatis. Karena Amien mantan ketua PP Muhammadiyah dan kader terbaiknya, maka semua orang Muhammadiyah pasti akan mendukungnya. Bila ada yang tidak mendukung, itu pasti terdapat “kelainan” dan bisa jadi mereka adalah “musuh dalam selimut”. Padahal, semestinya sebagai organisasi modern yang anggotanya banyak yang berpendidikan, mestinya mereka harus berani meninggalkan cara berpikir yang terbukti banyak menyebabkan kejumudan dan kemunduran umat ini. Mereka harus berani mulai berpikir secara rasional (burhani) dan imajinatif (irfani).

Maka, Muhammadiyah dan Amien mesti segera berpikir ulang tentang asumsi generalnya itu. Soalnya, saat ini figur alternatif yang diharapkan bisa menjadi pemimpin bangsa dan terbukti bersih bukan hanya dia. Susilo Bambang Yududoyono dan Hidayat Nurwahid adalah figur baru dan bersih yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Selain itu, kepatuhan warga Muhammadiyah dalam soal organisasi dan agama terhadap keputusan resmi para pengurusnya, tentu bisa lain ketika menyangkut persoalan politik.

Kontribusi Bangsa

Memang suara ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah gampang menjadi pusat perhatian dan rebutan banyak pihak. Meminjam istilah KH Mustofa Bisri, seringkali NU dan Muhammadiyah terlampau ge-er (gede rumangso). Jika Muhammadiyah terus terlibat aksi dukung-mendukung dan bahkan lebih mempertegas sikap partisannya, tradisi politik yang kurang baik akan terulang. Maksudnya, jika nantinya ada salah satu atau mantan pucuk pemimpin Muhammadiyah punya keinginan yang sama dengan Amien, pasti akan didukung juga. Pada akhirnya, sangat mungkin orang yang ingin menjadi pengurus Muhammadiyah, hanya menjadikan amanah itu sebagai batu loncatan untuk lebih mempermudah menggapai tangga kekuasaan (baca politik). Warga Muhammadiyah pun, akan terbebani terus-menerus oleh “ambisi” politik para pemimpinnya.

Sejarah membuktikan, hal itu hanya memperboros energi umat. Jika dukungan itu memperoleh hasil, imbalan (reward) yang diberikan pada organisasi lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dinikmati oleh elitenya. Sebaliknya, jika gagal maka hukuman (punishment) secara psikologis dan moral, umumnya akan lebih banyak dibebankan pada warganya. Tanpa dukung mendukung pun, organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah, terbukti bisa berkiprah maksimal.

Peran yang paling tepat untuk berkontribusi secara nyata terhadap bangsa adalah menjaga jarak dengan kekuasaan, memperteguh independensi, dan memperkuat civil society. Tradisi civil society yang sudah berjalan di Muhammadiyah lewat jalur pendidikan dan amal usaha, tentu amat sayang bila ditinggalkan begitu saja. Justru, dengan menjadi “oposan” yang baik, mereka akan lebih leluasa untuk bekerjasama dengan siapa saja tanpa kehilangan sikap kritisnya. Toh, tanpa berkuasa pun, Muhammadiyah tidak akan kehabisan cara untuk berkiprah menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa seperti yang selama ini dijalaninya. Politik romantisme dan ketidakpercayaan diri dengan mengorbankan independensi sebuah organisasi dan membebani para anggotanya, sudah selayaknya diakhiri. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: