Sabtu, 14 Juni 2008

Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM

Second Muhammadiyah:

Oleh Moh. Shofan

12/09/2006

Karenanya, “Refleksi 3 Tahun JIMM” merupakan peristiwa langka yang akan sangat monumental jika benar-benar menemukan bentuknya yang paling terang, yakni sebagai gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.

Second Muhammadiyah: Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM Oleh: Moh. Shofan **

Tanggal 24-26 Juli 2006 lalu, di Al-Maoun Foundation, Jakarta, kaum muda Muhammadiyah menggelar "Refleksi 3 Tahun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)". Refleksi ini dimaksudkan untuk menyegarkan kembali wacana pemikiran Islam yang dirasa mulai lesu, terutama oleh kalangan internal JIMM. Barangkali, ini merupakan peristiwa kultural yang bersejarah, mengingat kelahiran JIMM oleh sebagian kalangan warga Muhammadiyah dituduh sebagai komunitas yang tidak sesuai dengan "suara resmi" Muhammadiyah; dianggap anak haram yang harus dienyahkan. Tidak cukup dengan penyebutan anak haram, mereka menilai, secara teologis JIMM sudah keluar dari sumber otoritatif Islam, yakni Alqur’an dan hadis. Masih banyak stigma negatif lain yang disematkan kepada JIMM yang anggotanya terdiri dari kaum muda Muhammadiyah.

Sebagai komunitas baru yang tidak ada hubungan struktural dengan Muhammadiyah (sekalipun personel-personel JIMM aktivis Muhammadiyah), kiprah intelektual JIMM tidak bisa juga dianggap remeh. Terbukti, pada Muktamar Muhammadiyah Malang setahun lalu, walau tidak sedikit elit Muhammadiyah yang khawatir dengan keberadaan JIMM yang ditengarai dapat merusak citra Muhammadiyah, masih ada sejumlah intelektual Muhammadiyah yang masih melihat kiprah JIMM dengan pikiran jernih. Mereka menaruh harapan besar dan optimis masa depan Muhammadiyah ada di pundak kaum muda Muhammadiyah ini. Intelektual sekaliber Syafi’i Ma’arif, Moeslim Abdurrahman dan Amin Abdullah, tiada henti-hentinya mendorong anak-anak muda untuk terus berkarya lewat tulisan dan melakukan terobosan intelektual.

Karenanya, “Refleksi 3 Tahun JIMM” merupakan peristiwa langka yang akan sangat monumental jika benar-benar menemukan bentuknya yang paling terang, yakni sebagai gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.

Empat Alasan

Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa kaum muda Muhammadiyah bangkit. Pertama, mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan (tajdid) Islam yang sadar akan beban sejarah yang dipikulnya. Artinya, Muhammadiyah harus semakin lebih dewasa dan matang dalam merespon berbagai persoalan krusial yang berkembang di masyarakat, bukan malah membiarkan dominasi kaum konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah yang sewaktu-waktu bisa menjadi benalu dan penghambat kemajuan.

Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah telah membawa semangat pembebasan, yakni bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan mendorong penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan. Muhammadiyah tidak hanya memelihara kaum konservatif yang hanya mengurusi masalah-masalah ritual-formalisme organisasi sembari mengabaikan persoalan-persoalan sosial tanpa paradigma keilmuan yang jelas.

Kedua, Muhammadiyah harus terbuka terhadap pikiran-pikiran progresif-liberatif, sehingga tidak menjadi organisasi Islam yang eksklusif-tekstualis. Selama ini, ada sejumlah kekhawatiran dari para elit Muhammadiyah terhadap anak-anak muda yang gandrung mengkaji pemikiran-pemikiran progresif seperti Hassan Hanafi (yang dikenal dengan proyek Islam Kiri), Muhammad Abid al-Jabiri (dengan Kritik Nalar Arab), Farid Esack dengan hermeneutika, dan seterusnya. Tapi saya pikir, wajar kalau anak-anak muda memburu gagasan-gagasan yang paling baru sebagai aplikasi dari munculnya eforia intelektual.

Untuk hal semacam ini, harusnya para elit Muhammadiyah memberi ruang kebebasan untuk berwacana dan mengekpresikan ide-idenya, baik melalui forum-forum ilmiah maupun tulisan di berbagai media massa. Bukan malah mengebiri dan mengganggapnya sebagai ancaman bagi Muhammadiyah. Saya kira, karena alasan itulah kaum muda Muhammadiyah mampu mengambil "jalan lain" dari mazhab konservatif-skripturalis, dan sangat wajar jika akan terjadi benturan-benturan dengan kaum konservatif dalam tubuh Muhammadiyah. Apa yang dilakukan oleh anak-anak muda Muhammadiyah yang tergabung di JIMM, sebenarnya dapat juga disebut kehendak untuk melakukan kritik internal (autokritik) terhadap Muhammadiyah agar tidak terjebak dalam ritual formalisme organisasi.

Ketiga, perlunya pertemuan (baca: dialog) lintas generasi di Muhammadiyah. Selama ini, kondisi yang tampak adalah kurangnya intensitas pertemuan antara generasi muda dengan generasi tua. Bahkan ada kesan generasi tua merasa sudah begitu senior, bahkan lebih superior dibanding generasi mudanya. Dengan begitu, mereka enggan melakukan dialog. Kondisi itu mungkin juga diperuncing oleh munculnya JIMM yang mengusung wacana progresif-liberatif. Tak pelak lagi, telah terjadi ketegangan antara antara kaum tua yang lebih puritan dan kaum muda yang lebih dinamis. Dengan demikian, di Muhammadiyah ada dua kubu yang saling kontradiktif, yaitu—meminjam istilah Sukidi—Muhammadiyah progresif vs Muhammadiyah konservatif.

Kondisi seperti ini harusnya tak boleh terjadi, sebab masa depan Muhammadiyah tak cukup dibebankan hanya kepada kaum tua. Kaum muda Muhammadiyah harusnya mengambil bagian dan peran yang signifikan bersama-sama dengan kaum tua, dan merumuskan kembali prinsip purifikasi dan dinamisasi Islam dengan berbagai problem dan perkembangan zaman sekarang ini. Dari situlah mereka dapat melakukan kerja-kerja religius dan kebudayaan untuk masa depan yang lebih mencerahkan.

Keempat, perkembangan wacana pemikiran Islam yang demikian cepat makin menjelaskan bahwa gaya konservatif tidak lagi memadai untuk merespons masalah aktual yang terus bergulir. Lambatnya kaum konservatif Muhammadiyah merespons masalah-masalah aktual, salah satunya disebabkan oleh adanya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan sakralisasi terhadap tafsir keagamaan.

Di Muhammadiyah, masih banyak yang menganggap Himpunan Putusan Tarjih (HPT) berada di atas segala-galanya. HPT dianggap mutlak dan tidak bisa dikritik, bahkan disakralkan seperti Alur’an, sekalipun mereka tidak mengerti proses perdebatan yang terjadi dalam Manhaj Tarjih.

Penutup

Anak-anak muda Muhammadiyah harus tetap melakukan terobosan dengan mengangkat gerakan intelektual di tengah arus perubahan politik yang demikian cepat. Anak muda Muhammadiyah perlu mewarnai kembali tradisi progresif-liberatif KH Ahmad Dahlan sebagai the founding father Muhammadiyah.

Kaum muda Muhammadiyah juga perlu melanjutkan ijtihad kaum modernis pada level yang lebih populis, serta merespons masalah aktual dan kultural sehari-hari masyarakat. Dengan melakukan ”Refleksi 3 Tahun JIMM” kaum muda Muhammadiyah tampak ingin meneruskan cita-cita luhur KH. Ahmad Dahlan agar Islam senantiasa relevan dan kontekstual dengan zamannya. Muhammadiyah sudah selayaknya memelopori kembali gerakan pembaharuan keagamaan dan transformasi sosial di Indonesia.

** Moh. Shofan, Dosen FAI, Univ. Muhammadiyah Gresik

Tidak ada komentar: