Minggu, 14 September 2008

Muhammadiyah Akan Merekonsiliasi Budaya Lokal


Solo, Kompas

Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dengan basis massa yang luas akan membuat langkah "revolusioner", yakni melakukan semacam rekonsiliasi terhadap kebudayaan, terutama budaya lokal seperti kesenian tradisional. Langkah ini akan menjawab anggapan adanya ''friksi'' antara Islam dan budaya lokal, atau persepsi bahwa Muhammadiyah "menolak" hal-hal yang berbau kesenian.

"Sebenarnya bukan langkah 'revolusioner'. Sebab, pergeseran pemikiran dan otokritik terhadap keringnya kehidupan berkesenian di kalangan Muhammadiyah sudah lama berlangsung. Ini dipertegas pada muktamar ke-43 tahun 1995 di Aceh. Otokritik ini diperkuat lewat Musyawarah Nasional Tarjih 2000 di Jakarta yang mengakui keragaman metodologi pemikiran keagamaan Muhammadiyah, termasuk interaksinya dengan kebudayaan lokal," kata Dra Yayah Khisbiyah MA, Ketua Panitia Semiloka Nasional "Dialektika Agama dan Budaya Lokal: Apresiasi terhadap Pluralitas Kesenian Tradisional" yang akan diselenggarakan di Kota Solo, 2-4 November 2001.

Langkah rekonsiliasi ini, kata Yayah di Solo hari Rabu (31/10), dilakukan atas dua alasan. Pertama sebagai upaya mencairkan sikap resisten Islam (Muhammadiyah) terhadap budaya lokal. Dan kedua, menjawab "kering"-nya apresiasi di kalangan Muhammadiyah terhadap dunia kesenian. Langkah ini dilakukan seiring pula dengan perubahan pemikiran yang berlangsung di kalangan Muhammadiyah sendiri.

"Sikap resisten itu tidak menguntungkan bagi Muhammadiyah, terutama ketika kita menghadapi proses membangun masyarakat madani dan menciptakan kedamaian di tengah masyarakat yang heterogen," ujarnya.

Kalangan Muhammadiyah, termasuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dikabarkan menyambut baik gagasan itu. Selain semiloka, sejumlah program aksi juga telah dipersiapkan, di antaranya festival seni pertunjukan, festival seni rakyat, apresiasi kesenian di kalangan siswa sekolah serta workshop di kalangan pendidik dan pendakwah.

Program ini dirancang oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, Universitas Muhammadi-yah Surakarta (UMS). Sejumlah pembicara akan tampil dalam "Halaqah Tarjih" pertama di Solo, di antaranya Prof Dr Kuntowijoyo, Prof Dr Amin Abdullah, Dr Abdul Hadi WM, Budhi Munawar MA, Drs Syamsul Anwar, Prof Dr Muda Asya'arie, dan Dr Munir Mulkhan SU. Semiloka kedua dijadwalkan akan diadakan di Yogyakarta, Maret 2002.

Mubah

Syamsul Hidayat, panitia semiloka, menambahkan bahwa pada muktamar di Aceh (1995) terjadi perubahan paradigma berpikir tentang kesenian. Saat ini terjadi pemaknaan ulang terhadap kesenian, selain pemaknaan ulang terhadap teks, tentang yang disebut haram dan yang tidak.

Ia mengakui, dalam konteks inilah Muhammadiyah menghadapi dilema; di satu pihak berlangsung proses pemurnian ajaran agama, sedang di pihak lain menghadapi realitas serta modernisasi. Dalam muktamar di Aceh, katanya, telah terjadi pendekatan filsafat, "Bahwa seni sebagai ekspresi keindahan, dan hakikat itu bisa diterima."

Yayah menambahkan bahwa dalam ketetapan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah seni itu termasuk mubah (boleh), sedangkan Muhammadiyah sendiri pada dasarnya tidak homogen, sehingga kebutuhan terhadap kesenian itu pun bersifat heterogen. Dikatakan, pelibatan kalangan yang duduk di Majelis Tarjih-baik dari tingkat pusat maupun daerah-dalam semiloka ini diharapkan akan bisa mengubah hukum-hukum agama, sehingga akan terbangun rekonsiliasi dengan budaya lokal/tradisi.

Panitia semiloka lain, M Thoyibi, menambahkan bahwa wacana tentang perlunya apresiasi kesenian sudah lama menjadi kerinduan yang terpendam di kalangan Muhammadiyah. Mereka prihatin terhadap miskinnya apresiasi Muhammadiyah terhadap dunia kesenian. Pihaknya optimis bahwa usaha Muhammadiyah "membuka diri" ini akan mendapatkan sambutan positif dari berbagai kalangan, mengingat kegelisahan di kalangan Muhammadiyah itu telah merata. (asa)

Tidak ada komentar: