Sabtu, 14 Juni 2008

Tiga Penggerak Perubahan Sosial dan Pluralisme Raih Maarif Award


PDF Cetak E-mail
Tuesday, 03 June 2008

Ahmad Syafii MaarifJAKARTA, SELASA - Tiga tokoh yang dinilai telah mendorong proses perubahan sosial pada tingkat akar rumput serta memiliki komitmen terhadap toleransi dan pluralisme menerima Maarif Award dari Maarif Institute.

Acara penyerahan penghargaan kepada ketiga tokoh tersebut, yakni Cicilia Handayani (40), Tuan Guru Haji (TGH) Hasanain Djuani (44) dan Ahmad Tafsir (44) dilakukan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Selasa malam.

Penghargaan diserahkan oleh pendiri Maarif Institue, Ahmad Syafii Maarif dan Jeffrie Geovannie serta Direktur Eksekutif Maarif Institute Raja Juli Antoni.

Ivan A Hadar, anggota Dewan Juri "Maarif Award", mengatakan setiap individu yang dipilih sebagai penerima penghargaan memiliki prestasi dan karya bermakna bagi masyarakat.

Cicilia, yang tinggal di Perum Kalimas Indah, Blitar, Jawa Timur, membentuk institusi pendidikan taman kanak-kanak lintas agama di Dusun Banyu Urip, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, dusun terpencil dan terbelakang yang distigmatisasi sebagai bekas kantung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Perempuan yang lahir di Surabaya pada 27 Juli itu juga merupakan inisiator koperasi tani di Karang Gayam, Blitar. Kegigihan perempuan yang akrab disapa Yanti itu mendapat pengakuan dari semua tokoh organisasi sosial dan keagamaan di Blitar.

Yanti berharap selama hidupnya bisa tetap setia bergerak di tingkat akar rumput dan mendapatkan upah besar di surga atas apa yang dia lakukan.

Sementara Hasanain adalah pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Putri Narmada di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang memadukan dunia pendidikan, konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan media konflik.

Laki-laki yang lahir di Lombok Barat pada 17 Agustus 1964 itu berhasil mengajak 427 pesantren di sekitar wilayahnya untuk membuka "kitab hijau" dan melakukan kegiatan konservasi yang kini telah berhasil menyulap 30 hektare perbukitan tandus menjadi lahan hijau.

"Saya tidak berbuat banyak, saya hanya mengajak mereka untuk tanam, tanam dan tanam," katanya serta menambahkan ia juga memberikan bibit pohon gratis untuk ditanam.

Tokoh ketiga yang menerima penghargaan adalah Ahmad Tafsir, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, yang berani melawan arus utama di tubuh organisasi yang dibentuk Ahmad Dahlan pada 1912 itu.

Pria kelahiran Kebumen yang saat ini tinggal di Ngaliyan, Semarang, itu juga dinilai konsisten memperjuangkan ide-ide progresif di tubuh Muhammadiyah dan memiliki radius pergaulan lintas agama yang luas.

Ia juga tidak ragu berinteraksi, dan bahkan terlibat intens, dengan kelompok-kelompok marginal seperti waria, korban narkoba dan penderita schizophrenia.

Sumber : http://entertainment.kompas.com

Cicilia Yuliati Hendayani

Nama : Cicilia Yuliati Hendayani
Tempat, Tgl Lahir : Surabaya, 27 Juli 1968
Alamat : Perum Kalimas Indah Blok C16, Pakunden, Blitar Jawa Timur
Phone : 0816500521

Semua berawal dari program live in mahasiswa Surabaya yang dibimbingnya pada tahun 1996 di sebuah dusun terpencil nan terbelakang yang distigmatisasi sebagai bekas kantong satu partai terlarang, PKI. Justru kondisi demikian membuat Cicilia Yulia Hendayani yang terlahir dari keluarga berada jatuh hati. Masyarakat dusun Banyu Urip, Kec. Wonotirto, Kab. Blitar, begitu daerah ini dikenal, telah mengalami penindasan secara ekonomi, politik, dan agama.

Mereka tidak diakui bahkan mungkin disingkirkan dari peta pembangunan. Tak pelak, tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah akibatnya semua penduduk nyaris buta hurup, masyarakat Banyu Urip tidak pernah mengenal hak-hak ekonomi, sosial bahkan politik sebagai warga negara, serta diperlakukan sebagai tamu di tanah kelahirannya sendiri karena “keengganan” pemerintah memberikan hak sertifikasi tanah warga.

Pada mulanya, kedatangan Yanti, panggilan akrab Cicilia, ditanggapi pesimis bahkan apatis oleh masyarakat setempat. Mereka tidak yakin kalau kehadiran Yanti tahun 1997 akan membawa perubahan, ungkap Ahmad Lukhita, Ketua Pemuda Hindu. Awan keraguan perlahan sirna seiring dengan konsistensi tekad dan kerja keras Yanti meyakinkan masyarakat bahwa Mereka berhak dan harus mendapatkan keadilan. Ia mendirikan institusi pendidikan TK yang menjadi ruang belajar bersama anak-anak lintas agama, dan berhasil mengadvokasi pembebasan lahan rakyat yang dikuasai perkebunan. Selanjutnya, ia bersama LSM yang dibentuknya, Sitas Desa, memperluas wilayah kerja dengan merangkul 11 desa lain, ia juga mendirikan Solidaritas Umat Beragama (SUB) untuk mediasi potensi konflik bernuansa agama.

Kegigihan Yanti mendapat pengakuan dari semua tokoh-tokoh organisasi sosial dan keagamaan. Bagi Siswanto, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab. Blitar, sosok Yanti mencerminkan kepribadian humanis sejati. Dalam pandangan Bahrudin, Sekretaris Pimpinan Cabang NU Kab. Blitar, Yanti merupakan aset berharga masyarakat Blitar karena komitmen dan konsistensinya memperjuangkan keadilan tanpa dibatasi sekat-sekat formalisme agama.

Tuan Guru

Nama : Tuan Guru Haji (TGH) Hasanain Djuaini
Tempat, Tgl Lahir : Lombok Barat, 17 Agustus 1964.
Alamat : Jl. Hamzah Wadi No. 5 Desa Mekar Indah Lembuak, Narmada, Lombok Barat, NTB.
Phone : 0818541531

“Apa kalian mau tetap selamanya miskin?”.
Kalimat menohok ini bukan keluar dari mulut seorang aktivis LSM, justru meledak dari kegelisahan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Putri Narmada di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tuan Guru Haji Hasanain Juaini. Meskipun sehari-hari bergulat dengan dunia kitab kuning, pandangan dan aksi sosial kyai muda ini melampaui kelajiman dunia kyai. Ia sangat resah dengan kondisi masyarakat NTB yang terperosok ke dalam lembah buta huruf, angka putus sekolah yang menjulang tinggi, serta tingkat partisipasi perempuan yang sangat rendah.

Bagi Ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama NTB ini , pembumian gagasan masyarakat madani harus diwujudkan melalui karya nyata yang terpadu. Ia mengintegrasikan dunia pendidikan, konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan mediasi konflik. Inilah yang kemudian disebut masyarakat Kab. Lombok Barat sebagai pendekatan Integrated Conservation.

Kini gerakan ini telah berbuah, perbukitan madani yang tandus-gersang seluas 30 hektar telah disulap menjadi lembah hijau. Di mata kalangan LSM, seperti Dian pegiat LSM Santai, sosok Hasanain merupakan sedikit tokoh agama yang mampu memprovokasi aktivis-aktivis LSM lokal untuk memperjuangkan demokrasi, pendidikan, termasuk pendidikan alternatif bagi kaum perempuan. Menurut Ahmad Fauzi, Ketua Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kab. Lombok Barat, pesan-pesan ceramah keagamaan Hasanain selalu menonjolkan permasalahan konservasi lingkungan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Hal senada juga dikemukakan Rahman, Kepala Desa Sedau, Narmada, Lombok Barat. Apa yang sedang dikerjakan Husaini telah “menyadarkan” pemerintah NTB akan peran penting penghijauan lingkungan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan pendidikan seperti diakui Yusron, staf BAPPEDA Prov. NTB

Tafsir Sek PWM Jateng

Nama : Drs. Tafsir, M.Ag
Tempat, Tgl Lahir : Kebumen, 16 Januari 1964.
Alamat : Jl. Tanjung Sari III/3 Ngaliyan, Semarang Jawa Tengah.
Phone : 0818541531

Ada yang tidak biasa dari sosok Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah ini. Tafsir berani melawan arus mainstream di tubuh organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan 1912 ini, baik dari segi gagasan maupun aksi. Ia konsisten memperjuangkan ide-ide progresif didalam tubuh Muhammadiyah (struggle from within)meski secara organisasional masih sulit diterima.

Disamping memiliki radius pergaulan lintas agama yang luas, ia tidak ragu untuk berinteraksi bahkan terlibat intens dengan kelompok-kelompok marginal seperti kelompok waria, korban narkoba, dan penderita schizophrenia. Dalam pandangannya, Islam harus benar-benar menjadi kado terindah untuk alam.

Latar belakang Muhammadiyah tidak membuat dirinya larut dalam sektarianisme kelompok yang anti pluralisme. Justru Tafsir berkeyakinan Muhammadiyah sudah seharusnya terbuka dan memberi manfaat kepada semua golongan. Muhammadiyah untuk semua. Bagi Pandita Henry, tokoh agama Buddha, dan Sri Rahayu, Ketua Wanita Hindu Jawa Tengah, kiprah Tafsir sebagai tokoh Muslim sangat mengesankan. Bahkan Agnes Widanti, seorang intelektual Katholik, menyukai khutbah-khutbah Tafsir yang memancangkan optimisme dan perdamaian.

Melalui Interfaith Forum Committe (IFC), Semarang, yang kini dipimpinnya, ia menggalang solidaritas lintas agama untuk melakukan kerja-kerja sosial kemanusiaan sebagai bentuk common ground agama-agama seperti memberantas kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Menurut penuturan Darti dan Sugiyono, Kepala Desa Kali Kayen 1999-2007, kehidupan masyarakatnya sangat terbantu dengan adanya program IFC seperti pengerasan jalan yang membantu kelancaran transportasi warga dan distribusi hasil panen serta program padat karya untuk mengatasi pengangguran akibat krisis moneter. Dalam penilaian Yusup, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Semarang, sosok dan sepak terjang Tafsir sangat jarang ditemukan di lingkungan organisasi Muhammadiyah.

Kritik atas Paham Keagamaan Muhammadiyah

Dakwah Kultural vs Imperialisme Islam Murni

Oleh Zakiyuddin Baidhawy

11/07/2003

Upaya Muhammadiyah untuk mempersatukan persepsi dalam rangka menciptakan Islam yang sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat positif. Upaya semacam ini membuat kelompok abangan menjadi tidak memiliki hambatan mental untuk belajar Islam. Singkatnya, dakwah kultural Muhammadiyah mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme, keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori abangan.

Satu lagi kejumudan modernisme semakin memperoleh afirmasi, dan kini diperlihatkan oleh sebuah gerakan Islam modernis bernama Muhammadiyah, yang terjebak dalam perangkap imperialisme dan ideologi. Mentahbiskan diri sebagai gerakan tajdid dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah seolah seperti Portugis atau Spanyol, yang merasa mempunyai legitimasi mission sacre dari Paus untuk menguasai belahan dunia Timur dan Barat. Kekuatan imperialis yang memperoleh “mandat Tuhan” untuk melakukan hegemoni, kolonisasi, dan penindasan demi keutuhan dan kemurnian Islam yang sebenar-benarnya.

Mendasarkan diri pada “kegagahan” kacamata kuda dari logika positivistik yang hanya mengetahui satu sumber kebenaran, arus utama yang kini mendominasi Muhammadiyah selalu memahami dan menempatkan realitas kehidupan dalam dua sisi yang saling bertentangan secara diametral. Suatu pendekatan oposisi biner yang membagi dunia dalam dua kutub plus minus, sekali dan selamanya. Tidak lebih tidak kurang. Melalui pendekatan ini, Islam dan realitas keber-islam-an mengalami simplifikasi ke dalam dua polar: yakni “Islam murni” versus “bukan Islam murni”. Seluruh kualitas dan karakteristik yang disandarkan pada dua polar tersebut mengikuti model oposisi biner.

Islam murni adalah satu-satunya paham keagamaan dan cara beragama yang dipandang ortodoks (murni dan utuh), sementara lawannya adalah paham dan cara yang telah terkontaminasi atau tercampuri unsur-unsur asing, dan karenanya disebut heterodoks atau sinkretis. Bertolak dari klaim ortodoksi itulah Islam murni memperoleh justifikasi dan legitimasi untuk melakukan hegemoni. Hegemoni nampak pada proses pengarus-utamaan paham keagamaan tersebut atas paham-paham yang bercorak lain atau keluar dari mainstream dalam Muhammadiyah. Meskipun untuk keberhasilan upaya hegemoni ini ia harus memanipulasi diri sebagai paham keagamaan tanpa mazhab, namun sesungguhnya lebih menyandarkan diri pada paham keagamaan a la wahabi (sebagian menyebutnya salafi) dengan daya dukung struktural untuk memberangus sang “lian” (the other). Atas dasar kemurnian itu pula paham mainstream ini merasa berhak untuk melakukan kolonisasi dan penindasan secara fisik dan atau psikis pada mereka yang secara aqidah (thought), ibadah (action), maupun jamaah (fellowship) tidak sejalan dengan MKCH (matan keyakinan dan cita-cita hidup), masa`il al-khamsah (agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas), muqaddimah anggaran dasar, Himpunan Putusan Tarjih, dan sebagainya.

Sifat-sifat hegemonik-imperialistik Islam Murni tidak cukup sampai di situ. Beberapa di antaranya dapat dilihat pada beban teologis yang dipikul di pundaknya. Pandangan teologis yang berpijak pada misi suci ar-ruju ila al-Qur’an wa as-Sunnah, membuat Muhammadiyah terbebani tanggung jawab mempertahankan Islam Murni itu. Dengan basis Islam Murni ini pula, para penganjurnya “menuduh”, mendiskreditkan “Muslim lain”, “Muhammadiyah lain” yang tidak sepaham sebagai “heresy” yang dipenuhi takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC), dan karenanya dapat dianggap sesat (dhalalah). Sebuah klaim kebenaran (truth-claim) yang pada akhirnya mesti diiringi dengan penilaian bahwa mereka yang dhalalah itu akan dijerumuskan ke dalam dan distempel sebagai penghuni neraka. Hanya Islam murni satu-satunya jalan yang menjamin keselamatan (salvation-claim). Karena itu, para pendukungnya yang fanatik merasa bertanggung jawab untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Islam Murni, serta memandang perlu untuk mengislamkan kembali dan atau memproselitisasi mereka yang tersangka tidak islami, amoral, atau dalam kesesatan. Inilah yang secara istilahi dapat disebut sebagai Islam Murni’s burden, tanggung jawab “memperadabkan” individu maupun kelompok yang menyimpang dari jalan lurus mereka.

Dari sini nampak bahwa ada “kegairahan” yang terus menyala pada Islam murni untuk tetap dominan dan memegang supremasi terhadap mereka yang marginal dan pheriperal. Adalah faktual bahwa para penganjur Islam Murni melakukan diskriminasi atas nama paham dan praktek keagamaan. Islam populer, Islam tradisi, Islam liberal, dan sebagainya, diposisikan pada level bawah cara beragama, atau bahkan bid’ah yang merusak tatanan (kosmos) agama, menurut kacamata Islam Murni. Dengan demikian, Islam Murni adalah satu-satunya cara beragama yang benar dan karenanya lebih superior dibanding cara dan “jalan lain ke sana” (baca: menuju keselamatan), meminjam judul sinetron Chaerul Umam. Sebagaimana layaknya rezim kolonial, Islam Murni juga menarik garis batas tegas antara “mereka” dan “kami”. Inilah segregasi yang sengaja diciptakan melalui pendekatan dan istilah yang cukup populer di kalangan mereka, yakni “minna” wa “minhum”. “Minna” adalah representasi golongan kanan (ashab al-yamin), kelompok dengan klaim kebenaran absolut; dan “minhum” sebagai wakil golongan kiri (ashab asy-syimal), kelompok sekte/sempalan dan penuh kesesatan (ahl al-bid’ah wa adh-dhalalah). Beban teologis semacam ini membawa pembenaran bagi mereka untuk “membabat secara arif” kelompok-kelompok semacam itu di luar Islam Murni.

Di usianya yang satu abad, introspeksi adalah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar. Boleh jadi, Muhammadiyah merasa semakin beranjak dewasa, atau bisa juga sudah menjadi tua bangka dan “loyo” untuk terus bertajdid (too old to be reformist). Ini semua berpulang para para penganutnya yang setia. Yang jelas, setelah melalui perjalanan panjang sepuluh dasawarsa itu, Muhammadiyah rupanya semakin mengkristalkan diri sebagai kekuatan ideologis, yang dipahami dalam bahasa Karl Mannheim. Yakni ideologi lebih dimaknai dan nampak sebagai battle cry atau arena propaganda. Organisasi yang dibidani oleh Kyai Ahmad Dahlan ini, kini menyatakan perang dan melakukan propaganda (iman) yang berusaha membentuk opini tentang isu-isu tertentu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan, absah dan tidak absah untuk dikritik dan diubah. Atas nama misi suci ar-ruju` ila al-Qur’an wa as-Sunnah dan slogan TBC, mereka dapat memobilisasi massa, membentuk opini publik, memolitisir kekuasaan untuk “berjuang demi” atau “menentang terhadap”. Artinya, dengan keyakinan mempertahankan, menegakkan dan menjunjung tinggi Islam murni, apapun perlu dilakukan sembari mengenyahkan kekuatan-kekuatan yang dipersepsi sebagai penghalang atau duri bagi tujuan luhur ini.

Nampaknya belum terbersit dalam pikiran dan nurani kelompok pendukung ideologi Islam murni ini untuk mendudukkan ideologi lebih sebagai masalah "partisipasi" (daripada dominasi atau manipulasi), sebagaimana dipahami Gramsci dan Bakhtin. Dalam arti luas, ideologi lebih merupakan persoalan "pandangan dunia" (worldview) daripada propaganda partisan. Jadi, ideologi adalah sistem kepercayaan yang komprehensif yang diikuti oleh berbagai kelompok sosial, dan dengan berbagai macam alasan. Meminjam analisis tersebut, seyogyanya Muhammadiyah menempatkan diri sebagai tenda besar bagi keragaman kelompok pendukung dan simpatisannya. Semua individu dan kelompok memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam rangka memberikan kontribusi untuk mendefinisikan “apa”, “siapa” dan “bagaimana” menjadi Muhammadiyah. Bukan mempropagandakan paham arus utama yang disebut Islam murni itu, dan meminggirkan mereka yang berbeda. Taruhlah misalnya, rezim Islam murni merasa perlu menggusur kelompok berhaluan `irfani atas nama ideologi Muhammadiyah yang dipahami secara sempit.

Wacana Dakwah Kultural yang berkembang dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali pada 24-27 Januari 2002, merupakan lompatan ide yang patut dihargai. Karena gagasan ini merupakan gejala awal lahirnya “ijtihad ketiga”. Momentum ini dapat menjadi pendulum pemecah es kejumudan tergantung pada bagaimana respon dan tindak lanjut dari pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri.

Tanwir memahami dakwah kultural meliputi dua pintu utama – konvensional dan komunikasi. Yang pertama menyampaikan ajaran Islam melalui ceramah, khutbah, dialog interaktif dan kegiatan tabligh lainnya. Cara ini sudah berlangsung lama dan masih terus digunakan sampai saat ini. Yang kedua sebagai proses interaksi nilai dan saling mempengaruhi dalam rangka terjadinya perubahan pemahaman, keimanan dan pengamalan Islam secara individual; dan perubahan struktur dan norma kehidupan menuju masyarakat madani secara sosial.

Keberpihakan dakwah kultural adalah pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal, dan mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan sifat manusia secara individual dan sosial. Cara dakwahnya “memudahkan” dan “menggembirakan” demi tegaknya nilai-nilai Islam diberbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Upaya Muhammadiyah untuk mempersatukan persepsi dalam rangka menciptakan Islam yang sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat positif. Upaya semacam ini membuat kelompok abangan menjadi tidak memiliki hambatan mental untuk belajar Islam. Singkatnya, dakwah kultural Muhammadiyah mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme, keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori abangan.

Melampaui kebekuan dakwah purifikatif yang selama ini dipandang sebagai ciri khas (idiokrasi dan idiolatri, meminjam Kuntowijoyo) Muhammadiyah, yang ternyata mengalami benturan dan kebuntuan di sana sini, dakwah kultural merupakan visi baru agar dakwah dalam arti seluas-luasnya semakin diapresiasi oleh semua kelompok dan aliran. Perubahan orientasi dakwah agar menyentuh aspek-aspek multikultural dan multireligi, melalui pendekatan kultural yang variatif dengan memandang perubahan ruang dan waktu dan level sosial yang menjadi obyeknya. Sebelum perubahan orientasi ini, sudah ada pergeseran besar lain, yakni pergeseran dari "gerakan purifikasi" (ijtihad pertama) yang orientasi dakwahnya mengembangkan isu takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC), ke gerakan redefinisi TBC dalam kultus individu dan KKN. Gerakan yang terakhir inilah yang disebut sebagai ijtihad kedua. Dakwah kultural merupakan upaya baru untuk menggeser Muhammadiyah dari dari gerakan struktural yang terserap oleh negara, ke gerakan kultural dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme.

Memperhatikan pergeseran-pergeseran itu, dakwah kultural sesungguhnya mempunyai kesinambungan (continuity) historis dengan perjalanan dakwah yang hampir satu abad itu. Perubahannya (change) terletak pada cara dakwah kultural memaknai kembali wacana dan gerakan TBC. Sesuai dengan namanya, dakwah kultural hendak menyentuh persoalan-persoalan kebudayaan yang menjadi kebutuhan dan tantangan kontemporer.

Serupa dengan dakwah purifikatif dan dakwah politik, dakwah kultural juga berpijak pada slogan TBC, namun dengan pemaknaan yang sama sekali berbeda dengan dua dakwah sebelumnya (lihat skema 1 dan skema 2). Penyandaran “kultural” menekankan distingsi yang berpijak pada makna dan cakupan kebudayaan itu sendiri yang meliputi sistem gagasan (ide), aktivitas dan fungsi, serta bentuk atau materi. Dari sini dapat dipahami, dakwah kultural ingin melakukan perubahan, perbaikan dan transformasi dalam cara berpikir, cara bertindak, sekaligus bentuk dan materi kebudayaan.

Kata kunci dalam istilah “kultural” adalah inovasi dan kreasi. Inilah yang dimaksud bid’ah dalam dakwah kultural. Sementara itu, takhayyul yang selama ini dipahami sebagai “sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan” (Nyai Roro Kidul misalnya), dipahami oleh dakwah kultural sebagai imajinasi, suatu kekuatan dan kemampuan khas manusia yang merupakan anugerah alam dan anugerah Tuhan (a gift of nature and a gift of God). Menurut dakwah kultural, berimajinasi bukan cermin kemalasan dan tidak produktif karena suka “berkhayal”. Ini kekeliruan besar, karena imajinasi adalah anugerah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Imajinasi itu sendiri bertingkat-tingkat meliputi: imajinasi onerik, imajinasi estetik, imajinasi kreatif, imajinasi abstraktif, dan imajinasi intuitif. Pada sisi ini, dakwah kultural nampaknya merupakan penegasan pentingnya pendekatan `irfani (dalam manhaj Tarjih 2000); pada saat yang sama dakwah kultural memperoleh dukungan metodologis dari pendekatan `irfani, karena hanya dengan pendekatan inilah realitas imajinatif dapat dipahami. Sayangnya, pendekatan `irfani selama ini justeru menjadi kontradiksi dan penolakan dalam Muhammadiyah, dan karena itu pula Majelis Tarjih belum dapat mentanfidzkannya.

Yang dimaksud dengan khurafat selama ini adalah bid’ah dalam bidang aqidah. Ada sebagian penulis menyandarkan khurafat pada nama orang yang memiliki “keahlian bercerita, membuat legenda dan berdongeng”, seperti dongeng tentang kemampuan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dapat menangkap malaikat Izrail dan meminta agar ruh manusia yang dibawanya dikembalikan ke jasadnya atas permintaan seseorang. Dakwah kultural, memaknai khurafat sebagai “kemampuan menciptakan makna” (meaning-making), menciptakan dan membangun citra (image-making and building) dalam wilayah-wilayah kultural dan keberagamaan.

Jadi, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya yang anti- TBC, dakwah kultural adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong, memotivasi, dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah), dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keber-islam-an, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama.

Penulis berharap, dakwah kultural menjadi semacam tenda besar bagi bangsa karena mempertimbangkan dan menyantuni realitas masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural-multireligi dalam wacana dan gerakan dakwah; tenda besar bagi ummat Islam karena mengusung semangat kebersamaan antargolongan di kalangan internal ummat menuju tercapainya masyarakat madani; dan tenda besar bagi Muhammadiyah sendiri karena Muhammadiyah terbuka bagi warga dan simpatisannya yang hadir dengan banyak wajah, aliran dan kecenderungan, bukan semata wajah purifikatif-anti-TBC dalam pengertian lama (in the old meaning). Semoga.

Membendung “Syahwat” Politik Muhammadiyah

Oleh Ahmad Fuad Fanani
24/05/2004

Polemik fatwa resmi Muhammadiyah untuk mendukung Amien, tentu harus diingat kembali. Dukungan itu terbukti banyak menimbulkan riak-riak konflik di internal Muhammadiyah. Selain itu, asumsi awal bahwa dengan keluarnya dukungan resmi menjadikan suara PAN naik dan Amien confidence maju dalam pilpres, akhirnya hanya menjadi impian yang jauh dari kenyataan.

Meskipun PAN hanya menduduki peringkat ke-7 dalam pemilu legislatif, Muhammadiyah secara resmi mempertegas kembali dukungannya pada Amien Rais untuk terus maju sebagai calon presiden. Sebelumnya, pada sidang pleno di Yogyakarta pada 9-10 Februari lalu, Muhammadiyah juga sudah mengeluarkan pernyataan yang senada. Menurut mereka, dalam hal ini suara PAN adalah modal pertama, sedangkan Muhammadiyah adalah modal utama. Maka, dengan modal utama itu warga Muhammadiyah yang aktif di parpol lain beserta para elemen reformis lainnya, diharapkan memberikan suara pada Amien Rais pada pilpres (pemilihan presiden) Juli nanti.

Di alam demokrasi, dukungan resmi Muhammadiyah itu sah-sah saja, apalagi yang mengeluarkan adalah para “pemilik tertinggi” organisasi itu. Kehendak Amien untuk terus maju dalam pilpres, meski realitas obyektif PAN mengalami penurunan drastis, sah juga dilakukan. Apalagi, Amien Rais merasa bahwa yang akan memilih dirinya lebih besar dari pemilih PAN. Beberapa survei yang ada juga menunjukkan pemilih pada umumnya banyak yang membedakan antara partai dan calon presiden yang akan dipilih.

Namun, dukungan resmi Muhammadiyah terhadap Amien, haruslah diberi catatan. Adalah fakta bahwa warga Muhammadiyah sangat rasional, modern, dan plural. Polemik fatwa resmi Muhammadiyah untuk mendukung Amien, tentu harus diingat kembali. Dukungan itu terbukti banyak menimbulkan riak-riak konflik di internal Muhammadiyah. Hal itu misalnya pada terlihat protes dari warga Muhammadiyah yang juga aktif di PKS, PPP, Golkar, atau PBR yang merasa dianaktirikan secara politik setelah lahirnya keputusan resmi tersebut. Gugatan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang menganggap bahwa dukungan resmi itu sebagai bentuk pelanggaran khittah dan runtuhnya peran Muhammadiyah sebagai tenda bangsa, juga patut diperhatikan.

Selain itu, asumsi awal bahwa dengan keluarnya dukungan resmi menjadikan suara PAN naik dan Amien confidence maju dalam pilpres, akhirnya hanya menjadi impian yang jauh dari kenyataan. Suara PAN malah terbukti ambrol dan kalah dengan pendatang baru seperti Partai Demokrat, bahkan posisinya di bawah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan beberapa contoh itu, dapat diambil pelajaran bahwa meski pengurus Muhammadiyah mengajak secara resmi warganya untuk memilih partai tertentu, mereka tetap memiliki pilihan sendiri yang diyakininya. Kenapa PP. Muhammadiyah kini malah lebih mempertegas dukungannya dan bertindak seolah menjadi “tim sukses” pencapresan Amien Rais?

Keteledoran Pembacaan

Dalam menganalisis persoalan sosial dan politik, banyak orang terjatuh pada kesalahan berpikir. Yakni kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Kesalahan berpikir ini (fallacy of dramatic instance) bermula dari penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum atau general. Menurut Jalaluluddin Rakhmat (1999), argumen yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan, karena rujukannya seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual’s personal exsperince).

Dukungan resmi Muhammadiyah, sangat mungkin akibat keteledoran semacam ini. Pengurus Muhammadiyah meyakini, bahwa karena Amien Rais adalah salah seorang politisi yang masih terbukti bersih, maka ketika mencalonkan diri sebagai presiden pasti akan didukung oleh semua kader Muhammadiyah dan banyak elemen masyarakat yang menginginkan perubahan. Soalnya, dengan sistem organisasi Muhammadiyah yang –menurut Hajriyanto Y. Thohari- sangat sentralistik dan miskin paradigma federasi, keputusan yang dikeluarkan oleh pimpinan pusatnya selama ini biasanya pasti akan diikuti oleh segenap warganya. Hal itu bisa tampak mulai dari keputusan tentang penetapan jatuhnya hari raya, keputusan tarjih, pedoman organisasi, atau pendirian badan-badan otonom yang menunjang aktivitas organisasi.

Bila Muhammadiyah tetap berasumsi itu, tentu saja kritikan Mohamad Abid al-Jabiri tentang homogenitas metode bepikir umat tentu sangat relevan. Pada umumnya, umat Islam banyak yang masih menyukai model berpikir secara bayani (tekstual). Dalam model berpikir ini, semua hal dipandang secara tekstual, material, dan konkret. Semua akan dilihat sebagai hitam-putih dan otomatis. Karena Amien mantan ketua PP Muhammadiyah dan kader terbaiknya, maka semua orang Muhammadiyah pasti akan mendukungnya. Bila ada yang tidak mendukung, itu pasti terdapat “kelainan” dan bisa jadi mereka adalah “musuh dalam selimut”. Padahal, semestinya sebagai organisasi modern yang anggotanya banyak yang berpendidikan, mestinya mereka harus berani meninggalkan cara berpikir yang terbukti banyak menyebabkan kejumudan dan kemunduran umat ini. Mereka harus berani mulai berpikir secara rasional (burhani) dan imajinatif (irfani).

Maka, Muhammadiyah dan Amien mesti segera berpikir ulang tentang asumsi generalnya itu. Soalnya, saat ini figur alternatif yang diharapkan bisa menjadi pemimpin bangsa dan terbukti bersih bukan hanya dia. Susilo Bambang Yududoyono dan Hidayat Nurwahid adalah figur baru dan bersih yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Selain itu, kepatuhan warga Muhammadiyah dalam soal organisasi dan agama terhadap keputusan resmi para pengurusnya, tentu bisa lain ketika menyangkut persoalan politik.

Kontribusi Bangsa

Memang suara ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah gampang menjadi pusat perhatian dan rebutan banyak pihak. Meminjam istilah KH Mustofa Bisri, seringkali NU dan Muhammadiyah terlampau ge-er (gede rumangso). Jika Muhammadiyah terus terlibat aksi dukung-mendukung dan bahkan lebih mempertegas sikap partisannya, tradisi politik yang kurang baik akan terulang. Maksudnya, jika nantinya ada salah satu atau mantan pucuk pemimpin Muhammadiyah punya keinginan yang sama dengan Amien, pasti akan didukung juga. Pada akhirnya, sangat mungkin orang yang ingin menjadi pengurus Muhammadiyah, hanya menjadikan amanah itu sebagai batu loncatan untuk lebih mempermudah menggapai tangga kekuasaan (baca politik). Warga Muhammadiyah pun, akan terbebani terus-menerus oleh “ambisi” politik para pemimpinnya.

Sejarah membuktikan, hal itu hanya memperboros energi umat. Jika dukungan itu memperoleh hasil, imbalan (reward) yang diberikan pada organisasi lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dinikmati oleh elitenya. Sebaliknya, jika gagal maka hukuman (punishment) secara psikologis dan moral, umumnya akan lebih banyak dibebankan pada warganya. Tanpa dukung mendukung pun, organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah, terbukti bisa berkiprah maksimal.

Peran yang paling tepat untuk berkontribusi secara nyata terhadap bangsa adalah menjaga jarak dengan kekuasaan, memperteguh independensi, dan memperkuat civil society. Tradisi civil society yang sudah berjalan di Muhammadiyah lewat jalur pendidikan dan amal usaha, tentu amat sayang bila ditinggalkan begitu saja. Justru, dengan menjadi “oposan” yang baik, mereka akan lebih leluasa untuk bekerjasama dengan siapa saja tanpa kehilangan sikap kritisnya. Toh, tanpa berkuasa pun, Muhammadiyah tidak akan kehabisan cara untuk berkiprah menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa seperti yang selama ini dijalaninya. Politik romantisme dan ketidakpercayaan diri dengan mengorbankan independensi sebuah organisasi dan membebani para anggotanya, sudah selayaknya diakhiri. Wallahu A’lam.

Muhammadiyah dalam Bayang-bayang Politik Praktis

Oleh Mutohharun Jinan
30/04/2004

Dinamika dan fragmentasi politik nasional yang berkembang cepat mempengaruhi sikap politik Muhammadiyah. Arus besar politik praktis terasa sangat deras pada Sidang Tanwir 2003 di Makasar, puncaknya adalah dukungan bagi Amien Rais menuju kursi presiden. Persoalannya, apakah langkah politik Muhammadiyah ini akan efektif? Atau malah akan membawa petaka bagi kinerja organisasi? Inilah dua persoalan –di antara persoalan lain- yang terus membayangi warga Muhammadiyah saat ini.

Tulisan ini juga dimuat harian Media Indonesia, Jumat, 30 April 2004

Muhammadiyah kembali menegaskan dukungannya pada Amien Rais pada pemilu presiden 5 Juli nanti. Hal sama telah dimaklumatkan pada Sidang Pleno PP Muhammadiyah dua bulan sebelum pemilu legislatif. Mudah diterka, penegasan dukungan ini terkait dengan “permohonan” Amien Rais lantaran Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya gagal mendulang suara yang signifikan pada pemilu legislatif. Muhammadiyah tampil “habis-habisan” agar kader terbaiknya menjadi presiden RI.

Persoalannya, apakah langkah politik Muhammadiyah ini akan efektif? Atau malah akan membawa petaka bagi kinerja organisasi? Inilah dua persoalan –di antara persoalan lain- yang terus membayangi warga Muhammadiyah saat ini.

Sikap politik warga Muhammadiyah saat ini terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menghendaki agar Muhammadiyah lebih berani memasuki ranah politik praktis, dengan mengajak warganya untuk menunjuk dan memilih kader-kader terbaiknya menjadi pemimpin di negeri ini. Alasannya Muhammadiyah memiliki potensi yang lebih dari cukup untuk terlibat dalam politik. Amal usaha di bidang sosial dan pendidikan yang dimilikinya cukup untuk melakukan gerakan massa. Sebagai organisasi Islam tertua, sudah sewajarnya Muhammadiyah ikut campur dan bertanggung jawab atas persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, baik politik praktis maupun kultural, sosial, dan kemasyarakatan. Karena itu, sejatinya tidak ada wilayah yang dinyatakan sebagai “no fly zone” bagi Muhammadiyah, termasuk wilayah politik praktis.

Kedua, kelompok yang menghendaki agar Muhammadiyah secara organisasi tetap melakukan political engagement terhadap politik praktis dan tidak terlalu tergoda oleh perebutan jabatan kekuasaan (kepemimpinan nasional). Memelihara pluralitas pemikiran anggota, menjaga independensi kultural dan konsistensi Muhammadiyah sebagai basis civil society merupakan jalan paling menyelamatkan untuk ditempuh dalam kondisi politik apa pun.

Mesin politik

Agaknya sikap politik Muhammadiyah mengerucut pada sikap pertama, yakni mengarahkan Muhammadiyah sebagai “mesin politik” yang bermuara pada pragmatisme politik. Hal ini bisa dilihat dari kebaradaan PAN yang terus menyedot energi dan konsentrasi warga Muhammadiyah mulai dari tingkat pusat hingga ranting meski ada jarak antara PAN dan Muhammadiyah. Menjelang pemilu 1999, PP Muhammadiyah mengeluarkan edaran untuk tetap menjaga jarak yang sama terhadap partai politik dan larangan jabatan rangkap dengan partai politik, serta larangan penggunaan fasilitas Muhammadiyah oleh partai politik mana pun.

Dinamika dan fragmentasi politik nasional yang berkembang cepat mempengaruhi sikap politik Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Bali (2001) menghasilkan butir rekomendasi, Muhammadiyah akan menempatkan kader terbaiknya untuk memimpin bangsa ini, tanpa menyebut nama. Arus besar menuju politik praktis terasa sangat deras pada Sidang Tanwir 2003 di Makasar. Puncaknya pada Sidang Pleno 10/2/2004 dengan tegas menyebut nama dan mendukung langkah Amien Rais menuju kursi presiden.

Sidang Pleno digelar menjelang pemilu legislatif dengan tujuan untuk meyakinkan warga Muhammadiyah menjatuhkan pilihannya pada PAN. Tetapi statemen politik hasil sidang Pleno itu malah menuai kritik internal dan tidak cukup efektif untuk meyakinkan warga Muhammadiyah memilih PAN.

Sedikitnya ada dua alasan mengapa warga Muhammadiyah tidak memilih PAN. Pertama, kampanye PAN dilakukan dengan cara-cara yang tidak lazim menurut paham keagamaan Muhammadiyah. Misalnya PAN (Amien Rais selalu ikut) nanggap wayang dengan disiarkan televisi. Kampanye lewat jalur budaya ini maksudnya untuk menarik simpati wong cilik. Kampanye budaya ini, selain tidak efektif juga membuat warga Muhammadiyah kurang sreg.

Kedua, kuatnya isu sentimen agama di kalangan grassroot Muhammadiyah. Dalam daftar nama-nama caleg PAN terdapat caleg yang nomor jadi yang non-muslim. Banyak simpatisan PAN yang eksodus ke partai lain karena isu sentimen agama ini. Ditambah lagi, akhir-akhir ini gagasan pluralisme agama sedang menjadi wacana yang sangat sensitif oleh sebagian besar warga Muhammadiyah.

Rupanya, menjadikan Muhammadiyah sebagai mesin politik dengan pernyataan-pernyataan yang mengarahkan warganya kepada partai politik tertentu bukan pilihan yang tepat. Segala upaya yang membawa-bawa Muhammadiyah ke panggung politik praktis akan berakhir sia-sia. Yang terjadi justru liarnya avonturir politik yang menggerus komitmen moral Muhammadiyah sebagai tenda bangsa.

Meski demikian, mesin politik itu kini akan dicoba lagi. Apakah akan bernasib sama dengan sebelumnya? Kita masih sama-sama menunggu pada pemilu presiden nanti. Optimisme akan keberhasilan dukungan politik Muhammadiyah didasarkan pada asumsi bahwa warga Muhammadiyah berbeda dalam melihat PAN dan Amien Rais.

Bagi Muhammadiyah, PAN memang partainya Amien Rais. Tapi Amien Rais lebih besar dari PAN. Ia kader Muhammadiyah dan milik bangsa. Karena itu, tidak memilih PAN pada pemilu lalu bukan berarti tidak memberikan dukungan kepada Amien. Ikatan moral dan nafas kemuhammadiyahan lebih kuat dari pada ikatan kepada partainya masing-masing. Amien Rais tetap salah satu kader terbaik dan layak untuk memimpin bangsa ini. Keterlibatannya dalam reformasi tidak diragukan lagi. Ia memiliki kualitas, kapasitas, maupun moralitas yang tinggi untuk memimpin bangsa ini. Amien adalah kader yang pantas dihibahkan pada bangsa untuk kepentingan yang lebih besar.

Tenda kultural

Lepas dari efektif atau tidaknya dukungan politik tersebut, kini muncul gejala bahwa independensi kultural Muhammadiyah tergoyah oleh rayuan, syahwat, dan kepentingan politik praktis. Muhammadiyah yang juga menjadi elemen terbesar dari civil society terasa kurang konsisten pada pemberdayaan masyarakat sipil. Dampak lebih jauh adalah rentannya konflik kepentingan di kalangan aktivis. Akibatnya, tidak saja menjadikan warga Muhammadiyah sebagai tumbal kepentingan politik, melainkan juga proyek penguatan civil Islam yang selama ini dilakukan menjadi terbengkalai.

Untuk itulah, penting sekali bagi Muhammadiyah sebagai salah satu elemen masyarakat sipil menjaga independensinya terhadap segala intervensi kepentingan politik. Kalaupun berpolitik, karena dipaksa sejarah, hendaklah kekuasaan tidak menjadi wacana sentral dalam kesadaran warganya sehingga mengabaikan “kewajiban” asasinya sebagai kekuatan Islam kultural. Bayang-bayang politik dan kekuasaan yang menjanjikan keuntungan tidak seharusnya menjerumuskan Muhammadiyah kedalam pragmatisme politik.

Muhammadiyah ditakdirkan untuk menjadi gerakan kultural, sosial-ekonomi dan dakwah yang menaungi seluruh kelompok masyarakat, dan menjadi tenda kultural bagi bangsa ini. Muhammadiyah selama ini telah dikenal sebagai “rumah rakyat”, yang setiap saat dapat dijadikan sebagai tempat pengaduan bagi segenap anggota masyarakat yang kini tengah menghadapi berbagai problema sosial politik.

Kembalikan Muhammadiyah pada orientasi awalnya sebagai gerakan kultural, sosial-ekonomi dan dakwah. Dengan begitu, ia akan mempunyai dampak politik yang besar. Muhammadiyah bisa menjadi kekuatan yang dapat menekan kekuatan politik dan pemerintahan yang korup, tanpa harus melibatkan diri pada politik praktis. Melibatkan Muhammadiyah pada poltik praktis di samping berlawanan dengan spirit dasarnya, juga tidak akan menguntungkan politisi Muhammadiyah sendiri. Karena pada hakIkatnya Muhammadiyah telah menjadi milik masyarakat luas milik bangsa, bukan milik para politisi mantan pengurusnya. []

Mutohharun Jinan, peserta program doktor IAIN Yogyakarta dan aktivis Muda Muhammadiyah

Peristiwa Unik Dalam Sejarah Muhamadiyah

Prof Dr Syafi’i Ma’arif tentang dukungan Muhamadiyah

kepada Amien Rais pada pilpres kemarin:

19/07/2004

Seperti diketahui, Muhamadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di negeri ini mendukung sepenuhnya Amien Rais sebagai calon presiden. Hal ini wajar dilakukan Muhamadiyah karena Amien dianggap sebagai putera dan kader terbaik karena pernah menjadi ketua umum organisasi ini. Namun nampaknya, sangat berat bagi Amien untuk bisa lolos ke putaran kedua. Lalu, bagaimana sikap Muhammadiyah pada pemilu presiden putaran kedua ini?

Pemilu presiden putaran pertama telah berlangsung. Seperti diketahui, Muhamadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di negeri ini mendukung sepenuhnya Amien Rais sebagai calon presiden. Hal ini wajar dilakukan Muhamadiyah karena Amien dianggap sebagai putera dan kader terbaik karena pernah menjadi ketua umum organisasi ini. Namun nampaknya, sangat berat bagi Amien untuk bisa lolos ke putaran kedua. Lalu, bagaimana sikap Muhammadiyah pada pemilu presiden putaran kedua ini? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Muhammad Syafi’i Ma’arif yang akrab disapa dengan sebutan Buya Syafi’i, yang berlangsung pada Kamis, 15 Juni 2004 lalu.

JIL: Buya, pemilu presiden babak pertama sudah berlalu. Hasil pesta demokrasi ini pun nyaris kita tahu. Nah, apakah Buya punya kritik untuk proses demokrasi ini?

MUHAMMAD SYAFI'I MA'ARIF (MSM): Ya, kritik pasti ada. Tapi secara keseluruhan, saya memberi apresiasi yang tinggi terhadap proses demokrasi di sebuah negara yang baru saja memulai demokrasi ini. Saya pikir, kita patut bangga, apalagi ada berbagai pujian dari banyak pihak, baik dalam maupun luar negeri atas prestasi kita dalam mempertahankan iklim demokrasi. Adapun kalau di sana-sini masih ada kekurangan, memang masih bisa dimaklumi. Kita belum berpengalaman sebelumnya dalam soal-soal teknis pemilu, misalnya bagaimana menanggulangi kecurangan. Bagi saya pribadi, kekurangan-kekurangan itu merupakan bagian dari proses yang perlu kita perbaiki pada masa mendatang.

JIL: Artinya, sekalipun cacat di sana-sini, sistem demokrasi jauh lebih baik dibandingkan romantisisme beberapa kalangan islamis tentang sistem khilafah?

MSM: Khilafah itu, apa?! Menurut saya, pendekatan itu sudah terlalu jauh dari suasana zaman kita, dan lebih banyak bersifat ahistoris. Sistem khilafah juga tidak mungkin diaplikasikan karena secara teoritik tidak pernah satu, kecuali sampai masa Utsman; itu pun sudah terjadi perpecahan. Makanya, saya rasa sistem kita sekarang jauh lebih baik, karena partisipasi masyarakat lebih dimungkinkan tanpa memandang asal-usul. Dalam sistem khilafah, di luar khilâfah al-râsyidah (kekhalifahan yang bijak), soal partisipasi mesti melihat berbagai kategori, misalnya soal latar belakang Qurays (sebagai suku elit, Red), soal Ahlul Bait (kekerabatan dengan Nabi, Red). Sistem semacam itu, menurut saya berlawan dengan semangat Alqur’an yang menempatkan manusia dalam posisi yang sama di hadapan Tuhan.

JIL: Tapi kan demokrasi juga memungkinkan munculnya pemimpin yang populer, walau trade record pribadinya tidak sebaik kandidat lain!

MSM: Itu bisa saja terjadi. Oleh sebab itu, diperlukan pendidikan politik yang memadai agar pemilih tidak terperangkap oleh popularitas seseorang tanpa tahu kemampuannya. Masyarakat perlu diberi penjelasan agar mereka lebih kritis dalam menentukan pilihan dalam pemilu yang menggunakan sistem demokrasi.

JIL: Pada pemilu presiden putaran pertama, Anda terang-terangan mendukung putra terbaik Muhammadiyah, dan mungkin putra terbaik bangsa ini, Bapak Amien Rais. Sekarang dia mungkin tidak masuk putaran kedua. Apakah Anda kecewa?

MSM: Saya sudah mengantisipasi kemungkinan itu (tidak masuknya pasangan Amien-Siswono ke putaran kedua). Di antara pasangan capres-cawapres yang tampil kemarin, bagi saya Amien lah yang kurang punya beban masa lampau. Tapi nyatanya dia hanya didukung sekitar 15-20 juta orang saja. Soal ini sudah saya tuliskan di harian Republika (Resonansi, 13/07/2004), yaitu tentang soal peradaban demokrasi. Peradaban politik kita nampaknya baru sampai segitu, dan kita harus terima kenyataan itu dengan legowo, lapang dada dan jangan dipersoalkan lagi.

Saya berharap, siapapun yang tidak berhasil masuk ke putaran kedua, harus mengucapkan selamat kepada yang masuk. Pada putaran kedua, yang akan keluar sebagai pemenang akhirnya juga cuma satu. Nah, dalam konteks itu, yang kalah harus mengucapkan selamat (kepada yang menang) dan menawarkan kerja sama yang konstruktif. Jadi, yang menang jangan sampai berkacak pinggang, dan harus menerima kemenangan itu dengan penuh tawâdlu‘ (rendah hati).

JIL: Dulu Cak Nur pernah bilang, kalaupun yang terpilih dalam pemilu yang demokratis adalah setan gundul, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Dalam pandangan Anda, apakah sekarang rakyat kembali memilih “setan gundul”?

MSM: Tidak sampai seperti itulah! Para pemilih kita saya rasa tidak akan semakin bodoh. Mereka saat ini semakin cerdas. Hanya memang membutuhkan waktu, karena demokrasi kita, sampai pada periode kedua ini, baru berjalan sekitar 6 tahun, sejak 1998. Jadi waktunya masih pendek sekali. Kita bisa begini saja, menyelenggarakan pemilu yang demokratis, aman, dan damai, walaupun masih ada kekurangan di sana-sini, menurut saya sudah luar biasa. Coba bandingkan dengan proses demokrasi di Philipina!

JIL: Dalam prediksi buya, apakah demokrasi kita akan mampu selamat dari ancaman otoritarianisme?

MSM: Saya berharap, siapapun yang terpilih dalam pemilu presiden babak kedua, baik sipil atau bekas militer, mereka harus punya komitmen penuh pada demokrasi. Kalau tidak, bangsa ini akan kembali mengalami masa krisis yang berkepanjangan. Dan saya tidak tahu, apakah nantinya bangsa ini masih punya masa depan (kalau kembali ke sistem otoriter, Red). Untungnya, modal penting kita sekarang adalah kebebasan pers. Modal ini harus dijaga betul-betul, dan mesti dihormati. Memang ada ekses-ekses kebebasan pers yang masih kita temukan. Itu harus kita perbaiki. Hanya saja, kelemahan kita selama ini, sehingga demokrasi terkesan carut-marut, dikarenakan adanya dua syarat demokrasi yang ditinggalkan: pertama sikap lapang dada, kedua rasa tanggung jawab.

JIL: Banyak pengamat memprediksi pemilih dwi-tunggal Amien-Siswono kemarin cenderung golput dalam putaran kedua, sebab mereka termasuk pemilih rasional. Apa komentar Buya tentang golput?

MSM: Menurut saya, mereka (pemilih Amien-Siswono red.) mungkin akan terbelah tiga. Pertama akan golput, dan kita belum tahu berapa persentasinya. Sebagian mungkin akan melirik pasangan Mega-Hasyim, dan sebagian lagi akan mendukung pasangan SBY-Kalla. Saya agak bergaul dengan kelompok-kelompok itu, dan saya mendengar mereka berbicara begitu.

JIL: Bagaimana posisi Muhammadiyah; apa akan memberi dukungan secara institusional kepada salah satu calon yang maju ke putaran kedua?

MSM: Tidak akan berlaku. (Dukungan secara institusional) hanya berlaku kemarin saja, terhadap putera terbaik Muhammadiyah --istilah yang dipakai kalangan Muhammadiyah. Mungkin itu merupakan peristiwa yang unik dalam sejarah Muhammadiyah. Untuk masa yang akan datang, sikap resmi Muhammadiyah harus ditetapkan melalaui rapat pleno; suatu institusi yang sangat demokratik. Tapi saat ini, saya melihat kecenderungan teman-teman memberikan kebebasan kepada warga Muhammadiyah untuk menggunakan kecerdasan ruhaninya dalam memilih.

JIL: Apakah kekalahan duet Amien-Siswoni berekses negatif terhadap Muhammadiyah?

MSM: Saya rasa tidak. Memang banyak yang sedih, dan itu hal biasa. Tapi saya rasa, umur kesedihan itu tidak akan lama. Sekarang, kita suka atau tidak suka, golput ataupun tidak, roda sejarah akan tetap bergulir. Menurut saya, kita tidak boleh larut dalam kesedihan dan kemurungan; kita harus bangkit kembali. Ya… ke depan kita akan kembali memberi sumbangan terbaik untuk bangsa ini.

JIL: Dapatkah dukungan Muhammadiyah atas duet Amien-Siswono pada pemilu lalu diartikan kuatnya pengaruh sayap struktural dibandingkan sayap kultural di tubuh Muhammadiyah?

MSM: Saya rasa, keduanya berjalan beriringan. Saya pikir, orang Muhammadiyah --terutama aktivis yang betul-betul merasa mempunyai Muhammadiyah-- memilih Amien juga bukan semata-mata karena dia kader Muhammadiyah, tapi juga memakai parameter-parameter yang objektif dan rasional.

JIL: Apa rekomendasi Muhammadiyah untuk pemilu tahap kedua?

MSM: Paling-paling kita akan mengatakan, siapapun pemenangnya, Muhammadiyah sebagai institusi yang taat konstitusi akan menerima hasilnya. Tapi secara pribadi --belum berupa rekomendasi Muhammadiyah-- saya ingin memberi beberapa cacatan penting kepada presiden mendatang. Pertama, saya berharap presiden yang akan datang betul-betul menunjukkan komitmen yang jujur dan tulus untuk menjaga kedaulatan bangsa yang sedang diobok-obok pihak luar, walau kadang-kadang banyak orang yang tidak mau mengakuinya.

JIL: Itu bukan mitos, Buya?

MSM: O… tidak! Mitos apa?! Lihat saja kasus Duta Besar Amerika yang menemui saya untuk persoalan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Belum lagi kalau kita bicara kasus penjualan Indosat yang memudahkan pihak luar mengakses rahasia kita di sini. Saya rasa, kasus itu akan memudahkan jalan bagi orang lain untuk mengobok-obok kita. Tapi mengapa itu terjadi? Sebab kita rapuh. Ada proses kerapuhan dari dalam diri kita. Jadi kita tidak semata-mata menyalahkan orang lain.

Persoalan kedua yang ingin saya tekankan adalah soal penegakan hukum. Bagi saya, persoalan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Presiden yang akan datang harus memperhatikan soal ini secara serius. Misalnya, sekneg harus dibersihkan dari tikus-tikus di dalamnya. Presiden juga perlu menunjuk kapolri yang bermental seperti pak Alm. Hoegeng Imam Santoso (mantan Kepala Polri) yang baru saja meninggal (14/07/2004). Jaksa agung dan pihak kehakiman yang akan ditunjuk harus betul-betul punya komitmen kuat untuk penegakan hukum. Demokrasi tidak mungkin berfungsi baik kalau aspek hukum tidak ditegakkan setegak-tegaknya.

JIL: Bagaimana soal ekonomi; bukankah demokrasi saja tidak akan mengenyangkan?

MSM: Itu juga sangat perlu. Demokrasi tanpa perbaikan sektor ekonomi, di tengah jeritan kelaparan, tidak akan bisa menjawab apa-apa. Oleh sebab itu, di samping soal penegakan hukum, kita juga perlu mencari orang-orang yang berjiwa nasionalisme tinggi untuk memegang sektor keuangan negara. Kita butuh orang-orang yang nasionalismenya kuat, tapi juga tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga dunia dan negara lain. Kita punya orang-orang seperti itu, walaupun kita tidak perlu menyebut namanya.

JIL: Tentu tidak sekedar nasionalisme sempit, kan, Buya?

MSM: Nasionalisme sempit sudah tidak laku lagi sekarang ini. Di zaman serba global, dengan kampung-kampung elektronik yang semakin menghapuskan batasan antaranegara, tidak mungkin lagi kita menunjukkan nasionalisme sempit. Hanya orang gila saja yang mempertahankan nasionalisme sempitnya. []

Muhammadiyah Pasca Pemilu:

Sebuah Evaluasi Kultural

Oleh Eko Priyono

02/08/2004

Yang perlu dikhawatirkan adalah, bagaimana masa depan Muhammadiyah jika impian politiknya gagal tercapai. Fenomena dan fakta dewasa ini, paling tidak dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa mendatang. Dalam kamus sosiologi, fenomena yang terjadi saat ini dapat dijadikan landasan prediksi masa mendatang. Karena dengan memahami fenomena tersebut secara mendalam, kita telah menjadi orang bijak yang selalu melakukan evaluasi perilaku kita.

Orientasi genuin gerakan Muhammadiyah sebenarnya tertuju pada gerakan moral, dakwah, dan selalu konsisten dengan upaya purifikasinya untuk mempertahankan ortodoksi ajaran Islam. Hal ini ditunjukkan dengan misi “amar ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar” yang mendasarkan aktivitasnya pada ar-ruju’u ila al-Qur’an wa as-Sunnah. Dengan misi sentralnya tersebut, Muhammadiyah dapat membendung proses akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang ‘terselip’ begitu rapi, menyebabkan kaum awam sulit membedakan antara ajaran Islam dan budaya.

Seiring dinamika dan fragmentasi politik nasional yang berkembang cepat, ternyata turut memberikan pengaruh terhadap sikap dan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan moral yang berperan sebagai tool of social enginering, dan tertarik untuk meluaskan sayapnya melalui jalur politik praktis. Melalui perdebatan dan pembahasan panjang, seperti dalam Sidang Tanwir di Bali, 24-27 Januari 2002, dihasikan butir rekomendasi: Muhammadiyah akan menampatkan kader terbaiknya untuk memimpin bangsa ini tanpa menyebut nama. Arus besar menuju politik praktis sangat deras pada Sidang Tanwir Makasar 2003, dan berpuncak pada Sidang Pleno pada 10 Pebruari 2004 yang tegas mendukung langkah Amien Rais menuju kursi presiden. Fatwa politik itu diarahkan untuk menstimulus warga Muhammadiyah yang tersimpan dalam kantong-kantong massa dalam amal usahanya baik bidang pendidikan atau kesehatan, agar menyalurkan aspirasi politiknya pada kader pilihannya.

Yang perlu dikhawatirkan adalah, bagaimana masa depan Muhammadiyah jika impian politiknya gagal tercapai. Fenomena dan fakta dewasa ini, paling tidak dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa mendatang. Dalam kamus sosiologi, fenomena yang terjadi saat ini dapat dijadikan landasan prediksi masa mendatang. Karena dengan memahami fenomena tersebut secara mendalam, kita telah menjadi orang bijak yang selalu melakukan evaluasi perilaku kita.

Atas dasar itu, saya melihat, dukungan secara resmi Muhammadiyah kepada Amien Rais pada pilpres putaran yang lalu justru memberi efek negatif, meskipun misalnya Amien yang dianggap sebagai putra terbaik Muhammadiyah itu memenangkan pertarungan dalam pemilu. Pertama, Muhammadiyah akan mengalami pergeseran misi, dari misi sosialnya yang berbasis transformasi sosial-agama, menjadi pragmastisme politik yang dominan. Dengan begitu konsentrasi gerakannya tersentral pada aktivitas politik daripada melakukan gerakan dakwah kultural.

Sebagaimana terjadi pada organisasi dakwah lainnya, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang lebih dulu terjun ke kancah perpolitikan nasional. Saat ini NU terlalu disibukkan dengan aktivitas politiknya ketimbang berperan sebagai legitimator sosial yang memayungi masyarakat dengan nilai-nilai murni agama.

Kedua, Muhammadiyah akan terjangkit virus power syndrome yang menginginkan kelanggengan dalam menduduki kursi kekuasaan. Hal ini dilakukan dengan membangun hubungan struktural dengan organisasi politik tertentu untuk memperkuat jaringan politiknya. Hal ini teridentifikasi dari mimik Muhammadiyah yang begitu terobsesi dan berambisi kuat untuk ‘berkuasa’ dan memegang kendali politik. Selain itu, juga dari langkah yang diambil Muhammadiyah melalui kebijakan lembaga dengan birokratisasi aspirasi politik massanya agar keinginan berkuasa terealisasikan.

Ketiga, independensi kultural Muhammadiyah dapat tergoyahkan oleh rayuan, syahwat dan kepentingan politik praktis, yang menyebabkan Muhammadiyah kurang konsisten pada pemberdayaan masyarakat sipil melalui peranannya sebagai elemen terbesar civil society. Dampak lebih jauh adalah rentannya konflik kepentingan di kalangan aktivis. Akibatnya tidak saja menjadikan warga Muhammadiyah sebagai tumbal politik, melainkan juga proyek penguatan civil Islam yang selama ini dilakukan terbengkalai.

Keempat, dengan terjunnya ke kancah politik, Muhammadiyah akan lebih menekankan perjuangannya melalui upaya-upaya politik yang teraplikasikan dalam aktivitas politik praktis ketimbang membangun pondasi peradaban humanis melalui gerakan sosial. Sehingga konsentrasi gerakan dakwahnya akan terkurangi karena disibukkan dengan berbagai agenda-agenda politik yang banyak menguras porsi waktu.

Hasil penetapan tabulasi suara KPU secara manual yang menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi, dengan demikian mengeksplisitkan kegagalan Amien Rais melaju ke putaran kedua. Sebenarnya kekalahan ini sudah bisa ditebak. Justru masa depan Muhammadiyah yang akan sulit ditebak pasca kekalahan Amien. Karena dengan sedikit pengalamannya berpolitik praktis, setidaknya ada keinginan untuk memperjuangkan lebih keras lagi agar dapat berhasil menyalurkan animo pilitiknya, atau kembali sebagai gerakan moral yang memotivasi massa untuk melakukan aksi-aksi sosial.

Selain itu, Muhammadiyah akan gamang menentukan langkah selanjutnya dalam prioritas gerakannya, apakah akan tetap sebagai gerakan dakwah yang menjadi tenda kultural bangsa, menaungi seluruh kelompok masyarakat yang berbasis multikultural, atau sebagai ‘mesin politik’ yang melakukan mobilisasi massa melalui birokratisasi aspirasi politik warganya. Untuk itu, harus ditegaskan dukungan Muhammadiyah kepada Amien itu menjadi yang pertama dan terakhir dilakukan untuk menjaga konsistensi Muhammadiyah sebagai organisasi non-politis. Sudah seharusnya pilpres putaran pertama memberi pelajaran berarti untuk tidak terlibat dalam parsialitas politik. Pernyataan Syafi’i Ma’arif bahwa organisasi ini akan mengembalikan pilihan kepada hati nurani anggota menunjukkan adanya komitmen dari jajaran PP Muhammadiyah untuk “emoh” tergelincir pada lubang yang sama untuk kedua kali.

Di balik “daftar pesimisme” yang sempat tersembul di muka, dengan “kekayaan” Muhammadiyah akan generasi muda yang mempunyai daya kritis tinggi sebagai subaltern intelektual yang menempatkan diri sebagai lapisan critical opositional --meminjam istilahnya Moeslim Abdurrahman-- setidaknya Muhammadiyah akan kembali menjadi wadah gerakan dakwah yang mengembangkan misi sosialnya dengan menghadirkan Islam transformatif yang berwajah emansipatoris dan humanis, sebagaimana dikembangkan kaum muda yang terhimpun dalam subkultur Muhammadiyah seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Dengan tiga pilarnya, the new sosial movement, hermeneutic as tool of analisys dan ilmu sosial kritis, setidaknya menjadi pioner dalam pengembalian identitas Muhammadiyah yang belakangan tereduksi oleh pragmatisme-materialistik politik praktis.

Dengan kepekaan yang mereka miliki akan realitas keagamaan khususnya dalam frame Muhammadiyah, diharapkan Muhammadiyah kembali pada khittah-nya sebagai organisasi dakwah yang mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer dalam rangka upaya untuk membumikan nilai dan norma Islam yang ‘melangit’ oleh perkembangan zaman. []

Eko Priyono, wartawan BESTARI dan peneliti di Center for Religion and Social Studies (RëSIST) Malang dan kontributor JPPR

Konservatisme dan Islam Kaki Lima

Oleh Luthfi Assyaukanie

Beberapa hari lalu saya diwawancara oleh SBS, salah satu stasiun radio terbesar di Australia. Saya dimintai komentar tentang hasil survey Freedom Institute (FI) baru-baru ini yang menyebutkan besarnya jumlah kaum muslim di Indonesia yang mendukung atau bersimpati kepada Islam radikal di Indonesia. Hasil survei ini tentu saja mengejutkan banyak orang, apalagi masyarakat Australia, yang selama ini selalu dihibur dengan pernyataan bahwa mayoritas kaum muslim Indonesia moderat; kalaupun ada fenomena kekerasan yang mengatasnamakan Islam belakangan ini, itu hanyalah fenomena kecil saja, yang tidak mewakili masyarakat Muslim Indonesia secara umum.

Tapi, hasil survei itu benar-benar mengejutkan. Radikalisme Islam bukanlah fenomena minoritas. Benar bahwa para pelakukanya (orang-orang yang benar-benar aktif) hanyalah sekelompok kecil orang Islam saja, tapi dukungan dan simpati terhadap mereka, menurut survei itu, cukup banyak jumlahnya. Dengan kata lain, radikalisme Islam --yakni model pemahaman Islam yang keras dan tak toleran-- bukanlah masalah minoritas lagi, tapi benar-benar merepresentasikan jumlah besar (kalau bukan mayoritas) kaum muslim.

Yang juga mengkhawatirkan banyak orang dari survei itu adalah bahwa banyak dari pemimpin Islam yang selama ini dinilai liberal (atau moderat) ternyata tak cukup memperlihatkan keberhasilan mereka dalam mempengaruhi massa di bawahnya. Organisasi-organisasi besar semacam NU dan Muhammadiyah memang selalu dipimpin oleh orang-orang moderat (dan juga liberal), tapi massa di bawahnya masih banyak yang konservatif dan anti terhadap pemikiran liberal.

Mengapa semua itu terjadi? Mengapa begitu banyak kaum muslim yang mendukung atau bersimpati dengan pemikiran Islam yang keras dan intoleran? Mengapa konservatisme Islam tumbuh subur di Indonesia? Dalam wawancara itu, pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada saya.

Tentu saja, ada banyak jawaban untuk persoalan yang tidak sederhana itu. Tapi, di antara faktor penting yang bisa menjelaskan mengapa kecenderungan itu terjadi di Indonesia adalah sumber-sumber pemahaman Islam dan bagaimana sebagian besar kaum muslim memperoleh pemahaman tersebut.

Kita tahu bahwa sebagian besar kaum muslim di Indonesia bukanlah ahli agama dalam pengertian bahwa mereka dilatih dan dididik secara intensif dalam lingkungan agama. Saya kira, mungkin kurang dari 2 persen jumlah orang Indonesia yang memiliki kemewahan untuk meneliti dan memahami ajaran agama mereka dengan benar. Yang saya maksud “dengan benar” di sini adalah mengkajinya dengan perangkat ilmiah yang obyektif dan sesuai dengan standar keserjanaan yang umum.

Sebagian besar informasi keagamaan kaum muslim di Indonesia diperoleh lewat apa yang saya sebut “kaki lima.” Yakni, tempat-tempat yang menyajikan ajaran dan doktrin Islam secara sederhana dan instan. Islam kaki lima bisa ditemukan dalam mimbar-mibar khotbah di masjid, ceramah tujuh menit, kuliah keagamaan di TV dan radio, dan tempat-tempat lain di mana informasi tentang keislaman “diobral” secara murah dalam retorika-retorika keagamaan.

Sebagian besar orang yang datang ke mesjid atau yang mendengar ceramah-ceramah di TV atau radio, adalah orang yang tak memiliki kemewahan untuk merenung dan mencermati secara kritis apa yang dikatakan oleh para ustaz dan khatib. Selain karena mereka tak punya perangkat ilmu untuk menilai itu, mereka tak punya waktu karena disibukkan dengan hal-hal lain yang menjadi profesi mereka. Alhasil, apa yang mereka dengar dari ustaz atau khatib di “gerai-gerai kaki lima” itu, adalah apa yang menjadi pandangan keagamaan mereka.

Sebagian besar informasi keislaman yang disampaikan para khatib dan ustaz di mimbar-mimbar keagamaan masih sangat konservatif. Hal ini terkait dengan sumber-sumber pengetahuan dari mana mereka mengakses informasi itu. Kebanyakan buku atau pandangan yang menjadi rujukan mereka datang dari masa silam (seperti kitab kuning) di mana pandangan-pandangan konservatif mendominasi. Buku-buku fikih dan para ulama klasik yang hidup ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, kerap dikutip dalam mimbar-mimbar itu. Versi pemahaman Islam seperti inilah yang kemudian dikonsumsi para kaum Muslim.

Dengan sosiologi pengetahuan seperti itu, saya tidak terkejut dengan hasil survei FI dan JIL. Seorang muslim yang ditanya, misalnya, apakah seorang perempuan boleh jadi presiden, atau apakah syariat Islam itu mesti ditegakkan di Indonesia, tak ada pilihan lain baginya kecuali merujuk versi Islam yang dia dapatkan lewat mimbar-mibar ceramah “kaki lima,” yang kebanyakan konservatif itu. [Luthfi Assyaukanie]

Ijtihad, Upaya Menembus Kawasan Tak Terpikirkan

Oleh Abd Moqsith Ghazali

05/07/2005

Ijtihad adalah kerja untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan. Karena itu tak heran bila banyak intelektual yang gamang dan tidak berani ambil resiko dengan ijtihad. Seseorang yang punya kecakapan teknis dan kepiawaian metodologis pun tetap memerlukan nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat jumhur.

Artikel ini hadir untuk menegaskan bahwa aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh yang menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad, seperti telah diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lain, Islam sudah semenjak lama menjadi petai hampa dan artefak kuno yang hanya layak menjadi tontonan, bukan tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal-budi dan berijtihad untuk mengatasi problem-problem zamannya. Kanjeng Nabi Muhammad sendiri sesungguhnya adalah seorang mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi tegar dan lincah memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab suci yang menggelayut di awang-awang tanpa persambungan dengan bumi. Alquran bukan hanya sekumpulan kidung wahyu yang terlepas dari konteks, melainkan sebuah kerja ijtihad itu sendiri. Hanya para pendukung status quo saja yang menolak keniscayaan ini, demikian pemahaman yang bisa diambil dari Jalaluddin al-Suyuthi melalui bukunya Al-Ijtihâd: al-Radd `alâ man Akhlada wa Jahila `Anna al-Ijtihâd fî Kulli `Ashrin Fardhun.

Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang terbaca dalam tarikh. Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik yang kerap diidealisasi sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif. Tantangan kehidupan masa kini tidak akan persis sama dengan kehidupan abad pertengahan. Siapapun tahu, kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang kesilaman. Ada ngarai sosial-politik yang tak mudah ditimbun antara masa lalu dan masa kini.

Apa hendak dikata, tafsir-tafsir keagamaan terdahulu tidak jarang menjadi problem. Menimbulkan musykil. Gerak demokratisasi, penanaman kesetaraan dan keadilan gender, penegakan HAM, pribumisasi pluralisme, kadang tersendat oleh model-model tafsir masa lalu itu. Karena itu, ijtihad bisa saja diarahkan justru untuk mereformasi sejumlah pandangan keagamaaan yang hegemonik, totaliter, monopolistik, dan diskriminatif itu. Ingatan kolektif masa lalu yang hendak menempatkan perempuan di level kedua, memandang umat agama lain sebagai ancaman bahkan musuh, upaya menghidupkan kembali jasad khilafah islamiyah dan lain-lain, adalah pandangan primitif yang mesti ditolak. Tafsir keagamaan yang kian menenggelamkan umat ke dalam nista tak bisa diterima.

Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi oleh elite sehingga tampak balau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk mengembangkan rasionalisme dalam Islam. Berbeda dengan sikap agamawan konservatif yang meletakkan rasionalisme justru untuk membentengi dogma, maka dalam paradigma Islam liberal, rasionalisme digunakan untuk reinterpretasi dan mengapkir tafsir keagamaan yang tidak relevan dengan semangat zaman. Jika dalam skripturalisme, akal ditaklukkan dalam kehendak-kehendak harfiah teks agama, maka dalam paradigma progresivisme akal bisa berstatus sebagai nasikh atas hukum-hukum atau fikih Alquran yang tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Inilah yang saya maksud misalnya dengan kaidah jawâzu naskhi al-nushûsh al-juz’iyyah bi al-mashlahat (bolehnya mengamandemen teks-teks partikular dengan maslahat).

Dalam buku Fashlu al-Maqâl fî Mâ Baynal Hikmah wa al-Syarî`ah min al-Ittishâl, Ibnu Rusyd sendiri mengatakan, “Sekiranya suatu ajaran nyata-nyata bertentangan dengan rasio atau akal budi (al-burhan), maka ia tidak bisa lain kecuali mesti direformasi melalui medium takwil. Ia memberikan jalan, wa in kânat al-syarî`ah nathaqat bihi, fala yakhlû dhâhir al-nuthq an yakûna muwâfiqan limâ addâ ilaihi al-burhân fîh aw mukhâlifan. Fa’in kâna muwâfiqan falâ qawla hunâlik. Wa’in kâna mukhâlifan, thuliba hunâlika ta`wîluhu (hlm. 32). Ibnu Rusyd juga berkeyakinan bahwa “wa nahnu naqtha`u qath`an anna kulla mâ adda ilaihi al-burhân wa khâlafahu dhâhir al-syar`iy, anna dzâlika al-dhâhir yaqbalu al-ta’wîl (hlm. 3).

Terinspirasi oleh pernyataan Ibnu Rusyd ini, saya berani merumuskan kaidah “in khâlafa al-`aql wa al-naql, quddima al-`aqlu bitharîqi al-takhshîsh wa al-bayân”. Artinya, ketika terjadi ketegangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang dimenangkan adalah pertimbangan akal dengan jalan takhshîsh (spesifikasi ajaran) dan bayân (penjelasan rasional).

Ini berarti, kesempurnaan syariat tidak terletak dalam tubuhnya sendiri, tapi mesti disangga oleh manusia sebagai subyek sekaligus obyek dari syariat. Sebagai makhluk yang berakal, posisi manusia dalam proses pemaknaan ajaran sangatlah penting. Al-nâs `âqil wa al-nashsh ghairu al-`âqil (manusia adalah yang berakal, sementara teks itu sendiri tidak mempunya akal). Manusia memiliki kewenangan untuk menyortir partikular-partikular ajaran di dalam Islam (tanqîhu al-nushûshi al-juz’iyyah). Hanya di tangan manusia yang mampu mengoptimalkan akal budinya saja syariat atau ajaran agama akan mengalami penyempurnaan demi penyempurnaan. Dalam buku Ikhwânus Shafâ: Dars, `Irdh, Tahlîl (1991: 32), Umar Farrukh mengungkap pandangan kelompok Ikhwanus Shafa tentang syariat. Bagi Ikhwanus Shafa, syariat Kanjeng Nabi Muhammad itu nâqish. Anna al-syarâ`ah al-muhammadiyah nâqishatun. Dengan itu, Ikhwanus Shafa hendak mengatakan bahwa kesempurnaan syariat selalu berada dalam proses menjadi yang terus menerus (on-going process), dan tidak berhenti pada satu titik yang beku. Setuju dengan hujah ini, maka saya meresepsi pendapat jumhur yang membolehkan abrogasi (naskh) beberapa ajaran di dalam Islam.

Namun, tetap perlu disadari bahwa, mengkriya sebuah pemikiran baru (berijtihad) adalah sebuah kesepian, terlebih di tengah arus konservatisme dan fundamentalisme agama yang membuncah. Sepi, karena setiap ijtihad yang baik hampir selalu mewujud menjadi pembangkangan dan penyangkalan atas klise pemikiran. Ijtihad adalah kerja untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan. Karena itu tak heran bila banyak intelektual yang gamang dan tidak berani ambil resiko dengan ijtihad. Seseorang yang punya kecakapan teknis dan kepiawaian metodologis pun tetap memerlukan nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat jumhur.

Seorang mujtahid ternyata tidak cukup bermodal intelektualisme yang hebat, tapi juga mesti dibekali nyali yang tinggi. Karena itu, bagi yang tidak punya nyali atau setengah hati untuk berijtihad, statemen bijak ini layak direnungkan: “Idza ijtahada in ashâba falahu ajrâni, wa in akhtha`a fa lahu ajrun wahid.” Selamat berijtihad!

Muhammadiyah Harus Kembali pada Khittahnya

Dr. Yudi Latief:

18/07/2005

Arus deras migrasi aktivis ormas Islam ke parpol-parpol, salah satunya disebabkan lemahnya pemberdayaan aspek ekonomi di tingkat ormas. Pemimpin baru Muhammadiyah harus bekerja keras mengembalikan basis ekonomi warganya. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Dr. Yudi Latif, Wakil Rektor Universitas Paramadina, Kamis (7/7) lalu.

Arus deras migrasi aktivis ormas Islam ke parpol-parpol, salah satunya disebabkan lemahnya pemberdayaan aspek ekonomi di tingkat ormas. Pemimpin baru Muhammadiyah harus bekerja keras mengembalikan basis ekonomi warganya. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Dr. Yudi Latif, Wakil Rektor Universitas Paramadina, Kamis (7/7) lalu.

NOVRIANTONI: Bung Yudi, apa yang menarik dari Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang kemarin?

Yudi LatifDR. YUDI LATIF: Yang menarik tentu soal sustainability atau kemampu-bertahanan Muhamadiyah sebagai ormas Islam yang berpuluh-puluh tahun telah berkiprah secara sosial-budaya di Indonesia. Partai politik boleh jatuh bangun, tapi institusi sosial keagamaan yang lebih berjejak dalam operasi-operasi atau gerakan sosial dan kebudayaan, justru punya stamina yang jauh lebih panjang. Saya kira, rumusan tua itu merupakan fenomena yang sangat menarik dari Muhammadiyah.

Rahasia sustainability itu dikarenakan investasi cultural capital yang panjang, baik berupa lembaga-lembaga pendidikan, dan institusi-institusi sosial seperti rumah sakit, panti jompo, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kemampuan Muhammadiyah dalam merespons kebutuhan-kebutuhan aktual masyarakat yang termarginalisasikan oleh state atau negara. Dalam sejarah panjangnya, Muhamadiyah memang menunjukkan bahwa persoalan-persoalan kebangsaan ini tidak bisa hanya diselesaikan oleh organisasi-organisasi politik. Organisasi kemasyarakatan atau civil society yang independen, bertanggung jawab, dan mampu menginvestasikan dirinya untuk merespons tantangan masyarakat justru akan punya efektivitas luar biasa.

NOVRIANTONI: Jadi, rahasia sustainability Muhammadiyah terletak pada kemampuan memosisikan diri di tengah-tengah antara kepentingan negara dan kekuatan kapital?

YUDI: Ya, dia sadar betul, sebagai organisasi sosial, dia tidak perlu terlalu terobsesi untuk terjun dalam power gain atau proses-proses perebutan kekuasaan, tapi lebih memokuskan diri pada investasi politik dalam pemberdayaan masyarakat. Dari segi rutinisasi dan upaya bertahan pada apa yang diwariskan sebelumnya, Muhammadiyah pada era reformasi ini tampaknya masih berada di jalur civil society. Hanya saja, kita tidak melihat adanya terobosan rekonstruktif dan proses revitalisasi setelah Muhammadiyah mengalami ledakan kuantitatif pada organ-organ dan lembaga-lembaga yang ada di tubuhnya.

NOVRIANTONI: Muktamar kali ini, tampaknya kurang merespons persoalan-persoalan kebangsaan yang aktual. Anda melihat abainya Muhammadiyah dalam merespons isu-isu kebangsaan atau tidak?

YUDI: Saya kira, kalau itu yang terjadi, Muhammadiyah jelas telah keluar dari khittahnya. Sebab dasar dari mengadanya Muhammadiyah sedari awal adalah munculnya kesadaran tentang problem marginalisasi masyarakat yang timbul akibat ketidakadilan struktur kekuasaan. Artinya, selama ini negara yang tidak selalu memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat. Di masa kolonial ketika Muhammadiyah berdiri (1912) banyak sekali masyarakat yang tidak punya akses terhadap pendidikan. Pada waktu itu, Achmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah mengatakan bahwa sebenarnya perjuangan kemerdekaan tidak melulu harus lewat jalur politik. Yang juga penting adalah bagaimana mewaspadai kolonisasi kesadaran. Itu ia katakan ketika terjadinya domestifikasi masyarakat akibat ketertinggalan dan upaya menyesuaikan diri dengan modernitas. Karena itu, Muhamadiyah didirikan sebagai upaya menyesuaikan modernitas dengan konteks lokal melalui upaya penyadaran masyarakat bahwa kehadiran Barat tidak dinihilkan sama sekali. Dia ada di dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, cara yang terbaik untuk menghadapinya adalah dengan mengambil aspek-aspek terbaik dari modernitas dan kehadiran Barat itu sendiri demi memberdayakan masyarakat. Itu semua dilakukan dengan cara meniru metode-metode dan mengakomodasi beberapa subyek-subyek yang dipromosikan Barat sendiri, seperti teknologi pendidikan dan organisasi-organisasi modern. Jadi, Barat dihadirkan secara sadar, tapi juga diterima dengan sangat kritis, terutama tentang mana yang bisa diakomodasi dan mana yang harus dinafikan.

NOVRIANTONI: Bagaimana Achmad Dahlan bisa melakukan itu?

YUDI: Seorang Dahlan itu menarik karena meski memeroleh pendidikan di Haramain, dia juga berinteraksi dengan Rasyid Ridha. Dan itu terjadi di awal tahun 1900-an. Dan begitu pulang dari Haramain, ia juga punya kelenturan untuk mengakomodasi lingkungan-lingkungan epistemik Barat seperti yang telah diadopsi Budi Utomo. Dia juga mampu bersosialisasi dengan lingungan Budi Utomo yang berpendidikan Barat. Dari proses interaksi yang selalu berpikir secara global itu, ia mampu menyerap unsur-unsur modernisme Islam ala Abduh dan berdialog dengan pikiran-pikiran yang dikembangkan Budi Utomo dan lain-lain. Hasilnya, dia memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal. Jadi, dia tidak terjebak dalam kolektivisme yang menolak apa pun yang datang dari Barat, sekaligus tidak terlalu terobsesi dengan kecenderungan rejeksionisme yang melihat Barat sesuatu yang harus dinafikan. Inilah yang menarik dari sosok Dahlan.

Karena itu, meski orang memandang Muhamadiyah selalu dalam kategori Islam yang puritan, aspek modernisme yang dicontohkan Dahlan justru mampu mengakomodasi berbagai elemen di dalam masyarakat. Dalam sejarahnya, Muhamadiyah awal juga disokong orang-orang Kweekschool, sekolah pendidikan guru yang notabene tidak punya pemahaman tentang Islam, tapi mengerti betul teknik dan metode pedagogi serta menguasa bahasa Barat. Semua itu seakan-akan merupakan kekuatan yang tidak punya unsur-unsur konstitutif atas perkembangan dakwah, tapi justru menjadi organ penting dalam perkembangan Muhamadiyah awal.

NOVRIANTONI: Selain terinspirasi pembaharuan Abduh, Muhammadiyah awal juga banyak diinspirasi puritanisme Muhammad bin Abdul Wahab. Bagaimana bisa puritanisme dan modernisme berpadu di Muhammadiyah?

YUDI: Selama ini, orang memang melihat Muhamadiyah dari satu sisi, yaitu fikih dan teologinya. Dilihat dari fikih, Muhamadiyah memang mengadopsi mazhab Hanbali dan teologi Wahabi. Tapi di sisi lain, ia juga terinspirasi gagasan modernisme Muhammad Abduh yang memberi ruang bagi tajdid dan proses introduksi atau adopsi pikiran-pikiran modern. Jadi dari situ ada kemungkinan mengadopsi unsur-unsur baru dari Barat. Ketika sistem khilafah tumbang di Turki, muncul rencana konfensi Islam di Kairo dan juga di Arab Saudi. Waktu itu di lingkungan Muhammadiyah ada pertentangan, konferensi mana yang mau diikuti. Ternyata Muhamadiyah lebih memilih konferensi Kairo.

Dari situ jelas, dalam hal pilihan antara Wahabisme yang lebih radikal dan Abduh yang lebih lentur, Muhamadiyah mengambil Abduh. Saya kira, Muhammadiyah awal memang mampu mengindegenisasi modernisme dan Wahabisme dengan konteks-konteks kebudayaan Jawa yang lebih akomodatif. Dia mampu melakukan dialog-dialog dengan elemen-elemen lain sehingga mampu berada di titik moderat.

NOVRIANTONI: Apa yang membuat Muhammadiyah relatif sukses menggabungkan antara puritanisme dan modernisme?

YUDI: Kalau menjelmakan Wahabisme seperti di Arab Saudi, Muhammadiyah mungkin bisa menjadi picik. Sebab di Saudi, fikih dan teologi corak Wahabi dijadikan dasar justifikasi keberlangsungan sebuah rezim. Rezim Saudi menjadikan fikih dan teologi Wahabi sebagai ideologi atau penyangga ortodoksi kerajaan. Karena menjadi penyangga ortodoksi rezim, maka ia harus dikuduskan. Ia harus menjadi seperti Pancasila atau asas tunggal yang harus dipelihara, disosialisasikan, ditatarkan dan dikuduskan. Keduanya menjadi dasar mengada atau pun dasar legitimasi suatu rezim.

Nah, pada Muhamadiyah di Indonesia, Wahabisme tidak pernah menjadi penyangga ortodoksi negara. Dalam perkembangannya, Muhamadiyah tidak pernah menjadi seperti Wahabisme di Saudi yang menjelmakan diri di dalam lingkaran kekuasaan, tapi justru mengambil jalan di luar kekuasaan.

NOVRIANTONI: Artinya, kita beruntung puritanisme Muhammadiyah justru disalurkan ke aktivitas-aktivitas civil society?

YUDI: Pertama, pada aktivitas-aktivitas civil society dan gerakan kebudayaan. Dalam perjumpaannya dengan kekuatan masyarakat, Muhammadiyah sadar bahwa dia harus berdialog, karena masyarakat bukan sesuatu yang monolitik, bukan sesuatu yang homogen. Mau tidak mau, akan terjadi proses negosiasi. Dan karena itu, fikih yang merezim tidak pernah bisa dipakai dalam proses itu. Dia juga harus mengadopsi unsur-unsur lain yang lebih penting seperti metode-metode dan pendekatan Barat yang terbukti dalam konteks zamannya jauh lebih diinginkan masyarakat. Itulah yang kemudian diakomodasi Muhammadiyah. Kedua, Muhamadiyah secara sadar dan sejak dari awal sudah menempatkan dirinya di luar dunia politik formal. Wahabisme sebagai ajaran, tidak pernah menjadi Pancasilanya Muhammadiyah.

NOVRIANTONI: Di era reformasi ini, banyak ormas-ormas Islam yang sudah terseret cukup jauh ke dalam politik praktis. Apakah Muhammadiyah masih berada pada track mereka yang sebenarnya?

YUDI: Akibat keterlibatan Amien Rais di dalam politik praktis, memang ada kesan bahwa Muhamadiyah mau tidak mau harus berada di balik gerakan atau pun kepentingan politik yang diusungnya. Tapi sejauh ini, orang Muhammadiyah masih bisa membedakan antara PAN dan Muhamadiyah. Masih ada jarak yang telatif antara keduanya, dan tampak tidak sangat berdempetan. Memang ada arsiran, tapi tetap ada rongga di mana orang bisa membedakan yang mana suara Muhammadiyah dan mana suara PAN. Posisi seperti itu saya kira harus terus dijaga karena sejarah Indonesia ini masih panjang.

Keunikan atau kekuatan Muhammadiyah memang karena selalu bisa menempatkan dirinya di dalam percaturan politik. Meski secara perseorangan atau faksi-faksi tertentu di Muhammadiyah terjun ke dunia politik praktis, Muhammadiyah tidak pernah menjadikan dirinya sebagai organisasi politik. Tahun 1930-an, Muhammadiyah memang pernah mendukung Partai Islam Indonesia (PSI) dan juga mendukung Masyumi. Tapi sebagai organisasi, Muhamadiyah tetap punya komitmen terhadap organisasinya, dan gerakan-gerakan kebudayaan dan kemasyarakatan. Itulah yang membuat dia mengada sampai sekarang.

Sekarang memang ada kehawatiran kalau sesuatu yang membuat Muhammadiyah survive dirongrong oleh passion atau godaan besar politik praktis yang begitu kuat sekarang ini. Saya yakin, kalau Muhammadiyah bermetamorfosis menjadi gerakan politik, atau kalau kepemimpinan Muhammadiyah tega menjadikannya kendaraan politik, percayalah kalau Muhammadiyah akan menjadi organisasi yang tidak punya pengaruh dan akan menjadi kerdil. Sebab, secara politik, kalangan Islam perkotaan sudah sangat fragmented. Orang Muhamadiyah sudah tersebar di PKS, PBB, PPP, dan bahkan di Golkar. Jadi, sebenarnya kekuatan Muhammadiyah sudah tersebar ke mana-mana.

Karena itu, andai Din Syamsudin mengibarkan bendera Muhammadiyah sebagai bendera partai tertentu, atau meletakkannya di bawah subordinasi partai tertentu, percayalah kalau itu akan membuat konstituen Muhammadiyah justru semakin mengecil. Sebaliknya, jika Muhammadiyah bisa ditempatkan sesuai khittahnya, sebagai gerakan kemasyarakatan dan kebudayaan, maka elemen-elemen yang secara politik berserakan akan menemukan common denominator atau titik temu dan titik jangkarnya di Muhamadiyah. Di dalam ruang budaya dan sosial itulah Muhamadiyah bisa menjadi payung besar bagi anggotanya yang tersebar di berbagai partai politik.

NOVRIANTONI: Bagaimana masa depan Muhammadiyah di bawah Pak Din yang dikenal sebagai politisi ulung itu?

YUDI: Saya kira, Pak Din memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya dibanding kontestan lain ada pada kenyataan bahwa ia figur yang relatif muda dan secara nasional dikenal banyak orang. Kelemahannya, by nature ia memang cenderung lebih berpikir politis. Padahal sejauh yang kita simak, yang dikehendaki orang dari pemimpin baru Muhammadiyah adalah sebuah kejujuran. Artinya, bagaimana ia bisa menempatkan kepemimpinan itu betul-betul untuk kemaslahatan jam’iyah Muhamadiyah, bukan untuk kepentingannya sendiri atau untuk mengantarkan obsesi-obsesi politiknya.

Di samping soal kejujuran, banyak juga pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Muhammadiyah ke depan, dan itu perlu kerja keras dan dedikasi tinggi. Muhammadiyah juga perlu memperbaiki institusi-institusi pendidikan yang mereka punya. Kita tahu, dari sekian ratus sekolah Muhammadiyah, hanya satu-dua saja yang punya reputasi baik secara nasional.

NOVRIANTONI: Apakah Pak Din perlu mengubah wataknya politisnya dalam memimpin Muhammadiyah?

YUDI: Ya. Pepatah lama mengatakan, “kalau kita memimpin, maka kita harus lebih besar dari diri kita sendiri”. Artinya, dia harus memahami betul watak Muhamadiyah yang dia pimpin. Kalau nahkoda ini tidak handal, maka dia akan membawa organisasi besar itu ke liang jurang. Karena itu, saya kira dia memang perlu menarik batas yang jelas antara kepentingan yang sifatnya pribadi dan kepentingan organisasi. Kalau memang dia memiliki kecenderungan ke arah politik, semoga dia bisa melengkapi organisasinya dengan rekrutmen kepimimpinan yang lebih baik, yang memiliki kecenderungan pemberdayaan jam’iyah Muhammadiyah. Sapta marga Muhamadiyah juga menyebutkan perlunya pemberdayaan perempuan. Setelah sekian puluh tahun Muhamadiyah berdiri, memang ada Aisyiah, tapi Aisyiah sendiri didesain untuk memisahkan antara mana yang bisa dilakukan laki-laki dan perempuan. Di dalam pemilihan 13 pengurus pusat Muhammadiyah kemarin, posisi perempuan jelas sangat terpinggirkan.

NOVRIANTONI: Artinya secara sosiologis harapan kesetaraan gender tidak berkembang di Muhamadiyah?

YUDI: Tidak terjadi. Faktanya, Aisyiah hanya mengurusi urusan perempuan. Muhammadiyah sebagai gerakan urban yang selama ini selalu menyerap unsur-unsur modernitas, dalam hal pemberdayaan perempuan justru masih jauh terbelakang dibanding perkembangan zaman yang menuntut aktualisasi perempuan lebih luas. Orang tidak harus menjadi pendukung feminisme untuk terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat. Keterlibatan itu bisa dikarenakan tuntutan-tuntutan aktual saja; sekarang penduduk ini sudah mayoritas perempuan, dan banyak sekali bidang-bidang yang bisa dikerjakan perempuan. Mereka yang sudah berpendidikan tinggi, harus diberi ruang yang lebih partisipatif di dalam organisasi. Siapa tahu itu justru akan menjadi driving force perkembangan organisasi-organisasi kebudayaan Muhamadiyah.

NOVRIANTONI: Muhamadiyah dan NU sejauh ini sudah giat dalam gerakan anti-korupsi. Apa kekurangan gerakan itu selama ini?

YUDI: Agenda pemberantasan korupsi memang tidak bisa bersifat legalistik saja. Tidak cukup mengandalkan proses penegakan hukum saja, tapi harus juga didukung pemberdayaan ekonomi masyarakat. Yang membuat derasnya arus Muhammadiyah masuk ke sektor birokrasi atau partai, justru lemahnya infrastruktur ekonomi yang dulu menjadi ciri khas Muhammadiyah. Dulu Muhammadiyah lahir dari kandungan para pedagang. Ketika mereka cukup berdaya, mereka mampu menjadi penyangga gerakan-gerakan kultural dan pendidikan. Ketika Muhammadiyah kurang mampu memberdayakan aspek ekonomi pendukungnya, pelan-pelan pesonanya hilang. Dulu, Clifford Geertz pernah menyebut bahwa para santri itu adalah treder. Dalam perkembangannya, lemahnya unsur-unsur penyangga ekonomi pedagang santri, menimbulkan migrasi orang-orang Muhamadiyah secara luar biasa ke sektor birokrasi dan partai politik.

Karena itu, pemberantasan korupsi dan pemberdayaan masyarakat itu harus berjalan beriringan. Pemimpin baru Muhammadiyah harus sungguh-sungguh memperhatikan kembali khittah dasarnya sebagai organisasi yang kansen pada basis ekonomi massanya. []

Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah

Oleh Ahmad Najib Burhani
25/07/2005

Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam Muktamar. Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar.

Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Keputusan ini sama sekali tidak mengejutkan dan hanya menjadi potret mini dari apa yang terjadi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), 3-8 Juli 2005. Selama berlangsungnya Muktamar, resistensi warga Muhammadiyah, baik di tingkat pusat maupun daerah, terhadap perempuan memang terasa cukup kuat.

Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dari 35 PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah), hanya 8 PDM saja yang mengikutsertakan perempuan dalam Muktamar di Malang itu. Padahal, organisasi Islam modernis ini sudah mewajibkan kepada masing-masing PDM untuk mengikutsertakan satu orang perempuan sebagai peserta Muktamar. Bagi Hisyam, kondisi ini merupakan cermin keengganan kaum bapak di Muhammadiyah untuk duduk setara dengan perempuan.

Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih nyata ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010, tak ada satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno, mantan Ketua Umum Aisyiyah (organisasi ibu-ibu Muhammadiyah) yang sekarang kembali terpilih untuk memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia menempati urutan ke-40 dan hanya berselisih satu suara dari Prof Syafri Sairin dari Yogayakarta yang menempati urutan ke-39. Terpentalnya nama Chamamah ini, mungkin, merupakan konsekuensi logis dari minimnya utusan perempuan dalam Muktamar.

Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus untuk berpartisipasi dalam Muktamar. Namun yang paling menarik bagi saya bukanlah jumlah perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang menjadi perwakilan dari PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang diambil oleh orang-orang Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.

Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah dibuka lebar-lebar. Bahkan, mereka mendapat kuota khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk dalam daftar 13 pimpinan eksekutif organisasi terbesar kedua di Indonesia ini. Sayangnya, dalam sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk memasukkan perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode mendatang mendapat penolakan sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam sidang pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini diberi kuota untuk masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya mereka akan meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.

Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar. Seusai sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan ketua Muhammadiyah yang juga rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan-keputusan Muhammadiyah pada tahun 1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada perempuan untuk menduduki jabatan ketua. Amin melanjutkan bahwa dirinya bahkan sudah menunjukkan buku hasil Muktamar tahun-tahun lampau itu kepada orang-orang yang menentang perempuan menjadi ketua. Namun tetap saja pandangan mereka tak berubah.

Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus. Kasus lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap orang-orang perempuan yang mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,” teror kata-kata atau ungkapan tidak sopan seringkali muncul ketika seorang perempuan mencoba menyampaikan pandangannnya dalam beberapa sidang pleno. Memang, banyak diduga bahwa orang-orang yang tidak santun itu adalah para penyusup yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi Muhammadiyah. Namun dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan organisasi ini sangat lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua organisasi kemasyarakatan, menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis organisasi garis keras.

Akar-akar Ketimpangan Gender

Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhammadiyah (PM) dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) --juga antara Pemuda Anshor dan Fatayat NU, adalah bagian dari segregasi laki-laki dan perempuan yang mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan. Pembedaan organisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam sektor domestik dan pendidikan, sementara laki-laki memiliki kawasan yang lebih luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu dari akar-akar tempat berpijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender inequality, bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama dalam segala hal dan karena itu harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja, pendidikan, jabatan dan sebagainya.

Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya mengurus laki-laki dan perempuan tidak hanya mengurus perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling tidak landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran kesetaraan gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki untuk masuk dalam organisasi perempuan dan sebaliknya, perempuan masuk dalam organisasi laki-laki.

Bagi kelompok konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai sister organization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan penolakan mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah membubarkan dulu organisasi Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama berkompetisi dalam perebutan kepemimpinan.

Kekalahan Kubu Liberal

Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis ini. Kekalahan ini akan semakin komplit jika nanti Muhammadiyah betul-betul mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah akan sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak terjadi dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih sering menjadi korban daripada mendapatkan manfaat dari gerakan ini.

Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomana Muktamar ini benar-benar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya. Selain masalah perempuan, Muktamar kali ini juga melahirkan keputusan-keputasan yang berseberangan dengan gagasan-gagasan liberalisme.

Komisi A (Umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majlis Tarjih yang ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan kata-kata “dan Pengembangan Pemikiran Islam” pun kini digugat. Tambahan 4 (empat) kata tersebut dituntut untuk dibuang. Selanjutnya, Majlis ini dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majlis Tarjih” saja. Seirama dengan itu, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala pemangkasan terhadap gagasan-gagasan liberalisme. Salah satu peserta di Komisi ini menginginkan agar PP Muhammadiyah membubarkan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), atau paling tidak menghilangkan huruf M (Muhammadiyah) dari namanya.

Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagai negara bagi kaum konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi orang-orang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C. Ricklefs (profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang seabad ini, Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini para pengamat dan peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun setidaknya fenomena Muktamar ke-45 bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah. Wallahu a’lam.[]

Ahmad Najib Burhani, Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), aktivis Pemuda Muhammadiyah