Rabu, 16 Juli 2008

Asa Ekonomi Bagi Ormas Islam

Oleh Ahmad Suaedy*

Kritik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terhadap Muhammadiyah pada pembukaan Tanwir organisasi Islam itu di Yogyakarta (26/4) menarik disimak, bukan hanya oleh Muhammadiyah sendiri tetapi juga oleh organisasi massa Islam lainnya seperti Nahdlatul Ulama (Jurnal Nasional, 27/4).

Menurut Presiden, meskipun Muhammadiyah banyak sumbangannya dalam pendidikan dan kesehatan tetapi belum maksimal dalam peningkatan ekonomi rakyat. Yang menarik pula dari kritik itu, Presiden tidak hanya menempatkan peningkatan ekonomi sebagai tantangan untuk keluar dari kemiskinan melainkan juga agar Indonesia bisa lepas dari dominasi kapitalisme global.

Membaca kritik itu, ingatan kita segera melayang ke latar belakang munculnya ormas-ormas Islam awal abad yang lalu. Semua organisasi itu pada awal kemunculannya diinspirasi oleh di samping kondisi kemiskinan juga untuk memerdekakan diri dari kolonialisme.

Dimulai dari Serikat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi dagang yang dipelopori kalangan saudagar Islam di Surakarta awal abad yang lalu. Ia dilatari politik kolonial yang lebih memberikan kesempatan kepada Belanda dan etnis China dengan serta merta mempersulit – menutup - peluang pedagang pribumi. Langkah SDI ini ternyata mengobarkan semangat kalangan saudagar pribumi untuk merebut kesempatan dan menuntut antidiskriminasi bagi semua sektor perdagangan.

NU pada mulanya dirintis dari sayap ekonomi, yaitu Nahdlatul Tujjar (NT) sekitar tahun 1915-an sebagai usaha meningkatkan kemampuan usaha bagi ummatnya dan bersaing dengan pedagang kulit putih dan etnis China. Akan halnya Muhammadiyah, meskipun ia dirintis dari pendidikan dan kesehatan tetapi usaha meningkatkan ekonomi tidak diabaikan sama sekali. Berbagai industri batik di Pekalongan dan pengecoran besi di Klaten tidak lepas dari campur tangan kalangan Muhammadiyah dan NU.

Masalahnya, meskipun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad tetapi kini tantangan jauh lebih berat dari dulu dalam dua konteks tersebut, meningkatkan ekonomi rakyat dan lepas dari kungkungan kapitalisme global.

Kontradiksi politik industrialisasi
Industrialisasi memang tidak bisa dipungkiri bagi sebuah bangsa yang ingin maju, demikian pula Indonesia. Tetapi industrialisasi tanpa politik keperpihakan kepada rakyat akan membuat mereka terhimpit dan kehilangan napas.

Dalam acara berkumpul seperti arisan dan tahlilan, dan bahkan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, kita akan menemukan air meneral, makanan kecil, kopi, teh, semua dalam kemasan pabrik. Rakyat dimanjakan dengan produk serba instan.

Kita tidak menentang model-model kemasan yang menarik dan praktis supaya lebih efisien, bersih, tetapi apa peran masyarakat dalam industrialisasi. Praktis, mereka adalah konsumen semata. Sementara harga hasil pertanian yang menjadi tulang punggung penghidupan mereka terus menurun dari segi nilai tukar, pada saat yang sama mereka dipaksa melakukan pengeluaran ekstra untuk kemasan hasil produksi pabrikan.

Kalau peluang ekonomi yang paling dekat dengan mereka saja, yaitu makanan, tidak lagi ada peluang akses untuk ikut dalam proses guna peningkatan nilai tambah ekonomi, apalagi yang lebih jauh seperti industri garmen, mesin dan industri berat.

Industri Rumahan
Berbagai inisiatif telah dilakukan masyarakat sebagai kiat menghindari ganasnya industrialisasi yang tanpa keperpihakan, seperti industri kecil dengan memanfaatkan alam di sekitar mereka, seperti tapas (kulit serabut) pohon kelapa, kulit kelapa, kulit pohon pisang, lidi, kayu dan sebagainya.

Namun sebagian besar mereka, sangat tergantung pada pasar ekspor. Ini karena pasar dalam negeri tidak mampu menyerap industri kecil yang berorientasi hobi dan kelangenan dengan marjin yang menjamin kelanjutan usaha.

Para industriawan kerajinan ini pun banyak mengeluhkan ketergantungan mereka pada trading atau pihak pengepul untuk ekspor karena keterbatasan kemampuan mereka untuk bisa berhubungan langsung dengan pembeli (buyer) dan pengguna (user) di luar negeri. Menurut mereka, sangat sedikit yang dilakukan pemerintah, misalnya, memfasilitasi mereka untuk tujuan itu. Banyak birokrat justru memberi peluang monopoli kepada para trading yang sudah mapan sehingga mempersulit munculnya para industriawan kerajinan kecil berhubungan langsung dengan pemberli dan pengguna.

Hemat saya, ada dua tantangan pokok peningkatkan ekonomi rakyat dan melindungi mereka dari kapitalisme global. Pertama, secara politik harus ada keperpihakan dalam industrialisasi yang memberikan akses dan kesempatan kepada rakyat untuk ikut dalam proses industrialisasi. Kedua, harus ada usaha mencari jalan atas kreativitas masyarakat dalam industri kerajinan maupun hasil pertanian bagi peluang ekspor, sehingga mereka memperoleh marjin yang cukup untuk hidup berkelanjutan. Orientasi yang terlalu besar pada penyediaan modal tanpa diimbangi peluang pasar, justeru berisiko menjebak mereka pada hutang yang tak terbayar.

Ini saatnya ormas Islam untuk menempatkan diri kembali dalam usaha meningkatkan ekonomi rakyat dan merebut kesempatan dari monopoli kapitalisme global. Kritik presiden mestinya menjadi asa bagi ormas Islam untuk ini.

Penulis adalah Direktur Eksekutif the WAHID Institute.

Tidak ada komentar: