Rabu, 16 Juli 2008

Prof Drs A. Malik Fajar, MSc, Wakil Ketua PP Muhammadiyah

Kamis, 28 April 2005


Seharusnya Lepas dari Politik Praktis

Nama Prof Drs A. Malik Fadjar, MSc, masuk dalam daftar usulan calon anggota Pengurus Pusat Muhammadiyah masa jabatan 2005-2010. Dalam daftar yang diusulkan 134 anggota Tanwir Muhammadiyah sampai pekan ini, mantan Menteri Pendidikan Nasional ini "lebih unggul" daripada Prof Dr H M. Amien Rais, mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah.

Malik, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang--yang akan menjadi tuan rumah muktamar ke-45, Juli nanti--mengaku belum memutuskan apakah akan maju menjadi calon Ketua PP Muhammadiyah. "Nanti akhir Mei baru bisa memberi jawaban," katanya kepada Yudha Setiawan dari Tempo kemarin di rumahnya, kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Berikut ini petikan wawancaranya.

Perubahan apa yang Anda berikan jika nanti memimpin Muhammadiyah?
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan harus lebih responsif dan cepat tanggap terhadap perubahan-perubahan di masyarakat. Saat ini Muhammadiyah sangat lambat dalam melakukan terobosan. Muhammadiyah juga harus bisa mengembangkan usaha yang ada saat ini untuk lebih berkembang lagi, mempertegas lagi dalam bentuk nyata pemikiran Muhammadiyah bagi masyarakat, membuat Muhammadiyah lebih mengakar dengan mengembalikan cabang pada tingkat kecamatan dan wilayah pada level kabupaten. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dikembalikan pada basis kampus, bukan daerah.


Tentang kehidupan berpolitik, bagaimana seharusnya Muhammadiyah bersikap?
Memang tidak bisa dimungkiri banyak anggota yang terjun di partai politik dan di Muhammadiyah. Itu sah-sah saja. Muhammadiyah memberi keluasan dan keluwesan bagi anggotanya untuk berkiprah di partai. Organisasi ini sangat terbuka dan plural, jadi sangat mendukung setiap aktivitas anggotanya. Mungkin bagi yang bukan pengurus agak mudah. Tapi bagi pengurus Muhammadiyah, ada rambu-rambu yang harus ditaati. Peraturan di Muhammadiyah sudah cukup bisa mengatur. Banyak anggota yang memilih PAN, tapi kami juga tetap menerima yang tidak memilih PAN. Mas Hajriyanto (Hajriyanto Y. Tohari) itu dari Golkar dan di sini sebagai wakil sekretaris. Tapi seharusnya Muhammadiyah bisa lepas dari politik praktis agar bisa berkiprah dan masuk ke jalan yang besar, bukan gang-gang kecil, karena terikat partai.


Bagaimana dengan aspirasi politik anak mudanya yang ingin Muhammadiyah punya partai sendiri?
Saya agak kaget dengan munculnya ide Perhimpunan Amanat Muhammadiyah (PAM) dan hampir menimbulkan perpecahan. Sebenarnya itu muncul karena kurang puas saja. Muhammadiyah selalu menonjolkan kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah. Mungkin kami juga terbawa dalam ritme ini seperti yang dialami oleh partai atau ormas lain yang pecah. Tapi ke depan peran anak muda dan aspirasinya harus diberi porsi dan diterima ke hal yang lebih luas lagi. Karena Muhammadiyah sangat terbuka akan hal itu. Paling tidak ke depan Muhammadiyah harus jelas dalam berpolitik, maksudnya untuk tetap menjadi organisasi saja.


Apa kekurangan Muhammadiyah menurut Anda?
Itu tadi, bisa dibilang Muhammadiyah kurang tanggap terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat dan tidak dapat memberi solusi yang tepat akan hal itu. Saat ini juga Muhammadiyah kurang mencerdaskan bangsa. Dulu, dalam berdakwah Muhammadiyah bisa melalui tulisan-tulisan yang sangat kritis dan bagus. Muhammadiyah juga terlalu eksklusif, dalam arti pada golongan tertentu saja, di level menengah dan berpendidikan. Muhammadiyah harus bisa lebih terbuka lagi dengan semua.


Banyak yang mengatakan, kapasitas manajerial Anda lebih menonjol ketimbang keulamaan?
Ya, memang benar, akan lebih baik jika Muhammadiyah dipimpin orang yang lebih alim. Tapi ukuran kealiman dan keimanan kan kurang jelas. Untuk itu, saya berpikir berulang kali untuk memimpin Muhammadiyah, karena tindakan, pikiran, dan ide harus sesuai dengan kenyataan yang ada.


Apa yang membedakan Muhammadiyah dengan ormas lainnya?
Kepemimpinan di Muhammadiyah itu kolektif dan sangat tidak setuju dengan pengultusan seseorang. Kalau bicara dengan Syafi'i Ma'arif, misalnya, Anda akan merasa lebih santai daripada bicara dengan ulama lain. Kami juga tidak menggunakan kiai haji untuk menyebut nama seseorang, cukup namanya. Mas Moeslim Abdurrahman itu sangat pandai dalam bidang agama, dan kami juga punya banyak ahli tafsir, tapi mereka tidak mau menonjolkan diri.


Jadi Anda bersedia dipilih memimpin Muhammadiyah pada periode mendatang?
Sampai hari ini saya belum bisa memutuskan. Saya melihat Pak Safi'i Ma'arif merupakan sosok yang tepat untuk kembali memimpin Muhammadiyah. Cukup berat memimpin Muhammadiyah, jadi perlu pemikiran yang panjang. Kira-kira akhir Mei saya baru bisa memberi jawaban.

Tidak ada komentar: