Minggu, 13 Juli 2008

BERFIKIR MERDEKA - ERROS DJAROT

Kamis, 13 Juli 2006, 19:36:59

NU, Muhammadiyah dan Nasionalisme Indonesia

SAYA membayangkan, betapa luar biasa indahnya bila para pemimpin umat yang bergabung dalam Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dapat duduk bersama, bekerja sama dan sama-sama saling menunjang dalam upaya meningkatkan kualitas kesejahteraan umat (rakyat). Bila hal ini dapat diwujudkan, betapa kokohnya bangunan kekuatan Islam Indonesia yang penuh toleransi terhadap pluralisme --lewat asas kehidupan saling asah-asih-asuh.

Itulah yang menjelaskan Indonesia mengapa dapat mencapai kemerdekaannya dan berhasil melahirkan UUD 45 dengan rekor sangat membanggakan --dipupuskannya keinginan memaksakan berlakunya Piagam Jakarta. Semata-mata karena semangat Nasionalisme Indonesia yang diwariskan oleh kesadaran persaudaraan (brotherhood) dan hasrat hidup bersama sebagai komunitas bangsa terjajah yang mengkristal menjadi dasar gerakan perjuangan kemerdekaan.

Pasca kemerdekaan seputar tahun ’49 s/d ’59, merupakan masa transisi bagi bangsa Indonesia dalam hal belajar menentukan nasib sendiri di dalam berbagai kehendak setiap kelompok, suku, agama dan golongan yang tergabung di sebuah negara baru merdeka. Masa-masa transisi ini merupakan masa pembelajaran yang sangat kaya, penuh dinamika dan dialektika. Suasana multi Partai semasa bangunan politik menganut sistem parlementer -- Republik Indonesia Serikat (RIS) ini, telah menjadi ajang pertarungan antar kepentingan kelompok. Maka ia pun gagal mencapai tujuan mengolah berbagai perbedaan menjadi kekuatan yang dimiliki bangsa ini.

Lewat Dekrit 5 Juli 1959, Indonesia menyatakan diri kembali ke UUD ’45 dengan sistem presidensil menjadi pilihan. Berbagai kepentingan yang mewakili ego kelompok dibawah payung demokrasi liberal pun kehilangan ruang gerak setelah demokrasi terpimpin mengambil alih. Namun keterpimpinan ini pun ternyata tak cukup kuat dalam mencairkan ego-ego politik kelompok aliran dan golongan yang terlanjur saling merasa tak berada dalam satu kubu. Warga Nahdliyin yang tergabung dalam Partai NU (dulu) dan warga Muhammadiyah yang mayoritas tergabung dalam Parta Masyumi, kian mengental sebagai dua kubu yang saling bersaing memperebutkan posisi politik dan kekuasaan.

Di masa pemerintaha Ordre Baru yang menghendaki rakyat buta politik, NU dan Muhammadiyah menyatakan kembali murni sebagai organisasi masyarakat keagamaan. Baru setelah era reformasi dicanangkan, libido politik NU dan Muhammadiyah yang lama terpendam ini pun kembali bereaksi dan menggerakkan hasrat berpolitik melalui cara tak langsung lewat perwakilan Partai-Partai sebagai representasi simbol mereka (PKB dan PAN).

Sekarang ini, saat partai-partai ternyata tak mampu menjawab permasalahan umat, bisakah kaum Nahdliyin dan Muhammadiyah kembali kompak dan bersatu dalam persaudaraan sebagaimana masa-masa perjuangan kemerdekaan? Secara teoritas, sangat mungkin dan Insyaallah bisa. Masalah utamanya , membangun kesadaran bahwa kita sebagai bangsa pada hakekatnya tengah dihadapkan pada praktek penjajahan gaya baru (Neo Kolonialisme - Neo Imperialisme), perlu dipahami dan dihayati oleh kedua kubu. Apalagi bila para pimpinannya menyadari bahwa yang diperebutkan dalam setiap tarik menarik politik kekuasaan, termasuk Pemilu, hanyalah sebuah pepesan kosong. Pepesan itu toh hanya berisi tumpukan kwitansi hutang kepada negara-negara kaya yang harus rakyat bayar dengan darah, keringat dan air mata. Andai pun, kemenangan diraih salah satu kubu, dalam keadaan umat se-ichwan saling terpisah dan terpecah, hal ini justru merupakan bekal paling cepat untuk meraih kekalahan (bangsa) dalam arti yang sesungguhnya (substansi).

Nah, salah satu obat jalan keluarnya mungkin melalui cara menumbuhkan kembali semangat Nasionalisme Indonesia yang di dalamnya terkandung semangat anti penindasan, penghisapan dan penjajahan antar manusia maupun antar bangsa. Untuk menghidupkan semangat ini, bersatunya kembali warga Nahdliyin dan Muhammadiyah dalam satu wadah perjuangan rakyat, merupakan salah satu kunci kunci jawabannya. Hal mana pernah dirintis oleh dua tokoh besar namun satu guru: KH. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Ashari (NU), sebagai dua sahabat pejuang yang telah memberi andil besar bagi kemerdekaan bangsa ini.

Dengan bersatunya kembali NU–Muhammadiyah dalam semangat memerdekakan rakyat dari belenggu kemiskinan dan penjajahan, maka bangunan Nasionalisme Indonesia akan kembali menemukan pijakan kokohnya. Lewat bersatunya kembali dua kubu yang menjadi simbol keberadaan mayoritas bangsa ini, maka bangunan Nasionalisme Indonesia yang genuine, akan lebih cepat menemukan jati dirinya kembali. Semoga

Tidak ada komentar: