Selasa, 15 Juli 2008

Mencari Akar Kapitalisme dalam Islam Indones



Batam Pos, Jumat, 03 November 2006
Oleh: Mohammad Nuryazidi*

Di langgar Kidul, Kauman, Yogyakarta, 100 tahun silam, KH Ahmad
Dahlan bersila takzim. Belasan santri duduk melingkar menghadap sang
kiai. Malam itu, seperti juga pada pengajian sebelumnya. Kiai Dahlan
lagi-lagi mengajarkan surat Al-Ma'un, yang antara lain berisi
perintah menyantuni yatim piatu dan fakir miskin. Merasa bosan
dengan pelajaran yang itu-itu saja, seorang santri memberanikan diri
bertanya, "Kiai, kenapa tidak ada penambahan pelajaran?" Yang ditanya
malah balik bertanya, "Apakah kamu sudah mengerti betul?" Dengan
suara mantap, sang santri menjawab, "Kita sudah hafal semua, Kiai."

Dan Kiai Dahlan pun balik bertanya, "Kalau sudah hafal, apakah sudah
kamu amalkan?" Santri itu berucap, "Bukankah surat Al-Maun
berulangkali kami baca untuk rangkaian Al-Fatihah di kala salat."
Jawaban si santri tidak memuaskan sang kiai. "Bukan itu yang saya
maksud. Diamalkan artinya dipraktikkan, dikerjakan!" Kiai Dahlan
menegaskan.

Saat itu pula Kiai Dahlan memerintahkan santrinya berkeliling kampung
mencari orang miskin. Kalau sudah ketemu, harus dibawa ke rumah
masing-masing. "Berilah dia sabun yang baik untuk mandi! Berilah
pakaian yang bersih. Berilah makanan dan minuman serta tempat tidur!"
perintah Dahlan. Titah Kiai Dahlan tersebut mengisyaratkan bahwa
Islam bukan hanya ritual ibadah saja. Tapi Islam adalah bekerja, agar
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Jika Kristen punya etika protestan yang menjadi spirit kapitalisme di
Eropa barat sebagaimana yang diketemukan Max Weber dalam The
Protestant Ethics And The Spirit of Capitalism (1937), maka Islam
juga punya etos bisnis yang bahkan menurut Perter L Bernstein,
mengungguli etos bisnis bangsa manapun di dunia ini (The Power of
Gold, John Wiley and Sons, 2000).

By nature dan by teaching, Islam sangat mendorong entrepreneurship.
Islam adalah agama kaum pedagang. Lahir di kota dagang, dan
disebarkan ke nusantara oleh kaum pedagang. Nabi Muhammad SAW dan
sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang dan entrepreneur
mancanegara. Tidak berlebihan karenanya bila dikatakan bahwa etos
entrepreneurship sudah melekat dan inheren dengan diri umat Islam.
Islam mengangkat derajat kaum pedagang sehingga profesi ini yang
pertama mendapat kehormatan untuk membayar zakat.

Sejarah penyebaran Islam ke ber bagai penjuru dunia, sampai abad ke-
13 M dilakukan oleh para pedagang muslim. Hal ini menjadi bukti lain
bahwa etos bisnis (dagang) kaum muslim sangat tinggi, yang menyeruak
hingga mancanegara. Termasuk keberadaan Islam di Indonesia. Adalah
para pedagang yang membawa dan menyebarluaskannya. Selain ilmu agama,
mereka juga mewariskan keahlian berdagang ke masyarakat, khususnya di
kalangan masyarakat pesisir.

Dalam Peddlers and Princes (1963), Clifford Greetz menyatakan bahwa
di kalangan pribumi kepeloporan di bidang perdagangan berada di
tangan para santri. Pedagang dan pengusaha di Mojokuto, selain orang
China, pastilah santri reformis. Di luar perusahaan-perusaha an yang
dimiliki China, semuanya adalah milik orang Islam reformis atau yang
terpengaruh oleh gagasan reformisme Islam. Pada bagialn lain dari
penelitiannya pada 1950-an itu, Greetz menjelaskan bahwa reformisme
dan puritanisme Islam merupakan doktrin bagi hampir semua pengusaha
dan entrepreneur di sana. Watak kehidupan puritan yang asketik ini
mengajarkan kesalehan yang paling tinggi ialah selain iman itu
sendiri, seseorang yang sudah beriman harus banyak beramal saleh.
Sebuah dorongan yang dalam istilah Weberian disebut religious
calling.

Kuntowijoyo dalam penelitiannya mengenai para pengusaha kerajinan
besi di Batur, Klaten, juga melihat adanya hubungan yang erat antara
kehidupan keagamaan para santri dan perilaku kewirausahaan mereka.
Puritanisme Islam, di samping menganut sikap hidup asketisme, juga
memiliki doktrin mewajibkan para pengikutnya untuk lebih bersemangat
dan bersungguh-sungguh dalam usaha ekonomi. Bekerja dianggap sebagai
makna yang sebenarnya dari Al-Quran dan Hadits.

Tidak hanya itu, semangat kapitalisme sempat menjadikan penyokong
bagi kongsi-kongsi Islam dari orang-orang Melayu di Aceh, dari orang-
orang Palembang, dan juga etnis Bugis di Sulawesi. Organisasi
pergerakan Sarekat Dagang Islam, adalah salah satu bukti bahwa
semangat kapitalisme umat Islam ikut mendorong terjadinya perubahan
ekonomi, social, dan politik bangsa ini.

Sementara itu organisasi massa Islam yang sampai sekarang masih eksis
seperti Muhammadiyah tidak lain sesungguhnya didirikan oleh para
saudagar santri dan para pedagang di kota-kota. Sejarah Muhammadiyah
tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan bangkitnya kekuatan ekonomi
para saudagar, seperti pengusaha tekstil atau tenun di Pekajangan,
Pekalongan, dan yang ada di daerah Laweyan, Surakarta.

Demikian pula Nahdlatul Ulama (NU), yang sejatinya didahului dengan
gerakan organisasi Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang).
Menurut peneliti NU, Martin van Bruinessen, orientasi bisnis NU itu
juga dipengaruhi oleh visi Sarikat Islam (SI). Wahab Chasbullah
penggerak penting NU, pernah terlibat di SI sejak masih belajar di
Mekkah. Komposisi pengurus NU periode pertama merupakan kolaborasi
ulama (di Syuriah) dan pengusaha (di Tanfidziyah) .

Sejarah panjang Islam di Indonesia menunjukkan adanya potensi umat
Islam untuk memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian
bangsa. Saat ini, ketika gerakan ekonomi syariah mulai menggeliat.
Yakni ditandai dengan kehadiran lembaga-lembaga keuangan yang
dikelola secara Islami. Memang hasil gerakan ekonomi syariah itu
tidak serta merta terlihat. Hanya saja, adanya keberpihakan ini bisa
dijadikan momentum untuk mendorong atau merekonstruksi kembali
tumbuhnya jiwa ke wirausahaan umat Islam di Indonesia. ***

*)Mohammad Nuryazidi, Peserta Pendidikan Calon Pegawai Muda Bank
Indonesia angkatan XXVI.

Tidak ada komentar: