Selasa, 15 Juli 2008

SOFISTIKASI GERAKAN SOSIO KULTURAL MUHAMMADIYAH

Oleh: Mukhaer Pakkanna
Peneliti Center for Information and Development Studies
(CIDES) Jakarta dan Wakil Ketua STIE AD Jakarta Catatan Jelang Milad Muhammadiyah, 18 November 2007



....the Muhammadiyah has contributed greatly to the nation building of Indonesia through its social activism and religious reform….This social activism of Muhammadiyah has derived from and been buttressed by its religious reformism, which preaches that the pristine teachings of the al Qur`an and Sunnah are compatible with modernity. (Nakamura Mitsuo, Juni 2005)

Muhammadiyah adalah gerakan dakwah sosio-kultural. Tatkala Kiai Dahlan --sang inisiator Muhammadiyah— pada 18 November 1912 memproklamirkan Muhammadiyah sebagai persyarikatan, setidaknya pada lingkup komunitas Kauman Yogyakarta, telah menuai badai kontroversi. Meruyak pelbagai kegerahan bagi kaum ulama tradisional karena dianggap keluar dari pakem mainstream pemahaman dan praktik keagamaan. Kiai Dahlan berijtihad untuk melakukan reformasi atau tajdid terhadap kemapanan pemahaman dan praktik keagamaan.

Menyetir keterangan KH. Syudja, murid Kiai Dahlan, bahwa ide inti pendirian Muhammadiyah merujuk pada QS. Al Anfal; 24, `Wahai orang-orang beriman, sambutlah panggilan Allah dan Rasul-Nya apabila kamu telah dipanggil kepada apa yang dapat menghidupkan kamu ...`. Menurut KH AR. Fachrudin (1990; 43), dari ayat itu Kiai Dahlan sejatinya mengharapkan agar agama Islam yang dijalankan Muhammadiyah adalah agama yang bisa menghidupkan ummat, yang bisa mandiri, yang bisa mencapai kebahagiaan. Demikian pula, pendirian Muhammadiyah tidak terlepas dari pesan QS.3; 104, 110 dan QS.107; 1-7.

Apa makna diktum dari pesan ayat tersebut? Kiai Dahlan dalam framework dan mindset-nya, bahwa Islam sebagai agama rahmat lil `alamin bukan sekadar agama pemuas dahaga spritual, bukan sebagai kumpulan ajaran ritual, tapi Islam adalah agama amalan, agama praktik. Karena itu, Islam harus kompatibel dengan modernitas. Islam harus aktual dalam proses perubahan zaman. Dengan demikian, ajaran Islam menurut Muhammadiyah harus senantiasa ditafsir ulang sesuai perubahan dan perkembangan aktual.

Kerangka berpikir yang dituangkan Dahlan, adalah Islam harus ditafsir dalam konteks praktis, tapi ia harus memiliki implikasi jauh ke depan. Karena itu, Dahlan sesungguhnya berani melakukan sekularisasi atau pembumian ajaran Islam dalam konteks sosio-historis. Cara pandang demikian menunjukkan, Dahlan melakukan sekularisasi plus institusionalisasi ajaran Islam. Konon, Kiai Dahlan dalam membahas dan mengkaji surah Al Ma`un ayat 1-7 hingga 50 kali. Salah seorang jamaah beliau memprotes, kenapa Kiai berulang kali membahas hingga jamaah menjadi bosan. Kata Kiai Dahlan, kita tidak akan membahas ayat lain jikalau kita (jamaah) belum melakukan tindakan aksi. Ini artinya, Kiai Dahlan berpretensi untuk segera mengoperasionalisasikan ayat-ayat yang sudah jamaah pahami dalam bentuk tindakan nyata.

Aksi sekularisasi yang dilakukan Dahlan, tidak sebatas pada persoalan tindakan nyata. Tapi beliau juga membuat framework yang terinstitusionalisasi secara sistematis, terprogram dan terukur. Manajemen institusi pun digerakan secara modern, bahkan mengikuti pola-pola Barat. Tidak heran jika pelbagai amal usaha yang didirikan Dahlan segera menjamur. Adanya lembaga pendidikan, panti asuhan, lembaga PKO (Penolong Kesengsaraan Oemat), dan lembaga sosial lainnya, pada dasarnya merupakan pengejawantahan tindakan aksi dari tafsir Kiai Dahlan.

Sekularisasi Menuju Rahmatan lil `alamin

Makna sesungguhnya sekularisasi adalah pembumian (secularization). Konsekuensinya, perlu dilakukan desakralisasi yakni upaya mentransformasikan hal-hal yang tabu dan sakral dari obyek-obyek yang mestinya tidak tabu dan tidak sakral menjadi hal-hal yang empirik dan operasional. Hal yang normatif dan konseptual menjadi hal yang konkret dan aktual. Dalam bahasa Cak Nur, sekularisasi dalam sosiologi mengandung arti pembebasan (liberasi). Hal ini merupakan konsekuensi dari Tauhid (Lihat; Sekularisasi Ditinjau Kembali dalam Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 259).

Dengan demikian sekularisasi ajaran Islam berorientasi pada sofistikasi (sophisticated) ajaran Islam. Dalam konteks ini, ajaran-ajaran Islam dalam al Qur`an tidak saja berhenti pada kisaran konsepsional, apalagi pada kisaran sakralitas, tapi ia harus beroperasi dalam tataran praksis yang memberi rahmatan lil `alamin. Operasionalisasi ajaran Islam dalam konteks sosio-historis-kultural hanya bisa dilakukan jika umat mampu menangkap roh universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam.

Muhammadiyah hadir di tengah masyarakat Indonesia yang sangat terbelakang dan miskin di awal abad XX. Keterbelakangan dan kemiskinan ini semakin diperparah oleh imprealisme dan kolonialisme asing serta komparadornya, yang terus menerus menghisap kekayaan alam Indonesia. Sumber-sumber produksi masyarakat yang potensial ditelan mentah-mentah oleh penjajah. Masyarakat Indonesia hanya memperoleh ampas-ampas kekayaan alam yang sesunguhnya sangat berlimpa-ruah. Implikasi dari kemiskinan dan keterbelakangan, menjadikan tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah. Hanya 2,8 persen masyarakat Indonesia tatkala itu yang mencicipi pendidikan.

Seiring dengan itu, tingkat pemahaman keagamaan masyarakat sangat primitif dan lebih banyak berorientasi mitos (meminjam istilah Kuntowijoyo). Dalam kondisi kompleksitas persoalan dan psikologi umat Islam yang sangat terbelakang, sekularisasi yang digerakkan Kiai Dahlan pada zaman itu tentu menemui kendala yang luar biasa.

Ada dua kendala, yakni, pertama, kendala internal, berkaitan dengan serangan terhadap kaum tradisional yang menggugah kemapanan keberagamaan mereka yang sarat dengan mitos, bahkan penyakit tahayyul, khurafat dan bid`ah. Malah, pada banyak hal, Muhammadiyah sudah dianggap kafir karena dianggap telah meniru pola laku dan gaya hidup Barat.

Kedua, kendala eksternal terutama berkaitan dengan kaum imprealis. Kendati Muhammadiyah pada beberapa sisi telah meniru pola Barat dalam ihwal metode pendidikan dan pengajaran serta pemberdayaan masyarakat, imprealis sesungguhnya merasa terusik. Menurut Van der Plas, seorang ahli Islam Belanda yang pernah melakukan riset ke masjid-masjid di beberapa daerah pada saat itu, sangat mafhum karena mengetahui umat Islam yang membaca al-Qur`an di masjid-masjid kurang mengetahui isinya. Kondisi seperti ini tentu sangat menguntungkan imprealis, karena itu perlu dibiarkan saja. Keberadaan Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat telah membuat imprealis semakin khawatir. Karena mereka paham bahwa jika al-Qur`an dibaca dan ditafsirkan secara empirikal dan sophisticated akan menjadi psycological striking force, sehingga umat Islam semakin sadar dan bangkit melakukan perlawanan. Dalam kondisi seperti itu, imprealis kerapkali melakukan siasat politik divide et impera antara kaum tradisionalis dengan Muhammadiyah.

Kendala di atas setidaknya dapat diatasi dengan menunjukan kemandirian dan kewibawaan warga Muhammadiyah dalam berdakwah. Pada awal berdirinya, the founding fathers Muhammadiyah berasal dari para saudagar dan kalangan entrepreneur. Kiai Dahlan sendiri adalah seorang pedagang batik dan kerap berdagang di berbagai kota di Jawa. Dalam perjalanan dagangnya, Kiai Dahlan selalu singgah silaturahmi kepada para alim setempat, membicarakan perihal agama Islam dan masyarakat. Selain itu, fakta sejarah juga berbicara bahwa banyak warga Muhammadiyah berprofesi sebagai pedagang. Warga Muhammadiyah di Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Pekajangan, Karangkanjen, hingga beberapa wilayah Jawa Barat dan Sumatera Barat adalah aktivs Muhammadiyah sekaligus aktivis bisnis di daerahnya.

Kemandirian seperti itu semakin meneguhkan Muhammadiyah dalam berdakwah dan dalam melebarkan amal usahanya. Amal-amal usaha seperti lembaga pendidikan, panti asuhan, PKO, dan lembaga sosial lainnya sangat mandiri dan sulit dikooptasi oleh kepentingan imprealis asing. Tidak heran jika amal usaha Muhammadiyah membanjir di mana-mana dan paling tidak telah memberi rahmatan lil `alamin dan unversalisme ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat.

Pentingnya Sofistikasi Ajaran

Untuk mengembalikan elan vital gerakan sosial Muhammadiyah dalam konteks saat ini, diperlukan Kiai Dahlan-Kiai Dahlan baru yang memiliki visi tajdid dan keberanian melakukan sofistikasi dan re-sekularisasi yang terinstituisionalisasi dengan apik dan mandiri. Hanya persoalannya, warga Muhammadiyah dalam beberapa dasawarsa terakhir ini mulai kehilangan ghirah tadjid, kehilangan kemandirian dan kewibawaan. Hal ini tentu lebih berkaitan dengan persoalan internal, antara lain, keinginan untuk terus menerus dikooptasi oleh negara. Alih-alih, kegiatan amal usaha Muhammadiyah tidak bisa digelar jika tidak ada fasilitas dari negara. Lihat misalnya, kegiatan Muktamar, Musywil, Musyda, dan lainnya. Demikian juga, kegiatan amal usaha sulit bergerak tanpa bantuan negara. Bahkan amal-amal usaha yang ada sekarang hanya merupakan duplikasi dari pendahulunya sehingga tidak ada kreatifitas yang genuine. Konsekuensi dalam jangka panjang, Muhammadiyah menjadi organisasi ”pengemis” terbesar di negeri ini karena setiap langkah kelembagaannya akan kerap menengadahkan tangannya dan membungkuk-bungkuk mencari sumbangan.

Dalam spektrum tadjid, Muhammadiyah sudah jauh tertinggal dibanding beberapa lembaga sosial keagamaan dalam melakukan re-definisi dan tafsir ulang ajaran keislaman. Wawasan keagamaan dan kemanusiaan warga Muhammadiyah selain kering, juga hampa perspektif. Kurang memiliki keberanian intelektual melakukan re-sekularisasi dan sofistikasi tafsir ajaran agama. Sehingga yang muncul adalah nostalgia dan duplikasi. Yang lebih parah lagi, orientasi kader-kader muda Muhammadiyah memiliki tensi libido politik praktis yang kental. Sehingga sulit kiranya mengharapkan Muhammadiyah ke depan jika diisi oleh kader-kader seperti ini terutama dalam melakukan sofistikasi ajaran Islam dalam konteks sosio-kultural kontemporer.



Mukhaer Pakkanna

Jl. Kano XV No. 25 Kelapa Dua Tangerang.

Telp. 021 547 3330. Hp. 0812 999 8966
Email: mukhaer_p@yahoo.com

Tidak ada komentar: