Rabu, 16 Juli 2008

Mentalitas Bisnis Umat Islam

Senin, 19 Mei 2008
Drs. M. Fahri*

Ketika gagal dan kurang berhasil dalam bisnis. Ungkapan yang seringkali muncul adalah; kurangnya
modal, tidak berbakat, tidak ada darah pedagang, kurang pengalaman, dan tak ada keberpihakan pemerintah pada
umat. Ungkapan-ungkapan ini tidak lebih dari sekedar mencari-cari alasan pembenaran atas ketidakmampuan dalam
berbisnis. Padahal ikhtiarnya belum maksimal. Akibatnya mudah putus asa, cepat menyerah, dan suka menyalahkan
pihak lain. Pendek kata kurang militan dalam berbisnis.
Kondisi tersebut juga menghinggapi para pebisnis Islam. Di negeri yang 85% penduduknya Muslim, ternyata hanya
mampu menguasai 36% ekonomi nasional. Lainnya digerakkan para pengusaha non-Muslim yang populasinya hanya
15%. Salah satu faktor (di antara sekian faktor lainnya) adalah rendahnya mentalitas bisnis para pebisnis Islam.
Mentalitas bisnis memegang peranan penting menuju kesuksesan ekonomi umat. Mentalitas bisnis merupakan aset
berharga yang ada pada diri umat. Merupakan karunia Allah Swt yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah Swt
berfirman, ”Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya dan bahwa
usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. (Q.s. An-Najm:39). Siapapun yang berusaha pasti akan diberi balasan
(rizki) sesuai dengan besarnya kontribusi dan pengorbanannya. Abdurrahman bin Auf misalnya, perniagaan yang
dijalankannya sudah lintas negara. Lebih dari 700 ekor unta dikerahkan untuk mengangkut barang dagangannya. Misal
1 ekor unta mampu mengangkut 500 Kg, berarti barang total dagangan Abdurrahman bin Auf seberat 350 ribu Kg atau
350 ton. Bila 1 Kg barang dagangannya seharga Rp 10 ribu, berarti transaksi perdagangannya senilai Rp 3,5 milyar.
Suatu jumlah yang amat besar dan sangat fantastis. (lihat: Swuwaru min Hayatis shahabah). Mentalitas bisnis
Rasulullah dan para sahabatnya sungguh luar biasa dan sangat militan. Dikatakan Afzalurrahman (Muhammad as A
Trader: 1997) bila siang hari mereka tak ubahnya seperti serigala yang kelaparan (dalam bekerja), bila malam hari
mereka seperti hamba sahaya yang bersimpuh lemah (karena kekhusyukannya) di hadapan sang Pencipta jagad Raya.
Mereka mewarisi sya’ir Arab, ”I’mal Lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan ghadan
wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan”, (bekerjalah engkau untuk duniamu seakan-akan kamu
hidup selamanya. Dan beribadahlah untuk akheratmu seakan-akan engkau mati besok). Kiat Sukses Bisnis
Rasulullah Ada 7 kiat sukses bisnis yang dijalankan Rasulullah dan para sahabatnya. Ketujuh kiat sukses ini bersumber
dari mentalitas bisnis yang kuat dan kokoh, yaitu: Pertama; tidak mudah menyerah. Sesulit dan seberat apapun keadaan
yang dihadapi, mereka tidak menerima begitu saja (berpangku tangan), apalagi berputus asa. Kedua, bekerja keras.
Rasulullah adalah tipe hamba Allah yang tak kenal letih dan lelah dalam mencari rizki. Dalam usia yang belum 40 tahun,
Rasulullah berkali-kali memimpin ekspedisi perdagangan ke Aylah, Jerussalem dan Damaskus. Kadangkala beliau
menghabiskan waktu 3-6 bulan di perjalanan. Rasulullah bersabda, ”Tiada suatu makanan yang lebih baik
daripada yang dimakan dari hasil keringatnya sendiri”. (HR. Bukhari). Tidak menggantungkan pada orang lain.
Ketiga, mencintai pekerjaan. Bagian terpenting kesuksesan Rasulullah dan para sahabat adalah kecintaan mereka pada
profesinya (bisnis). Rasa cinta ini ditunjukkan dengan tidak meninggalkan profesi bisnis pasca memeluk Islam. Yang
terjadi justru sebaliknya, semakin bersemangat. Profesi ini mereka sandang sampai akhir hayatnya. Keempat, kualitas
pelayanan prima. Bagi Rasulullah dan para sahabat, customers (pelanggan) adalah segala-galanya. Mereka
memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Dalam berniaga Rasulullah selalu mengedapankan nilai-nilai kejujuran,
amanah, sopan dan santun serta menjunjung tingi prinsip-prinsip persahabatan dan kekeluargaan. Di mata customers,
bahkan juga dari pesaing-pesaingnya, reputasi Rasulullah sangat baik. Rasulullah bersabda, ”pedagang yang
jujur dan dapat dipercaya kelak akan mendapat kedudukan yang mulia bersama para Nabi, shadiqin, dan
syuhada”. (HR. Turmudzi). Kelima, memperbanyak mitr kerja. Relasi atau rekanan bisnis memegang peranan
penting menuju kesuksesan seseorang. Rasulullah selalu membangun jaringan bisnis yang sehat, bermoral, dan
beradab. Jauh sebelum kenabian, ia telah membangun jaringanbisnis dengan niagawan-niagawan yang berasal dari
Negeri Hijaz (perbatasan Syiria), Hijar (Bahrain), zuhar (Oman) yang banyak didatangi para pedagang dari India dan
Cina, serta Rabiyah (Hadramaut). Dalam bermitra Rasulullah selalu menekankan prinsip saling menguntungkan. Abdul
Qais seorang niagawan asal Jordania (saat itu belum memeluk Islam) mengatakan, ”Saya senang dan
mendapatkan keuntungan selama berniaga bersama Muhammad bin Abdullah”. Keenam, istiqamah menekuni
karir. Ciri keprofesionalan seseorang dapat ditunjukkan dengan ke-istiqomahan dalam menekuni suatu pekerjaan.
Konsistensi ini dibuktikan Rasulullah Saw. Karir niaganya dimulai dari bawah. Awalnya ikut ekspedisi perdagangan
(umur 12 tahun), kemudian menjalankan barang dagangan saudagar-saudagar Makkah (salah satunya milik Siti
Khadijah), dan memimpin ekspedisi perdagangan. Setelah memiliki kemampuan, ketrampilan dan jaringan bisnis yang
luas serta modal yang cukup, barulah Rasulullah berniaga secara mandiri (pasca pernikahan dengan Siti Khadijah)
sampai akhir hayatnya. Ketujuh, suka berderma. Harta benda dan kekayaan yang dihasilkan dari berbisnis dikeluarkan
untuk zakat, infak dan shadaqah. Harta itu digunakan untuk dakwah Islam, demi tegaknya izzul Islam wal Muslimin. Profil
Rasulullah dan para sahabatnya seperti Abu Bakar ash-shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf dapat
dijadikan contoh. Ketika umat Islam di Madinah harus membayar setiap kali berwudlu di perigi milik seorang Yahudi,
maka dengan kekayaan yang dimiliki Utsman bin Affan, perigi itu dibeli dan umat Islam terbebas dari komersialisasi air
orang Yahudi itu. Harga pergi itu, kalau dirupiahkan sekarang, tak kurang dari Rp 15 milyar. Suatu jumlah yang cukup
besar. Di tengah terpuruknya ekonomi umat Islam Indonesia, sungguh tepat kiranya bila mentalitas bisnis umat Islam
dibangkitkan, sehingga umat tidak mudah putus asa, frustasi dan menerima keadaan begitu saja. Terlebih memasuki era
perdagangan bebas dunia seperti WTO, GATT, APEC, AFTA, dan NAFTA. Kejayaan ekonomi umat Islam bisa diraih
bila umat memilih perdagangan (bisnis) sebagai profesinya. Agar peran ini tidak lagi diambil alih orang lain. Penulis
Kantor Berita Ekonomi Syariah
http://www.pkesinteraktif.com
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 May, 2008, 10:28Page 2

adalah Dosen Mata kuliah Ekonomi Islam di Universitas Muhammadiyah Malang Sumber: Suara Muhammadiyah

Tidak ada komentar: