Senin, 28 Juli 2008

Membebaskan Pikiran Bukan Membebaskan Kelakuan


Oleh arifnur 

Ada perdebatan dalam khasanah pemikiran Islam. Seakan sejarah terus berulang, perdebatan antara fihak-fihak yang mengaku liberal dengan yang mengklaim sebagai penjaga syari’at, fihak-fihak yang mengaku modern dengan orang-orang yang menjaga tradisi dan sebagainya.

Namun apa sebenarnya yang terjadi. Benarkah pergulatan pemikiran itu murni sebagai sebuah pergulatan pemikiran semata ? Tidak ! Dalam realita sejarah pergulatan pemikiran itu sering disertai oleh banyak hal yang kemudian menimbulkan konflik. Sebut saja ketika sekelompok orang menyebut saudaranya sesama muslim sebagai kaum jumud, terbelakang atau ‘ndeso. Tentu saja yang disebut akan menjadi marah, paling tidak tersinggung. Jadi kalau yang terjadi seperti itu siapa yang salah ? Bisa jadi pemikiran kaum yang mengaku modern tersebut memang benar, tetapi ketika menyampaikan kepada saudaranya dengan cara yang ‘kasar’ seperti tersebut di atas bisa-bisa pesan yang ingin disampaikan tidak tersampai.

Konflik di atas ternyata bukan konflik pemikiran semata, tetapi konflik akhlaq. Ada kekurangtepatan memandang saudaranya, bila memang ada gap dalam pendidikan tentu saja tidak mungkin kita menggunakan bahasa lugas seperti kehidupan di kampus.

Ketika ada konflik antara mu’tazilah, sunni dan syi’ah ternyata banyak dibumbui masalah politik. Akhirnya terjadi saling bantai dan saling mengkafirkan yang berimbas pada perebutan kekuasaan. Memang, penyakit manusia sepanjang zaman itu sama. Gengsi, berebut Kekuasaan dan Harta ternyata sering menumpang pada perdebatan pemikiran.

Ketegasan membela kebenaran adalah sebuah keharusan. Namun bila ada seseorang yang memiliki perbedaan pemahaman tentang kebenaran tersebut haruskan kita hina, kita kafirkan, atau kita telikung melalui konflik politk bahkan kekerasan ? Sejarah membuktikan, model di atas tidak ada dalam kamus Rasulullah SAW. Nabi Muhammad berperang dengan orang kafir ketika orang kafir tersebut memulai permusuhan. Nabi Muhammad mengusir kaum Yahudi di Madinah setelah mereka berkhianat. Bahkan kepada kaum kafir seperti di Tha’if pun Beliau tidak meminta azab, namun meminta agar mereka di sadarkan.

Model perdebatan memang harus hati-hati. Perdebatan di depan khalayak di negeri seperti di Indonesia tentunya berbeda dengan model perdebatan di Damaskus model Ibnu Taimiyah. Di Indonesia, tidak perlu memilih kata-kata lugas dan cukup dengan sindiran-sindiran tajam untuk menyampaikan pesan. Para pendakwah tidak perlu mengatakan kepada pengikutnya dengan memilih kata “ Si A itu Sesat, jangan baca bukunya “ Cukup katakan “Si A itu menurut saya salah, bila mau membaca bukunya hati-hati”. Karena pada prinsipnya membaca buku apapun, termasuk buku sang pendakwah tadi, seseorang harus hati-hati (baca: kritis).

Mungkin masyarakat kita perlu didik tentang hakekat ilmu dan pemikiran manusia. Pada hakekatnya setiap yang ada di otak manusia, itu adalah hasil olah fikir manusia. Yang mutlak benar adalah Kalam Allah baik dalam bentuk Alam dan tatanan sosial maupun Teks dalam Al Qur’an. Selanjutnya semuanya adalah tafsir. Sunnah Rasulullah SAW oleh Al Qur’an memang menjadi sumber hukum juga. Namun hadist-hadist yang dikumpulkan oleh para ilmuan hadist tetaplah merupakan produk ilmiah yang cara pengumpulan serta pengklasifikasiannya menggunakan pendekatan ilmiah.

Metode ilmiah memang akan menjadi penengah yang cukup obyektif bila kita sedang berada dalam arena perbedaan pendapat. Setiap orang berhak (bahkan wajib) mendakwahkan apa yang dia yakini benar. Namun tidak perlu melakukan pemaksaan-pemaksaan, karena kewajiban kita tentang kebenaran adalah menyampaikan dengan baik, mendialogkan dengan santun dan mencontohkan aplikasinya dengan baik.

Tidak ada komentar: