Rabu, 16 Juli 2008

Muhammadiyah Menjawab Tantangan Global

Selasa, 28-Juni-2005, 01:34:26 239 klik


Stagnasi pemikiran tidak selayaknya terjadi pada Muhammadiyah yang telah lama menyatakan diri atau dicap orang lain sebagai gerakan tajdid.


DALAM catatan sejarah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan bukan sekadar untuk tempat berkumpul, tetapi mengemban misi mulia. Muhammadiyah bukan satu organisasi yang fokus pada persoalan-persoalan parsial, tetapi Dahlan menginginkan Muhammadiyah senantiasa memadukan dua kekuatan utama dalam menjalankan roda organisasinya, yaitu antara aktivisme dan intelektualisme.

Dua kekuatan ini senantiasa menjadi spirit berjuang para kader dalam persyarikatan. Dari sisi aktivisme, Muhammadiyah membakukannya dalam sebuah tata aturan organisasi (AD/ART) yang melandasi terbentuknya sebuah ranting atau cabang Muhammadiyah baru. Cara ini ditempuh untuk mengantisipasi para kader yang mendirikan level pimpinan baru tanpa diimbangi dengan sebuah amal saleh yang nyata.

Karenanya, amalan-amalan sosial, baik itu sekolah (mulai TK, SLB hingga perguruan tinggi), rumah sakit (mulai rumah bersalin hingga rumah sakit elite), panti asuhan (mulai bayi sehat hingga panti jompo), terlebih masjid dan yang lainnya, adalah suatu keharusan bagi Muhammadiyah. Jadi bisa dipastikan tidak ada Cabang Muhammadiyah di mana pun di tanah air ini yang tidak memiliki amal sosial.

Selain beragam amalan di atas, Muhammadiyah juga senantiasa melakukan berbagai pembaharuan pemikiran (tajdid) guna memberikan pencerahan kepada umat tentang berbagai kandungan

Alquran maupun Alhadis untuk bisa dijadikan panduan hidup sepanjang zaman. Walaupun pada sisi ini Muhammadiyah, kata Ahmad Fuad Fanani, Republika (3/12), mengalami pergeseran. Pencerahan yang diharapkan dan pernah dipraktikkan Dahlan dahulu, kini tidak tampak lagi. Sehingga kata Fuad, banyak pengamat yang mengatakan Muhammadiyah sedang mengalami stagnasi pembaharuan pemikiran.

Untuk mengakhiri stagnasi ini, muncul pendapat dari kalangan internal, untuk sejenak menghentikan berbagai pembangunan amal usaha. Cara ini dilakukan untuk mengembalikan konsentrasi kader terhadap gerakan tajdid yang terlupakan. Penguatan intelektualitas kader secara internal penting dilakukan mengingat Muhammadiyah adalah organisasi kader yang harus sangat memperhatikan kualitasnya.

Stagnasi pemikiran ini tidak selayaknya terjadi pada Muhammadiyah yang telah lama menyatakan diri atau dicap orang lain sebagai gerakan tajdid. Karenanya, guna menyegarkan kembali pemikiran tersebut, perlu konsentrasi khusus dan perhatian dari semua kalangan. Langkah ini tepat diambil, mengingat perkembangan zaman yang semakin kompleks dengan persoalan mulai yang kecil hingga yang sangat besar, perlu segera dijawab oleh Muhammadiyah.

Tantangan global

Tidak seperti yang dihadapi Dahlan dahulu, persoalan hari ini jauh sangat kompleks dan global. Karenanya perlu pemikiran lebih dengan analisis dan strategi baru terhadap persoalan tersebut agar lebih tepat sasaran. Kalau yang menjadi persoalan dulu yaitu tahayul, bid'ah, dan churafat (TBC), bukan berarti hal itu tidak ada hari ini. Tetapi segala bentuk TBC tersebut kini muncul dengan bentuk dan cara baru. Sedangkan definisi TBC yang didefinisikan Muhammadiyah sejak lama, hari ini hanya menjadikan Muhammadiyah semakin tidak akrab dengan budaya lokal dan dituduh sebagai kelompok asing yang senantiasa memberantas tradisi budaya lokal.

Panti asuhan dan berbagai lembaga sosial lainnya yang ada di Muhammadiyah bukan tidak perlu lagi, hanya yang menjadi persoalan ketika Muhammadiyah kini tidak juga beranjak dari definisi tentang siapa sebenarnya yang disebut dengan mustad'afin dan siapa yang disebut dengan anak yatim, atau orang-orang lain yang perlu dibantu juga dibela itu. Orang miskin dalam definisi Muhammadiyah dulu (karena sesuai dengan kondisinya), tidak luput dari anak-anak yang berasal dari orang tua tidak mampu atau sudah ditinggal orang tuanya dan biasanya berasal dari pedesaan.

Sedangkan miskin dalam konteks global tentunya berbeda dengan zaman Dahlan. Karenanya semakin berkembangnya panti asuhan Muhammadiyah tidak juga semakin memperkecil jumlah orang miskin di negeri ini. Sebab bagaimanapun Muhammadiyah tidak menyadari akan pergeseran definisi miskin hari ini.

Pada masyarakat global, orang-orang yang perlu dibela adalah mereka yang secara langsung maupun tidak langsung sudah menjadi bagian dari korban globalisasi. Paradigma kapitalisme pada masyarakat global telah jelas-jelas melahirkan catatan panjang berupa masyarakat yang semakin miskin dan termarginalkan.

Berkolusi dengan kekuasaan, kekuatan kapitalis semakin sistematis dalam mematikan berbagai potensi masyarakat bawah yang tidak memiliki modal apa-apa. Masyarakat semakin tersiksa dengan tantangan kaum kapitalis untuk bersaing dengan kekuatan yang sangat besar. Alih-alih masyarakat bawah semakin tak berdaya dengan akses yang makin minim. Dan kini, kondisi masyarakat miskin di negara kita semakin masif, bukan hanya di pedesaan, tetapi juga di berbagai kota.

Kini komunitas miskin kemudian menciptakan semacam lapangan kerja baru, namun bagi pemerintah dianggap sebagai persoalan. Di perdesaan, para petani semakin miskin ketika berbagai kebijakan tidak menunjukkan keberpihakan kepadanya. Dengan harga pupuk yang tinggi sedangkan harga jual gabah sangat rendah, baginya tidak lain sebagai bentuk pemiskinan sistemik yang terencana.

Begitu pun dengan para petani lainnya dengan jenis tanaman berbeda. Pada sisi lain, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan dengan melakukan impor beras, gula dan kebutuhan lainnya dalam jumlah sangat besar. Ironisme ini dilakukan di saat masyarakat sedang membutuhkan pasar pada musim panen. Mereka tidak bisa apa-apa kecuali mengurut dada, dan hanya berharap kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan kebijakan demi kesejahteraan hidup diri dan keluarganya.

Kemiskinam masif akibat dunia kapitalisme berakibat kepada tindakan-tindakan negatif. Razia para aparat penertib terhadap para pekerja seks komersial (PSK) misalnya, selalu berbuntut kepada alasan kemiskinan. Begitu pun dengan anak jalanan dan pengemis yang mewarnai hampir di semua ruas jalan. Jelas mereka adalah korban kapitalisme.

Pembangunan mal-mal di berbagai sudut kota menyebabkan pedagang kecil semakin terpinggirkan, sehingga mereka kehilangan tempat jualan karena penggusuran dengan rayuan akan diberikan lahan jualan setelah mal itu dibangun. Apa yang terjadi, setelah mal dibangun, harga sangat tinggi dan pedagang hanya menjadi pedagang kaki lima (PKL). Ketika menjadi PKL, mereka kembali dihantui berbagai ancaman akan digusur oleh pemda setempat. Begitulah nasib mereka hingga kehabisan cara untuk mencari sesuap nasi pun. Sedangkan pada tingkat yang ekstrem, kemiskinan terkadang semakin menambah jumlah pelaku kejahatan.

Zaman global, selain telah memiskinkan masyarakat dari sisi finansial, juga telah merugikan masyarakat secara budaya. Kini budaya lokal semakin terkikis ditelan budaya global yang mengedepankan hedonisme dan glamorisme. Budaya global ini bebas nilai, karenanya bersifat destruktif. Kompetisi pada zaman global sangat ditentukan oleh tingkat kemegahan dunia dan materi. Di sini muncul penilaian, meskipun kemajuan itu pada dasarnya netral begitupun dengan globalisasi, maka yang berkuasa pada akhirnya adalah dominasi itu sendiri.

Melalui media massa, globalisasi juga telah memberikan pelajaran tentang pergaulan dan gaya hidup. Pergaulan kelompok menengah, kelompok ABG gedongan, kelompok eksekutif, kelompok anak-anak muda sukses, kelompok anak orang kaya, dan masih seribu satu contoh kelompok yang dibangun atas dasar gengsi. Biasanya kelompok-kelompok ini mempunyai tata aturan tersendiri dalam mendefinisikan keperluan sehari-hari. Ke mana harus menonton, ke mana harus berjalan-jalan, ke mana harus makan, kafe mana yang dianggap kelasnya untuk kongkow-kongkow, dan lain sebagainya. Itu semua tidak lepas dari pengaruh gaya global, yang sesungguhnya tidak islami.

Walaupun Muhammadiyah memiliki banyak lembaga pendidikan, tetapi hingga kini, rata-rata pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, sesungguhnya kita tidak bisa menyimpan banyak harapan. Akibat pendidikan yang rendah, malah masyarakat kita selalu menjadi masyarakat pemimpi besar, misalnya ketika ingin cepat kaya, maka yang dilakukan adalah menjerumuskan diri dalam kebiasaan berjudi. Kini tradisi ini bukan hanya di perkotaan juga merambah ke desa-desa.

Cara lain yang halal tetapi kurang tepat adalah persoalan TKI atau TKW yang hingga hari ini menjadi bulan-bulanan. Dengan pendidikan rendah dan keterampilan alakadarnya, para TKI atau TKW selalu memberanikan diri untuk datang ke negeri orang. Modal nekat inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu --bahkan pada taraf tertentu, pemerintah juga ikut memanfaatkan-- untuk meraup keuntungan.

Sebab dari keberangkatan para TKI atau TKW ke luar negeri, dapat mendapatkan devisa yang sangat besar. Sedangkan di sisi lain, kondisi dan kesejahteraan TKI atau TKW tidak diperhatikan sama sekali. Keberadaan TKI atau TKW sering kali diperlakukan sebagai budak tidak berharga, hingga diperlakukan layaknya binatang. Nyawa mereka seolah tidak berharga, karenanya, tidak sedikit nyawa melayang akibat persoalan sepele (apalagi yang tidak diketahui publik).

Salah satu prestasi bangsa Indonesia yang harus segera distop oleh Muhammadiyah adalah masih bertenggernya Indonesia menduduki peringkat pertama untuk kejuaraan korupsi di Asia. Sedangkan pada level dunia, negeri ini pun masih menduduki prestasi papan atas. Kemungkaran ini turut membentuk suatu tatanan yang jelas memiskinkan rakyat jelata. Kalau korupsi masih juga menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan kita, maka tidak ada jalan lain bahwa Muhammadiyah memiliki peran strategis dalam melakukan aksi-aksi kritis, sebab tidak memiliki beban apapun terhadap pemerintah selain menjalankan agenda kerakyatan dan keumatan secara universal.

Pertanyaan lain kepada pemerintah yaitu berkenaan dengan illegal loging. Hutan kita terus dijarah secara tidak legal oleh para pemilik modal -- yang terkadang berkolusi dengan pemegang kebijakan -- tanpa memperhatikan kelangsungan hutan dan masyarakat sekitar. Dan hingga kini, sudah jutaan hektare lahan yang ada di nusantara hanya menjadi tanah tandus sehingga tidak bisa diambil manfaat oleh siapapun. Bukankah pemerintah memiliki kewajiban untuk memelihara dan melestarikan hutan. Dan bukankah semuanya hanya diperuntukkan bagi kemakmuran rakyatnya. Tetapi yang terjadi sebaliknya.

Tugas Muhammadiyah

Segudang persoalan bangsa memerlukan partisipasi seluruh elemen bangsa. Muhammadiyah sebagai organisasi modern dengan gerakan tajdid-nya, juga memiliki tugas untuk mencurahkan segala kekuatan yang ada untuk kepentingan-kepentingan umat dan kebangsaan secara makro. Muhammadiyah tidak lagi terjebak kepada rutinitas internal yang kurang mencerdaskan dan tidak mampu menjawab persoalan global.

Dengan potensi yang ada, Muhammadiyah dapat memainkan peran yang lebih besar, misalnya dalam menciptakan good governance di negeri ini. Organisasi kemasyarakatan yang besar dan modern seperti Muhammadiyah, tidak sepatutnya terjebak kepada agenda-agenda rutin internal konvensional, tetapi juga lebih berperan dalam berbagai urusan publik seperti persoalan HAM, jender, demokratisasi dan globalisasi.

Kalau ini yang terjadi, maka harapan Syafi'i Maarif (Ketua PP Muhammadiyah) pada pembukaan tanwir lalu, bahwa Muhammadiyah ingin agar bangsa ini tetap utuh, tidak terkeping-keping dan tidak terlalu lama berada dalam keadaan pingsan di bawah ancaman berbagai jenis penyakit sosial yang kronis, juga agar negeri ini cepat siuman, segera menyadari segala dosa dan dusta yang telah merusak sendi-sendi akhlak dan moral kita selama ini karena terlalu berorientasi kepada segala yang bercorak fisik dan materi sangat menggoda itu, cepat terwujud. Artinya kita berharap dengan peran Muhammadiyah yang maksimal, bangsa yang besar ini dapat terhindar dari berbagai jebakan global yang telah merugikan banyak pihak.***

Oleh RONI TABRON
Iktivis JIMM dan Penggiat Tepas Institute.

Tidak ada komentar: