Rabu, 16 Juli 2008

Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan

Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan
Contributed by Zaki Fachrul Hadi - Last Updated (Mar 30, 2007 at 02:18 PM)


MENYOAL tentang Muhammadiyah berarti menghidupkan K.H. Ahmad Dahlan. Bukan berarti hari kelahiran beliau
dirayakan dalam bentuk haul. Bukan pula berarti menginstitusionalisasikan peninggalan beliau, yang konsekuensinya
membekukan Muhammadiyah dalam penjara spatio-temporal. Akan tetapi, menghidupkan Ahmad Dachlan bermakna
merekonstruksikan hidup dan pemikirannya untuk dijadikan preskripsi aksi.
Darinya kita bisa menimba pelajaran:
Pertama, beradalah di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik.
Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam
politik sebagai satu organisasi, walau secara individual maupun
faksional para kadernya terlibat dalam banyak kegiatan dan partai
politik, dari Masyumi sampai PAN. Dalam satu masa, bahkan
kekurangberpolitikan Muhammadiyah membuat begawan Islam politik
Indonesia, Muhammad Natsir, memilih mendirikan basis organisasi baru
sebagai topangan untuk menghidupkan kembali Masyumi di awal Orde Baru.
Bahkan bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya
semata pada aktivitas sosial-budaya, dan kesibukannya pada periferi
politik membuat Muhammadiyah berada dalam kondisi yang memungkinkan ia
menerima subsidi bagi sekolah-sekolah modern kembangannya. Bukan
berarti Muhammadiyah bersepakat dengan penjajah Belanda dan menerima
imbalan kolaborasi itu. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata,
cepat-hasil, dan konfrontasional.
Pada masanya, perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran
kolektif tentang kekejian kolonialisme. Kesadaran ini takkan lahir
tanpa kecerdasan generasi muda yang akan berjuang di masa depan.
Pedagogi adalah bentuk perjuangan yang mengedepankan political wisdom.
Saat berpolitik meliputi semua aktivitas, dan kepanjangan dari etika,
maka Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan
saham dalam perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk
berpolitik dari pinggir.
Di sisi lain, dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah
sudah sedari awal sadar bahwa perubahan paling bermakna adalah
pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan
budaya. Jauh sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada
pembentukan Islam kultural, Muhammadiyah sudah memikirkan dan
melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak disadari bahwa keputusan
strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah tidak diapresiasai
semestinya.
http://senikriya.com/neptune - We Neptune arround You!
Powered by Mambo
Generated:12 July, 2008, 00:38Page 2

Visi yang dikedepankan oleh Dahlan adalah sebuah visi berorientasi
substansi untuk memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah
dibelokkan menuju politik praktis, bukan hanya akan mencederai catatan
sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, juga akan menjadi sebuah
lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan
kosa kata aksi, dan aksi akan menjadi sekadar seremoni.
Kedua, sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban.
Biarpun memiliki banyak cabang hingga ke desa-desa, Muhammadiyah
adalah bagian dari fenomena urban. Organisasi yang terlahir melalui
tangan kaum pedagang Muslim urban ini memberikan warna Islam berbeda:
bersahabat dengan modernitas, mengutamakan kemandirian belajar
ketimbang figur, terbuka, egaliter, berorientasi keadilan ekonomi.
Karenanya, terbentuklah sebuah pendekatan Islam perkotaan berbicara
dengan kosa kata urban dan mengatasi masalah urban.
Kita tahu urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan, salah satunya, kaum
mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar.
Keluarganya kembang kempis
memenuhi kebutuhan dapur maupun pendidikan juga kerap kita simak. Namun
usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari
mereka, masih sayup-sayup terdengar.
Mungkin etika protestanisme yang sering dikaitkan secara rancu dengan
Muhammadiyah, berkonsekuensi juga pada kohesi dan kolektivisme etis
para kadernya. Semangat komunitarianisme yang mempunyai saham besar
dalam Islam seperti terpinggirkan oleh individualisme bentukan
kapitalisme sebagai produk protestanisme.
Ketiga, berpikir global, dan beraksi lokal.
Dilahirkan dari rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah
terimbas oleh globalisasi. Bahkan bila mau dirunut, Ahmad Dahlan
sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Mekah dan
pertemuannya dengan Rasyid Ridha maupun terpengaruhinya oleh pemikiran
tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu seperti al-Afghani dan Abduh.
Sepulangnya ke tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan
di luar, Dachlan berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari
perjalanan belajarnya ke dalam konteks Indonesia. Solusi yang ia
tawarkan memiliki kekhasan pengaruh globalisme seperti menerima
modernisme, memahami geopolitik internasional melalui kolonialisme, dan
http://senikriya.com/neptune - We Neptune arround You!
Powered by Mambo
Generated:12 July, 2008, 00:38Page 3

melihat umat dari wawasan lebih luas. Namun aplikasinya benar-benar
berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.
Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah secara
historis, tidak lantas berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader
untuk beranjak dari sekadar mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan maupun pencairan Muhammadiyah,
baik itu dari Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya
menunjukkan kemajuan berijtihad dan kedewasaan epistemik. Melihat
permasalahan bangsa secara lebih luas masih merupakan tantangan
tersendiri bagi Muhammadiyah.
Keempat, layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal
sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan instrumen penting
untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal, egalitarianisme
sosial, dan amal ekumenikal.
Apa yang dulu dikhawatirkan di pertengahan 1980-an oleh Ahmad Syafii
Maarif tentang kemandekan intelektualisme dalam Muhammadiyah karena
terlalu terlibat dalam amaliah sosial, kini berbalik. Stagnasi
intelektual sudah relatif berkurang karena Muhammadiyah sampai tingkat
tertentu memiliki kemampuan dan sumber daya dalam memberi kontribusi
gagasan alternatif bagi problematika sosial, ekonomi, dan religius.
Justru kini terjadi kemandekan atau malah kemerosotan fungsi
Muhammadiyah sebagai pemberdaya ekonomi dan pemberi layanan sosial.
Beberapa aset pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang
memprihatinkan. Kepekaan organisasi ini terhadap masalah-masalah
sosial, seperti kelangkaan pendidikan bagi warga miskin tak berpunya
atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang dari semestinya atau
bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.
Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed)
dalam diskursus pluralisme, liberalisme, atau demokrasi (dan memang ini
diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis Tauhid sosial, memaknakan
diri sebagai ikatan etis terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di
belakang. Abstraksi terlahir dari praksis, hikmah sebagai ekstraksi
dari amaliah atau dikenal dalam khazanah Yunani kuno sebagai phronesis, seperti mendapat tempat yang
termarginalkan dalam pemikiran maupun ruang publik Muhammadiyah.
Sebab itu, aktivitas amaliah sosial tidak mesti selalu
didikotomisasikan dengan pengayaan intelektual. Pemahaman ini bersifat
universal seperti yang dicerminkan oleh Francis Asisi, dan K.H. Ahmad
http://senikriya.com/neptune - We Neptune arround You!
Powered by Mambo
Generated:12 July, 2008, 00:38Page 4

Dahlan juga memberikan teladannya. Ia tidak sekadar berdiri menceramahi
dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo, tapi juga mendirikan
fasilitas layanan sosial seperti panti asuhan dan klinik di masanya.
Problem kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu
mesti disikapi dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi
berbicara lebih dari sejuta suara.
Kelima, bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah.
Muhammadiyah lahir sebagai resistensi terhadap kolonialisme dalam
upaya mengintegrasikan kekuatan dan persatuan Islam dengan menggunakan
strategi apropriasi. Bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh
Muhammadiyah bukan berbalik pada nativisme (jangan pakai produk Barat)
malah pada hibdritas (lawan Barat dengan produk Barat). Proses ini bisa
terjadi melalui mekanisme khas Muhammadiyah: tajdid.
Ahmad Dahlan sendiri adalah produk dari proses ini. Hidup di lingkungan
kauman di Yogya, dia membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, juga
belajar huruf latin dan khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di
Budi Utomo. Hasilnya, melalui organisasi yang didirikannya, ditelurkan
publikasi rutin melalui mesin cetak modern dan didirikan sekolah
persilangan antara sekolah model kolonial dan pesantren.
Ia termasuk mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan
tulis (sebuah tanda modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas
epistemik yang dibentuk melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan
perangkat modern Barat ini merupakan pembadanan loncatan historis.
Sehingga, walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan
Masjid Kesultanan, jauh di dalam diri Dahlan bersemayam kelenturan dan
kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat
dengan tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan
adalah tokoh muslim liminal,
seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi.
Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan
Dahlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa
keseimbangan, semua akan runtuh.
Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dahlan adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.
* Penulis adalah Wakil Rektor Universitas Paramadina, dan
Direktur Eksekutif Reform Institute Jakarta, Alumni Australian National
University (ANU) Canberra dan Fikom Unpa

Tidak ada komentar: