Senin, 28 Juli 2008

Membaca ‘Manivesto’ Muhammadiyah Terhadap Globalisasi


Oleh arifnur 

Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang kemarin menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal sebagai Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad). Dokumen tersebut tampaknya meneruskan tradisi Muhammadiyah yang menghasilkan manifesto demi manifesto di setiap periode sejarahnya. Manifesto-manifesto tersebut kemudian dikenal dengan nama resmi : Kepribadian Muhammadiyah (Keputusan Muktamar ke 35,1956), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo), Khittah Perjuangan Muhammadiyah ( Muktamar ke-40 Surabaya, 197 dan Khitah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Tanwir Bali 2002 ).

Selain dokumen-dokumen diatas, ada juga dokumen-dokumen formal sejarah Muhammadiyah yang layak disebut sebagai manifesto Muhammadiyah seperti Langkah 12 yang dicetuskan oleh KH Mas Mansyur di masa Pra Kemerdekaan juga Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang digagas Ki Bagus Hadikusumo di awal Kemerdekaan Indonesia, disamping ada sebuah ‘manifesto praksis’ hasil Muktamar ke 44 tahun 2000 di Jakarta yang dikenal dengan sebutan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.

Tradisi ini memang bukan tradisi yang dimulai oleh KH Ahmad Dahlan, dimana dimasa KH Ahmad Dahlan hidup tidak ada satupun bentuk teks yang kemudian diakui sebagai dokumen organisasi layaknya sebuah manifesto. Mungkin sosok KH A.Dahlan-lah yang dianggap sebagai ‘manifesto hidup’ dimana di awal perintisan Muhammadiyah itu. Dengan keluarnya bentuk manifesto-manifesto yang keseluruhannya merupakan produk pasca KH Dahlan ini, bisa diartikan sebagian missi KH Ahmad Dahlan telah berhasil ruh tajdid (pembaharuan) di dalam Muhammadiyah secara kelembagaan masih terus bergelora.

Namun yang kemudian perlu di kritisi adalah seberapa besar pengaruh dokumen-dokumen sejarah Muhammadiyah ini dalam perjalanan persyarikatan Muhammadiyah ke depan ? Efektifkah manivesto terbaru berjuluk Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn ini dalam perjalanan Muhammadiyah kedepan ?

Nilai Strategis Zhawãhir al-Afkãr

Keluarnya Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn ( kemudian disebut sebagai Zhawãhir al-Afkãr saja) tampaknya bukanlah semata-mata layaknya pidato peringatan ulang tahun Muhammadiyah yang sudah berusia hampir satu abad ini. Zhawãhir al-Afkãr ini keluar dalam waktu yang strategis di tengah krisis peradaban Modern ummat manusia. Muhammadiyah mungkin merujuk prediksi para penafsir arah peradaban yang sepakat bahwa saat ini adalah detik-detik akhir dari peradaban modern dan merupakan awal dari munculnya konstruksi peradaban baru, walaupun kemudian para penafisr arah peradaban itu memiliki perbedaan membaca kecenderungan jaman dengan rumusan-rumusan yang beragam. Dimana perbedaan-perbedaan itu memunculkan beberapa varian seperti konsep Post Modern Derida dan kawan-kawan, The End of History nya Fukuyama, Toynbee dalam The Study of History, Turning Point-nya Fritjof Capra, atau Peradaban Gelombang Ketiganya Alvin Tofler. 

Bila dilihat dari teks Zhawãhir al-Afkãr tampak ada perbedaan mendasar dibandingkan dengan isi manifesto-manifesto sebelumnya, dimana selain merupakan sebuah manivesto terpanjang sepanjang sejarah, Zhawãhir al-Afkã ini juga merupakan sebuah manivesto yang menganut pola fikir baru, walaupun tetap berpijak dalam tradisi ar-ruju’ ila al –Qur’an wa as-Sunnah dan tajdid. Di dalam dokumen Zhawãhir al-Afkãr inilah pertama kali di cantumkan secara jelas tafsir bentuk Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya sebagai tujuan Muhammadiyah dalam 5 pokok pikiran. Dan Zhawãhir al-Afkãr tidak sekedar menganut bentuk penegasan ulang identitas persyarikatan yang lebih bersifat nasional seperti manifesto-manifesto sebelumnya, namun juga merupakan sebuah bentuk rumusan visi kedepan Persyarikatan Muhammadiyah dalam menyambut zaman baru yang ditandai dengan Globalisasi. 

Mungkin Muhammadiyah dengan Zhawãhir al-Afkãr ini ingin menghadirkan kembali ‘sosok’ KH A Dahlan yang ijtihadnya telah terbukti mampu mengatasi peliknya relasi Islam dengan modernisme selama kurun waktu hampir satu abad ini. Pendek kata, Zhawãhir al-Afkãr ini mencoba mentajdid kembali bentuk Muhammadiyahnya KHA Dahlan seabad yang lalu dalam sebuah konstruksi relasi Islam dengan tata peradaban baru pasca runtuhnya modernisme. Atau bahkan dengan Zhawãhir al-Afkãr ini Muhammadiyah ingin menghadirkan kembali spirit Piagam Madinah yang telah berhasil ‘melampaui jamannya’ di tengah peradaban baru yang akan datang . 

Peta Globalisasi Versi Muhammadiyah

Bentuk kesadaran baru tersebut terlihat pada dimasukannya masalah globalisasi dan tata kehidupan dunia di dalam rumusan Zhawãhir al-Afkãr. Di dalam point demi point di dalam Zhawãhir al-Afkãr ini, secara gamblang tergambar peta kondisi masa depan versi Muhammadiyah, tanggung jawab Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan Kemanusiaan, serta agenda antisipatif Muhammadiyah kedepan dalam rangka menyongsong era baru tersebut. 

Khususnya pada pernyataan kedua point Pandangan Muhammadiyah tentang Kehidupan, Muhammadiyah telah menyadari dan memetakan sebuah era baru yang tak mungkin ditolak lagi yang kemudian disebut sebagai era Globalisasi. Era yang memang belum pernah secara nyata dirasakan oleh pendahulu-pendahulu ummat manusia ini disadari Muhammadiyah sebagai pisau bermata dua, dimana bisa bernilai positif dan juga tidak menutup kemungkinan bernilai negatif. 

Seperti dibahas oleh para penafsir arah peradaban, di era Globalisasi ini ummat manusia akan dihadapkan dengan setting global yang menjadikan mereka terkumpul dalam sebuah ‘global village’. Dimana dengan daya dukung revolusi teknologi informasi yang benar-benar memiliki akselerasi yang belum pernah dialami ummat manusia sebelumnya, sekat-sekat geografis dan politis akan tidak banyak berarti lagi, faktor produksi yang utama adalah modal intelektual dan manajemen informasi yang kemudian memungkinkan meningkatnya intensitas kehidupan yang berpijak pada kemerdekaan individu dan persaingan bebas dalam berbagai bidang. Apalagi ketika era pasar bebas yang menjadi puncak dari ‘hantu’ Globalisasi itu sudah berlaku efektif di seluruh dunia. 

Meminjam cerita sejarah permusuhan Ibrahim a.s dengan para pemuja berhala, di dalam rumusan Zhawãhir al-Afkãr tersebut Muhammadiyah mencoba mengidentifikasi ‘berhala-berhala’ baru di era Globalisasi. Berhala pertama berupa egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang sebenarnya merupakan musuh risalah tauhid sepanjang sejarah ummat manusia. Berhala lainnya adalah timbulnya ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Dan berhala yang lain adalah lahirnya ketidak-adilan global yang baru akibat pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin).

Namun kemudian Muhammadiyah juga memetakan nilai positif zaman Globalisasi ini dalam rumusan : 

Globalisasi dan alam kehidupan modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi

Dari pernyataan terakhir diatas tampak bahwa Muhammadiyah ingin menumbuhkan optimisme dalam menghadapi zaman baru yang akan datang. Namun sayang, ternyata Muhammadiyah hanya bisa melihat nilai positif Globalisasi baru sebatas rumusan di atas, sehingga terkesan Muhammadiyah masih belum bisa menangkap sisi positif lain seperti layaknya KHA Dahlan melihat berbagai sisi positif Modernisme di tengah kejamnya modernisme. Sepertinya perlu di kemudian hari untuk lebih jeli memetakan peluang-peluang positif yang lain yang sebenaranya bisa lebih banyak dipetakan, bila tidak spirit baru yang terkandung didalam Zhawãhir al-Afkãr ini masih kalah futuristis dibanding visi futuristis KHA Dahlan hampir se-abad yang lalu . 

Karena seperti layaknya kelahiran peradaban modern di akhir abad-17, rumus peradaban berlaku: siapa yang menyadari dan berhasil mendefinisikan diri kususnya posisi politik dan ekonomi secara tepat dan cepat, memenangkan tafsir atas konstruksi budaya baru serta mampu menginjeksi nilai-nilai fundamental yang diyakini di dalam paradigma universal, dan menguasai perangkat-perangkat peradaban baru sampai tingkatan expert dialah yang mampu bersaing di dalam peradaban baru itu. Dalam rumusan teologi positif, persaingan Global di era Globalisai harus dimaknai juga sebagai wujud fastabiqul khairat antar seluruh penduduk dunia dalam arti sebenar-benarnya. Karena sebenarnya yang mengerikan bukan Globaisasi itu sendiri, namun bagaimana kita bisa melewati proses transisi ke memasuki Globalisasi. Karena seperti ketakuatan para penentang Globalisasi, bila kalah maka siaplah menjadi budak-budak baru di era Globalisasi, inilah yang disebut sebagai neo-imperialisme. Walaupun bila berhasil melewati transisi dengan sukses tidak berarti akan menjadi penguasa tunggal Globalisasi itu sendiri, namun akan terus bersaing dengan para pemain lain yang berhasil melewati masa transisi ini. 

Globalisasi dan Realitas Ummat Islam Saat Ini

Seperti kebanyakan ummat Islam di dunia dan juga di Indonesia, kesadaran akan datangnya jaman baru yang di kenal dengan Globalisasi ini masih sangat kurang. Hal ini terjadi karena adanya lemahnya pengetahuan dan akselerasi pemikiran mayoritas ummat Islam, minimnya kompetensi dan keterbatasan akses ummat terhadap perangkat-perangkat Globalisasi, Serta masih banyaknya ummat Islam yang masih hidup dalam alam ‘manusia kalah’ yang tidak berhasil melewati transisi dari zaman pra modern ke jaman modern. Sehingga Globalisasi difahami hanya sebatas ‘hantu’ di siang hari yang sulit mereka fahami bentuknya karena selalu datang dalam wujud abstrak seperti di dalam khutbah para khatib muda, dan tulisan-tulisan kolom para ahli di surat kabar. Tidak heran bila muncul plesetan dari para mubaligh ummat yang frustasi dengan munculnya kosa kata ‘Gombalisasi’.

Hal yang sangat strategis adalah Muhammadiyah perlu sekali mencoba menerjemahkan gejala baru ini dalam bahasa ‘ummatnya’, tentunya tetap dalam paradigma Islam yang selalu posistif memandang perubahan. Sehingga proses pembangunan kearifan global ‘ummatnya’ itu dengan tetap bersandar pada etika Islam bisa dilakukan. Upaya strategis yang lain adalah mendorong meningkatnya upgradding kompetensi warga dan obyek dakwahnya serta pengenalan kepada warga dan obyek dakwahnya tentang perangkat-perangkat jaman baru yang lebih mengedepankan modal intelektual dan penggunaan teknologi informasi. Dengan demikian pembacaan peluang yang terumuskan dalam pernyataan tentang sisi positif Globalisasi di atas bisa menjadi kenyataan atau bahkan lebih dari sekedar itu.

Mungkin bila semua hal diatas bisa berjalan efektif, tidak mustahil pengulangan sejarah sukses perkenalan Islam dengan peradaban Yunani, Persia, India, Cina yang kemudian menjadi fondasi bentuk peradaban ‘Orang Islam’ di abad pertengahan yang lalu bisa terjadi lagi. Tentunya dengan tafsir baru yang berlaku di era Globalisasi yang menjadikan seluruh bumi, hingga ‘pojokan-pojokan’-nya, sebagai surganya seluruh ummat manusia.

Globalisasi dan Kesadaran Peradaban Ummat Islam

Merujuk dari pemetaan fase peradaban Alvin Tofler dengan tiga fase peradaban : Peradaban Agraris, Peradaban Industri dan Peradaban Informasi, dalam kenyataannya sebagian besar ummat Islam, termasuk yang berada di Indonesia baru saja memasuki peradaban Industri, bahkan masih banyak yang masih hidup dalam alam kesadaran agraris. Dengan demikian, akan menjadi persoalan besar bagi Muhammadiyah dalam melakukan advokasi terhadap peluang Indonesia yang disinyalir di dalam Zhawãhir al-Afkãr akan menjadi lahan paling subur dan tempat pembuangan limbah yang sangat mudah dari globalisasi dan pasar bebas yang berwatak neo-liberal. 

Dengan keinginan Muhammadiyah untuk terus aktif memainkan peran kerisalahannya agar umat manusia sedunia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi dan neo-liberal, sepertinya membutuhkan kerja yang super keras. Pekerjaan super keras itu bahkan bisa terjadi ketika menghadapi anggotanya sendiri yang sebagian besar adalah pribadi-pribadi yang mapan dan nyaman dengan bentuk peradaban industri ‘cerobong asap’ dalam status buruh baik ‘buruh negara’ (PNS), maupun buruh industri. Belum lagi persoalan ketika menghadapi sebagian warga dan obyek dakwahnya yang dimungkinkan masih banyak yang berpola fikir agraris dan juga feodal.

Menurut Alvin dan Heidy Tofler, bentuk The Clash of Civilitation itu sejatinya bisa terjadi bukan dalam bentuk peperangan antara barat dan Islam (serta Cina) seperti gambaran Hutington, namun dalam bentuk peperangan antara generasi berkesadaran baru melawan generasi dengan kesadaran lama. Pertentangan itu terjadi karena sifat dasar manusia yang merasa terancam ketika ada arus baru timbul, sehingga sentimen-sentimen gengsi dan sombong akan mengubur kebijaksanaan dan kearifan di dalam dialog antar dua kesadaran tersebut. 

Bila potensi konflik ini tidak bisa dikelola dengan baik, bisa-bisa didalam tubuh Muhammadiyah sendiri akan terjadi pertarungan sengit antara dua wakil kesadaran peradaban di atas. Dimana generasi baru yang memiliki kesadaran global, bergerak lintas bangsa dan negara, memiliki relasi multikultural dan memiliki definisi kecepatan waktu dan kedetailan analisis yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya akan menghadapi perlawanan sengit, karena ‘tidak nyambung’, dengan generasi lama yang memang tidak pernah merasakan bentuk kehidupan baru tersebut dalam kenyataan hidupnya. Ini karena generasi baru ini memiliki akses terhadap artefak peradaban baru seperti referensi yang jauh lebih variatif (bahkan bisa dikatakan tidak terbatas), komputer dengan aplikasi yang semakin memanjakan penggunanya, internet dengan kecepatan tinggi, TV satelit, hingga teknologi pemetaan DNA serta berbagai perangkat yang membutuhkan keahlian spesifik lainnya dalam kapasitas expert. Sekali lagi bukan karena perbedaan aqidah atau keyakinan, namun hanya perbedaan pengalaman akan zaman yang ternyata sangat mempengaruhi perbedaan akan presepsi terhadap kenyataan baru. Para futurolog sering mengibaratkan sulitnya menjelaskan era baru ini kepada generasi berkesadaran lama seperti sulitnya menjelaskan wujud seekor gajah kepada lima orang buta yang memegang lima macam organ tubuh gadjah.

Namun yang lebih berbahaya lagi bila ternyata pertentangan tersebut terjadi karena adanya fihak-fihak yang merasa terancam kekuasaan politik ekonominya akibat timbulnya arus baru. Mungkin kita bisa merujuk gambaran melalui penjelasan di Al Qur’an mengapa Fir’aun menolak risalah Musa, atau bangsawan Makkah menolak risalah Muhammad SAW, bukan karena mereka menolak kebenaran itu sendiri, selain karena kesombongannya juga karena mereka merasa terusik ‘zona nyamannya’ yang sebelumnya sudah mereka anggap sebagai sebuah puncak kenyamanan. Dialog antar dua kesadaran tidak terjadi, karena salah satu fihak terus menerus membuat ‘noise’ dalam proses dialog dalam bentuk kekerasan fisik, pemboikotan akses politik dan ekonomi, intimidasi, kecurigaan berlebih dan bahkan teror yang kesemuanya itu menandakan adanya sifat paranoid dan inferiority complex yang akut. Jangankan saling nasehat-menasehati dalam kebenaran, kesabaran saja sudah menjadi harga yang sangat mahal di dalam dialog ini. 

Nasib Minoritas Kreatif Sebagai Kader Penerus di Era Baru

Kesadaran secara normatif akan Globalisasi mungkin memang sudah didapatkan oleh Muhammadiyah, walaupun masih terbatas di tingkatan elitnya. Namun yang kemudian perlu menjadi perhatian lebih adalah bagaimana menyiapkan kader-kader penerus yang mampu mengaplikasikan kesadaran baru itu dalam perjalanan selanjutnya, taruhlah seratus tahun ke depan dahulu. Hal ini harus menjadi perhatian karena saat ini tampaknya ada masalah yang cukup memprihatinkan di dalam hubungan antara generasi tua yang sebagian mungkin telah menyadari perubahan kondisi jaman ini dengan kader-kader mudanya yang mencoba berfikir dan membangun batu-bata peradaban selanjutnya dalam prespektif Muhammadiyah. Tentu saja ini terlepas dari kesalahan beberapa anak muda yang memang kurang santun dalam menyampaikan ide-ide pembaharuannya yang seharusnya dimaknai sebagai proses anak muda yang kadang juga ada yang masih ‘Shock’ dengan kenyataan baru yang tidak disadari generasi sebelumnya .

Seharusnya bila Muhammadiyah ingin tetap memiliki peran lebih dan tidak akan ikut hancur bersama hancurnya modernisme, Muhammadiyah harus menyadari pula tentang bagaimana memelihara monoritas kreatif (mujadid, pembaharu) yang menyiapkan diri untuk memasuki zaman baru nanti. Ini mencoba merujuk konsep Toynbee tentang kelahiran minoritas kreatif di tengah transisi peradaban. 

Budaya runtuh karena kehilangan Fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi.

Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya flesibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya, yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu, kreativitas masyarakat -kemampuannya untuk menghadapi tantangan – tidak hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan dan tanggapan itu. Lembaga–lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula. (dari Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra, 1981). 

Adalah sebuah prestasi yang membanggakan bila Muhammadiyah ternyata bisa survive bahkan berperan aktif dalam bentuk peradaban baru yangakan datang. Bahkan bila ini terjadi, Muhammadiyah akan membuktikan lebih cerdas dibanding bentuk masyarakat Islam pasca abad pertengahan yang terbukti tidak berhasil mempertahankan diri ketika arus peradaban dunia berubah karena ternyata tidak bisa melahirkan minoritas kreatif yang mampu survive dan bersaing dengan minoritas kreatif dari komunitas lain, dalam hal ini barat. 

Mungkin saja sebagian kalangan di Muhammadiyah masih hidup didalam alam mitos tentang kelahiran para Mujadid ini layaknya keyakinan tentang datangnya Ratu Adil atau Satria Piningit di dalam kepercayaan jawa tradisional-agraris-pra modern, sehingga hingga saat ini masih banyak kalangan di Muhammadiyah yang tidak memiliki perhatian mendalam tentang proses perkaderan para mujadid tadi. ‘Pembaharu yang dijanjikan’ yang akan menjadi nahkoda Muhammadiyah di kemudian hari itu hanya di tunggu, bukan diusahakan. Hal ini terbukti dengan rendahnya kualitas perkaderan hasil dari Angkatan Muda Muhamadiyah, terutama yang mampu mengantisipasi perubahan zaman. Yaitu lahirnya kader-kader yang memiliki kesadaran akan jaman baru, mampu berperan dalam proses evolusi kreatif untuk mengkonstruksi kebudayaan baru, memiliki kompetensi yang memungkinkan mengakses artefak-artefak zaman baru, dan sekaligus bisa memaknainya dan menginjeksi nilai-nilai yang diyakininya, disamping kompetensi normatif seperti kedalaman pengetahuan tentang Islam dalam arti luas dan sempit. 

Yang sangat tidak kita harapkan adalah bila banyak ‘Kalangan Mapan’ di Muhammadiyah, sadar atau tidak, sedang berada dalam posisi yang digambarkan Toynbee sebagai bagian dari “Lembaga–lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini..” karena bila benar begitu akan berlaku asumsi Toynbee selanjutnya “…mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru..” Akan sangat menyedihkan bukan bila kelompok minoritas kreatif di dalam rumusan Toynbee di atas adalah berasal dari golongan lain di luar Muhammadiyah. Pendek kata bila asumsi Toynbee di atas benar, Muhammadiyah berarti cepat atau lambat juga akan mengalami keruntuhan dan mengalami disintegrasi. 

Gambaran kemungkinan ‘keruntuhan’ Muhammadiyah di atas, walaupun tidak bisa diartikan sebagai keruntuhan Islam walaupun berarti keruntuhan sebuah aset ummat Islam yang besar , secara logis akan sangat mungkin terhindar bila Muhammadiyah konsisten dengan kalimat terakhir dari point ketiga komitment Muhamamdiyah di dalam naskah Zhawãhir al-Afkãr yang berbunyi “Karena itu Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini, sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya, dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan ” . Tentu saja wujud konsistensi itu ketika Muhammadiyah mampu menerjemahkannya dalam gerakan riilnya, khususnya dalam memformat kelahiran mujadid-mujadid yang akan hidup di jaman baru nanti.

Sayang bila lahirnya dokumen sejarah yang (seharusnya) fenomenal ini harus tenggelam oleh hiruk pikuk pemilihan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan kontroversi pertarungan kekanak-kanakan para pemikir golongan ‘tua’ dan ‘muda’ Muhammmadiyah di Muktamar lalu. Dengan lahirnya Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn, saat ini warga Muhammadiyah sudah seharusnya berbangga bahwa mereka sudah memiliki pijakan normatif untuk menyongsong era baru yang akan datang sehingga salah satu tafsir bentuk masyarakat utama yang tercantum di dalam naskah Zhawãhir al-Afkãr berupa masyarakat yang : bercorak ”madaniyah” , senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya (dalam keunggulan) kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas” bisa terealisasikan. 

Insya Allah Muhammadiyah akan mampu meneladani konsep berfikir para generasi shalaf yang percaya diri karena ke-Islaman, ke-imanan, dan ke-ihsanannya menghadapi segala bentuk perubahan dan segala macam peradaban dengan fikiran sikap positifi. Terbukti mereka mampu menjinakkan produk-produk peradaban lain darui Cina, India, Persia, Yunani, Mesir dan mampu menjadikannya sebagai fondasi bentuk peradaban baru. Kita yang hidup di ujung peradaban lama dan di awal peradaban baru ini memang berada dalam kondisi krisis dan bahkan menjadi mengerikan. Namun ada baiknya kita belajar dari konsep ‘krisis’ dalam kearifan Cina yang menggunakan kata weiji yang terdiri dari huruf-huruf yang berarti “ bahaya” dan “kesempatan” yang bisa diartikan bahwa krisis muncul karena adanya proses transformasi. Hal ini selaras dengan konsep ‘sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan’ di dalam Al Qur’an. Tantangan kongkritnya, mampukah kita menjinakkan Globalisasi ? Karena bila tidak maka kemungkinan kita akan terjebak dalam frustasi berat dengan menghadapai Globalisasi dengan pikiran negatif seperti yang dialami saudara-saudara kita yang terpaksa memilih jalan teror untuk menghadapi perubahan. Tentunya ini bertentangan dengan substansi missi Islam yang ingin berkonstribusi dalam bangunan peradaban ( rahmatan lil alamin) yang tidak mungkin dibangun dengan teologi negatif seperti teror.

Mampukah kemudian PP Muhammadiyah dan jajaran pimpinannya hingga ranting bisa menerjemahkan idealisme Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn secara efektif menjadi pemahaman warga, dan obyek dakwahnya terutama dalam program-program praksis ? Ujian selama hampir seratus tahun ini akan membuktikan bagaimana Muhammadiyah membuktikan bahwa mereka sudah lebih daripada dewasa. Wallahu ‘Alam Bissawab.

Ditulis di Yogyakarta, Februari 2006

Tidak ada komentar: