Sabtu, 15 Maret 2008

"Common Enemy" Baru Muhammadiyah

 
Jumat, 14 Maret 2008 | 19:06 WIB

Oleh Maf'ul Farida

Diskusi antara Abd Sidiq Notonegoro (Kompas Jatim, 15/2) dengan Ahmad Khoirul Fata (Kompas Jatim, 5/3) tentang Muhammadiyah dan gerakan Islam transnasional memang cukup menarik, mengingat ketegangan antara keduanya akhir-akhir ini semakin mengeras dengan aksi "bersih-bersih" yang dilakukan Muhammadiyah.

Dengan alasan menyelamatkan asetnya, Muhammadiyah memberikan pilihan hitam-putih kepada kadernya, tetap aktif di Muhammadiyah atau keluar dan ikut gerakan Islam transnasional (GIT).

Selain Muhammadiyah, kekhawatiran terhadap GIT sesungguhnya juga dirasakan oleh organisasi masyarakat lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU). Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi pernah meminta warga NU untuk waspada terhadap GIT karena dianggap membahayakan ideologi NU dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasyim juga meminta pemerintah untuk bertindak tegas terhadap GIT, misalnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Al-Ikhwan Al-Muslimun (Tarbiyah/PKS/KAMMI/kelompok halaqah).

Namun, dalam kasus Muhammadiyah, saya sepakat dengan Khoirul bahwa peristilahan GIT yang dihadapkan dengan Muhammadiyah sebenarnya cukup membingungkan. Pasalnya, sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah banyak mengambil inspirasi gerakan dari ideologi puritanisme- salafisme Wahabiyah di Saudi Arabia dan reformisme-modernisme Abduh di Mesir. Dengan demikian, Muhammadiyah sebenarnya juga masuk dalam kategori GIT karena salafisme Wahabiyah dan reformisme Abduhiyah yang berasal dari Timur Tengah itu juga memiliki pengaruh dan jaringan lintas bangsa-negara.

Meminjam analisis Charles Kurzman (Kurzman, Liberal Islam: A Source Book, 1998) tentang tiga pola gerakan Islam, diketahui bahwa kedua corak Islam yang digunakan Muhammadiyah tersebut memiliki satu musuh bersama, yaitu Islam costumary (Islam tradisional) yang banyak mengadopsi unsur-unsur lokal dalam praktik keberagamaannya.

Menurut Kurzman, kedua model Islam itu (salafisme dan reformisme) awalnya bersatu dalam satu visi memperbaharui pola keberagamaan masyarakat Muslim yang dianggap mandek dan jumud. Selain tantangan eksternal berupa kemajuan peradaban Barat, "musuh yang secara nyata dihadapi kedua ideologi itu adalah Islam costumary dengan pola keberagamaan yang sinkretik. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Islam modernis-reformis membedakan dirinya dari Islam revivalis- puritanis.

Dalam konteks Islam Nusantara awal abad ke-20, corak Islam revivalis dan reformis dibawa dari Timur Tengah oleh KH Ahmad Dahlan dan founding fathers lainnya untuk memperbaharui pola keberagamaan penduduk Nusantara yang dianggapnya sinkretik-tradisionalis dalam satu wadah gerakan bernama Muhammadiyah. Kaum tradisionalis yang resah dengan kehadiran ideologi baru itu pun mengonsolidasikan diri dalam wadah NU. Pelembagaan itu tentu saja semakin mengeraskan ketegangan antara keduanya hingga beberapa dekade.

Namun, perkembangan zaman dan perubahan pola pikir memengaruhi pola hubungan keduanya. Di akhir dekade 90-an, NU-Muhammadiyah memasuki fase baru hubungan yang lebih harmonis yang ditandai dengan keakraban pemimpin kedua ormas terbesar itu. Dan, di tingkat akar rumput, aksi pisah masjid gara-gara perbedaan jumlah rakaat tarawih, azan shalat jumat, atau qunut dalam shalat subuh pun relatif reda.

Perubahan ini tentu saja memengaruhi koalisi kutub modernis- salafis di Muhammadiyah. Kedua kutub pemikiran itu pun mulai menunjukkan jati dirinya masing-masing dan berseteru memperebutkan dominasinya atas Muhammadiyah. Konflik antara keduanya tercermin pada pergesekan antara Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Majlis Tabligh dan berujung pada tersingkirnya tokoh-tokoh misalnya A Munir Mulkhan dan Amin Abdullah dari PP Muhammadiyah karena dianggap berpikiran liberal dan menjadi pelindung JIMM.

Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan Muhammadiyah. Berbagai upaya dilakukan untuk mendamaikan kembali kedua corak itu. Saat upaya itu sedang berlangsung, tiba-tiba beberapa GIT yang sedang mengalami puncak kegairahan beraktivitas melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh Muhammadiyah. Momentum ini pun tidak disia-siakan Muhammadiyah. Dengan isu menyelamatkan asetnya, Muhammadiyah menjadikan GIT sebagai common enemy yang diharapkan dapat menyatukan kembali kedua kutubnya yang berseteru.

Apakah upaya ini akan berhasil? Jawabannya bisa "ya" atau "tidak". Namun, yang pasti, koalisi berdasarkan kesamaan musuh (common enemy) tidak memiliki daya rekat yang kuat dan akan pudar ketika sang musuh itu tiada. Bukankah Muhammadiyah telah membuktikannya? Allahu a'lam.

Maf'ul Farida Alumnus PP Arraudhatul Ilmiyah Kertosono, Nganjuk

1 komentar:

Unknown mengatakan...

heran .. muhammadiyah kok gak kayak organisasi yang mensifatkan Islam .. ???
Menganggap musuh kaum muslim / mukmin lainnya. Bukannya saling melengkapi (Takaful) utk mencapai Izzul Islam, malah takut kehilangan kekuasaan ... na'udzuubillah ... Istighfal Akhum Fillah ...

Kita semua bersaudara, sepanjang masih ada Iman di hati ini ...
begitupun antara saya individu rakyat islam yg tidak terikat dengan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.