Kamis, 20 Maret 2008

Muhammadiyah dan New Cultural Movement

Oleh: Samsul Hidayat


Kritik yang dilontarkan M. Amien Rais dan A. Syafi'i Ma'arif pada sidang Tanwir Muhammadiyah (26 April 2007), bahwa umat Islam (termasuk Muhammadiyah) semakin tidak sanggup bersaing di era globalisasi bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Hal ini terbukti dengan lambannya umat Islam dalam memproduksi sumber daya insani yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga gagal bersaing dengan derasnya arus peradaban Barat yang hegemonik.

Memang sulit untuk dibantah bahwa tafsir sosial Muhammadiyah pernah mampu menghadapi serangan modernitas dan imperialisme kolonial Belanda dengan "politik kebudayaan", dimana gerakan kebudayaan sebagai siasat perlawanan terhadap dominasi asing dikembangkan melalui pendirian lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan ekonomi yang merepresentasikan kekuatan yang menegasikan ancaman kolonialisme sekaligus mengafirmasi dimensi penguatan dan oposisional masyarakat Islam pada saat itu.

Namun belakangan dakwah Muhammadiyah terkesan melambat dan kehilangan gairah. Alih-alih memperkuat basis dakwah, para kader dan simpatisan Muhammadiyah tidak sedikit yang terjebak dalam ritual amal usaha, atau bergumul dalam politik praktis yang temporer, instrumental dan partisan. Ironisnya lagi, para kader yang menjadi pengurus partai politik dan anggota legislative terbukti tidak banyak memberikan kontribusinya pada Muhammadiyah.

Selain itu, penyebab lambatnya gerak dakwah Muhammadiyah adalah karena budaya warga Muhammadiyah yang lebih mudah memahami konsep purifikasi (tanzih) yang mengedepankan logika hasil ketimbang proses. Hal ini nampak dari kebiasaan warga Muhammadiyah yang menjustifikasi persoalan budaya lokal dengan klaim-klaim yang bersifat memvonis, seperti dengan menyebut tahayyul, bid'ah dan khurafat pada budaya lokal yang semestinya dapat dipahami secara santun dan bijaksana.

Sejak tahun 2002 Muhammadiyah kemudian menggagas strategi baru dakwah yang lebih toleran dan kontekstual yang dikenal dengan istilah Dakwah Kultural. Latar belakang gagasan ini adalah bahwa dinamika sosial-budaya dan perkembangan peradaban yang semakin kompleks sehingga diperlukan piranti ikhtiar atau kreativitas dari masyarakat (Fajar, 2004). Sejalan dengan tuntutan strategi kebudayaan dan perubahan sosial, konsep dakwah kultural memuat aplikasi dakwah dalam konteks lokal, ancaman budaya global, apresiasi seni, tantangan multimedia, dan gerakan jama'ah dan dakwah jama'ah.

Berbeda dengan dakwah politik, maka dakwah kultural dalam melakukan transformasi kehidupan umat Islam tidak menempuh jalur politik (praktis), melainkan melalui revitalisasi kultural, yakni lebih menekankan tampilnya Islam sebagai sumber etik dan moral serta landasan kultural dalam kehidupan berbangsa. Maka pada domain ini, dakwah kultural dipahami sebagai "upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" (Tanwir 2003).

Sayangnya, pengejawantahan dakwah kultural ini terkesan setengah hati dan belum maksimal. Banyak warga Muhammadiyah yang masih khawatir jika konsep dakwah kultural ini akan memberangus otentisitas dan menyuburkan sinkretisme, karena memanfaatkan kultur lokal sebagai medium dakwah sama saja dengan merusak kemurnian Islam yang selama ini diyakini warga Muhammadiyah.

Sebenarnya Muhammadiyah memiliki dua arah gerakan sekaligus, yaitu purifikasi (tanzih) dan pembaruan (tajdid). Selain menfokuskan pada persoalan yang telah mahdhah (sentripetal), Muhammadiyah juga menggarap persoalan yang terbuka untuk di-ijtihad-kan (sentripugal). Faktanya wilayah garapan Muhammadiyah mengalami ketimpangan orientasi, dan akibatnya Muhammadiyah lebih dikenal memiliki corak keagamaan yang keras, sinis dan kurang apresiatif pada lokalitas.

Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi Muhammadiyah sendiri karena umat yang awam tentang kemurnian Islam menjadi trauma karena melihat citra Islam yang nampak ganas dan cenderung memaksa, dan dampaknya justru semakin menjauhkan orang dari pola-pola pemikiran Islam ala Muhammadiyah.

Melalui dakwah kultural, Muhammadiyah berupaya menghadirkan wajah Islam yang santun dan bijaksana terhadap budaya lokal. Sebagai sebuah pendekatan, maka dakwah kultural berupaya memahami keberislaman umat dalam konteks sosio-antropologis. Sementara sebagai metode, maka dakwah kultural memanfaatkan kultur lokal sebagai media dakwah. Dengan demikian dakwah kultural tidak bermaksud merusak ajaran Islam melalui persentuhan dengan budaya lokal, namun hanya sebatas medium untuk menjembatani puritanisme Islam dengan tradisi keagamaan turun temurun masyarakat Islam.

Artinya walaupun dakwah kultural menggunakan medium lokalitas, namun Muhammadiyah tetap berpegang pada prinsip purifikasi sebagai orientasi keagamaannya. Hanya saja dibutuhkan perubahan metodologi agar praktek dakwah menjadi lebih apresiatif dan bersahabat dengan tradisi yang ada. Menurut Mu'arif (2005) perubahan tersebut menyangkut cara pandang, sikap inklusif dan perantara yang selama ini terabaikan. Pertama, cara pandang yang selama ini lebih berorientasi pada hasil melalui justifikasi pada klaim-klaim tertentu sehingga menutup ruang dialog, sudah saatnya diubah dengan memperhatikan proses yang berkembang di dalamnya. Dengan proses maka akan terbuka peluang mendiskusikan kembali persoalan yang muncul, sehingga diharapkan akan meminimalisir terjadinya konflik antar umat.

Kedua, warga Muhammadiyah perlu mengedepankan sikap moderat dan inklusif, yaitu berupaya melihat persoalan secara seimbang dengan mengambil sisi manfaat dan memahami sisi mudharatnya untuk kemudian mengedepankan penyelesaian dengan nalar yang sehat tanpa sikap curiga apalagi menghakimi. Ketiga, apa yang disebut sebagai perantara dalam berdakwah adalah perangkat sosial yang meliputi norma, cara pandang, adat istiadat dan sebagainya. Sehingga untuk menghindari image bahwa Islam adalah anti-realitas dan tidak membumi, maka yang perlu dilakukan adalah pengenalan yang mendalam terhadap kondisi sosio-kultural sebuah daerah, memahami kondisi psikologis masyarakat, dan selanjutnya memetakan langkah-langkah strategis termasuk metode penyampainnya.

Dengan perubahan gerakan ini, Muhammadiyah diharapkan dapat lebih leluasa mengembangkan sayap dakwahnya secara lebih progresif dan dinamis sehingga mampu menjawab tantangan dan dampak globalisasi yang semakin kuat. Saat ini, Muhammadiyah juga sudah seharusnya merambah wilayah-wilayah publik yang selama ini kurang mendapat prioritas. Seperti isu budaya global dan dunia multimedia-digital mewajibkan Muhammadiyah hadir sebagai subyek sejarah dalam arus globalisasi. Isu krisis pembangunan, kemiskinan, ketenagakerjaan, kasus penggusuran, masalah kesejahteraan buruh dan petani, lingkungan, KKN, civil society, dan good governance merupakan tantangan sekaligus artikulasi dakwah sosio-kultural baru bagi gerakan Muhammadiyah yang berporos pada paradigma kebudayaan baru.

Penulis adalah:Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: