Rabu, 19 Maret 2008

Digaet PDI-P?

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif


Semula saya mau diam saja tidak akan bicara apa-apa untuk publik terhadap berita seakan-akan saya telah jadi bagian dari parpol, sudah partisan dalam politik. Tetapi karena demikian luasnya tanggapan, khususnya dari para sahabat, seperti Bung Eros Djarot, Pak Soerjadi, Pak Sofjan Wanandi, Bung AM Fatwa, Pak Hasyim Muzadi, Jenderal Muchdi, teman-teman dari perguruan tinggi, Muhammadiyah, dan lintas iman, dan masih panjang daftarnya, maka saya disarankan untuk memberi penjelasan, apa hubungan saya dengan PDI-P.

Sebagai contoh baiklah saya kutip empat SMS saja dari para sahabat itu. Ada tanggapan penghibur dari Pak Soerjadi: "... saya kirim SMS dengan tulus, karena kepercayaan kepada buya tulus. Tindakan apa pun yang buya lakukan atau tidak lakukan aku percaya. Saya tidak termasuk yang heboh. (SMS 6 Agustus 2007, jam 09:51:31).

Dari Bung Eros, karena tidak ingin melihat saya "dicemari" politik kekuasaan, tanggapannya berbunyi: "Saya terpaksa menyampaikan pernyataan duka cita karena Buya Syafii M sobatku telah kehilangan keyakinan bahwa Indonesia tengah benar-benar membutuhkan kepemimpinan para tokoh yang waras lahir bathin dan bebas dari kontaminasi para manusia yang haus kekuasaan ... yah walau berduka tetap saya ucapkan Selamat ber BAITUL ria .. Salam hormat dari saya yang tetap yakin bahwa memanipulasi keimanan umat dosa hukumnya." (SMS 6-8-2007, jam 09:32:06).

Dari AM Fatwa, lain lagi nadanya: "Hati kecil saya bisa memahami dan menerima buya masuk BAMUSI/PDI-P tapi logika politik saya menimbulkan banyak pertanyaan apakah ini fenomena baru dari gerakan Islam Indonesia dan apakah buya memang sengaja melakukan terobosan." (SMS 6-8-2007, jam 15:25:14). Terbaru dari Prof Dr Wan Moh Nor Wan Daud, sahabat dari negeri jiran berbunyi; "Kalau Pak Syafii masuk PDI-P, saya mahu masuk UMNO." (SMS 16-8-2007, jam 20:02). Sangat bervariasi bukan? Setelah saya jelaskan tidak masuk PDI-P, Wan Daud katanya batal masuk UMNO. Ini mungkin hanya sekadar kelakar.

Tentu saya berterima kasih atas semua tanggapan terhadap hubungan saya dengan BAMUSI (Baitul Muslimin Indonesia). Beberapa penjelasan di bawah perlu saya berikan, agar salah paham tidak terjadi, sebab yang memberikan reaksi juga tidak sedikit, seolah-olah apa yang saya lakukan itu akan punya pengaruh politik, padahal rasanya tidak demikian. Saya melihatnya semata-mata dari segi dakwah dan kultural, tidak dari sisi lainnya.

Dalam usia setua ini, akan menjadi sangat tidak arif sekiranya saya masih berambisi masuk partai. Di saat muda dulu saya memang simpatisan berat Masyumi sampai partai ini dibubarkan akhir 1960, tetapi tidak pernah jadi anggota partai manapun hingga sekarang. Sebenarnya yang memicu kehebohan adalah berita Kompas tanggal 6 Agustus 2007, hlm 2 dengan judul: "PDI-P Gaet Syafii Maarif dan Said Agil." Judul ini terasa provokatif, seakan-akan saya sudah menjadi bagian dari PDI-P. Faktanya adalah saya tidak naik panggung untuk dilantik, apalagi pakai seragam.

Siang itu, 5 Agustus, saya diminta berbicara tentang pilar-pilar kebangsaan. Jangankan bergabung dengan PDI-P, masuk partai yang sedikit berbau Muhammadiyah saja, saya pun tidak mau. Akan sangat lucu, seorang warga sepuh, seperti saya, masih punya ambisi politik, bukan?

Kalau begitu, apa sebenarnya yang terjadi? Ada masalah etika persahabatan di sini. Sekitar Juni 2007, Profesor Hamka Haq dan teman-teman dari BAMUSI menemui saya di Maarif Institute, Jl. Thamrin, Jakarta. Saya, kata delegasi itu, diminta Ibu Megawati dan Pak Taufik Kiemas untuk menjadi salah seorang pembina BAMUSI. Dikatakan bahwa pendukung PDI-P sekitar 80 persen Muslim. Mereka inilah yang perlu diberi didikan dan pengertian Islam yang sebenarnya. Itulah tugas BAMUSI.

Persahabatan saya dengan Pak Taufik sudah berlangsung sekitar tujuh tahun. Selama saya jadi pimpinan PP Muhammadiyah tidak sedikit Pak Taufik menyalurkan bantuan dananya melalui saya. Bahkan sampai hari ini, pada saat kami membangun kembali gedung Madrasah Mu'allimin Yogyakarta yang rusak berat terkena gempa, Pak Taufik lewat adik iparnya, Drs H Herianto, saban bulan mengirimkan dana untuk madrasah pusat kader Muhammadiyah ini. Dijanjikan akan dibantu sampai rampung.

Seperti dimaklumi, Pak Taufik adalah saudagar minyak, bukan? Selama kami bergaul tidak terbayang bahwa Pak Taufik ingin menggaet saya agar bergabung dengan PDI-P, sesuatu yang memang tidak mungkin. Jadi, persahabatan kami sebatas kepentingan agama dan kultural, tidak ada sangkut pautnya dengan Pemilu 2009. Oleh sebab itu hendaklah dilihat hubungan saya dengan Pak Taufik tidak memakai kacamata satu dimensi, pasti keliru. Akhirnya, yang amat membebani otak dan batin saya adalah agar bangsa ini segera siuman, tidak hanyut dalam arus budaya kumuh dan busuk.

Tidak ada komentar: