Sabtu, 15 Maret 2008

Muhammadiyah "Sepiring Kue"?

 
Kamis, 13 Maret 2008 | 18:06 WIB

Oleh: Totok H Yanto

(Memperbincangkan Artikel Sidiq Notonegoro dan Khoirul Fata) Membaca tanggapan Ahmad Khoirul Fata yang berjudul Muhammadiyah dan Pasar Bebas Dakwah (Kompas Jatim, 5/3) terhadap tulisan Abd Sidiq Notonegoro yang berjudul Muhammadiyah Maju, Ada yang Sakit Hati (Kompas Jatim, 15/2) penulis pandang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Mengapa? Karena kedua penulis tampak mewakili segmen yang berbeda di dalam Muhammadiyah. Khoirul Fata tampak merepresentasikan diri sebagai wakil kelompok konservatif, sedangkan Sidiq berpihak di kelompok progresif.

Bagi Sidiq, Muhammadiyah kini kerap berinteraksi dengan kelompok Islam radikal yang disebutnya Islam transnasional. Keberadaan Islam transnasional ini dipandang sebagai ancaman bagi nama besar Muhammadiyah yang sekaligus penyandang predikat Islam modernis.

Terlebih dalam beberapa kasus, ancaman tersebut telah mengejahwantah ke dalam tindakan sehingga (menurut Sidiq) ada beberapa aset amal usaha Muhammadiyah yang kemudian berpindah tangan. Lebih dari itu, beberapa kader potensial Muhammadiyah pun termakan oleh bujuk rayunya sehingga dengan tanpa beban meninggalkan Muhammadiyah begitu saja. Karena itu, Sidiq kemudian mengingatkan warga Muhammadiyah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap pengaruh ideologi Islam transnasional ini.

Sebaliknya, Fata memandang umat Islam, termasuk juga (anggota) Muhammadiyah tidak lain adalah sasaran dakwah juga bagi kaum transnasional. Dalam pandangan Fata, eksodusnya beberapa anggota Muhammadiyah ke paham Islam baru yang diusung oleh komunitas transnasional ini merupakan hal yang wajar. Termasuk juga raibnya aset-aset Muhammadiyah merupakan sebuah keniscayaan karena Muhammadiyah saat ini sedang mengalami kegoyahan.

Cukup lumrah

Lepas dari pandangan kedua penulis di atas, ada satu kesan yang bisa saya tangkap. Di satu sisi, Sidiq yang tampak liberal (baca: progresif) masih mengedepankan Muhammadiyah secara ideologis. Memerhatikan hal ini, sesungguhnya Sidiq tidak sedang menempatkan diri sebagai kaum progresif. Sebaliknya, Sidiq justru memosisikan diri sebagai radikalis Muhammadiyah yang cukup kuat. Progresivitas pemikiran (dan dalam bagian-bagian tertentu tampak cukup liberal) yang ditampakkannya menyiratkan begitu kuatnya Sidiq dalam mempertahankan dan menjaga Muhammadiyah.

Hal ini berbeda dengan Fata, yang mungkin bukan orang Muhammadiyah. Pandangan Fata tersebut tidak menampakkan usaha-usaha untuk membela Muhammadiyah. Sebaliknya, Fata tampak lebih bangga dan cenderung membela sepak terjang Islam transnasional daripada menawarkan solusi-solusi konstruktif kepada Muhammadiyah agar terlepas dari incaran kaum trans-nasional.

Semestinya (sekali lagi bila Fata juga kader Muhammadiyah) bila ada kelemahan atau kerapuhan di Muhammadiyah, Fata lebih etis- konstruktif memberikan pemikiran-pemikiran perbaikan bagi Muhammadiyah.

Seperti di dalam tulisannya, Fata tampak memandang Muhammadiyah tidak lebih dari "sepiring kue" yang absah untuk diperebutkan oleh siapa saja. Di mana "sepiring kue" tersebut merupakan kue umum yang boleh dinikmati oleh siapa saja dan dengan cara apa saja.

Fata tampak bangga dengan besarnya kekuatan-kekuatan transnasional. Dalam pandangan Fata, perkembangan kekuatan Islam transnasional yang relatif cepat tersebut dipandang sebagai satu bentuk kesadaran umat untuk menemukan Islam yang sesungguhnya.

Namun, ada satu hal yang tidak dicatat (atau sengaja untuk tidak diekspos?) oleh Fata, sejauh mana metode yang dipraktikkan oleh kelompok transnasional tersebut. Apakah sudah menggunakan metode dakwah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW atau belum? Misalnya, berkaitan dengan etika atau sopan santun dalam dakwah. Akan tetapi, bila Fata memandang merekrut massa dari kereta Muhammadiyah menjadi hal yang lumrah, maka penulis dapat mengatakan sebagai strategi dakwah yang cenderung menghalalkan segala cara.

Pasar bebas

Sesungguhnya bukanlah perilaku dakwah yang mengedepankan unsur- unsur etis bila memandang Muhammadiyah sebagai "sepiring kue". Bahwa mengajak warga Muhammadiyah agar mau berpindah ideologi (ke transnasional) adalah hal yang cukup lumrah. Akan tetapi, bila cara mengajak tersebut disertai dengan klaim-klaim atau memandang sesat paham Muhammadiyah, maka transnasional pun tidak ubahnya organisasi- organisasi lain yang menjauh dari norma-norma Islam itu sendiri.

Ada satu hal yang menarik dari Fata yang memandang Muhammadiyah sebagai bagian dari "pasar bebas". Padahal, dalam tulisannya, Fata tampak menyiratkan diri sebagai sosok "antiliberalisme". Namun, wacana "pasar bebas" dakwah yang dilontarkannya secara tidak langsung mengamini keabsahan paham liberalisme. Sebab, lahirnya sistem dan istilah "pasar bebas" tidak bisa dilepaskan dari kelahiran paham liberalisme itu sendiri.

Tampaknya inilah kesuksesan kaum progresif di dalam meng-counter pemikiran-pemikiran kaum konservatif yang sangat membenci pengikut Islam progresif. Sampai-sampai mereka menyebarkan istilah-istilah yang tidak etis kepada kader Islam progresif. Misalnya, mengakronimkan sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme dengan istilah Sipilis.

Hal ini secara tidak langsung seperti apa yang terjadi dengan Muhammadiyah. Untuk menjadikan seseorang bermoral seperti Muhammadiyah, tidak harus menjadikan mereka menjadi anggota Muhammadiyah (yang dibuktikan dengan pemilikan kartu anggota). Namun, cukup menjalankan praktik-praktik peribadatan dan sistem pemikiran seperti apa yang dilakukan Muhammadiyah.

Maka kalau disimpulkan, langkah-langkah pioner transnasional di Indonesia dalam memasarkan ideologinya ternyata tampak lebih liberal daripada mereka yang selama ini dicap sebagai kaum liberalisme oleh kalangan konservatif radikal.

Totok H Yanto Pemerhati Sosial Keagamaan, Tinggal di Sidoarjo

 

Tidak ada komentar: