Kamis, 20 Maret 2008

Dakwah Kultural Membendung Radikalisme Oleh Zuly Qodir


“Tetapi apa yang akan terjadi jika NU dan Muhammadiyah tidak dengan sigap dan segera melakukan counter atas bangkitnya gejala radikalisme di kalangan Islam? Hemat saya tidak ada lain kecuali, NU dan Muhammadiyah sangat mungkin dituduh berada dibalik seluruh aktivitas kaum radikal yang beberapa personalnya telah ditangkap dan dijatuhi hukuman baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup, di dalam negeri atau di luar negeri”

Pencitraan Islam adalah agama kekerasan, tidak ramah dan intoleran oleh negara-negara Barat memang menjadikan beban psikologis umat Islam Indonesia sangat dalam. Lebih lagi ketika pencitraan tersebut berujung pada kata Islam adalah teroris. Mengapa ada citra demikian pejoratif atas Islam, inilah yang kemudian coba dieliminir oleh Lembaga Dakwah NU dan Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah dengan menggelar The Jakarta International Islamic Conference: Strategi Dakwah Menuju Ummatan Wasathan dalam Menghadapi Radikalisme 13-15 Oktober 2003.

Menarik apa yang dilakukan dua lembaga di bawah payung organisasi Islam terbesar di dunia, bukan saja di Indonesia. Mengapa, sebab pada tubuh dua organisasi Islam inilah citra Islam banyak diharapkan. Artinya, ketika NU dan Muhammadiyah tidak dapat menghadirkan “wajah Islam” yang ramah dan toleran sebagaimana harapan banyak orang, yang terjadi adalah semacam afirmasi atas gejala munculnya radikalisme Islam di Indonesia seperti belakangan marak sejak tiga tahun terakhir.

Sungguh berat beban NU dan Muhammadiyah memang harus diakui. Tetapi jika tidak berupaya dengan segera dan strategis maka citra Islam sebagai agama penabur kekerasan dan kebinasaan akan semakin kental, sehingga secara tidak langsung merongrong kewibawaan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin akibat reduksi dari umat Islam sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak mencerminkan representasi jamaah terbesar umat Islam Indonesia.

Nilai strategis
Dalam konteks itulah, The Jakarta International Islamic Conference yang diselenggarakan LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah dengan menggagas strategi dakwah Islam membendung radikalisme menemukan signifikansinya. Signifikan dari segi isu yang diangkat, serta signifikan dari segi populasi jamaah Islam Indonesia.

Jika apa yang telah dibahas dalam conference selama tiga hari dapat berjalan dengan lancar dalam arti tersosialisasikan ke tengah umat, maka tidak khayal lagi akan ada semacam “semangat baru” dalam tubuh umat Islam yang tengah tercabik-cabik dengan isu radikalisme dan terorisme. Tentu saja radikalisme dan terorisme bukan menjadi tujuan orang berislam, tetapi dengan munculnya gejala ini menjadikan bagian kecil dari Islam seakan-akan memiliki tujuan hidup menjadikan umatnya sebagai teroris.

Dari sinilah kemudian bahaya-bahaya redusir atas paham-paham tasamuh, persaudaraan, kerjasama, keselamatan dan rahmat menjadi semakin nyata adanya. Celakanya adalah dikonstruksikan oleh mereka yang merasa sebagai “pembela Tuhan”, sehingga orang yang tidak berada dalam pahamnya dianggap sebagai “musuh Tuhan” sehingga pantas untuk dilenyapkan, sebab halal darahnya. Sesama umat Islam bahkan dapat saling baku bunuh karena merasa mempertahankan kebenaran yang dipikulnya. Prinsip-prinsip sesama umat Islam adalah saudara acapkali tersingkir oleh egoisme kelompok yang membara dan menggebu-gebu, tanpa rasionalitas yang jelas.

NU dan Muhammadiyah jelas terpukul dengan klaim-klaim sebagian kecil umat Islam yang semacam itu. NU dan Muhammadiyah memang sudah seharusnya tidak rela atas klaim yang dilakukan sekelompok umat Islam Indonesia yang atas nama membela Tuhan menghancurkan citra damai, ramah dan bersaudara dari misi profetik Islam.

Tetapi apa yang akan terjadi jika NU dan Muhammadiyah tidak dengan sigap dan segera melakukan counter atas bangkitnya gejala radikalisme di kalangan Islam? Hemat saya tidak ada lain kecuali, NU dan Muhammadiyah sangat mungkin dituduh berada dibalik seluruh aktivitas kaum radikal yang beberapa personalnya telah ditangkap dan dijatuhi hukuman baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup, di dalam negeri atau di luar negeri.

Oleh sebab itulah, The Jakarta International Islamic Conference LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah buat saya sungguh tepat dan mengenai sasaran. Sekali lagi tinggal bagaimana hubungan mesra sebagai bentuk “bulan madu” babakan baru NU-Muhammadiyah dapat terus berlangsung di negeri ini, sehingga dua ormas Islam terbesar ini mampu menampakkan pada publik di level internasional bahwa Islam bukanlah sebagaimana yang mereka citrakan selama ini; Islam sebagai teroris dan kelompok radikal yang kerjanya menganggu keamanan negara lain, atau dalam negeri.

Sebagai jamaah Islam terbesar, memang NU dan Muhammadiyah terlalu sering mendapatkan pekerjaan rumah yang berat, bahkan menohok ulu hati sehingga jika tidak berhati-hati merespon akan menjadi bumerang pada NU dan Muhammadiyah sendiri. Sudah bergerak pun masih diperolok-olok tidak strategis, tidak responsif, dan sejenisnya yang jika ditelusuri ujung-ujungnya adalah hendak mendeskreditkan NU dan Muhammadiyah.

Barangkali memang tidak adil juga menumpahkan seluruh harapan pencitraan Islam Indonesia hanya kepada NU dan Muhammadiyah. Tetapi, berharap kepada ormas Islam yang lainnya juga belum tentu mendapatkan afirmasi positif tentang keinginan mayoritas umat. Inilah problem yang sebenarnya menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam Indonesia.

Dakwah Kultural
Tatkala sebagian besar perhatian kita tercurahkan pada perhelatan politik menjelang Pemilu 2004, maka kehadiran LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah bergerak dalam wilayah dakwah Islam menjadikan bangsa ini tidak saja bergerak pada aras politik, tetapi kultural.
Dakwah kultural—tanpa perlu saya mendefinisikan terlebih dahulu—sungguh-sungguh sebuah itikad baik yang perlu disambut oleh umat Islam Indonesia. Kita tahu bahwa NU dan Muhammadiyah juga tidak bisa imun dari masalah politik, karena itulah dakwah kultural menjadi semakin penting untuk diperhatikan dan segera dilaksanakan.

Dakwah kultural, sebenarnya sebuah gerakan dakwah yang mengusung tema-tema genuine keindonesiaan sehingga sangat kontekstual dan “membumi”. Oleh sebab itu, dakwah kultural bukanlah strategi dakwah melawan sesama umat Islam, tetapi melakukan kontekstualisasi tafsir-tafsir atas doktrin dengan problem-problem yang muncul di tengah masyarakat Islam.
Disebabkan belakangan muncul gejala kebangkitan radikalisme Islam Indonesia, maka strategi dakwah yang digagas NU dan Muhammadiyah harus tepat dengan isu yang muncul sehingga sekalipun secara tidak langsung melawan radikalisme Islam, tetap akan menjadi perimbangan dan kontrol atas radikalisme Islam itu sendiri. Tentu saja tidak semua orang paham dengan konsep dakwah kultural NU dan Muhammadiyah, tetapi sekurang-kurangnya akan menemukan common sense ketika NU dan Muhammadiyah mampu merespons masalah-masalah aktual yang muncul mengepung umat Islam.

Strategi dakwah kultural NU dan Muhammadiyah karena itu harus benar-benar dikemas untuk mencoba memberikan respons pada gejala sosial yang muncul, bukan pada masalah-masalah klasikal seperti membeberkan pada jamaah tentang ritual-ritual simbolik sebagaimana selama ini dikerjakan oleh sebagian besar ormas Islam, termasuk NU dan Muhammadiyah. Dakwah kultural NU dan Muhammadiyah hemat saya harus mengarah pada pembongkaran “kemungkaran-kemungkaran sosial” seperti terorisme dan radikalisme, korupsi dan nepotisme, kemiskinan, kebodohan serta sejenisnya.

Penutup
Jika NU dan Muhammadiyah mampu meng-create tema-tema yang menjadi bentuk “kemungkaran sosial” sungguh-sungguh akan menemukan relevansi ketika umat Islam tengah berada dalam keterasingan teologi rahmatan lil alamin yang mendamaikan dan toleran. Kemungkaran sosial harus dijadikan musuh bersama umat Islam, jangan ditunda-tunda lagi sehingga bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan.
Sebagai refleksi akhir, ingin saya kemukakan sekali lagi bahwa keberhasilan NU dan Muhammadiyah dalam menampilkan Islam yang damai di Indonesia, hemat saya ketika dua ormas Islam terbesar ini mampu melakukan counter atas munculnya radikalisme secara non violence, bukan dengan cara-cara violent sebab cara violent hanya akan menumbuhkan bentuk-bentuk violence lain yang bahkan lebih dahsyat.

Zuly Qodir, peserta program doktor sosiologi UGM.

Tidak ada komentar: