Minggu, 02 Maret 2008

PBNU: Pilkada Sebaiknya Dihapus



JAKARTA, JUMAT-Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, selain memakan biaya yang sangat besar dan supaya tidak menimbulkan konflik horisontal serta tidak membuat polarisasi di antara kelompok di masyarakat, ada baiknya pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) dihapuskan dan diganti dengan pemilihan pimpinan daerah secara tidak langsung, yakni melalui DPRD Tingkat I maupun DPRD Tingkat II.

Pemilihan umum yang tetap ada adalah pemilihan umum bagi calon anggota DPR pusat dan pemilihan bagi calon presiden dan wakil presiden. Hal itu dungkapkan oleh Hasyim menjawab pers, seusai bersama pengurus PBNU lainnya bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta,Jumat (25/1) siang ini. Hasyim di antaranya didampingi Tolcha Hassan, wakil Rois Aam PBNU.

"Saya kira, pilkada di Indonesia itu terlalu banyak. Menurut saya yang bagus itu (pemilihan) bagi Presiden dan Wapres serta DPR saja, yang dipilih langsung. Yang lainnya itu dipilih melalui DPRD saja masing-masing. Ngabisin duit dan juga berpotensi terjadinya polarisasi di masyarakat," ujar Hasyim.

Ditanya apakah usulan PBNU itu bukan sebuah kemunduran demokrasi sekarang ini, Hasyim langsung menukas," Oh, tidak, sepanjang DPRD-nya itu aspiratif. Yang bikin (demokrasi) mundur itu kan, karena DPRD-nya tidak aspiratif dari kelompok yang diwakili."

Namun, saat didesak lagi oleh pers bahwa justru permainan uang atau politik uang selama ini justru paling besar terjadi di DPRD, Hasyim menjawab lagi," Lebih bisa daripada duit diecer-ecer atau dibuang-buang ke masyarakat sehingga demokrasi yang wujudkan maah menjadi demokrasi sembako."

Perlu wawasan kebangsaan

Hasyim mengakui selama lima tahun belakangan ini, sejak dilakukannya Pilkada, pemilihan DPR, DPRD Tingkat I dan Tingkat II serta pemilihan Presiden dan Wapres serta DPD, konflik dan polarisasi masyarakat kerapkali terjadi. Yang justru banyak menjadi korban adalah masyarakat bawah, termasuk warga Nadhliyin yang mendukung para kandidat.

"Kalau dukungan dan pilihan calon kandidat saja, itu tidak ada persoalan. Namun, jika sudah terpola, akan terjadi konflik antara massa pendukung kandidat. Ini banyak terjadi di daerah-daerah sehingga NU harus dikonsolidasikan, yaitu bagaimana dia tetap memilih namun tetap bersatu dalam wawasan keagamaan. Dan pilihan mereka terhadap calon kandidat adalah bukan perbedaan, akan tetapi alternatif. Jika tidak, bupati sudah terpilih namun Kiayai-nya tetap ribut," jelas Hasyim.

Diberi contoh oleh Hasyim bahwa jika terjadi pilkada, para kandidat-kandidat itu selalu datang ke kiai-kiai serta para santri. "Selama ini, kan, kunjungan mereka itu selalu dikristalisasikan (dipolitisasi sebagai dukungan). Setelah pilkada itu selesai, kristal itu belum mencair dengan kristal yang lain. Apalagi jika itu membawa isu agama dalam pilkada. Itu, jelas berbahaya, " lanjut Hasyim.

Oleh karena itu, tambah Hasyim, untuk "mengobati" polarisasi masyarakat-nya, PBNU dalam peringatan Hari Lahir (Harlah) NU ke-82 pada Januari hingga awal Februari mendatang, berusaha melakukan netralisasi.

"Memang tidak cukup netralisasi oleh PBNU dalam Harlah sebulan penuh itu, akan tetapi kita mulai upaya itu dengan Harlah NU. Jadi, setelah ini, kita adakan pengkaderan-pengkaderan wawasan sehingga secara strukural dan kutural itu merata. Tetapi, bahwa orang dibangkitkan dulu itu penting," demikian Hasyim. (HAR)

Tidak ada komentar: