Kamis, 13 Maret 2008

Problem Dakwah 2008

Harwanto Dahlan

Tahun depan, 2008, adalah tahun pemanasan, bukan pemanasan global melainkan pemanasan nasional menjelang pemilihan presiden tahun berikutnya. “Sudah tradisi” begitu kata iklan, bahwa umat Islam akan diperebutkan suaranya. Dan cara paling jitu untuk merebut suara mereka adalah dengan menjadikan pemimpin mereka sebagai pendulang suara alias vote getter. Celakanya, politik tidak pandang bulu dalam memilih pemimpin atau tokoh Islam (lagi pula kalau memandang bulu, hanya monyet, gorila dan sejenisnya yang akan kelihatan). Tidak peduli apakah tokoh Islam itu memimpin organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah, memimpin pondok pesantren, atau pemimpin informal, sampai pada sekedar pemimpin organisasi kelas teri dan sekedar papan nama yang hidup mirip jamur, hanya pada musim hujan.. hujan sumbangan.
Tingkat kelakuan (dari kata laku, alias dibeli, alias laris) para tokoh Islam tidak lepas dari mitos—yang bagi demokrasi hal itu dianggap realistis—bahwa kepemimpinan yang tepat di Indonesia adalah kombinasi sipil dan militer, Islam dan abangan. Apakah kombinasi keduanya bisa berjalan baik dan efektif membawa kesejahteraan bagi rakyat ternyata bukti empirisnya belum ada. Soekarno dan Hatta mungkin bisa dianggap mewakili jenis Islam-Abangan, namun keduanya berpisah di perjalanan. Soeharto menggandeng Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wujud kombinasi militer-sipil namun juga tidak bisa efektif. Sekarang kombinasi militer-sipil malah makin remuk. Maka kombinasi Islam-Abangan memang lebih cenderung mitos apabila berkorelasi dengan keberhasilan kepemimpinan, tetapi bagi perhitungan suara ia bukan mitos, ia kenyataan yang selalu menjadi pertimbangan. Di tingkat pemilihan lokal kombinasi itu banyak diterapkan dan cukup berhasil. Lihatlah keberhasilan koalisi PDIP-PAN atau mungkin kombinasi PDIP-PKB di beberapa kabupaten di seluruh Indonesia. Konsekuensi yang kemudian muncul tentu saja rekrutmen para tokoh atau pemimpin Islam oleh partai-partai politik.
Rayuan untuk menjadi eksekutif bertubi-tubi datang dan sulit ditolak. Bagi ormas seperti Muhammadiyah, kader-kader mumpuni yang biasanya menduduki posisi di PDM banyak yang menjadi wakil Bupati. Yang di tingkat wilayah diincar untuk posisi gubernur atau wakil gubernur. Nah, pertanyaannya, apakah kecenderungan seperti ini akan juga terjadi di tingkat nasional? Meskipun baru rumor, hal ini tampaknya sudah terjadi. Beberapa wacana mencuatkan spekulasi bahwa Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin akan berdampingan dengan Megawati—sebuah spekulasi yang segera dibantah dengan “Saya akan terus berkhidmat di Muhammadiyah” tentu saja ditambah dengan istilah ekonomi ceteris paribus. Kalau nanti warga Muhammadiyah ternyata menghendaki, ya, tentu saja persoalan itu akan “diserahkan” kepada mereka.
Kondisi-kondisi yang seperti di atas, ditambah dengan pengalaman pemilu 2004 dan kedekatan kader-kader Muhammadiyah dengan PAN sudah menciptakan anggapan bahwa Muhammadiyah, tentu saja sekali lagi kader-kadernya, identik dengan PAN. Stigmatisasi tersebut ditambah dengan persoalan Muhammadiyah selaku ormas dengan PKS yang harus diakui bahwa kader Muhammadiyah banyak berkhidmat di sana—dan dengan sendirinya secara ideologis telah meninggalkan Muhammadiyah. Bahkan, kita melihat perkembangan terakhir sebagian kader muda Muhammadiyah mendeklarasikan berdirinya PMB (Partai Munculnya Belakangan? bukan, Partai Matahari Bangsa). Di sini problem dakwah yang sesungguhnya mulai. Bagaimana Muhammadiyah menghindar dari anggapan sebagai penyedia pejabat partai atau pejabat politik adalah problem dakwah yang serius. Bila persoalan ini tidak ditangani dengan seksama, masyarakat umum akan enggan ber-Muhammadiyah karena akan menilai Muhammadiyah terlalu berpolitik. Salah satu konsekuensi, Muhammadiyah akan diisi orang-orang yang punya syahwat politik yang hanya memanfaatkannya sebagai kendaraan semata. Selain itu, kenikmatan menjadi pejabat politik, baik eksekutif maupun legislatif, akan menyeret para kader Muhammadiyah yang benar-benar bagus untuk menjadi orang politik. Satu efek jangka pendek adalah kelangkaan Muhammadiyah akan kader-kader organisasi yang bagus karena menjadi kader politik. Efek berikutnya adalah, kelangkaan kader menyulitkan operasional dakwah. Dalam jangka panjang dampak yang muncul sudah bisa diperhitungkan, mulai dari perasaan tidak menarik lagi untuk ber-Muhammadiyah, sampai pada tidak pede alias percaya diri lagi menjadi orang berlabel Muhammadiyah. Akhirnya, amal usaha Muhammadiyah tidak lagi ada yang mengurusi sehingga mudah untuk diurusi orang lain.
Problem utama dakwah Muhammadiyah bersifat internal. Apabila bisa mengatasi persoalan internal, Muhammadiyah akan tetap besar dan menjadi interest group yang diperhitungkan oleh pemerintah. Berpolitik tidak harus langsung dengan menjadi partai politik atau pejabat politik. Ia bisa berupa pengaruh melalui interest group, organisasi yang bernama Muhammadiyah, yang bisa jauh lebih efektif dalam mencapai tujuan daripada melalui partai.l

Tidak ada komentar: