Selasa, 22 Mei 2007

Dakwah Muhammadiyah di Tengah Hegemoni Partai Politik
Print E-mail
Kamis, 02 Pebruari 2006
Oleh: Ahmad Haidar

Persyarikatan Muhammadiyah dalam perjalanan dakwahnya sering bersinggungan dengan permasalahan politik. Dalam memasuki Pemilu atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya,
Muhammadiyah mau tidak mau harus mengambil sikap politik dalam kerangka menegakkan moralitas bangsa dalam berpolitik. Sikap politik tersebut penting untuk diambil demi menjaga kader-kader Muhammadiyah di tingkatan grass root (akar rumput) agar tidak membawa Muhammadiyah masuk dalam politik praktis walaupun secara institusional Muhammadiyah membebaskan setiap warga Muhammadiyah untuk bersimpati dan berafiliasi ke partai politik (Parpol) manapun. Namun Muhammadiyah sering dihadapkan pilihan-pilihan yang sifatnya dharurat (terpaksa) untuk masuk dalam kancah politik praktis, misalnya Muhammadiyah harus mengambil sikap mendukung calon presiden atau kepala daerah tertentu demi menyelamatkan kepentingan dakwah Muhammadiyah. Akan tetapi Muhammadiyah tidak harus terjebak dalam pilihan sulit untuk masuk kawasan politik praktis apabila Muhammadiyah memiliki langkah antisipasi. Muktamar Muhammadiyah ke-45 yang berlangsung di kota Malang beberapa waktu yang lalu merupakan saat bagi persyarikatan untuk merumuskan langkah politik moral (moral force) yang cerdas demi menyelamatkan Muhammadiyah dari jebakan politik praktis.


Muhammadiyah Diuntungkan

Prinsip Muhammadiyah harus diuntungkan dalam setiap pengambilan langkah politik moral hendaknya menjadi pegangan bagi pimpinan dan kader persyarikatan. Bukan berarti ketika Muhammadiyah mempunyai prinsip harus untung maka Muhammadiyah tidak lagi menjadi organisasi yang komitmen terhadap penegakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan sebaliknya menjadi organisasi bermental "kapitalis" yang hanya mengejar keuntungan duniawi semata.

Sebagai sebuah organisasi masa (Ormas) yang cerdas tentu Muhammadiyah dalam berdakwah harus mempertimbangkan betul efisiensi dan efektifitas dalam berdakwah. Artinya keikhlasan dan pengorbanan para pemimpin dan kader Muhammadiyah dalam berjuang hendaknya diimbangi dengan planning (perencanaan) strategi dan taktik yang matang. Meminjam istilahnya Amien Rais strategi ialah siasat atau tipu daya untuk mengalahkan lawan yang sifatnya jangka panjang, sedangkan taktik adalah siasat atau tipu daya yang bersifat temporer. Jadi strategi dan siasat sangat dibutuhkan oleh Muhammadiyah agar tidak dikatakan oleh orang lain sebagai organisasi yang bodoh karena tidak mengalami perkembangan namun terus mengalami kemerosotan.

Kaitannya dengan bagaimana berpolitik moral yang menguntungkan, maka Muhammadiyah perlu menyusun strategi maupun siasat yang brilian agar Muhammadiyah tidak terjerembab dalam pusaran politik praktis. Muhammadiyah yang besar dari segi massa dan amal usaha menjadi incaran empuk bagi Parpol manapun demi memenuhi hasrat kekuasaan mereka. Pada momen Pemilu atau Pilkada misalnya banyak tokoh Parpol yang mendekati pimpinan Muhammadiyah dengan tujuan agar Muhammadiyah memberikan dukungan moral maupun materiil kepada Parpol itu untuk duduk di pemerintahan. Tentu dengan dukungan itu Muhammadiyah mendapatkan kompensasi tertentu. Tawaran Parpol kepada Muhammadiyah agar terjun ke politik praktis memang sangat menggiurkan.

Dalam sebuah contoh kasus misalnya Parpol A yang tergolong partai besar mengajak Muhammadiyah untuk bekerjasama dalam pencalonan presiden atau kepala daerah. Parpol A menawarkan kepada Muhammadiyah agar kadernya ada yang didelegasikan menjadi calon presiden atau kepala daerah, sedangkan sebagai wakilnya berasal dari Parpol A. Parpol A juga menawarkan bahwa seluruh pendanaan akan ditanggung oleh Parpol A. Tentu Muhammadiyah akan berpikir keras untuk menerima atau menolak tawaran itu karena jika menerima maka Muhammadiyah akan dikatakan telah bermain politik praktis sedangkan jika menolak maka akan hilang kesempatan baik untuk memperkuat pengaruh Muhammadidiyah di kekuasaan. Salah-salah apabila Muhammadiyah tidak bisa bermain cantik dan cerdas maka Muhammadiyah akan benar-benar terjun ke dunia politik praktis. Itulah pentingnya prinsip untung dalam berpolitik moral, Muhammadiyah tetap murni terjaga sebagai gerakan nonpartisan dan juga mampu berperan aktif memberikan pencerahan dan perbaikan di kancah politik dan pemerintahan.


Komitmen di Jalur Politik Moral

Untuk menjaga persyarikatan Muhammadiyah agar tidak terjerembab dalam pusaran politik praktis maka pimpinan dan kader Mulammadiyah harus memantapkan pilihan untuk memposisikan Muhammadiyah sebagai gerakan nonpartisan. Muhammadiyah akan lebih selamat ketika menjadi kelompok penengah (wasith) dalam percaturan politik lokal maupun nasional.

Memang sangat susah ketika Muhammadiyah berperan sebagai penengah tatkala tidak memiliki kader-kader yang militan dan memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang handal. Apalagi jika Muhammadiyah tidak siap mengkader pengikutnya untuk diterjunkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya maka Muhammadiyah tidak akan disegani bahkan akan mudah diperalat oleh orang lain.

Institusi pendidikan yang merupakan kebanggaan warga persyarikaran hendaknya dijadikan basis pembinaan akhlak dan intelektual bagi umat Islam umumnya dan kader persyarikatan khususnya agar mereka bisa menjadi intelektual yang profesional dan komitmen terhadap dakwah Muhammadiyah. Institusi pendidikan Muhammadiyah jangan hanya dijadikan sarana transformasi ilmu dan nilai semata sebab akan tidak produktif bagi persyarikatan. Intelektual yang profesional dan komitmen terhadap dakwah Muhammadiyah merupakan harapan untuk menghantarkan Muhammadiyah mewujudkan cita-cita luhurnya yaitu baldatun thayyibatun warabbun ghafuur, sebab intlektual yang profesional tidak akan mudah goyah dengan tawaran kekuasaan (jabatan). Sedang intelektual yang mempunyai komitmen terhadap Muhammadiyah akan terus menjaga khitah perjuangan Muhammadiyah.

Cita-cita luhur Muhammadiyah harus terus diposisikan lebih utama daripada kepentingan politik praktis yang hanya menguntungkan Muhammadiyah untuk sesaat. Meminjam istilahnya Fazlur Rahman apabila yang ideal (cita-cita) tidak berada dalam posisi yang lebih tinggi, maka kesadaran nurani akan menjadi tumpul. Tentu warga Muhammadiyah tidak ingin melihat Muhammadiyah hancur akibat kadernya terlena oleh kesibukan untuk memperoleh kekuasaan dan lupa akan tugasnya yang utama untuk mewujudkan cita-cita Muhammadiyah.

Penulis adalah Aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kabupaten Sleman.

Tidak ada komentar: