Selasa, 22 Mei 2007

Pemurnian Islam Tidak Menghambat Berkesenian
Print E-mail
Kamis, 02 Pebruari 2006

Suatu hari di tengah terik matahari Zaky anak Ahmad bersama kawan-kawan terlihat sangat asyik memainkan kuda lumpingnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tampak tatkala Zaky kelelahan, dia pun berpura-pura tergeletak dan meminta minum air putih. Dan di beri minum air putih oleh Mubarok anaknya bapak Haji Sabar. Baik Zaky maupun Mubarok adalah anak tokoh Muhammadiyah di kampong Anom.
Masyarakat kampong Anom 90 % merupakan jamaah Muhammadiyah. Ormas Islam Modernis yang telah mencanangkan dakwah cultural sebagai salah satu strategi melanggengkan kebudayaan yang ada di pedesaan. Pedesaan di jadikan bagian dari sasaran dakwah Muhammadiyah, karena senyatanya belakangan warga desa juga mengikuti Muhammadiyah yang dikenal puritan.
Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat “pemurnian”, sehingga kesannya angker, sebab banyak dari warga pedesaan khususnya merasa segala aktivitas berkesenian akan dilarang. Muhammadiyah dianggapnya anti berkesenian. Padahal, tidak semua kesenian itu bertentangan dengan ajaran Islam. Kesenian sendiri adalah produk manusia. Karena itu kesenian adalah kebudayaan. Seperti halnya pemahaman terhadap kitab suci, itu adalah produk manusia, sehingga hasil pemahaman atas kitab suci adalah relative, tidak ada yang mutlak benar. Demikian pula kesenian, itu relative, tergantung darimana dan bagaimana bentuk kesenaiannya.
Ahmad Tohari, penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, berkisah bahwa Muhammadiyah itu kering dalam berdakwah, sebab kurang berkesenian. Padahal tidak semua jenis kesenian itu bertentangan dengan Islam. Banyak hal-hal yang sebenarnya bisa dipakai untuk berdakwah. Semestinya para dai melakukan imporovisasi yang menghasilkan kesenaian-kesenian baru yang dapat dijadikan sarana dakwah, bukan melarang seluruh jenis kesenian. Wayangan misalnya, tidak akan menjadi sirik jika yang diambil adalah ajaran tentang budi pekerti anak pada orang tua, kata budayawan asal Banyumas.
Menurut Tohari, demikian katanya : “Yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana kesenaian atau budaya yang tidak sesuai dengan Islam disesuaikan dengan ajaran Islam. Bila kita melihat adanya vulgarisme budaya, hal itu karena kurangnya kesenian dalam kehidupan, sehingga tidak ada lagi kehalusan dalam kehidupan. Mestinya orang Muhammadiyah banyak melakukan eksperimen kesenian sehingga tidak gampang mengatakan bahwa ini tidak Islami, sebab banyak kebudayaan yang bisa menjadi Islami, semua tergantung bagaimana kemasan dan mengaktualisasikannya”, tandas budayawan asli Banyumas.
Sementara Syamsul Hadi, salah satu tokoh Muhammadiyah dari Yogyakarta, mengatakan boleh saja Muhammadiyah melakukan eksperimen yang memunculkan strategi budaya baru, namun jangan terlalu cepat di ekspos ke public, hingga nanti acceptable baru di launching, mengingatkan. Yang terpenting adalah bagaimana eksperimentasi budaya tersebut tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat, sebab diakuinya dalam Muhammadiyah masih banyak yang belum menerima konsep kebudayaan, karena kebudayaan seringkali dikategorikan sebagai hal-hal yang akan merusak akidah seseorang, selain juga dekat dengan bidah dan khurafat, kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Jika menengok Muhammadiyah, pengajar UGM dan FAI UMY ini menambahkan, budaya yang bagus sebenarnya telah tertanam dalam Muhammadiyah, seperti budaya tidak korupsi, sehingga sampai sekarang tidak ada orang Muhammadiyah yang terjerat kasus korupsi, sebagaimana sekarang sering terpampang di media massa, tokoh politik terjerat kasus korupsi. Ini salah satu kelebihan Muhammadiyah, sebab Muhammadiyah bukan organisasi politik, sehingga jauh dari budaya korupsi yang sering menjangkiti perilaku-perilaku politisi di negeri kita, tambah ahli sastra Arab UGM.
Jika akan disimpulkan, sebebanrya budaya yang dilahirkan Muhammadiyah adalah budaya yang tidak melahirkan korupsi, budaya saling terbuka, dan budaya diskusi, bukan budaya yang melahirkan kontroversi. Sehingga tidak ada eksperimen yang menjilat kelompok lain. Ke depan, kata Syamsul, yang harus dilakukan adalah bagaimana Muhammadiyah mengembangkan budaya yang mengandung spirit Islam, sehingga eksperimen kebudyaaan Muhammaidyah adalah kebudayaan yang maujud dalam bentuk kegiatan seperti Bank Syariah yang dijiwai Islam.
Semua itu, lanjut mantan Ketua Jurusan Sastra Arab UGM, didasarkan pada sikap amanah yang tinggi dari setiap orang untuk mengembangkan kemampuannya. Hanya dengan sikap amanah inilah, segala sesuatu akan bisa berjalan lancar, tidak muncul kemunafikan di mana-mana.
Kekhawatiran adanya pergeseran budaya di sinyalir oleh Triman Laksana, dengan mengatakan bahwa “Saat ini telah terjadi degradasi kebudayaan. Semua itu berpangkal pada adanya pencangkokaan budaya Eropa-Amerika, sehingga sudah Amerika minded, dengan meninggalkan budaya local”.
Sastrawan asal Jawa Tengah yang tinggal di Magelang ini mengingatkan, khususnya kaum mudanya agar tidak terhipnotis dengan budaya-budaya asing, yang tampaknya serba glamour dan menjanjikan. Sebab semua itu hanya tampak luar saja, tetapi sejatinya menghapus kekayaan-kekayaan budaya local yang kita punyai. Padahal budaya local kita tidak kalah arifnya dibanding budaya asing tersebut.
Di situlah, lanjut, Budayawan Jawa Tengah ini mengatakan perlunya Muhammadiyah mengembangkan moralitas yang santun, etik dan bijaksana, sehingga dakwah-dakwah Muhammadiyah tidak lagi bersifat justifikasi halal-haram atas fenomena yang terjadi di masyarakat. Muhammadiyah harus memainkan segala instrument budaya dalam masyarakat, sehingga rakyat yang sudah menderita tidak tambah menderita karena terus-menerus harus bersabar.

Benturan Budaya
Sekarang ini tengah berkembang penetrasi budaya kapitalis di negeir ini. Munculnya sinetron-sinetron di televise yang menjual religiusitas dan mistik, adalah bentuk lain dari penetrasi budaya kapitalis, sehingga apa saja yang dianggap laku bagi masyarakat diproduksi untuk konsumsi public. Di sini umat Islam tampak sekali terpengaruh dengan penetrasi budaya kapitalis yang tampak anggun dan menawarkan keberkahan, padahal itu menyesatkan, tandas Triman Laksana.
Tayangan Rahasia Ilahi yang sering menayangkan kuburan dan mayat itu menyebabkan anak-anak kita tidak lagi takut pada mayat dan kuburan, padahal bukan itu maksud dari mengapa kita harus mengingat mati, Triman bertanya.
Sungguh inilah budaya yang salah kaprah tengah melanda kita semua, sehingga dibutuhkan sebuah strategi budaya yang dapat dinikmtai public, tanpa harus kehilangan substansi nilai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Muhammadiyah, seharusnya berada di sana untuk mengemban dakwahnya yang apresiatif dengan kultur local, bukan membabat habis kultur local dengan dalih pemurnian. Pemurnian akidah tidak sama dengan pemurnian budaya dan berkesenian, sebab kesenian tidak seluruhnya sirik.
Sebenarnya, tayangan-tayangan televise yang tidak reaslitaik seperti dalam sinteron religius dan sebagainya adalah cermin rendahnya budaya kita. Itu semua hanya budaya pop yang munculnya sepenggal-sepengal, sehingga memang tidak ada substansinya, kata Cahyono Widiono.
Budaya pop sebenanrya dapat diimbangi dengan budaya yang adi luhung, seperti nilai-nilai universal, kemanusiaan dan kejujuran misalnya, tetapi apa yang terjadi? Yang dikonsumsi banyak ornag adalah yang rendah nilainya, sehingga korupsi seakan-akan menjadi budaya bangsa. Padahal korupsi adalah rendah nilainya, karena sangat merugikan orang lain, apalagi jika dilihat dari agama, korupsi itu dosa besar, tetapi terus dilakukan oleh orang beragama juga.
Di situlah, Muhammadiyah dan NU seharusnya dapat mengatasi tabrakan-tabrakan budaya, antara yang nilainya rendah dengan yang budaya tinggi dengan mengembangkan strategi kebudayaan yang terdapat dalam metode dakwah. Tambahan lagi masing-masing ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah sama-sama memiliki lembaga budaya. Oleh karena itu, kita ngomong masalah budaya Islam, lalu referensinya baju takwa, bukan ini substansinya. Sebab baju takwa itu solusi yang instant,. Yang penting adalah substansi dari budaya adi luhung yang harus dikembangkan, lanjut guru SMA Negeri I Ngawi Jawa Timur.
Senada dengan Widiono, bahwa kita sedang tergerus akar budayanya, diakui pula oleh Sugiarti, MA, dosen FKIP UM. Malang. Kita telah lari meninggalkan filosofi kebudayaan kita sendiri, dengan mengambil budaya lain dengan kuatnya. Karena itu, lanjut mantan Kepala Kajian Budaya UM. Malang ini, berharap Muhammadiyah bisa mengambil peran dalam kritik atas tayangan-tayangan sinetron di televise yang merendahkan martabat perempuan, khususnya ABG yang ditampilkan dengan pakaian seronok. Apa yang ditampilkan sebenarnya bagian dari kampanye kapitalisme global yang akan terus merendahkan martabat bangsa tetapi kurang disadari, bahkan menjadi idola, kaum muda khususnya.
Oleh sebab itu, lanjut dosen FKIP UM. Malang, Muhammadiyah sudah seharusnya mempersiapkan strategi budaya yang lebh bagus, tetapi jangan asal beda saja. Muhamamdiyah juga jangan terkungkung pada yang sudah ada saja. Harus ada inovasi-inovasi sebab inovasi ini toh tidak menghilangkan misi pemurnian Islam.
Usulan konkrit tantang bagaimana staratgei budaya harus dilakukan, dikemukakan oleh Dr. Bayu Wahyono, dengan mengagendakan perlunya penguatan masyarakat local (desa) dengan memakai produk-produk mereka dalam acara kenduri atau tasyakuran. Misalnya dengan membeli produk-produk makanan seperti lumpia, lapis dan seterusnya dari mereka sendiri. Demikian juga tempatnya. Besek misalnya, sebagai ganti dari kardus yang tampak lebih keren, tetapi dengan memakai besek sebenarnya strategi penguatan masyartakat local sedikit-demi sedikit ditingkatkan, kata Ketua STIE SBI Yogyakarta.
Di sanalah pentingnya sebuah strategi kebudayaan yang baru, yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Strategi budaya yang mengakomodir kesenaian local dan produk local tidak seluruhnya bertentangan dengan misi pemrunian Islam. (Tulisan ZQ, bahan Ies, Den dan Fi)

Tidak ada komentar: