Selasa, 22 Mei 2007

Strategi Kebudayaan Muhammadiyah


Kamis, 02 Pebruari 2006
Menentukan strategi kebudayaan adalah langkah untuk menentukan titik paling strategis dalam mengelola kebudayaan. Untuk ini terdapat berbagai-bagai teori dan pendekatan tentang kebudayaan itu sendiri. Karena saking banyaknya, lebih dari 200 defiinisi kebudayaan yang ini menunjukkan betapa luas spektrum pemaknaan terhadap gejala budaya manusia, juga menunjukkan betapa kaya kemungkinan yang muncul dari gejala budaya manusia itu, maka untuk memudahkan langkah Muhammadiyah dalam menentukan strategi kebudayaannya, mau tidak mau harus memiluh paing tidak 4 teori dan pendekatan. Yaitu memandang kebudayan sebagai kata benda, dalam arti lewat produk budaya kita mendefinisikan dan mengelola kebudayaan itu. Teori produk budaya ini juga penting karena semua hasil budaya yang ada di muka bumi merupakan produk budaya kolektif manusia. Identitas budaya dapat dilihat dari pendektana ini.
Pendekatan kedua, memandang kebudayan sebagai kata kerja, yang antara lain dikemukakan pleh van peursen. Pendekatan ini juga penting untuk difahami, karena akan mampu menjelaskan kepada kita bagaimana proses-prsoes budaya itu terjadi di tengah kehidupan kita ini. Produk-produk budaya yang kita pahami lewat pendekatan pertama di atas ternyata juga menyiratkan adanya proses-proses budaya manusia yang ileh van Peursen disebut ada tiga terminal prsoes budaya. Kehidupan mistis dimana imtos berkuasa, atau kuasa mutos mengemudikan arah kebduayaan suatu masyarakat, dilanjutkan dengan hadirnya kehidupan ontologis dan yang terakhir adalah kehidupan fungsional yang hari-hari ini ;lebih mendominasi kehidupan budaya kita.
Pendekatan ketiga, memandanng kebudayaa sebagai kata sifat. Ini untuk membedakan mana kehidupan yang berbudaya dan tidak berbudaya, membebdakan antara manusia yang bebruaya dan makhluk lain seperti hewan dan benda-benda yang tidak memiliki potensi budaya. Dalam memandang kebudyaan sebagai kata sifat maka unsur nilai-nilai menjadi penting. Kebudayaan dikonstrksi sebagai konfigurasi nilai-nilai atau sebagai kompeksitas nilai-nilai yang kemudian beroperasi pada berbagai-bagai level kehidupan. Konfigurasi nilai dan kompleksitas nilai yang dimiliki berbagai komunitas budaya yang berbeda kemudian melajirkan konstruksi budaya yang berbeda-beda pada komunitas budaya itu. Ini yang menyebabkan meski komunitas-komunitas itu sama-sama beragama islam, ternyata konstruksi budaya kita semua menjadi berbeda-beda. Komunitas Muslim Mesir berbeda dengan Arab Saudi, Iran, Irak, India, Indonesia misalnya. Dan untuk Indonesia saja, konstruksi budaya yang diwarnai oleh nilai Islam di Aceh berbeda dengan yang ada di Minang, Sunda, Jawa, Madura, Banjar, Bugis, Sasak dan Ambon misalnya..
Pendekatan keeempat, memandang kebudayaan sebagai kata keadaan, Kondisi-kondisi budaya tertentu menjadi menentukan wajah kebudayaan. Menurut bahasa Al Qur’an, ada kondisi kebudayaan yang mampu mencerminkan kondisi ahsanu taqwim manusia, dan ada pula yang kebudayaan yang sudah jatuh dan mencerminkan kondisi asfalu safilin. Beragai kaum yang diwartakan Al Qur’an menunjukkan bagaimana kondisi-kondisi kebduayaan itu menunjukkan mereka berada pada titik paling destruktif terhadap kemanduaiaannya, atau berad apada puncak kejayaannya. Dalam konteks kehidupan kolektif maka kondisi qoryah tayyibah, baldah tayyibah, baladul amin, madinatul fadhilah dan semacamnya menunjukkan beradanya kondisi budaya komunitas manusia yang telah sampai pada tataran tinggi.
Strategi kebudayaan Muhammadiyah mau dialamatkan kemana? (Bahan zul, tof. Tulisan: tof)

Tidak ada komentar: