Selasa, 22 Mei 2007

Membangun Jiwa Wirausaha

Harapan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di acara Tanwir Muhammadiyah sarat makna. Kita diajak untuk membangun jiwa wirausaha.

Salah satu yang membuat kita lamban untuk maju dan tidak optimal memanfaatkan globalisasi adalah rendahnya jiwa wirausaha (entrepreneurship) di antara kita. Bahkan pada kita masih kuat penilaian bahwa menjadi pedagang adalah profesi yang kurang terhormat.

Karena itu, bukan hanya kalangan Muhammadiyah yang dituntut untuk mendorong kemajuan ekonomi, tetapi juga kita semua. Hanya saja, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang besar dan berpengaruh, Muhammadiyah bisa memainkan peran yang lebih besar guna mendorong kesadaran bersama masyarakat untuk ikut membantu pembangunan ekonomi bangsa ini.

Harapan itu tentu tidaklah berlebihan karena Muhammadiyah mempunyai sejarah untuk itu. Melalui Sarikat Dagang Islam, KH Samanhudi mengajarkan bahwa berdagang, melakukan kegiatan ekonomi, tidaklah bertentangan dengan agama. Justru agama bisa memperkuat basis untuk membuat kita mampu melakukan bisnis dengan cara yang beretika.

Dalam perkembangannya banyak orang Muhammadiyah yang memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa ini. Bahkan fokusnya tidak hanya di bidang ekonomi, bisnis, dan perdagangan, tetapi juga pendidikan dan kesehatan.

Sekarang tantangannya memang sangat berbeda. Globalisasi membuat dunia begitu terbuka dan bahkan dalam bidang bisnis tidak lagi dikenal adanya batas negara. Semua bangsa dan negara berlomba untuk bisa memanfaatkan kesempatan itu. Mereka yang terlambat melakukan penyesuaian tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa.

Kita lihat bersama, negeri yang sebelumnya begitu tertutup, seperti China, kini benar-benar terbuka. Sistem politik mereka boleh saja tetap tertutup, tetapi ekonomi mereka dikelola secara terbuka.

Suka tidak suka kita harus terima kenyataan itu. Karena itulah membangun jiwa wirausaha menjadi makin relevan untuk didorong karena tidak mungkin kita bisa memanfaatkan globalisasi kalau tidak diimbangi dengan kemampuan mencium kesempatan bisnis.

Sekarang ini, karena kepekaan bisnis yang rendah, kita lalu menjadi tertutup. Kita tidak mau melihat kenyataan yang ada dan melihat perkembangan di luar. Akibatnya, kita sering terjebak pada nasionalisme sempit.

Kita tidak menganjurkan agar kita terbuka selebarlebarnya dan bahkan menjadi liberal, tetapi menyesuaikan arah pembangunan kita sesuai dengan kecenderungan yang terjadi dunia. Bukan sebaliknya, kita malah melawan arus besar yang sedang terjadi.

Ada istilah yang mungkin lebih tepat untuk kita usung dalam membangun bangsa dan negara kita tercinta ini. Kita tetap mengobarkan semangat 45, tetapi dalam konteks tantangan abad ke-21 atau abad keterbukaan.

Inilah tantangan bersama yang harus bisa kita jawab. Hanya dengan itulah kita akan bisa menjadi bangsa besar di antara bangsa-bangsa dunia.


Tidak ada komentar: