Selasa, 22 Mei 2007

Muhammadiyah dan Pemberdayaan Kaum Dhu’afa Print E-mail


Oleh: Sudarman, M.Ag

Orang-orang Muhammadiyah tampaknya memberikan apresiasi cukup besar kepada apa yang disebut sebagai “orang saleh”. Orang saleh ini tidak hanya dilihat dari ketaatan formal terhadap syariah, tetapi juga kesederhanaan hidup dan keaktifan dalam organisasi.

Peran orang saleh ini meliputi bidang sosial dan politik yang tidak dipandang sebagai urusan duniawi semata, tetapi juga dipandang sebagai jihad fi sabilillah yakni berjuang di jalan Tuhan.

Kebutuhan spiritual yang tumbuh di dalam doktrin Muhammadiyah yang secara formal menolak sufisme telah mendorong partisipasi pengikut pada "orang saleh" dan lembaga kesalehan seperti pengajian dan organisasi gerakan Islam. Partisipasi terhadap lembaga kesalehan dan orang saleh sering merupakan manipulasi fungsi wasilah sebagai mediasi hubungan kepada Tuhan (Abdul Munir Mulkhan: 2000, 127-138).

Orang Muhammadiyah umumnya selain giat melakukan kegiatan duniawi juga rajin mengikuti pengajian, karena lembaga pengajian ini selain tempat menambah pengetahuan juga menjadi wahana penyatuan dengan orang saleh. Dengan cara itu mereka berharap mendapat tambahan kesalehan yang tidak yakin diperoleh sendiri. Demikian juga dalam partisipasi organisasi sering terjadi manipulasi yang bersifat magis bagi tujuan mempengaruhi kehendak Tuhan.

Dalam hubungan uraian di atas, Muhammadiyah dipandang oleh pengikutnya bukan sekadar organisasi sosial atau politik, tetapi organisasi kesalehan. Muhammadiyah sendiri menyatakan bahwa hidup berorganisasi adalah kewajiban. Organisasi menjadi wahana pencarian kesalehan dengan mengikatkan diri di dalamnya dengan nama kesalehan pribadi bisa bertambah. Melalui partisipasi organisasi itu mereka berharap memperoleh perkenan Tuhan yang dengan itu diyakini bisa memperoleh nasib yang lebih baik, di dunia ini maupun sesudah kematian atau hari akherat.


Pemberdayaan Kaum Dhu’afa

Berbekal semangat kesalehan tersebut, Muhammadiyah menekankan bahwa pembangunan masyarakat, terutama masyarakat lemah, merupakan suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan. Usaha Muhammadiyah ini dalam teori modern disebut dengan Community Development.

Teori Community Development menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.

Arthur Dunham seorang pakar Community Development menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat.

Dari ulasan Dunham di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, CD merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi -follow-up activity and evaluation.

Kedua, CD bertujuan memperbaiki - to improve - kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Ketiga, CD memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan.

Terakhir, CD memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama - group action - di dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasaikan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Muhammadiyah bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan nonformal mendapat prioritas. Maka di Indonesia sekolah swasta yang dikelola oleh komunitas muslim terbanyak adalah sekolah Muhamadiyah.

Memberdayakan masyarakat bertujuan "mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri" atau "membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri". Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah masyarakat yang mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan.

Memberdayakan masyarakat dengan hanya memberikan bantuan uang, bukanlah segalanya. Banyak proyek-proyek Inpres yang tekanannya memberikan bantuan material kepada masyarakat desa justru mematikan swadaya masyarakat, bahkan dapat menjadikan masyarakat menggantungkan diri kepada pemberi bantuan. Pola pemberdayaan dengan hanya memberikan bantuan uang atau bantuan proyek kepada masyarakat desa tidak akan merangsang peran serta masyarakat untuk terlibat di dalam pembangunan.

Dalam kasus tertentu, di dalam konsep pembangunan masyarakat, bantuan material memang diperlukan, akan tetapi yang lebih penting adalah pengembangan swadaya - self help - masyarakat untuk membangun diri sendiri. Ciri khas dari suatu kegiatan swadaya adalah adanya sumbangan dalam jumlah besar yang diambil dari sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat baik yang dimiliki individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Pemberdayaan model inilah yang kelihatannya telah dan semestinya dikembangkan oleh Muhammadiyah.


Cita-Cita Sosial Muhammadiyah

Semangat kesalehan dan strategi community development yang dapat dilakukan Muhammadiyah tentunya merujuk kepada cita-cita sosial kemasyarakatan Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai sebuah kelompok mempunyai sistem kepercayaan khususnya mengenai cita-cita sosial Muhammadiyah, bahkan oleh sebagian anggotanya sistem kepercayaan ini dianggap baku, sakral dan abadi. Pandangan ini terjadi setelah sistem kepercayaan mengalami formalisasi dan dijadikan dasar ideologis dan doktrin dasar gerakan atau perubahan sosial Muhammadiyah. Dari sini Muhammadiyah meletakkan cita-cita sosial "kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat yang diridhai Allah".

Kualitas kehidupan seseorang atau masyarakat dalam idealitas Muhammadiyah, harus terus dipelihara untuk diri sendiri maupun orang lain, sehingga benar-benar bersih dari syirik, khurafat, bid'ah dan takhayul. Menurut Clifford Geertz, hubungan sosial gerakan ini adalah mekanisme hubungan santri puritan, santri sinkretik, abangan dan pemeluk agama lain. Semua bentuk hubungan, termasuk politik, diletakkan Muhammadiyah sebagai dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar.

Seminar "masyarakat utama" yang diselenggarakan akhir tahun 1991 oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertempat di Malang Jawa Timur, walaupun telah menerima azas tunggal Pancasila, belum menunjukkan perubahan cita-cita sejak awal berdirinya. Salah satu kesimpulan penting seminar tersebut adalah bahwa "masyarakat utama" adalah seperti yang termaktub dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah dan Kepribadian Muhammadiyah.

Dalam konsepsi Muhammadiyah masyarakat dipandang sebagai realitas duniawi yang hanya bernilai jika ditempatkan sebagai media pengabdian mutlak kepada Tuhan. Karena itu pandangan Muhammadiyah tentang masyarakat lebih tepat disebut "ajaran" yang bagi pengikutnya merupakan doktrin yang harus diterima tanpa kritik. Tidak ada pilihan, terutama bagi kaum awam, untuk mengikuti pandangan ini yang dianggap sebagai kebenaran tunggal dan baku.

Walaupun demikian, realisasi ajaran itu ternyata beragam sesuai penafsiran elit pimpinan dan bagaimana realitas sosial cocok dengan doktrin. Fungsi penafsir yang semula diperankan para pimpinan dengan persyaratan ketat, kemudian berubah sesuai dengan tuntutan kondisi dan kedudukan seseorang dalam komunitas. Elit organisasi keagamaan sekaligus berfungsi sebagai penafsir masalah keagamaan, yang oleh karena itu hirarki sosial adalah cermin hirarki realitas sebagai potret realisasi aturan agama.

Berdasarkan itu, Muhammadiyah memandang kehidupan sosial adalah "sunnatullah" yaitu hukum Tuhan. Sistem dan tata aturan masyarakat harus merupakan realisasi hukum Tuhan yang tersusun dalam apa yang disebut syariah. Dari ini kemudian diyakini kegiatan sosial adalah ibadah atau ritual kepada Tuhan, maka keterlibatan seseorang dalam organisasi sosial seperti Muhammadiyah hukumnya wajib.

Akhirnya, jika ketiga hal tersebut dilakukan oleh Muhammadiyah, maka idealita Muhammadiyah dalam ikut memberdayakan kaum dhu'afa bukanlah dalam batas angan-angan belaka. Namun dapat menjadi akivitas kongkrit yang didambakan Muhammadiyah sejak awal.

Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Saat ini Sedang Menempuh Program Doktoraral UIN Sunan Kalijaga Yogyakar

Tidak ada komentar: