Selasa, 22 Mei 2007

Muhammadiyah dan Teologi Kemiskinan Print E-mail
Jumat, 03 Maret 2006
Oleh: Mutohharun Jinan

Salah satu ciri gerakan Muhammadiyah di masa awal adalah orientasi praktis untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini bisa dirasakan dari minimnya karya-karya teoritis (catatan tertulis) yang diwariskan oleh para pendirinya. Sebaliknya cukup memadai warisan nyata dalam bentuk "fisik" bangunan sekolah dan panti asuhan milik Muhammadiyah. Dari awal juga dapat diamati betapa persyarikatan ini akrab dengan persoalan masyarakat terutama dalam bidang sosial, ekonomi dan pendidikan.
Orientasi praktis tentu saja bukan berarti mengabaikan aspek pemahaman keagamaan yang mendalam. Bahkan, dari berbagai dokumen secara meyakinkan ditemukannya korelasi antara pemahaman keagamaan dengan amal kegiatan. Pendek kata, dalam melakukan gerakannya untuk penyelamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, Muhammadiyah senantiasa mendasarkan pada dua hal. Yaitu keimanan yang mengakar kuat dan pemahaman yang cermat terhadap realitas di sekitarnya.

Muhammadiyah memahami bahwa bahwa tujuan luhur dihadirkannya agama di muka bumi ini adalah untuk menyelamatkan, membebaskan dan mencerahkan kehidupan. Untuk konteks saat ini, di antara bentuk-bentuk penyelamatan itu antara lain membebaskan manusia dari berbagai masalah, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.


Lingkar kemiskinan

Sebagaimana diketahui, ulasan-ulasan mengenai pengentasan kemiskinan marak diperbicangkan kembali. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga atau kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, baik pangan maupun non-pangan khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar perumahan, dan kebutuhan transportasi. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan absolut.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin absolut secara nasional 37 juta jiwa atau sekitar 17,5% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut terdapat kategori miskin yang akut beserta dampak yang menyertainya. Kita dengar belakangan terungkap kasus-kasus yang disebabkan kemiskinan, seperti busung lapar, gizi buruk, marasmus, putus sekolah, bunuh diri, bahkan sejumlah anak meninggal karena kemiskinan. Sungguh ironis hal ini terjadi di negara yang kaya dan subur seperti Indonesia.

Kemiskinan sebagai salah satu masalah kemanusiaan, mungkin sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri. Implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia walaupun sering tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan. Meningkatnya perilaku vandalisme, kriminalitas, bunuh diri merupakan persoalan yang terkait langsung dengan kemiskinan.

Kemiskinan merupakan salah satu musuh besar kemanusiaan, oleh karenanya kemiskinan juga musuh besar agama. Karena kemiskinan merupakan masalah multidimensional- terkait dengan masalah ekonomi, politik, keamanan, dan kebudayaan, maka penanggulangan kemiskinan sebagai wujud ketidakadilan sosial seharusnya tidak merupakan masalah pokok dan prioritas pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk kalangan agamawan berikut lembaga-lembaganya.

Memang banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan. Antara lain karena ketidakadilan penguasa, keputusan politik yang salah, korupsi, krisis kapitalisme global, faktor kekeringan, dan bencana alam yang tak kunjung henti. Secara filosofis, kemiskinan dan ketidakadilan sosial adalah pandangan dunia masyarakat yang keliru, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan budaya yang dianut.

Pasifisme sering mendapat legitimasi agama. Doktrin takdir bahwa Tuhan telah menentukan segalanya sejak setiap manusia diciptakan, termasuk kaya-miskin, status sosial, keluarga pendidikan, dan sebagainya, membelenggu mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan agama yang baik dan mencerahkan. Sejak awal Muhammadiyah menolak sikap keberagamaan yang pasif dan dogmatis. Sebaliknya mengajak masyarakat untuk beragama secara aktif dan menyelesaikan masalah-masalah yang bisa diterima dengan akal sehat.


Keterpautan kesalehan

Pada dasarnya agama berperan sebagai pedoman hidup manusia, yang akan mengantarkannya ke jalan keselamatan, di dunia dan di akherat. Karena itu agama merupakan suatu sistem yang total meliputi seluruh sektor kehidupan manusia. Karena itu pula agama akan senantiasa mempertautkan dirinya dengan semua persoalan kemanusiaan yang dihadapi manusia. Dengan demikian, setiap tantangan masalah kemanusiaan yang selalu dihadapi manusia, adalah juga merupakan tantangan bagi agama untuk menghadapinya.

Maka, menjadi tugas Muhammadiyah untuk merealisasikan misi agama-agama itu. Warga Persyarikatan wajib menerjemahkan nilai-nilai ajaran agama yang bersifat blue print ke dalam sikap perilaku nyata yang mencerminkan secara utuh ajaran Islam. Untuk ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan Muhammadiyah, baik secara kelembagaan maupun secara individu.

Pertama, menegaskan kembali kepada masyarakat bahwa keberislaman yang sempurna adalah perpaduan antara ideologi dan orientasi praktis, antara iman dan kesejahteraan, (doa dan tindakan). Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dijumpai dan tidak sedikit orang yang mengaku beragama merasa sudah cukup keshalehannya oleh karena semua ritual keagamaan telah ditunaikan. Akibatnya, keberagamaan yang muncul ke permukaan adalah keberagamaan yang ritualistik, kurang memiliki roh dan semangat transformatif-liberatif.

Aspek ritual tentu merupakan keniscayaan bagi tiap penganut agama. Namun, keterperangkapan pada ritualisme diikuti pengabaian pada nilai-nilai yang ada di balik ritual itu, merupakan persoalan yang perlu dikritisi dan bila perlu digugat.

Kepatuhan seseorang dalam melakukan ibadah ritual tidak akan pernah berdampak nyata serta positif terhadap peningkatan keimanan dan keberagamaan seseorang tanpa disertai pelaksanaan nilai-nilai moral yang terkandung dalam pesan ibadah tersebut. Keberimanan yang hakiki harus dapat menunjukkan adanya keterkaitan dan interdependensi antara ritual dan kesejahteraan sosial. Ini merupakan representasi al-ihsan yang dapat mewujudkan the legitimate pleasure bagi jiwa dan raga manusia, serta mewujudkan amal shaleh yang dapat bermanfaat kehidupan.

Kedua, kembalikan Muhammadiyah kepada spirit dasar organisasi ini didirikan, yakni kesejahteraan umum menjadi tolok ukur bagi sikap dan perilaku umat. Segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesejahteraan ketenangan, dan keadilan, adalah moralitas yang harus dijunjung. Keberpihakan kepada prolem kemiskinan termasuk dalam upaya mengangkat kejehteraan dan mengurangi kesengsaraan umum.

Adalah kebijakan yang tepat dan harus direalisasikan, ketika Muktamar 45 mengiring aktivis Muhammadiyah untuk sadar akan membangkitkan Ranting. Mengembalikan spirit dasar Muhammadiyah memang harus dari Ranting, tidak bisa tidak. Karena Ranting adalah ujung tombak dan bersentuhan langsung dengan persoalan sosial-ekonomi seperti kemiskinan. Konon, PWM Jawa Tengah menindaklanjuti kebijakan itu dengan membentuk Majelis Pemberdayaan Ranting.

Ketiga, dua program tersebut harus dipayungi kemauan Muhammadiyah untuk menggali watak Islam sebagai agama pembebasan Mengapa demikian? Karena keberagamaan yang gagal adalah teologi yang mandul dan tidak ada gairah menjawab masalah-masalah kemanusiaan kini dan di sini, seperti masalah kemiskinan dan keterbelakangan.

Karena itu teologi yang harus dibangkitkan adalah pemahaman dan penghayatan agama yang mampu melahirkan kekuatan batin yang memotivasi penganutnya untuk terlibat aktif dalam kerja memperkecil ketidakadilan sosial dan kemiskinan. Barang kali ini yang lazim disebut sebagai teologi al-Ma'un-nya Muhammadiyah. "Bukankah keberagamaan yang tidak peduli pada kemiskinan adalah keberagamaan yang semu (mendustai agama)?"

Penulis adalah pembina Pondok Shabran Solo, pegiat Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

Tidak ada komentar: