Selasa, 22 Mei 2007

Memahami Islam Dalam Muhammadiyah (Bagian 4) Print E-mail
Rabu, 18 April 2007
Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Agama dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya masalah ritual semata, juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati peralatan ilmu untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan sebagai gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai gerakan pembaruan Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, sekitar satu abad yang silam.

Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat ”radlitu bi Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2) Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap ”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah, yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Dalam Buku Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah (Tahun 1954) mengenai ”Hidup Beragama” (Penegasan Ketiga), secara substansial terdapapat penjelasan yang luas dan mendalam mengenai paham agama dalam muhammadiyah sebagaimana kutipan lengkap berikut ini:
”Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad s.a.w. dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia dan Akhirat.”

”Menurut keyakinan seorang Muslim, Islamlah agama yang benar. Ini bukanlah lantaran sempit faham, tetapi lantaran kembali kepada pokok arti Kalimat ISLAM itu sendiri. Didalamnya terkandung daya upaya Insan mencari Rahasia ‘alam. Daya upaya Insan mencari Hakikat. Telah beribu tahun Insan hidup didunia. Sejak akalnya mulai tumbuh akal itu telah bertanya-tanya tentang ”Apa”, ”Dari mana?”, ”Hendak kemana?”, ”Sebab apa?”. Kesudahan perjalananya –belumlah bertemu. Dan hendak mencari Zat dan Hakikat, yang di depannya hanya bekas dan Hakikat. Kesudahannya sadarlah akan kelemahan-diri di hadapan. Kebesaran Hakikat, lalu menyerahlah. Itulah Islam (penyerahan diri).

Bertambah tinggi kecerdasan akal, bertambah tinggi usaha berfikir, bertambah dekatlah orang kepada Penyerahan diri, kepada Islam. Maka akal tidak boleh dibekukan, supaya keni’matan ke-Islaman itu jangan tidak dirasai.

Islam mengajarkan bahwasanya tujuan dari segala Nabi dan Rasul Utusan Tuhan adalah satu, yaitu untuk membimbing Pri-Kemanusiaan didalam menuju jalan kepada Tuhan, dan menuntun masyarakat manusia supaya bersatu dalam Kesatuan Hukum.

Nabi-nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad, adalah Nabi Islam. Nuh sebagai pembawa syari‘at pertama, adalah Nabi Islam, sebab itu dialah Nabi ikutanku. Ibrahim ‘alaihi Salam, yang mula-mula memakai nama Islam itu adalah Nabiku. Musa pemerdekaBani Israil dari tindakan sewenang-wenang Fir‘aun adalah Nabiku. Isa Al-Masih putra Maryam, Nabi yang menyiarkan kasih sayang dalam ‘alam, adalah Nabiku. Muhammad Rasulullah s.a.w. penutup segala Nabi dan Rasul, adalah Nabiku. “Tidak kami perbedakan di antara seorang juapun daripada pesuruh-pesuruhnya.

Segala Kitab Allah, Shuhuf Ibrahim dan Musa, Thaurat Musa, Zabur Daud, Injil Isa, dan Furqan Muhammad, aku akui kebenarannya. Semuanya adalah pelita bagi ‘Alam Insani dalam menuju Ridla Tuhannya. Kebahagiaan Ruhani dan Jasmani, Kelepasan dari bahaya Dunia dan Akhirat.

Umat manusia adalah satu, dan aku sebagai seorang Muslim adalah seorang anggauta dari Pri-Kemanusiaan itu. Seorang Muslim tidak mempertajam pertentangan diantara Timur dan Barat, ”Bagi Allahlah Timur dan bagi Allahlah Barat. Kemana juapun engkau menghadap, maka disanalah wajah Allah. Dan Allah itu Maha esa dan Allah itu Maha Mengetahui.”.

Ummat manusia didalam menuju Agama itu dengan sendirinya terbagi dua. Ada Ummat yang telah memperkenankan seruan. Itulah Ummatul Ijabah. Dan yang kedua masih ditunggu pengakuannya, bahwa ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah”. Ini dinamakan Ummatul Da‘wah. Kepada mereka yang belum mengaku, tidak dilakukan paksaan.

Adapun terhadap kepada sesama Ummatul Ijabah, selama mereka masih mengakui ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah” tidaklah dia boleh dikeluarkan dari golongan Jama‘ah Islamiyah. Sebab, meskipun berbagai faham yang timbul dalam Islam, karena Islam memberi Kemerdekaan berfikir bagi Ummatnya, namun mereka masih dikatakan oleh Nabi s.a.w. ”Ummat-Ku”.

Lantaran itu maka seorang Muhammadiyah tidaklah mengkafirkan saudara sesama Islam. Golongan dapat berlain-lain, memahamkan agama mungkin berbagai-bagai ragam, namun tujuan hanya satu, yaitu mencari kebenaran.

Sebab itu pula, maka tiadalah perintah yang diutamakan, hanyalah perintah Allah dan tiadalah contoh yang patut diikut, hanyalah contoh yang dibentangkan oleh Rasul Allah, Muhammad s.a.w. Dan tiadalah boleh mengikuti sesama manusia dengan membuta tuli, atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa mempertinggi nilai Pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan sendiri akan Agama itu. ”Kalau benar hasil faham itu, mendapatlah dua pahala. Pahala memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan kalau salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki, dan tidak berdosa kalau salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan pendapat yang disengaja.

Harus pula diakui bagaimana besar jasa dan usaha angkatan yang terdahulu, yang dinamai Assalafush Shalihin dalam memikirkan seluk-beluk agama, dan mengeluarkan sari patinya. Naka kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu muramlah cahanyanya, karena kemerdekaan berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari segala seginya. Maka hasil usaha orang yang terdahulu, yang timbul dalam ‘alam Islam, semuanya juga dipandang sebagai alat-alat dan petunjuk didalam menuju pokok agama Islam, yaitu sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w.

Yang menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat, kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan Agama Islam.

Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas tersebut menunjukkan pemikiran yang komprehensif dan berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan Muhammadiyah untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi pemurnian maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting dalam pandangan dan pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan pemurnian Muhammadiyah merujuk dan menampilkan Islam yang sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah), sehingga beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan pandangan dan praktik yang bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan manusia. Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek ajaran Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam menjadi agama kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus dapat menjawab tantangan-tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-benar menjadi rahmatan lil-’alamin: ”tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama Langit yang membumi untuk semesta kehidupan.

Tidak ada komentar: