Selasa, 22 Mei 2007

Kuntowijoyo, Pemikir dan Budayawan Muhammadiyah Print E-mail
Senin, 02 April 2007

Agus Wibowo


Kendati sebagian hari-hari (puluhan tahun), dijalaninya dalam keadaan sakit akibat virus meningo enchepalitis yang menyerang semenjak 6 Januari 1992, Prof. Dr. Kuntowijoyo —yang akrab dipanggil Pak Kunto— telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan intelektual. Seperti buku, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997. Sebuah penuangan pemikiran yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata. Hingga pada hari Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00, budayawan Muhammadiyah termashur tersebut menghadap khaliqnya akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.

Biografi Pak Kunto, layaknya sebuah dongeng atau sejarah orang besar semisal Muhammad Abduh, Hamka, Chairil Anwar dan sebagainya. Kuntowijoyo lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969). Pak Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Jiwa Muhammadiyah dan seni memang mengalir dalam diri Pak Kunto semenjak kecil. Beliau dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah yang religius sementara ayahnya —yang merupakan kader Muhammadiyah, juga suka mendalang. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja. Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifm C. Noer. Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam dan Salim Said

Tak salah jika Pak Kunto disebut sebagai budayawan dan sejarawan paripurna, karena beliau menyandang sejumlah identitas dan julukan. Misalnya sebagai penulis lebih 50-an buku, sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis, khatib, Guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan sebagainya. Meskipun demikian, beliau tetap rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Beliau juga seorang intelektual muslim yang jujur dan berintegritas.

Sebagai seorang sejarawan, beliau sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Beliau mengimplementasikan dalam kesehariannya. Beliau rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, beliau juga pemikir (intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim. Para mahasiswanya juga memandangnya seorang guru yang bijaksana. Meski dalam kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk membimbing mahasiswanya.

Pak Kunto juga ikut membangun dan membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Beliau menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai. Beliau juga seorang aktivis Muhammadiyah. Beliau sangat lekat dengan Muhammadiyah. Beliau pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Bahkan beliau melahirkan sebuah karya Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Ketua PP Muhammadiyah (waktu itu) Prof Dr Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut, Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.

Karya-karyanya pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku telah ditulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak sedikit di antaranya meraih hadiah dan penghargaan. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra. Kemudian kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Marian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.

Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan Rl (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan FEA Right Award Thailand (1999).

Beliau juga menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, berjudul Mantra Penjinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada tahun 2001.


Penulis adalah, Alumni IMM, Komfak Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar: