Selasa, 22 Mei 2007

Dawam & Muhammadiyah

Cetak E-mail


Dalam acara peluncuran buku bunga rampai karya beberapa intelektual Indonesia berjudul Demi Toleransi Demi Pluralisme untuk menyambut ulang tahun ke-65 Prof M Dawam Raharjo,Jumat (4/5/2007) di Universitas Paramadina, Jakarta, ada sebuah pernyataan menarik dari Prof Dawam terkait dengan pandangan pluralisme yang diakrabinya dalam beberapa tahun terakhir.

Prof Dawam mengatakan, ”Saya tak peduli apa kata orang. Dibilang komunitas Eden, enggak apa-apa. Ahmadiyah tidak apa-apa. Asal jangan bilang saya Muhammadiyah.” Pernyataan Mas Dawam, panggilan akrab Prof M Dawam Raharjo––entah maksudnya humor atau tidak––ternyata menjadi gunjingan para aktivis muslim, bukan saja di kalangan Muhammadiyah, melainkan juga kalangan yang lain seperti NU, Al-Irsyad, Ahmadiyah, Persis, PUI.Kenapa Mas Dawam menyatakan sikap yang seakan-akan anti- Muhammadiyah––padahal selama ini publik Indonesia, bahkan dunia, sudah mengetahui betul bahwa Mas Dawam adalah sosok intelektual yang lahir,tumbuh, dan besar di Muhammadiyah? Mas Dawam adalah ikon intelektual Islam gelombang pertama di Indonesia.

Pada dekade ‘70–80-an, produktivitas pemikiran Mas Dawam yang tersebar melalui tulisan di berbagai media nasional maupun internasional mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika pemikiran Islam saat itu. Di level nasional, Mas Dawam memimpin majalah ilmiah ”sosial, politik, dan ekonomi” sangat prestisius saat itu, Prisma. Melalui Prisma inilah, sejumlah pemikir garda depan di Indonesia menuliskan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya tentang pelbagai masalah seperti sosial, politik, ekonomi, agama, budaya, bahkan sastra.

Selepas di Prisma, tahun 1980-an, lagi-lagi Mas Dawam membuat kejutan: dia bersama kelompoknya membuat jurnal Ulumul Qur’an. Barangkali, sampai hari ini, belum ada jurnal keagamaan yang kualitas tulisan dan keluasan gagasannya sebaik Ulumul Qur’an. Melalui Ulumul Qur’an inilah, Mas Dawam dan teman-temannya mencoba menampilkan Islam sebagai sebuah kajian yang terbuka dan siap menyerap pemikiran apa pun di luar Islam dengan tanpa prasangka.

Di jurnal Ulumul Qur’an inilah, tiap edisi Mas Dawam secara spesifik menulis tafsir tematik tentang istilah-istilah yang ada dalam Alquran, sehingga masyarakat tahu bahwa tiaptiap tema dalam Alquran ternyata mengandung wawasan dan gagasan yang universal tentang kemanusiaan, hak asasi manusia, ilmu pengetahuan, teknologi, keadilan, sosial, dan budaya. Meski kedua jurnal tersebut akhirnya surut popularitasnya setelah ditinggalkan Mas Dawam––bahkan Ulumul Qur’an sudah tidak terbit lagi––, nama Mas Dawam sudah ”telanjur” menjadi ikon intelektual Islam Indonesia. Pendirian ICMI dan koran Republika yang menghebohkan pentas nasional, tak bisa dipisahkan dari aktivitas pemikiran dan gagasan Mas Dawam.

Itulah sebabnya tokoh intelektual Islam seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, bahkan Daniel Dhakidae dari kalangan nonmuslim sepakat mengakui bahwa Mas Dawam adalah guru besar mereka. Almarhum Nurcholish Madjid pun pernah menyatakan kekagumannya terhadap produktivitas pemikiran Mas Dawam. Mas Dawam telah mengisi kekosongan pemikiran Islam di Indonesia selama Cak Nur, Amien Rais, dan Syafi’i Ma’arif berada di luar negeri. Dengan sederet prestasinya itulah, wajar jika Mas Dawam menjadi salah seorang tokoh intelektual idola di kalangan Muhammadiyah. Meski Mas Dawam tidak pernah kuliah di tingkat doktor, prestasi intelektual Mas Dawam diakui para ilmuwan garda depan di Indonesia.

Salah seorang pengagum Mas Dawam adalah almarhum Prof Dr Mubyarto–– guru besar ekonomi UGM,yang notabene merupakan legenda ekonom di Indonesia. Salah satu penghargaan Mubyarto kepada Mas Dawam adalah ketika Pak Muby––panggilan akrab Prof Mubyarto––meminta Mas Dawam untuk meneruskan perjuangan pemikiran ekonomi kerakyatannya melalui lembaga kajian Ekonomi Pancasila yang didirikannya di UGM. Maka, amatlah wajar jika kemudian, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) meminta Mas Dawam untuk menjadi Guru Besar Fakultas Ekonomi di universitas tersebut.

Barangkali,Mas Dawamlah orang ”nonpegawai negeri dan nondoktor” yang diangkat menjadi guru besar di sebuah universitas besar seperti UMM. Prestasi itu pun diperkuat lagi ketika Mas Dawam dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dan diminta untuk menjadi guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN, dulu IAIN) Ciputat. Semua itu menggambarkan betapa Mas Dawam sesungguhnya seorang intelektual Islam yang banyak berjasa mengenalkan pemikiran Islam yang universal dan futuristik kepada dunia luar. Dengan sederet prestasinya yang mewarnai Islam di Indonesia itulah, Mas Dawam memang pantas mendapat penghargaan dari kalangan Islam.

Namun, kenapa tiba-tiba Mas Dawam menyatakan ”keterasingan”nya dengan Muhammadiyah yang telah membesarkannya? Dalam kesempatan peluncuran buku yang dihadiri ”kawan-kawan baru” Mas Dawam dalam tiga tahun terakhir ini,dia juga tampak merasa ditinggal temanteman lamanya. Siapa teman-teman lama yang dimaksud Mas Dawam, tentunya berkaitan dengan pernyataan ”asal jangan bilang saya Muhammadiyah”.

Muhammadiyah

Ada apa dengan Muhammadiyah? Setidaknya, itulah pertanyaan orang terhadap pernyataan Mas Dawam di atas. Di lihat dari momen pernyataan Mas Dawam itu, tampaknya, Mas Dawam kurang puas dengan sikap Muhammadiyah dalam mengusung gagasan pluralisme. Di mata Mas Dawam, sikap Muhammadiyah belakangan ini tampaknya dianggap lebih sektarian ketimbang di masa-masa sebelumnya. Ada beberapa indikasi, kenapa Muhammadiyah ”dituduh” sektarian oleh Mas Dawam. Pertama, adalah sikap Muhammadiyah yang bersama-sama MUI beberapa waktu lalu menyatakan antipati terhadap pluralisme.

Kedua, Muhammadiyah, juga sejalan dengan fatwa MUI,menolak ajaran Syiah.Ajaran Syiah dianggap sesat dan menyesatkan.Ketiga,Muhammadiyah, juga sejalan dengan MUI, menolak ajaran Ahmadiyah. Sebagaimana ajaran Syiah, Ahmadiyah pun dianggap ajaran sesat dan menyesatkan. Keempat, Muhammadiyah dianggap tidak akomodatif terhadap gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang digagas para anggota muda Muhammadiyah yang tergabung dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Dari keempat fakta tersebut,tampaknya bagi Mas Dawam Muhammadiyah sudah ”terlalu sempit” untuk mengakomodasi gagasan Islam universal Mas Dawam dan tokoh-tokoh muda Islam. Barangkali, itulah sebabnya, mengapa Mas Dawam––dengan gaya olok-olok ”anak terhadap orang tuanya”––menyatakan, Anda boleh bilang apa saja tentang saya, asal jangan bilang Muhammadiyah. Mungkin sekali para tokoh Muhammadiyah merasa tersengat oleh kritik sarkastis Mas Dawam, si anak kandung yang ”nakal” itu. Namun, hendaknya kritik Mas Dawam tersebut tidak diabaikan begitu saja.

Kritik Mas Dawam barangkali ada benarnya dan Muhammadiyah perlu memikirkannya––benarkah perilaku Muhammadiyah belakangan ini terlihat sektarian? Seandainya Muhammadiyah kembali ke khitahnya sebagai organisasi Islam garda depan yang mengusung keterbukaan, intelek-tualisme, rasionalisme, dan nasionalisme dengan dasar-dasar ajaran Islam seperti yang telah dilakukan para founding fathers-nya, niscaya Muhammadiyah akan kembali tampil sebagai organisasi Islam yang disegani dan dicintai kalangan luas, siapa pun dan apa pun pandangan keagamaannya.

M Bambang Pranowo Guru Besar Sosiologi Agama UIN Ciputat

Tidak ada komentar: