Selasa, 22 Mei 2007

Revitalisasi Ideologi Gerakan Muhammadiyah

Oleh Asep Purnama Bahtiar


Agenda penting yang bakal menjadi topik pembicaraan serius dalam Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta tanggal 25-29 April, salah satunya, mengenai "revitalisasi ideologi". Ini sangat beralasan karena beberapa tahun terakhir ini terdapat sejumlah aksi dan upaya untuk melakukan infiltrasi ideologi dan intervensi kepentingan organisasi atau partai Islam tertentu ke dalam Muhammadiyah. Di berbagai daerah kasus seperti itu terjadi, termasuk di Yogyakarta sendiri sebagai ibu kota Muhammadiyah, baik dalam struktur Persyarikatan dan organisasi otonomnya maupun di berbagai amal usaha Muhammadiyah (AUM).

Kasus-kasus infiltrasi dan intervensi yang terjadi di mana-mana itu merupakan masalah bersama yang harus disikapi secara tegas oleh seluruh jajaran pimpinan dan warga Muhammadiyah, termasuk oleh organisasi otonom dan orang-orang yang berkecimpung di AUM.

Persoalan dan tantangan tersebut juga menuntut tekad yang sungguh-sungguh dari seluruh jajaran Persyarikatan guna menjaga dan merawat organisasi serta mempertahankan ideologi gerakannya karena sikap ini merupakan syarat penting bagi kesinambungan dan kemajuan gerakan Muhammadiyah. Terkait dengan keharusan sikap tersebut, peringatan tegas dari Haedar Nashir (2006) relevan untuk dikutip di sini.

Menurut salah seorang Ketua PP Muhammadiyah ini, "Jika Muhammadiyah melakukan peneguhan terhadap ideologi gerakan bagi seluruh warga dan sistem organisasinya, maka bukan berarti sedang membangun ketertutupan dan berhadapan dengan pihak lain, lebih-lebih secara konfrontatif. Tetapi, yang sesungguhnya terjadi ialah Muhammadiyah sedang menata dan mengurus rumah tangganya sendiri agar kokoh dan tidak diganggu siapa pun yang membuat gerakannya lemah dan centang-perenang."

Dalam konteks seperti itulah sebuah organisasi dituntut untuk memiliki kemampuan konsolidasi internal dan akomodasi eksternal yang precise sehingga bisa tetap eksis dan dinamis.

Di samping itu ada kata kunci yang penting untuk ditindaklanjuti dalam ruang lingkup persoalan tersebut, yaitu tajdid. Dalam tradisi Muhammadiyah tajdid tidak bisa lepas dan selalu terkait dengan ikhtiar kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah (ar-ruju'ila al- Qur'an wa as-Sunnah) dan memanifestasikan dalam konteks kehidupan.

Seperti yang ditulis M Amin Abdullah (2000), paham keagamaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan dimensi ijtihad dan tajdid dalam satu kesatuan yang utuh.

Tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah sesungguhnya selain untuk beragama secara autentik juga untuk membumikan Risalah Islamiyah atau merealisasikan ajaran-ajaran agama (dimensi normativitas) untuk kemaslahatan hidup umat manusia (dimensi historisitas).

Jadi, selalu ada pergulatan, pergumulan, dan dialog dalam gerakan tajdid Muhammadiyah. Karena itu, dalam tajdid selain ada aspek pemurnian paham dan keyakinan dalam beragama (tandhif; purifikasi), juga terdapat aspek kemajuan dan perubahan yang lebih baik (dinamisasi; transformasi).

Karena tajdid itu menuntut perubahan dan perbaikan yang lebih berbobot, maka dengan tajdid gerakan berarti Muhammadiyah melakukan self-impression dengan dua tekanan sekaligus, yaitu tajdid dan gerakan (harakah). Gerakan sendiri tidak mungkin diam atau berhenti karena maknanya adalah suatu proses, aktivitas, dan usaha untuk mendayagunakan seluruh potensi dan segenap sumber daya yang dimiliki secara sistemis dan sinergis untuk merealisasikan visi dan melaksanakan program organisasi.

Berikutnya kata kunci kedua yang juga harus diperhatikan dan diwujudkan bersama adalah revitalisasi. Secara leksikal, revitalisasi (revitalization) ialah proses dan upaya untuk membawa vitalitas dan daya kekuatan; atau usaha untuk eksis kembali setelah mengalami kemunduran.

Dalam konteks masalah yang tengah dihadapi Muhammadiyah akhir- akhir ini, maka revitalisasi ideologi gerakan menjadi urgen untuk dilaksanakan oleh segenap unsur Persyarikatan dan AUM.

Dalam "Rumusan Pokok-pokok Persoalan tentang Ideologi Keyakinan Hidup Muhammadiyah", HM Djindar Tamimi mengistilahkan revitalisasi ideologi ini dengan tajdid ideologi. Paling tidak ada dua poin dari latar pendahuluan pemikirannya yang relevan untuk dikutip sebagai komparasi dengan keadaan Muhammadiyah dewasa ini.

Pertama, almarhum KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah didorong oleh ide yang hidup dalam pribadinya, yang merupakan ideologi hidupnya, yang berdasar dan bersumber kepada ajaran-ajaran Islam. Kedua, pada akhir-akhir ini dalam kalangan Muhammadiyah banyak sudah orang yang tidak lagi mengetahui secara benar dan tepat akan ideologi hidup Muhammadiyah itu; akibatnya mereka tidak lagi dapat mengetahui norma yang digunakan untuk menilai benar salahnya hidup dan perjuangan Muhammadiyah. Sehingga, akhirnya dapat membawa perjuangan Muhammadiyah menjadi kabur, dan hal ini sangat merugikan. Rumusan dan keprihatinan yang diungkapkan secara tertulis oleh salah seorang ideolog Muhammadiyah tadi terjadi pada kurun waktu tahun 1960-an.

Sekarang, gejala dan fenomena kerapuhan ideologi di kalangan pimpinan dan para warga Muhammadiyah serta pengelola AUM juga tengah terjadi. Karena itulah tajdid ideologi atau revitalisasi ideologi- karena terjadinya krisis serta adanya ancaman dari paham dan ideologi lain-tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Pesan KH Ahmad Dahlan, "Hendaklah kamu jangan sekali-kali menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain" harus dicamkan oleh seluruh jajaran Persyarikatan dan AUM, tanpa kecuali.

Muhammadiyah yang sedang menghadapi perubahan dan persoalan yang tidak ringan ini, menuntut sikap yang militan, loyal, kritis dan tegas dari pemimpin, kader, dan anggota Muhammadiyah serta AUM-nya untuk selalu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan tajdid gerakan dan revitalisasi ideologi. Nashrun minal-Lahi wafathun qarib.

Asep Purnama Bahtiar Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sekretaris MPK PP Muhamma

Tidak ada komentar: