Selasa, 22 Mei 2007

Muhammadiyah Versi Ahmad Dahlan

(Gagasannya yang Hampir Mati dan Terlupakan)

Majallah Tabligh Vol 1/12/Juli 2003

Oleh: Maman A. Majid Binfas



Sejarah berdirinya suatu orga­nisasi tidak dapat di­pisah­­kan dari gaga­san dan piki­ran pendirinya. Sebab orang-orang yang kemu­dian bergabung menjadi anggota secara sadar telah menyepa­kati dasar dan tujuan organi­sasi tersebut yang pada hakikatnya merupakan perwu­ju­dan dari gagasan para pendirinya. PSII tidak mungkin dipisahkan dengan HOS Cokroaminoto. NU tidak mungkin dipisahkan dengan Hasyim Asya’ari. Demi­kian juga Muhammadiyah tidak mungkin dipisahkan dari Ahmad Dahlan. Dengan demi­kian gagasan dan pikiran yang muncul kemudian tidak mung­kin dipisahkan dari pikiran dan gagasan awal (para) pendiri­nya, (Moh. Djasman Al-Kindi; sala seorang pencetus berdiri­nya Ikatan Mahasiswa Muham­­ma­diyah dan menjadi ketua umum pertama DPP IMM).

Gagasan Ahmad Dahlan yang terpilih adalah bagai­mana dapatnya mengamalkan ayat-ayat al-Qur`an. Dengan demikian Muham­madiyah sebagai organisasi senantiasa diikhtiarkan untuk menjadi tempat untuk mengkaji Al-Qur`an sekaligus menjadi tempat bermusyawarah untuk mengamal­kannya. Oleh kare­na­nya Muhammadiyah tidak mungkin terpisah dari tiga prinsip yakni ; Pengkajian Al-Qur`an, Musyawarah dan amal, yang saat ini hampir “mati” ; antara “ada dan tiada”

Dengan demikian warga Muhammadiyah masih perlu mempelajari gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan. Terutama yang berkaitan dengan Ibadah Sholat tepat waktu dan pengamalan ayat-ayat Al-Qur`an, hal itu tidak dimaksud untuk mengikuti jejaknya secara dokmatik tetapi untuk memberi makna kreatif guna penerapannya pada masa kini. Sebab gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan jelas merupakan gagasan dan pikiran kretif dan inovatif. Dalam tulisan yang berjudul Al-Islam dan Al-Qur`an yang sampai sekarang diketahui merupakan satu-satunya tulisan Ahmad Dahlan yang dipublikasikan. Dinyatakan (pada waktu itu) adanya kekalutan di kalangan umat: mereka pecah belah dan tidak pernah bersatu. Dari tulisan KH. Ahmad Dahlan dan pengung­kapan Haji Hajid tentang KH. Ahmad Dahlan dalam berorganisasi berpe­gang pada prinsip:

a. Senantiasa menghu­bung­kan diri (memper­tanggung­jawabkan tindakannya) kepada Allah.

b. Perlu adanya ikatan persa­u­daraan berdasar kebena­ran (sejati).

c. perlunya setiap orang, ter­utama para pemimpin terus-menerus menambah ilmu, sehingga dapat meng­ambil keputusan yang bijaksana.

d. Ilmu harus diamalkan.

e. Perlunya dilakukan peru­bahan apabila memang diperlukan untuk menuju keadaan yang lebih baik.

f. Mengorbankan harta sen­diri untuk kebenaran. Ikhlas dan bersih.


Sangat ironis manakalah warga Muham­madiyah meng­abaikan sama sekali gagasan dan pikiran pendiri organisasi­nya ini. Seorang tokoh yang gagasannya telah menghasil­kan salah satu organisasi terbesar di Indo­nesia dan seka­rang banyak kalangan menik­mati­­nya walau­pun dalam berbagai gaya plus bermacam-macam ragam kepentingan (dalam tanda kutip!), baik dalam amal usaha maupun dalam persya­ri­katan Muhammadiyah. Gagasan pikiran cemerlang tersebut, jelas tidak layak untuk diabaikan. Gagasan dan piki­ran sema­cam itu jelas mengan­dung banyak hal yang perlu dipelajari terutama bagi warga Muham­madiyah mana­kala tidak ada maksud untuk menyim­pang dari gagasan dan tujuan berdiri­nya organisasi tersebut.

Perlu diketahui, nama-nama seperti Ibnu Taimiyah, Jama­ludin al Afghani dan Muham­mad Abduh, di kala­ngan umat Islam dikenal sebagai ulama penggerak pemba­haruan. Gagasan dan pikiran Ahmad Dahlan dikenal juga sebagai gagasan yang dipengaruhi oleh ulama-ulama tersebut. Oleh karena itu Ahmad Dahlan oleh banyak pakar sering dinyatakan sebagai tokoh pembaharu dan Muham­madiyah dinyatakan sebagai gerakan pemba­haruan. Akan tetapi perlu dicatat bahwa gerakan pemba­haruan yang dilakukan ketiga tokoh tersebut di laksanakan di negara -negara di mana institusi keaga­maan dan fasilitasnya sudah tersedia dengan lengkap. Bahkan Muhammad Abduh sendiri adalah salah seorang ulama di Mesir yang mem­punyai kedudukan ter­hormat di Univer­sitas al Azhar dan Darul Ulum yang merupa­kan pergu­ruan Tinggi yang sangat berwibawa dalam keilmuan agama Islam, tidak saja di negerinya sendiri Mesir, tetapi juga seluruh dunia Islam. Dengan demikian gagasan pemabaharuan Muham­mad Abduh didukung oleh dua Universitas besar tersebut, sehingga cenderung merupa­kan gagasan intelektual. Sedangkan gagasan pemba­haruan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan sama sekali tidak memperoleh dukungan dari lembaga pendidikan apapun. Sebab pada waktu itu belum ada sebuah sekolah pendidikan dasar sekalipun di kalangan umat Islam, sehingga dapat difahami kalau gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan bersifat sangat pratikal, ialah mengembangkan gagasan dan pikiran sekaligus mengu­sahakan fasilitas pendukung untuk melaksa­nakan gagasan dan pikiranya itu.

Haji Hajid menuliskan pe­nga­la­man­nya sebagai murid Ahmad Dahlan dalam risalah singkat berjudul falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan, yakni tujuh poin yang dapat dipetik;

Pertama; Kerapkali KH. Ahmad Dahlan mengung­kapkan perkataan ulama (al-Ghazali pen) yang menyatakan bahwa manusia itu semuanya mati (mati perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu senantiasa dalam kebi­ngungan, kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal pun semuanya dalam kekha­wa­tiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.

Kedua; Kebanyakan mere­ka di antara manusia ber­watak angkuh dan takabur mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. KH. Ahmad Dahlan heran mengapa pemim­pin agama dan yang tidak ber­agama selalu hanya berang­gap, mengambil keputu­san sendiri tanpa mengada­kan perte­muan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memper­bincangkan mana yang benar dan mana yang salah?. Hanya anggapan-anggapan saja, disepakatkan dengan istrinya, disepakatkan dengan murid­nya, disepakat­kan dengan teman-temannya sendiri. Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permu­sya­waratan dengan golongan lain di luar golongan masing - masing untuk membicarakan manakah sesungguhnya yang benar?. Dan manakah sesung­guhnya yang salah?

Ketiga; Manusia kalau mengerjakan pekerja­an apa­pun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai. Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa kebanya­kan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut atau i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah sanggup membela dengan mengor­ban­kan jiwa raga. Demikian itu karena anggapan­nya bahwa apa yang dimiliki adalah benar.

Keempat; Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama meperguna­kan akal pikirannya untuk memikir bagai­mana sebenar­nya haki­kat dan tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mem­per­­gunakan pikirannya untuk mengoreksi soal itikad dan kepercayaan­nya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati.

Kelima; Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang ber­macam-macam membaca bebe­rapa tumpuk buku dan sudah memper­bincangkan, memikir-mikir, menimbang, membanding-banding kesana kemari, barulah mereka dapat mem­­peroleh keputusan, mem­­per­­oleh barang benar yang sesungguh­nya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau barang yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi kesenangan­nya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata banyaknya kekha­watiran itu yang akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidup­nya seperti makhluk yang tak berakal, hidup asal hidup, tidak menepati kebenaran.

Keenam; Kebanyakan para pemimpin belum berani mengor­­bankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolong­nya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasa­nya hanya meper­mainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.

Ketujuh: Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek), Dalam mempelajari kedua ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan tidak perlu ditambah. Pada poin ini, pengurus Muham­madiyah dan angkatan mudanya saat ini, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat wilayah dalam segi teori berlogika tidak diragukan lagi. Namun dalam hal praktik­nya masih perlu lagi diasah/dipertanyakan?, Ibadah Sholat tepat waktu dan kajian al-Qur`an sebagai piranti utama perjua­ngan KH. Ahmad Dahlan, mere­ka logikakan sebagai kebebasan pribadi, lalu shalat subuh rutin jam tuju pagi tidak menjadi soal, belum lagi tata cara shalatnya ber­aneka ragam, hingga keputu­san tarjih dibiarkan bercerita sendiri logika pribadi tanpa dasar itu menjadi ukuran. Bahkan Peng­kaderan sebagai nadi organi­sasi perge­rakan sudah diting­kat­kan pada “logika tinggi plus misi haus kekuasaan” hingga rana nurani, etik, Akhlak, sopan-santun menjadi misi persyarikan tak dihiraukan lagi, sebab libera­lisasi itulah men­jadi dasar hak asasi. Dan proyek politik, proyek suksesi menjadi kenda­raan bisnisnya tanpa mengenal waktu ter­penting proposal laku dan kolusi uang saku tersedia! Kader ataupun bukan?.. persetan! Astagfirullah.

Dari tujuh butir pikiran brilian serta dari maka­lah KH.Ahmad Dahlan di atas, lalu kita meng­amati secara seksama aktifitas pengurus Muham­madiyah dan angkatan muda­nya saat ini. Apakah masih ber­cahaya sesuai dengan agenda dasar alam pikiran KH. Ahmad Dahlan?, ataukah justru pikiran serta gagasan KH. Ahmad Dahlan sudah jauh dari akar dasarnya - dilecehkan, atau­kah sudah mati dan padam disebabkan oleh serbuan dari berbagai kepen­tingan, yang menjadi­kan organi­sasi serta amal usaha Muham­madiyah sebagai ‘batu loncatan’ untuk mencapai kepentingan dan kepuasan pribadi atau kelom­­­pok. Bahkan mungkin seba­gian atau kebanyakan, menja­dikan Muhammadiyah bagai­kan lembaga “perseku­tuan berhistoris Hantu” semen­tara gagasan dan pikiran pendiri­nya hanya legenda dan atau sebagai dongeng belaka?

Seperti terselubungnya kriteria, yang bisa menjadi presi­den Indonesia, kalau bukan orang jawa, jangan ber­mimpi jadi orang nomor satu di Indonesia. Mungkin begitu juga terjadi pada Muham­madiyah dan angkatan muda­nya beserta gerbongnya, bila dia, bukan orang kelahiran asli daerah atau wilayah tersebut, maka dia tidak bisa menjadi pucuk pada persyari­katan atau amal usaha Muham­madiyah. Lalu apakah demi­kian, tujuan awal niat tulus suci - hati bening KH. Ahmad Dahlan, tempo dulu? Atau didirikannya dengan doa syahdu yang hanya memohon magfirah ridho Ilahi semata.

Muham­madiyah bukanlah hantu. Gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan bukanlah legen­da dan dongeng belaka! Akan tetapi nilai dan makna ketu­lusan hakiki yang nyata! Semoga terenungkan dalam sanubari..!

Dan sesudah KH.Ahmad Dahlan apakah akan ada Muham­madiyah versi baru ? Cerdas tapi tak cerdas..! ber­muka-muka tapi tak bermuka, bermoral tapi tidak berakhlak.? <>

Tidak ada komentar: