Selasa, 22 Mei 2007

Mengubah Strategi Kaderisasi Print E-mail
Kamis, 02 Pebruari 2006
Oleh: ABU SU’UD

Mukadimah

Tiga belas tokoh yang tercantum dalam komposisi PWM hasil Musywil Purwokerto merupakan wujud kepemimpinana Muhammadiyah Jawa Tengah, yang dipimpin oleh para ulama, dalam pengertian lulusan pendidikan keagamaan secara formal. Tentu saja komposisi semacam itu tidak ada buruknya, karena persyarikatan Muhammadiyah sejak mulai didirikan terdiri dari para ulama. Nyaris terkesan seperti kepemimpinan syuriah NU. Namun tidaklah salah seandainya diperlukan sebuah komposisi yang lebih integrative di masa-masa yang akan dating. Kesan yang timbul kalau komposisi kepemimpinan itu hanya terdiri dari para ulama yang memiliki latar belakang pendidikan agama saja akan membuka peluang bagi kesan atau anggapan bahwa Muhammadiyah Jawa Tengah tidak memiliki SDM yang bervariasi.
Sudah harus dimulai mencari tokoh-tokoh dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi pula untuk memimpin persyarikatan di masa-masa yang akan datang.

Pemimpin memang bisa muncul secara tiba-tiba, namun bisa pula dipersiapkan lewat proses kaderisasi.

Proses kaderisasi untuk menjadi penggerak Muhammadiyah harus disiapkan lebih cermat untuk mengantisipasi berbagai masalah yang dihadapi Muhammadiyah di masa depan yang tidak hanya dalam bidang-bidang keagamaan saja. Sebagaimana kita ketahui persyarikatan bukan sekadar gerakan dakwah keagamaan, melainkan sangat bervariasi yang mencakup banyak sekali bidang kegiatan, seperti bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian maupun kebudayaan.

Untuk mendapatkan SDM yang bervariasi tersebut sebetulnya tidaklah terlalu susah, karena anggota maupun simpatisan Muhammadiyah sudah ada pada semua lapisan maupun segmen masyarakat. Yang diperlukan adalah bagaimana menyiapkan berbagai SDM tersebut sedekat mungkin dengan lapis kepemimpinan yang paling inti.


Strategi Kaderisasi Baru

Selama ini dipahami bahwa proses kaderisasi tenaga-tenaga untuk memimpin organisasi hanyalah lewat pendidikan formal yang sudah dimulai sejak pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi, yang semuanya dikelola oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Di samping itu Muuhammadiyah juga menyiapkan kader kepemimpinan itu lewat lembaga-lembaga training kepemimpinan. Mereka juga bisa dipersiapkan lewat organisasi otonom keremajaan, kemahasiswaan, maupun kepemudaan. Tidak ada salahnya pula mereka direkrut lewat Majelis, seperti Majelis Pendidikan, Ekonomi, Kesehatan, Kebudayaan dsb.

Pengalaman menunjukkan masih ada jalur lain untuk menyiapkan kader-kader kepemimpinan itu, yang tidak lain adalah melakukan penjaringan dalam berbagai kegiatan untuk mendapatkan tenaga-tenaga atau SDM yang bisa “ditangkap” di dalam berbagai kegiatan.

Mereka itu barangkali orang-orang yang tidak pernah memasuki pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah. Mereka itu juga barangkali belum pernah mengikuti pelatihan atau training kepemimpinan tingkat manapun. Mereka itu adalah orang-orang muslim yang secara formal belum mengikuti atau menjadi anggota persyarikatan. Mereka bisa dijumpai di kalangan cendekiawan yang dapat disebut cendekiawan muslim yang sudah bekerja di lingkungan perguruan tinggi maupun sudah menjadi tenaga kerja pada lapangan kerja tertentu. Barangkali banyak potensi yang bisa berpartisipasi dalam gerakan itu yang belum atau yang tidak terlibat di dalam kegiatan di daerah-daerah. Barangkali mereka belum pula melaksanakan ibadah sesuai dengan HPT atau Himpunan Putusan Tarjih. Bahkan mereka barangkali masih tergolong Islam Abangan. Barangkali yang saya alami menjadi orang Muhammadiyah tergolong lewat prosedur terakhir itu, yaitu “tertangkap” dan “dipojokkan” menjadi Muhammadiyah. Barangkali masih berada berbagai cara lain agar orang-orang yang mempunyai potensi, meskipun belum menjadi anggota Muhammadiyah agar tidak dianggap sebagai datang secara tiba-tiba pada jenjang kepengurusan tingkat daerah maupun propinsi.


Kepengurusan Istimewa

Cara lain yang bisa dilakukan adalah membentuk kepengurusan istimewa di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah semacam organisasi KORPRI didalam instansi-instansi pemerintah. Kepengurusan alternatif ini tentu saja belum terdapat dalam dokumen manapun dalam Persyarikatan, oleh karenanya disebut kepengurusan istimewa. Barangkali bisa disejajarkan dengan PCM. Tentu saja kepengurusan istimewa tersebut tidak harus dipimpin oleh para petinggi perguruan tinggi Muhammadiyah tersbut. Dengan cara itu potensi-potensi atau kader-kader sudah bisa ditemukan dan menjadi bukan orang baru atau orang asing. Sekali waktu mereka bisa direkrut di dalam kepengurusan Muhammadiyah tingkat wilayah.

Cara lain yang dapat dikembangkan adalah menyiapkan semacam majelis yang terdiri dari para cendekiawan muslim di lingkungan atau dalam struktur persyarikatan. Untuk itu bisa lebih mudah lagi dilakukan dengan mengajak potensi-potensi tersebut dalam forum diskusi. Pada level itulah para cendekiawan muslim bisa memberikan kontribusi atau pemikiran untuk mengembangkan persyarikatan meskipun mereka belum menjadi anggota persyarikatan.

Kasus yang terjadi dengan Bung Karno yang dianggap sebagai anggota istimewa persyarikatan nampaknya bisa digunakan sebagai prosedur untuk mendapatkan sumber daya yang siap dilibatkan dalam kepengurusan tingkat wilayah.

Dengan demikian Muhammadiyah tidak lagi mendapat kesulitan mendapat tokoh-tokoh yang bisa dilibatkan dalam struktur kepemimpinan tingkat wilayah. Dan dengan demikian pula komposisi kepengurusan Muhammadiyah bisa lebih terintegrasi antara mereka-mereka dari latar belakang pendidikan maupun kegiatan yang amat bervariasi. Dalam musywil Kendal tahun 1995 terjadi peristiwa yang unik atau dimasukannya dua intelektual muslim yang selama ini tidak dimasukkan sebagai asset Muhammadiyah. Dua tokoh tersebut adalah Dr. Amin Syukur dan Dr. Qodri Azizi yang keduanya merupakan intelektual yang bekerja di IAIN Walisongo Semarang. Mereka juga bukan orang baru yang sering memberi ceramah dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah.

Kasus semacam itu memberikan kita pengalaman untuk mencoba membuat atau membuka peluang masuknya orang-orang secara tiba-tiba menjadi asset kepemimpinan Muhammadiyah. Tokoh-tokoh semacam itu tentunya banyak terdapat dalam masyarakat.

Tidak ada komentar: