Selasa, 22 Mei 2007

K.H. Ahmad Dahlan:

Sang Pembaharu Islam Populis Indonesia

Oleh Masykurudin Hafizd

Penulis adalah Alumnus Pesantren Manba’ul Ma’arif, Denanyar Jombang

Oleh Masykurudin Hafizd

“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu pasti kau lihat perkara yang lebih besar yang menakutkan, mungkin kau selamat atau sebaliknya akan tewas. Dahlan, bayangkan kau sekarang berada di dunia ini sendirian bersama Allah dan di mukamu ada kematian, pengadilan amal, surga dan neraka. Coba kau pikir mana yang paling mendekati dirimu selain kematian. Mereka yang menyukai dunia bisa memperoleh diploma walaupun tanpa sekolah. Sementara yang sekolah dengan sungguh-sungguh karena mencintai akherat ternyata tak pernah naik kelas. Gambaran itu melukiskan orang-orang yang celaka di dunia dan di akhirat sebagai akibat tidak bersedia mengekang hawa-nafsunya. Apakah kau juga tidak bisa melihat orang-orang yang mempertuhankan hawa-nafsu?” Tulisan di atas terpampang di papan tulis dalam kamar Kiai Haji Ahmad Dahlan. Tujuannya jelas; agar sang kiai bisa terus menerus membaca dan kemudian merefleksikannya terhadap tindakan yang dilakukannya sehari-hari. Kiai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta.

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Silsilah lengkapnya adalah Muhammad Darwisy bin K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig bin Maulana Muhammad Fadlullah bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus salam 1968 : 6) . Dari silsilah ini menunjukkan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah keturunan Maulana Malik Ibrahim seorang wali besar dari penyebaran Islam di tanah Jawa.

K.H. Ahmad Dahlan mendapat kesempatan pergi ke Mekah sebanyak dua kali. Pertama saat beliau berusia 22 tahun untuk melaksanakan Ibadah Haji dan tinggal di sana selama lima tahun. Pada periode inilah beliau berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru dalam Islam, misalnya Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyyah. Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap di sana selama dua tahun. Pada masa inilah, beliau sempat berguru kepada syekh Ahmad Khatib yang juga guru dari K.H. Hasyim Asy’ari yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah berumur 24 tahun, Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah, sepupunya sendiri yang kemudian dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dari perkawinannya ini dikaruniai enam orang anak yaitu Siti Johannah, Siraj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisyah, Irfan Dahlan dan Siti Aisyah (kembar) dan Siti Zuharoh. Di samping itu, K.H. Ahmad Dahlan pernah menikah dengan Nyai Abdullah janda dari Kyai Abdullah, Nyai Rum adik Kiai Munawwir Krapyak, Nyai Aisyah adik Adjengan Penghulu Cianjur dan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968 : 9).

K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah mengalami pendidikan formal. Ia menguasai beragam ilmu dari belajar secara otodidak baik belajar kepada ulama atau seorang ahli atau membaca buku-buku atau kitab-kitab. Beliau belajar ilmu fikih dari Kyai Mohammad Soleh yang juga kakak iparnya sendiri, belajar ilmu nahwu dari K.H. Muhcsin, belajar ilmu falaq dari K.H. Raden Dahlan dari Pondok Pesantren Termas, belajar ilmu hadits dari Kyai Mahfudz, belajar qiroatul qur’an dari Syekh Amin dan lain-lain. K.H. Ahmad Dahlan juga pernah berinteraksi dengan para ulama terutama saat beliau berada di Mekah, misalnya dengan Syekh Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya dan lain-lain.

Pada 18 Nopember 1912, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits. Sejak awal K.H. Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. (wikipedia; Muhamadiyah). Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan ini mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Gagasan pembaruan Muhammadiyah disebarluaskan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.

Upacara peresmian berdirinya Muhammadiyah sendiri dilakukan pada bulan Desember 1912 bertempat di Malioboro, Yogyakarta yang dihadiri oleh sekitar 70 orang. Setelah itu K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan perkumpulan kaum ibu yang diberi nama Sapatresna (sekarang Aisyiah) yang tugas pokoknya adalah menyelenggarakan pengajian khusus bagi kaum wanita yang simpati kepada Muhammadiyah. Setelah itu lahir pula Nasyi’atul Aisyiah, Hizbul Wathan, sekolah Al-qism al-Arqa dan Pondok Kauman.

Untuk mendukung aktivitasnya, K.H. Ahmad Dahlan tidak segan-segan menyerahkan harta benda dan kekayaannya sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Gerakan ini makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 K.H. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. (A.M. Mulkhan, 2005 : 15).

Pada Tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya di samping sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan tujuh orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo.

Keberhasilan K.H. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan Muhammadiyah ini tidak lepas dari luasnya hubungan yang dilakoni olehnya. Untuk melihat secara lebih lengkap kegiatan dan gerak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan perlu dilengkapi dengan melihat kegiatan dakwahnya melalui surat-surat dakwah yang dibuat tahun 1920-an. Dari surat-surat ini dapat dilihat kesibukan K.H. Ahmad Dahlan dalam melayani kegiatan dakwah baik dilingkungan Muhammadiyah maupun di tengah masyarakat pada umumnya.

Haji Majid, seorang murid K.H. Ahmad Dahlan menuliskan pengalamannya dalam risalah singkat Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan. Setidaknya ada tujuh point yang dapat dipetik yaitu, Pertama; Mengutip perkataan al-Ghazali, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa manusia itu semuanya mati (perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu senantiasa dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.

Kedua; Kebanyakan mereka di antara manusia berwatak angkuh dan takabur. Mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. K.H. Ahmad Dahlan heran kenapa pemimpin agama dan yang tidak beragama selalu hanya beranggap, mengambil keputusan sendiri tanpa mengadakan pertemuan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memperbincangkan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya anggapan-anggapan saja, disepakatkan dengan istrinya, disepakatkan dengan muridnya, disepakatkan dengan teman-temannya sendiri. Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permusyawaratan dengan golongan lain di luar golongan masing-masing untuk membicarakan manakah yang sesungguhnya yang benar dan manakah sesungguhnya yang salah.

Ketiga; Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai. Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimilikinya adalah benar.

Keempat; Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus sama-sama menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i‘tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati.

Kelima; Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam membaca beberapa tumpuk buku dan sudah memperbincangkan, memikirkan, menimbang, membanding-banding ke sana ke mari, barulah mereka dapat memperoleh keputusan, memperoleh barang benar yang sesungguhnya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau barang yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi kesenangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya.

Keenam; Kebanyakan para pemimpin belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.

Ketujuh; Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek). Dalam mempelajari kedua ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan maka tidak perlu ditambah.

Pada bulan Januari 1923, K.H. Ahmad Dahlan jatuh sakit. Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Pebruari 1923, K.H. Ahmad Dahlan wafat. Menjelang masa-masa sakitnya, K.H. Ahmad Dahlan masih sempat mendirikan rumah sakit Muhammadiyah yang pertama, membuka rapat tahunan Muhammadiyah dan mendirikan Musyawarah Ulama Muhammadiyah.

Dalam masa-masa sakitnyapun, K.H. Ahmad Dahlan banyak memberikan pesan kepada para pengikutnya. Di antara pesan K.H. Ahmad Dahlan adalah “Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu pekerjaan mudah. Karena itu, aku senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap ilahi rabbi. Aku juga berdoa berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat karunia ilahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa bermanfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman”.[]

Tidak ada komentar: